Mas Reza memeluk Caca, netranya tak lepas dariku. Kalau ia bersikap aneh begini terus, bisa-bisa aku periksa di poli jantung.
-----"Ada yang nyariin, Mbak, penting katanya," bisik Angga ketika aku sedang menata meja untuk menyiapkan makan siang untuk para tamu dan kerabat.Aku mengangguk, tapi tak menghiraukan. Mengingat adikku yang baru tamat SMP itu sering bercanda."Cepetan, Mbak, ntar tamunya pulang." Tak beranjak Angga menunggu."Serius, ni? Cacanya mana? Kok, ditinggal pona'annya?""Itu ... Caca sama tamu yang nyariin, Mbak." Ia menunjuk ke luarDahiku mengernyit, tumben Caca mau diambil sama orang baru?Aku menyelip keluar di antara keramain kerabat. Ibu duduk di ruang tengah berbincang dengan tetamu.Di bawah tenda pengantin yang telah terpasang tiga hari lalu, banyak keluarga laki-laki bercengkrama antar mereka.Kucari sosok Caca.Deght.Jantung ini kembali bergeser, melihat Caca duduk di pangkuan Mas Reza. Di sebelahnya ada bapak, om-om dari keluarga ayah-ibu, dan Mas Danar.Tampaknya mereka serius melepas temu kangen, saling berbagi cerita.Kulihat Angga tertawa cekikin dekat Mas Reza. Tuh kan, anak itu mengerjaiku lagi.Mengedarkan pandangan mencari anggota tim Mas Reza, sepertinya tidak ada. Aku langsung mengucap syukur dalam hati.Maafkan hamba Ya, Allah, bukannya tak menginginkan tamu, tapi hati ini belum mampu ikhlas melihat Mas Reza bersama mantannya."Dari tadi datang, Mas?" Aku mendekat, Mas Reza menyodorkan tangan. Untung otak bereaksi cepat, lalu meraih tangan itu, kemudian mencium punggung tangannya.Benar-benar aneh ni Mas Reza, sudah datang lebih awal dari rencana, eh, sekarang nyodorin tangan untuk takzim. Padahal sebelumnya tidak pernah memberi kesempatan.Pura-pura lupalah, sibuklah, nggak ngelihatlah. Ah, sudahlah! Mudah-mudahan ini awal baik untuk hubungan yang rumit ini.Keheranan itu terkalahkan dengan debar yang semakin meningkat, Mas Reza tak melepas tangan itu dan kembali mengenggamya di depan keluarga.Suara-suara kerabat melihat suasana itu sontak terdengar seperti nyanyian. "Rindu ni ye," "Efek lama nggak ketemu!" dan "Pengantin lama pun nggak mau kalah." Beginilah situasi kampung, pasti beda di kota.Entah bagaimana warna wajahku sekarang, Mas Reza malah senyum, sambil menatap lekat. Ia kian menguatkan genggaman ketika aku bereaksi ingin lepas. Sepintas kutangkap dengan ekor mata, Mas Danar menatap ke bawah."Udah, udah ...! Antar suamimu masuk! Dia butuh istirahat," titah bapak.Kami pun permisi, lantas melangkah masuk. Caca menggelayut di gendongan sang ayah. Angga membawa koper Mas Reza, sementara aku masih seperti magnet di tangannya.Mas Reza singgah sowan ke ibu, sebelum kuantar ke kamar."Kata bunda besok ayah baru datang, kok, ...?" Caca meminta penjelasan Mas Reza datang tiba-tiba."Rindu ayah udah nggak ketahan ma Caca dan Bunda, jadinya janji dipercepat, deh." Pria umur kepala tiga itu mengulas senyum sambil memeluk Caca, netranya tak lepas dariku.Kalau ia bersikap aneh terus begini, bisa-bisa aku periksa di poli jantung."Mas, tidur di sini aja, ntar Zahrah ke kamar Angga," ucapku mengingat kami tak sekamar di rumah."Percuma, dong, aku ninggalan kerjaan kalau kamu ...." Ia menjawab terpotong, lalu menarikku duduk di sisinya. Tatap pria itu tak mampu kumaknai.Nyaris tak sanggup bernafas stabil dalam posisi sedekat ini dengannya."Jangan kemana-kemana, dong, Bunda. Kan, asyik, ngumpul semua di sini""Tuh, kan, Caca aja tahu. Masak ka-.""Oke, oke, bunda kalah. Dua lawan satu, sih." Refleks mereka tertawa bersamaan.Acara nikahan Raina selesai kemarin, hari ini kami OTW kembali ke rumah. Kali ini Mas Reza nyetir mobil.Reno pulang duluan dengan alasan tak ingin ninggalin rumah laundry lama-lama.Berhubung karena perjalanan agak jauh, aku duduk di tengah bersama Caca.Bibir mungil itu tak henti bercerita tentang pangalaman, hal-hal dia suka, dan apa saja yang menarik di pikirannya"Ayah, kapan-kapan kita ke rumah kakek-nenek lagi, Caca suka banget, deh." Ia memeluk boneka pandanya."Iyya, sayang, pasti itu," jawab Mas Reza melempar senyum ke arahku."Oh, ya, Om Danar bilang, Caca cantik seperti bunda."Aku dan Mas Reza langsung tersedak dan batuk hampir bersamaan.Buru-buru menyerahkan air botol mineral yang telah kubuka tutupnya, lantas mengambil sendiri untukku.Laju mobil perlahan berjalan pelan, Mas Reza meneguk air di botol sampai setengah."Terus, Om Danar, bilang apa lagi?" Mas Reza bertanya, sepertinya penasaran.Pria ganteng itu menelisik wajahku lewat kaca spion depan, seketika ada perasaan risih menguasaiku. Dalam hati aku terus berdoa, mudah-mudahan Caca nggak salah ucap."Om Danar bilang, kalau besar nanti Caca harus seperti bunda. Pinter, penurut, baik, sayang keluarga, terus sholihah."Laju mobil terasa semakin pelan. Debar gelisah mulai muncul di dada, sekuat hati kuabaikan dan bersikap datar, karena memang aku dan Mas Danar tidak ngapa-ngapain."Oh, ya? Emang Om Danar belum punya adek seperti Caca?""Kata Om Danar, belum. Pengantin seperti tante Raina aja belum. Katanya, susah nyari seperti bunda." Kali ini aku yang tersedak keras.Mobil tiba-tiba berhenti. Untung jalanan belum terlalu ramai, kalau iyya, klakson pasti bersahut-sahutan dari belakang.Mas Reza menghabiskan air mineral, mengambil nafas lalu membuang kasar. Perlahan ia memijit keningnya."Ayah, kenapa? Sakit?" Caca mendekat, memastikan keadaan sang ayah, pun aku melakukan hal sama."Trus, Om Danar bilang apalagi?" Mas Reza masih bertanya."Udah, ah, ceritanya. Entar ayah tambah sakit kepala kalau dilanjut.""Enggak, sayang. Bukan cerita Om Danar membuat kepala ayah sakit, ka-karna kerjaan ayah aja," jawab Mas Reza terbata, bibirnya menarik senyum dipaksakan."Oo, kirain ... " Caca tersenyum ceria kembali. "Om Danar bilang Caca dan ayah beruntung banget dapetin bunda. Jadi, Caca dan Ayah harus jagain Bunda baik-baik, jangan di bikin nangis, dan jangan tinggalin sendiri." Caca menjeda kalimatnya, lalu menatap ke depan. "Ya ..., udah, itu aja, Caca capek ceritanya.""Ayah, Bunda, kita pergi makan di sana, Yuk?" Tangannya menunjuk warung sekitar lima meter di depan.Aku melirik jam di tangan, hampir Duhur. Pantas Caca minta makan.Aku menunggu reaksi Mas Reza, sepertinya lagi memikirkan sesuatu.Mas Reza turun dari mobil, lantas membuka pintu tengah, kemudian menarik Caca dalam gendongannya, dan ia pun menyodorkan tangan ke arahku.Gugup mendapat perlakuan seperti ini, seperti di drama-drama korea yang lagi naik daun. Debar kembali berlomba seperti pertunjukan pacuan kuda.Kusambut tangan kekar itu lantas turun dari mobil.Sepintas orang yang melihat kami, pasti mengira seperti pada pasangan pada umumny, bila kemana-mana bergandengan tangan. Layaknya kami sekarang.Jangan tanya keadaan jantungku saat ini, seperti suara knalpot sudah diracing, bising dan bikin mumet.Berharap dalam hati cukup aku saja yang tahu, alangkah gaduhnya jantung di balik kulit ini.Kami menikmati hidangan di warung yang lumayan besar. Caca makan sambil terus berceloteh.Suara notif pesan WA berbunyi beberapa kali. Aku merogoh ponsel dalam tas selempang, sepertinya penting.Dahi mengernyit mengetahui pengirim pesan.Mas Reza!Pesan pertama.[Kamu harus jalaskan cerita Caca]Pesan kedua.[Kamu utang penjelasan tentang Danar kepadaku]Pesan ketiga.[Kamu harus ceritakan. Kenapa Danar begitu tahu tentangmu?]Kupandangi wajah yang berjarak seukuran meja di depan, netranya fokus ke ponsel.Notif pesan masuk lagi.[Nggak usah lihat-lihat! Balas aja tu pesan!]Kenapa juga ini orang semakin aneh?[Ntar di rumah aku jelasin semuanya] Kukirim pesan balasan buatnya.Kali ini aku memindai wajah pembuat debar itu untuk mencari arti pesan aneh, tak biasanya.Baru pertama juga berkirim pesan, langsung berbahasa ketus.Apakah Mas Reza merasakan hal sama seperti aku malihat ia bersama mantannya? Ataukah hanya sekedar mempertahankan harga diri kelakian ketika ada pria memuja wanita yang telah ia nikahi?-----Mengingat Mbak Rita ingin baikan, ditambah cara memandang Mas Reza, aku tahu, ia mengharapkan mantan suaminya kembali. Dada seakan kembali menyempit membayangkan itu semua.------Memandangi wajah Caca tidur tanpa melepas mukenah, salat berjamaah selesai, ia pun langsung melepaskan lelah.Kehadiran bidadari kecil ini membuat hidup berwarna. Namun, sekaligus hambar mengingat hubunganku dengan ayahnya.Sambil menyalahkan TV, aku menyetrika pakaian, tak lama berselang terdengar salam Mas Reza dari masjid.Ia langsung duduk di sofa, sambil menyeruput kopi, kebiasaanya setiap malam. "Udah siap ngejelasin isi pesanku tadi siang?"Pertanyaannya tak menghentikan pergerakan tanganku, walau tatapnya mulai tak sabar, aku membereskan lipatan terakhir sekaligus pura-pura tak menghiraukannya."Zahrah." Mas Reza memanggil lembut. Aku berpindah, duduk dua sofa di antaranya. "Ceritalah tentang Danar." ujarnya setelah mematikan TV. Aku terdiam lama guna merangkai kata tepat dalam hati. "Sebaiknya Ma
Dua kata yang keluar dari bibir berukuran sedang itu, sukses membuatku mendarat darurat. Rasanya seperti terjungkal di atas tanah.--------------------"Caca, ayah nggak bisa nemanin beli seragam baru besok. Sama Bunda, aja, ya?"Mas Reza duduk di sofa ruang keluarga, tempat favorit kami berkumpul pada waktu senggang. Wajahnya terlihat gelisah, setelah menerima panggilan telepon."Keluar kota lagi? Berapa hari, Ayah?" Caca berpindah ke pangkuan Mas Reza, menyandarkan kepala di dada bidang itu. "Peresmian kantor cabang baru, yang diurus kemarin-kemarin, untuk sementara masih nyewa gedung dulu." Nanar pria maskulin itu menatap. Mungkinkah kalimat itu ditujukan untukku? "Emangnya nggak bisa kerja tanpa pergi terus gitu? Seperti ayahnya Sisil?" Protes Caca yang entah berapa sekian kali. Sejak gadis kecil itu bersekolah di TK, sering membandingkan Mas Reza dengan ayah teman-temannya, yang hampir setiap hari menjemput.Aku meletakkan pakaian Mas Reza yang telah rapi di atas meja setrikaan
Jiwa berontak mendengar kata istri darinya. Apakah layak diri ini menyandang gelar itu? Bukankah aku tak dibutuhkan sebagai istri? Bukankah ada mantan akan menjadi istri seutuhnya? ------------------"Caca senang, deh, hari ini jalan-jalan ma Om Tio."Bidadari cantik itu menyeruput ice cream, tangan sebelah mengeluarkan plastik penuh makanan."Oh, ya." jawabku tetap fokus menyetir menuju rumah, sesekali menanggapi celotehannya. Seperti ia telah lupa dengan laku Mas Reza tadi siang."Ayah, udah pulang." Caca melompat turun, setelah mobil berhenti, dan melihat pagar terbuka, ada roda empat Mas Reza terpakir. Halaman rumah Oma ini memang luas. Tumben Mas Reza keluar kota hanya semalam? Ini juga pulang tanpa ada pemberi tahuan? Entah kenapa sesak ini muncul lagi, padahal aku sudah ikhlas. Apapun terjadi sampai ke rumah ini dan sebelum bertemu pria pembuat galau itu, semoga hati ini baik-baik saja. Ya ... Allah ... Mohon beri hamba kekuatan dan keikhlasan lebih. Pliss. Walaupun ragu
Membelai kepala tertutup jilbab itu tulus, andai sekarang kau ingin bersama hanya mamah dan ayahmu saja, aku siap sayang, karena itu sedang kuusahakan sekarang. --------------------"Rumahnya nggak bagus, kotor." Caca mengibas-ngibas pakaiannya setelah kami mengelilingi bangunan tingkat dua model lama.Salah tingkah Mas Reza melirik, mungkin karena penolakanku semalam. "Kalau udah dicat ulang dan direnov sedikit. Pasti bagus lagi, kok." Aku menyentil lembut hidung Caca. Sedang Mas Reza tersenyum bahagia, tampak bernafas lega. Meskipun berusaha menghindari lelaki yang susah ditebak itu, tapi aku tetap menjaga kebahagiaannya. Bapak-ibu benar, aku memang tertutup. Namun, lebih mementingkan orang-orang di sekitar. "Rumah ini kosong sekitar dua tahun, kamu boleh membuatnya jadi apa saja, eitempati juga boleh." Pria berhidung mancung itu berucap sambil fokus menyetir."Emang Bunda mau tinggal di sana?" ucap Caca sambil mengunyah roti sisa pemberian Mas Tio kemarin. "Entahlah sayang,
Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menyimpan semua ini.--------------------Jam 12 siang, kami pun sampai di rumah."Mas, emang nggak berlebihan ngasih Zahrah rumah lagi?" tanyaku bersandar pada sofa ruang tamu setelah ganti baju dan salat Duhur.Mas Reza mengernyit ke arahku, ia selalu gagah memakai baju koko putih dan sarung warna senada. Ia dari masjid."Maksud Zahrah, apa nggak diganti aja pakai nama Caca?" ujarku lagi mendetailkan maksud. Aku membalas tatap lelaki aneh itu. Toh, buat apa memberi rumah kalau akhirnya ia akan pergi bersama mantannya.Bukankah selama kita berusaha rejeki tak perlu dikhawatirkan? Dan selama nafas di tenggorokan, pintu langit masih terbuka untuk menurunkan rezeki dan menaikkan amal setiap hamba. Perlahan ia duduk di dekatku, setelah meletakkan peci di meja."Zahrah nggak suka? Apa bedanya kamu dengan Caca buatku?" tanyanya penuh penekanan.Debaran kuat menghentak, Mas Reza memosisikanku dengan Caca sama?Terus, Mbak Rita? Apakah itu artinya a
Dua tahu bukan waktu yang singkat. -----Pukul setengah sembilan malam, aku masih berkutat di luar kamar, rasanya asing memasuki ruang pribadi Mas Reza.Hawa dingin menjalari jemariku, mengingat kami tak pernah sengaja tidur sekamar. Kecuali dalam keadaan terpaksa.Sungguh ajaib rasa ini. Bukankah ini doaku setiap waktu? Kenapa seperti sebuah beban?Seingatku kami sekamar hanya pada saat ada Oma, nikahan Reina, berkunjung ke kampung. Itupun untuk menghindari kecurigaan orang rumah, dan terakhir ketika Mas Reza sakit.Untuk menghalau galau. Aku mengerjakan apa saja yang bisa kulakukan. Sampai lantai yang sudah bersih kupel kembali.Huft ...Ternyata susah juga menghadapi situasi yang tiba-tiba berubah.Pria maskulin itu belum pulang dari shalat jamaah Isya. Padahal masjidnya berada sekitar lima ratus meter saja dari rumah. Tumben.Kembali aku melanjutkan kegiatan membersihkan rumah tanpa fokus, menyetrika dan menyusun alat-alat dapur.Biasanya aku kerjakan semua pagi hari setelah Mas R
Apakah kalimat sakti bak mantra itu masih berguna buatku sekarang? Setelah melihat keadaan seperti ini?--------------------Hidup serasa berubah semenjak kejadian malam itu. Kusambut hari penuh semangat dan tubuh terasa ringan beraktifitas.Tiap waktu aku nikmati dengan debar indah. Berpisah sejenak dari Mas Reza menghadirkan rindu yang tak mampu dituturkan. Mungkin inilah yang disebut masa pacaran. Bonusnya, kami merasakan setelah halal dan proses panjang nan rumit.Ya, aku mencintainya.Berharap ia pun sama denganku, walau tak pernah terangkai lewat kalimat. Tak seperti kemarin-kemarin. Semua praduga-praduga yang tiba-tiba saja datang entah darimana, berusaha aku hindari. Bukankah kebanyakan salah sangka itu bagian dari syetan?'Sesungguhnya Aku (Kata Allah) berpegang pada prasangka hambaKU.'Kalau tidak salah ingat, seperti itulah konteks kalimat dalam Hadits Qudsi yang pernah diajarkan guru agamaku di waktu sekolah. Sungguh, nasehat itu sangat penting menjadi pengingat terut
Pria pekerja keras itu, punya seribu cara meluluhkan hatiku. -----"Kita jalan-jalan, yuk!" ajak Mas Reza di suatu sore. "Siap," jawab aku dan Caca hampir bersamaan.Semenjak kejadian di kantor Mas Reza tempo hari, lelaki maskulin itu menunjukkan kesalahannya dengan lebih sering di rumah, mengajak jalan-jalan, olahraga, memasak bareng, dan apa saja yang bermanfaat. Kalau ia keluar kota paling lama dua hari, itupun hampir tiap istirahatnya video call.Padahal kejadian hari itu, tak pernah bertanya atau membahasnya lagi. Kami ingin melupakan semua, sejalan dengan bergilirnya sang waktu. Ada juga hikmah di balik kejadian menyesakkan itu, waktu-waktu berharga Mas Reza lebih banyak tercurah ke keluarga kecilnya. [Mas, cepat pulang, ya?!] pesan WA kukirim. Hampir jam empat sore, waktu pulang pria pencipta rasa nano-nano itu. Melepas debar kerinduan ketika melihat sosoknya adalah hal sangat menyenangkan buatku. Hingga terlambat sedikit saja dari waktu kedatangannya mencipta gelisah d
POV CacaIni libur kedua setelah setahun berlalu. Selain kangen dengan adik Rizal, juga acara pernikahan Om Reno -adik kedua bunda Zahrah- memaksaku pulang. Ada gelenyar entah saat menjejaki kota penuh kenangan. Rindu ini telah lama membebat, tapi ragu dan takut begitu menguasai.Maafkanlah wanita lemah ini, jika masih butuh waktu lama mengistirahatkan kelelahan."Mbak Caca ..." Teriakan Rizal menyambut saat aku turun dari kendaraan terakhir."Diantar sama bunda, kan?" ujarku menggenggam tangannya. Sengaja bertanya demikian, khawatir saja kalau Om Danar yang muncul seperti dulu. Huft ... entah kenapa dia dan kota ini tak bisa terpisahkan di pikiranku."Tu ...!" Tangan mungil Rizal menunjuk tante Raina yang melambai ke arah kami. Ada Om Angga melakukan hal sama di belakangnya. Ck! Ngapain pria tengil itu ikut?"Aku di rumah Oma nginapnya ya?!" Om Angga langsung menaikkan jari tanda setuju. Sementara adik Rizal tak henti berceloteh sambil mengunyah. Makanan anak ini sefavoritku, doyan
POV Caca"Oma harus tahu soal ini, Ca." Suara Om Angga membuatku berpaling dari suara roda empat Om Danar yang semakin mengecil.Sejak kapan lelaki ini di situ? Apa dia melihat derasnya air mataku yang seketika tumpah melihat Om Danar berlalu? Huf .... Di balik kata ikhlas itu, selalu saja ada genangan yang menyelingnya."Belum saatnya, Om. Kalau waktu dan tempat memungkinkan, aku akan cerita, kok," ujarku memohon pengertian. Dari ekspresi Om Angga yang serius, aku yakin dia mengetahui jelas persoalanku. Berarti sejak tadi dia mengawasi di situ. Tak salah lagi."Bagaimana jika Oma tahu dari orang lain yang pasti cerita akan mengalami penambahan dan kekurangan?" desaknya mengikutiku."Aku belum siap bercerita sekarang, Om," kataku menunjuk bagasi mobil. Oma selalu membawa aneka macam oleh-oleh bila datang. Yang bisa dimakan satu kamar.Lalu dengan cekatan aku menurunkan lima kantong plastik berukuran besar, Isinya sudah bisa ditebak, makanan dan minuman ringan. "Sebelum terlambat me
POV CacaGegas aku menarik lengan Oma ke kamar, khawatir sekali rasanya jika persoalan ini sampai di telinga beliau.Andai pernikahan dadakan itu tak berperkara, kupastikan akan menceritakan ke Oma penuh rasa bangga, lalu meminta restu, kemudian memproklamirkan dengan mengadakan pesta meriah, mengundang sanak saudara, teman, tetangga, anak yatim, de el el. Ini? Sepertinya hayalanku melewati langit ke tujuh. Untung saat kembali, masih ingat jalan pulang. Bagai memukul air, tapi terpercik di muka sendiri. Itulah penggambaran diri sekarang. Jadi, dengan menghayal aku membereskan masalah. Huft .... Semoga otakku masih stay di posisinya. "Kapan datang, Hauroh?" sapa Tasnim yang sedang memegang sapu. Itu resiko sebagai anak pengelola pondok."Baru saja, Nim. Oh, ya, Oma datang. Kamu temani dulu ya, Say," ujarku mengedipkan mata. Tasnim yang sudah biasa melihat ekspresi begitu, mengangguk dan mempersilakan Oma. Mereka sudah akrab, karena seringnya bertemu saat Oma menjenguk."Caca mau min
POV CacaMeski telah menguatkan hati, tetap saja denyut jantung berdetak lebih, sesampai di rumah Om Danar. Perkiraanku orang-orang semalam masih stand by menunggu tuk memberi hukuman, tapi .... sepertinya aman, tak ada alas kaki yang berjejer. Aku celingak-celinguk kanan-kiri memastikan, pun memasang telinga untuk mendengar suara dari dalam. Alhamdulillah, benar-benar sepi seperti biasa. "Terima kasih Ya, Allah." Tak sadar tangan mengusap dada, merasa aman dari perkiraan sebelumnya.Aku meletakkan bokong di kursi teras saat Om Danar melewati pintu. Ini pilihan paling tepat menurutku, karena lelaki yang masih bergelar suamiku itu telah berubah 180 derajat. Jangankan meminta masuk dengan wajah penuh harap seperti biasa, mengajak bicara saja dia seperti enggan. Huft, walau tahu hubungan kini sangat rentan, yang bak telur di ujung tombak, tak memungkiri dalam hati yang terdalam aku menginginkan keajaiban. Salahkah aku masih mengharap setitik hujan di tengah kemarau? Salahkah diri me
POV CacaAku bolak-balik bak setrikaan mendengar suara ribut di luar. Berbagai reaksi dan tanggapan menjurus ke aku, dan tentu saja celaan lebih banyak. Itu baru satu kalimat Mimi Bianca, belum dua, tiga, empat ... Huft, beginilah jika melakukan dosa. Selain mendapat azab, hati juga tak tenang.Maka sangat benar yang disampaikan para alim ulama. "Hindari maksiat, karena itu perbuatan yang merugikan diri sendiri. Sesungguhnya Allah tak pernah menghukum hambanya, selain dari perbuatan dosa hamba itu sendiri."Ah, manusia memang terkadang dzolim pada diri sendiri. Namun, ajaibnya selalu merasa lurus dan memaksa benar dengan memakai logika tak berdasar. Aku rasa pernah di posisi itu saat belum belajar agama. Aku memutuskan keluar dan bergabung. Entah mau melakukan klarifikasi, pembelaan, atau berdebat dengan Mimi Bianca, aku juga tak tahu mau ngapain. Yang pasti tak harus sembunyi seperti kucing dibawa kolam meja setelah mencuri ikan kan? Apa, sih, yang kupikir, sepertinya keruwetan mas
POV CacaAku berlari ke sana-ke mari mencari jilbab yang dilepas Om Danar. Perasaan diletakkan tak jauh darinya. Kenapa nggak ada? Inilah efek panik yang mengakibatkan otak tidak fokus."Om simpan di mana jilbabku?" kataku menarik lengan Om Danar untuk membantu. "Tu!" tunjuknya tanpa merasa bersalah. Dia kemudian melangkah ke pintu seusai aku memakai kerudung dan cadar."Bapak menunggu di luar. Apa yang kau lakukan Danna, tidak bisakah kau menunggu sampai selesai semua prosesi .... Arght! Aku tak tahu apa yang kau pikirkan sekarang." Selepas berucap, Bu Maya membalik badan ke arah ruang tamu. Sementara aku yang bisanya berlindung di balik punggung Om Danar, merasakan ujung dan kaki seakan kompak dingin.Dalam keadaan nyata-nyata benar saja, semua orang pasti akan merasakan panik sepertiku jika di posisi seperti digerebek. Apalagi kami yang hanya menikah tanpa persaksian orang banyak. Tunggu! Sepertinya Om Danar tak ngaruh. Dia malah menyugar rambut lalu memperbaiki gulungan bajunya.
POV Caca"Apa Bibik lihat ponselku?" teriakku memeriksa meja kerja Om Danar. Mulai lelaki itu mengambilnya di mobil, sampai sekarang belum terlihat. Tidak mungkin kan dia membawa benda pipih itu akad nikah? Kurang kerjaan banget kalau sampai itu terjadi.Karena tak ada jawaban, aku mencari tiap laci. Siapa tahu Om Danar menaruhnya di sana. Tanganku berhenti bergerak saat menemukan foto lama tapi masih terawat. Ada Om Danar dan Bunda Zahrah di antara teman-teman lainnya yang berpakaian putih abu-abu. 'Sekuat apa kita berusaha, jodoh tidak bisa diubah.' Tulisan di balik gambar membuat mataku berkabut tiba-tiba. Sedih karena mengingat Bunda, sekaligus kalimat itu sukses menyentil perjalanan jodoh yang sedang kualami.Ya, sekuat apa ingin lepas dari Om Danar, tapi rasanya amat susah. Selain dia tak ada niat berpisah, pun hatiku lebih-lebih.Huft, apa dosa mencintai di situasi yang serbah salah? Apa salah bertahan di tengah badai yang menerjang? Ya, Rabb ... Andai waktu bisa diputar ul
POC Caca"Kita mau ke mana, Om?" tanyaku saat mobil melaju. Lelaki matang itu bergeming, mimiknya tak mampu kumaknai. Arhgt, siapa lagi yang memberi informasi aku di sini. Atau jangan-jangan Om Angga? Ck! Adik Bunda Zahrah itu memang sudah berhenti menganggu ketenanganku, malah mengirim pengganggu yang kuperkirakan akan lebih panjang ceritanya. "Jangan bawa Caca ke pesta itu, Om," mohonku menangkupkan kedua tangan di depan dada ketika menyadari arah mobil benar-benar menuju ke sana. Apa yang harus kulakukan Ya, Rabb?"Bukannya Caca tak mau berjuang, Om. Tapi ...." kataku terhenti melihat seorang wanita cantik turun dari mobil yang sebelumnya memepet dan membunyikan klakson panjang tanda menyuruh berhenti. Ibu Maya! Refleks aku membungkukkan badan dengan niat bersembunyi seperti yang kulakukan tadi ketika melihat Om Danar di dalam tanda. Huft, kurasa akan sia-sia lagi."Cepetan turun, Om." Tak seharusnya aku mengintruksi, sudah jelas dia lebih dewasa dariku, ditambah statusnya sebag
POV Caca"Ayo anterin aku cepat, Om," kataku lebih membungkukkan badan saat dengan ekor mata melihat lelaki yang jadi pusat perhatian itu menuju ke mari. "Kalau Om Angga gak mau cepat, Caca bakalan nggak mau bicara Om seumur hidup," ancamku tidak serius, tapi dengan nada yang ditekan.Lelaki humoris itu gegas masuk mobil dan segera menyalakan mesin.Kami memang terhitung sangat akrab dulu, bahkan sampai sekarang dia tidak berubah, cuman aku yang ambil jarak sejak masuk pondok. "Maaf, Mas. Nanti saya kembali," pamit Om Angga sebelum melajukan mobil. Mas adalah panggilan Om Angga ke Om Danar jika di luar kampus, karena memang terhitung kerabat dekat, tentu beda jika berada dalam lingkup akademik. Aku rasa seperti itu yang terjadi mengingat tante Raina melakukan sama. "Kok kayaknya kamu takut sama Om Danar? Padahal dia baik loh, baik banget malah."Aku memilih memperbaiki cadar akibat aksi sembunyi tadi, sekaligus pura-pura tak mendengar uraian Om Angga. Kadang dia kalau bercerita lup