Membelai kepala tertutup jilbab itu tulus, andai sekarang kau ingin bersama hanya mamah dan ayahmu saja, aku siap sayang, karena itu sedang kuusahakan sekarang. --------------------"Rumahnya nggak bagus, kotor." Caca mengibas-ngibas pakaiannya setelah kami mengelilingi bangunan tingkat dua model lama.Salah tingkah Mas Reza melirik, mungkin karena penolakanku semalam. "Kalau udah dicat ulang dan direnov sedikit. Pasti bagus lagi, kok." Aku menyentil lembut hidung Caca. Sedang Mas Reza tersenyum bahagia, tampak bernafas lega. Meskipun berusaha menghindari lelaki yang susah ditebak itu, tapi aku tetap menjaga kebahagiaannya. Bapak-ibu benar, aku memang tertutup. Namun, lebih mementingkan orang-orang di sekitar. "Rumah ini kosong sekitar dua tahun, kamu boleh membuatnya jadi apa saja, eitempati juga boleh." Pria berhidung mancung itu berucap sambil fokus menyetir."Emang Bunda mau tinggal di sana?" ucap Caca sambil mengunyah roti sisa pemberian Mas Tio kemarin. "Entahlah sayang,
Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menyimpan semua ini.--------------------Jam 12 siang, kami pun sampai di rumah."Mas, emang nggak berlebihan ngasih Zahrah rumah lagi?" tanyaku bersandar pada sofa ruang tamu setelah ganti baju dan salat Duhur.Mas Reza mengernyit ke arahku, ia selalu gagah memakai baju koko putih dan sarung warna senada. Ia dari masjid."Maksud Zahrah, apa nggak diganti aja pakai nama Caca?" ujarku lagi mendetailkan maksud. Aku membalas tatap lelaki aneh itu. Toh, buat apa memberi rumah kalau akhirnya ia akan pergi bersama mantannya.Bukankah selama kita berusaha rejeki tak perlu dikhawatirkan? Dan selama nafas di tenggorokan, pintu langit masih terbuka untuk menurunkan rezeki dan menaikkan amal setiap hamba. Perlahan ia duduk di dekatku, setelah meletakkan peci di meja."Zahrah nggak suka? Apa bedanya kamu dengan Caca buatku?" tanyanya penuh penekanan.Debaran kuat menghentak, Mas Reza memosisikanku dengan Caca sama?Terus, Mbak Rita? Apakah itu artinya a
Dua tahu bukan waktu yang singkat. -----Pukul setengah sembilan malam, aku masih berkutat di luar kamar, rasanya asing memasuki ruang pribadi Mas Reza.Hawa dingin menjalari jemariku, mengingat kami tak pernah sengaja tidur sekamar. Kecuali dalam keadaan terpaksa.Sungguh ajaib rasa ini. Bukankah ini doaku setiap waktu? Kenapa seperti sebuah beban?Seingatku kami sekamar hanya pada saat ada Oma, nikahan Reina, berkunjung ke kampung. Itupun untuk menghindari kecurigaan orang rumah, dan terakhir ketika Mas Reza sakit.Untuk menghalau galau. Aku mengerjakan apa saja yang bisa kulakukan. Sampai lantai yang sudah bersih kupel kembali.Huft ...Ternyata susah juga menghadapi situasi yang tiba-tiba berubah.Pria maskulin itu belum pulang dari shalat jamaah Isya. Padahal masjidnya berada sekitar lima ratus meter saja dari rumah. Tumben.Kembali aku melanjutkan kegiatan membersihkan rumah tanpa fokus, menyetrika dan menyusun alat-alat dapur.Biasanya aku kerjakan semua pagi hari setelah Mas R
Apakah kalimat sakti bak mantra itu masih berguna buatku sekarang? Setelah melihat keadaan seperti ini?--------------------Hidup serasa berubah semenjak kejadian malam itu. Kusambut hari penuh semangat dan tubuh terasa ringan beraktifitas.Tiap waktu aku nikmati dengan debar indah. Berpisah sejenak dari Mas Reza menghadirkan rindu yang tak mampu dituturkan. Mungkin inilah yang disebut masa pacaran. Bonusnya, kami merasakan setelah halal dan proses panjang nan rumit.Ya, aku mencintainya.Berharap ia pun sama denganku, walau tak pernah terangkai lewat kalimat. Tak seperti kemarin-kemarin. Semua praduga-praduga yang tiba-tiba saja datang entah darimana, berusaha aku hindari. Bukankah kebanyakan salah sangka itu bagian dari syetan?'Sesungguhnya Aku (Kata Allah) berpegang pada prasangka hambaKU.'Kalau tidak salah ingat, seperti itulah konteks kalimat dalam Hadits Qudsi yang pernah diajarkan guru agamaku di waktu sekolah. Sungguh, nasehat itu sangat penting menjadi pengingat terut
Pria pekerja keras itu, punya seribu cara meluluhkan hatiku. -----"Kita jalan-jalan, yuk!" ajak Mas Reza di suatu sore. "Siap," jawab aku dan Caca hampir bersamaan.Semenjak kejadian di kantor Mas Reza tempo hari, lelaki maskulin itu menunjukkan kesalahannya dengan lebih sering di rumah, mengajak jalan-jalan, olahraga, memasak bareng, dan apa saja yang bermanfaat. Kalau ia keluar kota paling lama dua hari, itupun hampir tiap istirahatnya video call.Padahal kejadian hari itu, tak pernah bertanya atau membahasnya lagi. Kami ingin melupakan semua, sejalan dengan bergilirnya sang waktu. Ada juga hikmah di balik kejadian menyesakkan itu, waktu-waktu berharga Mas Reza lebih banyak tercurah ke keluarga kecilnya. [Mas, cepat pulang, ya?!] pesan WA kukirim. Hampir jam empat sore, waktu pulang pria pencipta rasa nano-nano itu. Melepas debar kerinduan ketika melihat sosoknya adalah hal sangat menyenangkan buatku. Hingga terlambat sedikit saja dari waktu kedatangannya mencipta gelisah d
Seketika debar menghentak kuat, praduga mulai melanglang. Namun, tetap berusaha berpikir positif.--------------------Langkah pertama, untuk menghilangkan praduga-paraduga di hati, tentang kepastian hubungan Mas Reza dan Mbak Rita adalah mengecek benda canggih milik pria pencipta gulana itu. Sebelum ia terbangun cepat mengambil gawainya yang masih terchas di atas nakas.Ini pertama kali memeriksa barang pribadi pria yang telah menikahiku empat tahun lebih. Sebelum menikah, memang sempat berjanji. Siapapun yang menjadi pendamping hidupku kelak tak akan mengutak-atik HP pasangan. Itu disebabkan seringnya mendengar cerita, banyak pasangan rumah tangga hancur disebabkan oleh benda bak monster tersebut. Kali ini kulanggar janji sendiri, demi keselamatan rumah tangga itu. Meski tak yakin, kalau langkah ini sudah benar. Bisa saja yang kulakukan menjadi awal kehancuran sebuah mahligai. Ampuni hamba yang lemah ini, Ya, Allah ....Hanya inilah yang terpikir langkah terbaik dalam mempertahan
Setelah melihat kedekatatan dan laku mereka yang berkali-kali. Kenapa aku masih takut kehilangan lelaki pembawa kekacauan itu?-------"Mas, lagi di mana?" Kuberinisiatif menelpon Mas Reza. Walau suara mulai terdengar serak. Namun, harus tetap tenang.Kalau pun mereka terbukti seperti apa yang terpikir di otak, aku harus menunjukkan bahwa dunia takkan hancur oleh sebuah kecurangan. "Di jalan," jawab lelaki pencipta gulana itu di seberang."Mau kemana? Maksudku arah mana? Zahrah juga sementara di jalan mau pulang, siapa tahu bisa ketemu, sekalian bareng belanja dapur," tanyaku menjadikan dapur alasan, padahal stok masih tersedia dua hari lagi.Sebenarnya ingin sekali bertanya. "Dengan siapa? Entah kenapa aku takut memikirkan jawabannya. Ya, Rabbi ...Setelah melihat kedekatatan dan laku mereka yang berkali-kali, kenapa aku masih takut kehilangan lelaki pembawa kekacauan itu?Benarkah cinta berlebih, merusak kesehatan jantung? Kalau tidak, kenapa jantung di balik dada ini, menghentak k
Siapa dia? Amrita saja tak pernah meluangkan waktu, apalagi memperlakukan putrinya seperti ini? Apakah ini yang disebut bidadari?-----------Ayah meninggal saat aku baru saja duduk di bangku tingkat SLTA. Sementara Dina adikku, berumur sembilan tahun.Kehilangan sosok tulang punggung itu sangat terasa di keluarga kecil kami. Meski bibir mama -Oma- tak pernah merangkai keluhan. Aku tahu beliau kesulitan keuangan. Mengandalkan pensiunan gaji bapak, tidaklah cukup untuk kebutuhan kami hidup di kota besar. Itu terbukti saat motor aku dan bapak dijual satu-satu.Sepulang sekolah, aku menyambi pekerjaan pada mandor tetangga, sebagai tukang angkut pasir jika ada pemesanan. Mungkin, dari situlah badan ini terbentuk dengan sendirinya.Oma memaksa, aku melanjutkan di bangku perkuliahan. Meski hanya modal mau dan nekat yang kami punya. Untuk menyiasati pembayaran semester, aku bekerja apa saja selain sebagai kuli angkut pasir, yang penting halal dan menghasilkan. Di bangku kuliah inilah, Ce
POV CacaIni libur kedua setelah setahun berlalu. Selain kangen dengan adik Rizal, juga acara pernikahan Om Reno -adik kedua bunda Zahrah- memaksaku pulang. Ada gelenyar entah saat menjejaki kota penuh kenangan. Rindu ini telah lama membebat, tapi ragu dan takut begitu menguasai.Maafkanlah wanita lemah ini, jika masih butuh waktu lama mengistirahatkan kelelahan."Mbak Caca ..." Teriakan Rizal menyambut saat aku turun dari kendaraan terakhir."Diantar sama bunda, kan?" ujarku menggenggam tangannya. Sengaja bertanya demikian, khawatir saja kalau Om Danar yang muncul seperti dulu. Huft ... entah kenapa dia dan kota ini tak bisa terpisahkan di pikiranku."Tu ...!" Tangan mungil Rizal menunjuk tante Raina yang melambai ke arah kami. Ada Om Angga melakukan hal sama di belakangnya. Ck! Ngapain pria tengil itu ikut?"Aku di rumah Oma nginapnya ya?!" Om Angga langsung menaikkan jari tanda setuju. Sementara adik Rizal tak henti berceloteh sambil mengunyah. Makanan anak ini sefavoritku, doyan
POV Caca"Oma harus tahu soal ini, Ca." Suara Om Angga membuatku berpaling dari suara roda empat Om Danar yang semakin mengecil.Sejak kapan lelaki ini di situ? Apa dia melihat derasnya air mataku yang seketika tumpah melihat Om Danar berlalu? Huf .... Di balik kata ikhlas itu, selalu saja ada genangan yang menyelingnya."Belum saatnya, Om. Kalau waktu dan tempat memungkinkan, aku akan cerita, kok," ujarku memohon pengertian. Dari ekspresi Om Angga yang serius, aku yakin dia mengetahui jelas persoalanku. Berarti sejak tadi dia mengawasi di situ. Tak salah lagi."Bagaimana jika Oma tahu dari orang lain yang pasti cerita akan mengalami penambahan dan kekurangan?" desaknya mengikutiku."Aku belum siap bercerita sekarang, Om," kataku menunjuk bagasi mobil. Oma selalu membawa aneka macam oleh-oleh bila datang. Yang bisa dimakan satu kamar.Lalu dengan cekatan aku menurunkan lima kantong plastik berukuran besar, Isinya sudah bisa ditebak, makanan dan minuman ringan. "Sebelum terlambat me
POV CacaGegas aku menarik lengan Oma ke kamar, khawatir sekali rasanya jika persoalan ini sampai di telinga beliau.Andai pernikahan dadakan itu tak berperkara, kupastikan akan menceritakan ke Oma penuh rasa bangga, lalu meminta restu, kemudian memproklamirkan dengan mengadakan pesta meriah, mengundang sanak saudara, teman, tetangga, anak yatim, de el el. Ini? Sepertinya hayalanku melewati langit ke tujuh. Untung saat kembali, masih ingat jalan pulang. Bagai memukul air, tapi terpercik di muka sendiri. Itulah penggambaran diri sekarang. Jadi, dengan menghayal aku membereskan masalah. Huft .... Semoga otakku masih stay di posisinya. "Kapan datang, Hauroh?" sapa Tasnim yang sedang memegang sapu. Itu resiko sebagai anak pengelola pondok."Baru saja, Nim. Oh, ya, Oma datang. Kamu temani dulu ya, Say," ujarku mengedipkan mata. Tasnim yang sudah biasa melihat ekspresi begitu, mengangguk dan mempersilakan Oma. Mereka sudah akrab, karena seringnya bertemu saat Oma menjenguk."Caca mau min
POV CacaMeski telah menguatkan hati, tetap saja denyut jantung berdetak lebih, sesampai di rumah Om Danar. Perkiraanku orang-orang semalam masih stand by menunggu tuk memberi hukuman, tapi .... sepertinya aman, tak ada alas kaki yang berjejer. Aku celingak-celinguk kanan-kiri memastikan, pun memasang telinga untuk mendengar suara dari dalam. Alhamdulillah, benar-benar sepi seperti biasa. "Terima kasih Ya, Allah." Tak sadar tangan mengusap dada, merasa aman dari perkiraan sebelumnya.Aku meletakkan bokong di kursi teras saat Om Danar melewati pintu. Ini pilihan paling tepat menurutku, karena lelaki yang masih bergelar suamiku itu telah berubah 180 derajat. Jangankan meminta masuk dengan wajah penuh harap seperti biasa, mengajak bicara saja dia seperti enggan. Huft, walau tahu hubungan kini sangat rentan, yang bak telur di ujung tombak, tak memungkiri dalam hati yang terdalam aku menginginkan keajaiban. Salahkah aku masih mengharap setitik hujan di tengah kemarau? Salahkah diri me
POV CacaAku bolak-balik bak setrikaan mendengar suara ribut di luar. Berbagai reaksi dan tanggapan menjurus ke aku, dan tentu saja celaan lebih banyak. Itu baru satu kalimat Mimi Bianca, belum dua, tiga, empat ... Huft, beginilah jika melakukan dosa. Selain mendapat azab, hati juga tak tenang.Maka sangat benar yang disampaikan para alim ulama. "Hindari maksiat, karena itu perbuatan yang merugikan diri sendiri. Sesungguhnya Allah tak pernah menghukum hambanya, selain dari perbuatan dosa hamba itu sendiri."Ah, manusia memang terkadang dzolim pada diri sendiri. Namun, ajaibnya selalu merasa lurus dan memaksa benar dengan memakai logika tak berdasar. Aku rasa pernah di posisi itu saat belum belajar agama. Aku memutuskan keluar dan bergabung. Entah mau melakukan klarifikasi, pembelaan, atau berdebat dengan Mimi Bianca, aku juga tak tahu mau ngapain. Yang pasti tak harus sembunyi seperti kucing dibawa kolam meja setelah mencuri ikan kan? Apa, sih, yang kupikir, sepertinya keruwetan mas
POV CacaAku berlari ke sana-ke mari mencari jilbab yang dilepas Om Danar. Perasaan diletakkan tak jauh darinya. Kenapa nggak ada? Inilah efek panik yang mengakibatkan otak tidak fokus."Om simpan di mana jilbabku?" kataku menarik lengan Om Danar untuk membantu. "Tu!" tunjuknya tanpa merasa bersalah. Dia kemudian melangkah ke pintu seusai aku memakai kerudung dan cadar."Bapak menunggu di luar. Apa yang kau lakukan Danna, tidak bisakah kau menunggu sampai selesai semua prosesi .... Arght! Aku tak tahu apa yang kau pikirkan sekarang." Selepas berucap, Bu Maya membalik badan ke arah ruang tamu. Sementara aku yang bisanya berlindung di balik punggung Om Danar, merasakan ujung dan kaki seakan kompak dingin.Dalam keadaan nyata-nyata benar saja, semua orang pasti akan merasakan panik sepertiku jika di posisi seperti digerebek. Apalagi kami yang hanya menikah tanpa persaksian orang banyak. Tunggu! Sepertinya Om Danar tak ngaruh. Dia malah menyugar rambut lalu memperbaiki gulungan bajunya.
POV Caca"Apa Bibik lihat ponselku?" teriakku memeriksa meja kerja Om Danar. Mulai lelaki itu mengambilnya di mobil, sampai sekarang belum terlihat. Tidak mungkin kan dia membawa benda pipih itu akad nikah? Kurang kerjaan banget kalau sampai itu terjadi.Karena tak ada jawaban, aku mencari tiap laci. Siapa tahu Om Danar menaruhnya di sana. Tanganku berhenti bergerak saat menemukan foto lama tapi masih terawat. Ada Om Danar dan Bunda Zahrah di antara teman-teman lainnya yang berpakaian putih abu-abu. 'Sekuat apa kita berusaha, jodoh tidak bisa diubah.' Tulisan di balik gambar membuat mataku berkabut tiba-tiba. Sedih karena mengingat Bunda, sekaligus kalimat itu sukses menyentil perjalanan jodoh yang sedang kualami.Ya, sekuat apa ingin lepas dari Om Danar, tapi rasanya amat susah. Selain dia tak ada niat berpisah, pun hatiku lebih-lebih.Huft, apa dosa mencintai di situasi yang serbah salah? Apa salah bertahan di tengah badai yang menerjang? Ya, Rabb ... Andai waktu bisa diputar ul
POC Caca"Kita mau ke mana, Om?" tanyaku saat mobil melaju. Lelaki matang itu bergeming, mimiknya tak mampu kumaknai. Arhgt, siapa lagi yang memberi informasi aku di sini. Atau jangan-jangan Om Angga? Ck! Adik Bunda Zahrah itu memang sudah berhenti menganggu ketenanganku, malah mengirim pengganggu yang kuperkirakan akan lebih panjang ceritanya. "Jangan bawa Caca ke pesta itu, Om," mohonku menangkupkan kedua tangan di depan dada ketika menyadari arah mobil benar-benar menuju ke sana. Apa yang harus kulakukan Ya, Rabb?"Bukannya Caca tak mau berjuang, Om. Tapi ...." kataku terhenti melihat seorang wanita cantik turun dari mobil yang sebelumnya memepet dan membunyikan klakson panjang tanda menyuruh berhenti. Ibu Maya! Refleks aku membungkukkan badan dengan niat bersembunyi seperti yang kulakukan tadi ketika melihat Om Danar di dalam tanda. Huft, kurasa akan sia-sia lagi."Cepetan turun, Om." Tak seharusnya aku mengintruksi, sudah jelas dia lebih dewasa dariku, ditambah statusnya sebag
POV Caca"Ayo anterin aku cepat, Om," kataku lebih membungkukkan badan saat dengan ekor mata melihat lelaki yang jadi pusat perhatian itu menuju ke mari. "Kalau Om Angga gak mau cepat, Caca bakalan nggak mau bicara Om seumur hidup," ancamku tidak serius, tapi dengan nada yang ditekan.Lelaki humoris itu gegas masuk mobil dan segera menyalakan mesin.Kami memang terhitung sangat akrab dulu, bahkan sampai sekarang dia tidak berubah, cuman aku yang ambil jarak sejak masuk pondok. "Maaf, Mas. Nanti saya kembali," pamit Om Angga sebelum melajukan mobil. Mas adalah panggilan Om Angga ke Om Danar jika di luar kampus, karena memang terhitung kerabat dekat, tentu beda jika berada dalam lingkup akademik. Aku rasa seperti itu yang terjadi mengingat tante Raina melakukan sama. "Kok kayaknya kamu takut sama Om Danar? Padahal dia baik loh, baik banget malah."Aku memilih memperbaiki cadar akibat aksi sembunyi tadi, sekaligus pura-pura tak mendengar uraian Om Angga. Kadang dia kalau bercerita lup