Sepertinya bukan Caca dan Oma saja yang dibuat terlena sekarang, diri ini pun mulai mabuk dengan pesona akhlaknya. ---------Ada yang menghangat di dada melihat kedekatan Caca dengan wanita berpakain longgar itu. Meski banyak waktu yang telah terbuang sia-sia tanpa bersama putri kecilku, aku tahu dia tidak gampang dekat dengan seseorang, kecuali Oma. Sekarang? Mereka seperti anak dan ibu kandung saja. Tak memungkiri. Di sudut hati, ada harap merayap, andai itu adalah Amrita. Ah, kenapa mesti mengingat dia lagi!"Gimana dengan Zahrah, Reza?" Di sela sarapan, Oma menyebut lagi, lagi, dan lagi nama salah satu wanita untuk kunikahi."Itu, loh. Guru ngaji Caca, yang dipanggilnya Bunda," lanjut beliau saat aku menautkan alis. Oh, jadi namanya Zahrah? Cantik sekali! Secantik orangnya. Nilaiku dalam hati. "Mau kalau Bunda, jadi mama Caca?" Oma bertanya pada gadis kecil di sampingku. "Maksudnya ...? Bunda akan tinggal di sini selamanya? Tanpa pergi-pergi? Tanpa pulang-balik?" Caca memperj
Setelah seharian berdiri menyalami tamu, tibalah saatnya meluruskan badan. Kami sengaja tak mengadakan acara malam, selain karena ribet, juga terlalu banyak memorsir tenaga. "Istrimu mana?" tanya Oma ketika aku pulang dari masjid shalat Isya.Mata beliau berkilau menatapku dari atas ke bawa, lalu senyumnya mengembang lebar. Kuyakin rasa bahagia melihat perubahan putranya. Apa tadi Oma bilang? Istri? Alangkah indah kata itu. Aku mengangkat kedua tangan tanda tidak tahu, kemudian kaki kembali menuju peraduan. Sejak acara selesai, netra ini tak pernah menangkap sosok gadis yang mendampingiku seharian di pelaminan. Mungkin bersama Caca, sedari tadi mereka seakan seperti prangko. Ada yang berdenyut saat memasuki ruang pribadiku. Dekorasi yang cantik dengan tempat tidur dipenuhi bunga. Mungkinkah akan seharum bunga berwarna-warni itu rasa ini berbalas? "Suami istri memang harus ke kamar, Zahrah? Apa kata kerabat yang masih ada sekarang kalau kamu tidur di kamar Caca? Pokoknya kamu harus
Ibu dari anak kandungku ini benar-benar bermetamorfosis sesuai keadaan jaman. Dimana jabatan, harta, dan ambisi menyatu dalam kekuasaan yang melenakan. Dan mengalah, sesuatu yang tabu dijalankan. ---------"Aku benar-benar ingin rujuk sama kamu, Mas! Itulah alasan aku memilih kantor ini bekerja," ucap Amrita menatapku lurus sesaat ia letakkan bokong di kursi depan mejaku.Setelah berfikir sejenak, aku mengalihkan pandangan dari laptop. Mungkin inilah waktunya berbicara empat mata setelah berkali-kali ia meminta waktu. Rasa enggan mengulik masa lalu, membuatku mengabaikan pesan, telpon ataupun ucapan langsung jika bertemu. Apalagi sekarang hubungan rumah tanggaku hampir dikata nyaris sempurna. Aku tahu Zahrah lagi hamil. Entah alasan apa yang membuatnya tak mengabariku. Dia pikir aku tak tahu? Bahkan jumlah tahi lalat di kulitnya aku ingat. Apalagi perubahan pada tubuhnya. Ah, mengingat wanita penyempurna hidup itu, selalu memicu jantung bagai berolah raga. "Sebenarnya aku bisa memil
Tak ada kebetulan di dunia ini. Memang Caca bukan putri kandungku, tapi hati kami terikat. begitu kuat. Andai ayahnya seperti itu juga. Mungkin, nestapa ini tak perlu ada. -----Tak tahu mesti melakukan apa. Lelaki yang dari dulu lebih suka menyimpan masalah sendiri ini, sekedar memintaku memberi kesempatan, tanpa penjelasan. Seakan tak ingin berbagi beban.Mungkinkah memang ia tak pernah menganggapku ada?"Baiklah kalau itu keinginan, Mas?" ucapku kecewa.Sejujurnya pengin banget mendengar uneg-unegnya. Apalagi ini menyangkut mantan istri, otomatis ada sangkut paut dengan rumah tangga ini.Karena melihat kekeh, tak ingin berbagi cerita, ditambah sorot mata teduh itu menyimpan kecemasan. Apa salahnya memberi kesempatan.Benarkah pria yang tiga kali gagal dalam rumah tangga itu nggak tahu sama sekali. Jikalau kejujuran sekecil apapun, sangat membantu terjaganya pondasi ikatan pernikahan?Apalagi masalah yang terkait dengan masa lalu. Setidaknya, aku dapat memaklumi atau mengantisipasi
Sempurnalah sakit dalam tubuh, hingga bumi seakan berhenti berputar pada rotasinya.Sementara masih menunggu reda gejolak perut yang seakan ingin mengeluarkan semua isinya, bersamaan itu juga nada panggilan yang kustel khusus Mas Reza terus berdering.Mengingat tadi dan kejadian-kejadian sebelumnya, seperti memicu untuk muntah. Keringat mulai bercucuran, ujung tangan, dan kaki dingin, sementara jemari kecil Caca memijit leher belakanku. "Kita terus ke rumah sakit aja, ya, Bund?" Caca mulai menangis. Ini pertama kali melihatku seperti sekarang. Kedua tangan menyandar pada sisi wastafel, lantas gemetar jemari menon-aktifkan benda pipih tersebut."Kita kerumah loundry aja, ya, Sayang?"Meminta pendapat Caca setelah agak mendingan, putri kecil itu mengangguk. Pun ikut tersenyum setelah kulakukan hal sama.Taksi menjadi pilihan, tak mungkin menyetir dalam keadaan seperti ini. Yang kupikir sekarang adalah tempat membaringkan tubuh dari kelelahan teramat panjang."Nak Reza, tadi datang menca
Tak ada jawaba, juga reaksi, dia hanya mengangguk pelan. Ada guncangan kecil dan tarikan nafas panjang yang terdengar lirih di telingaku. ---------"Kalau kamu pengin benar-benar merawat Caca, berilah contoh yang baik. Setidak batasi pergaulan dan pakailah pakaian tertutup. Karena anak akan mencontoh apa-apa yang dilakukan orang tua. Aku tak mau menyesal suatu hari nanti, menyerahkan Caca kepadamu." Sambil mengemas barang-barang di atas meja, aku berujar pada Amrita. Wanita yang pernah memenuhi hatiku terlihat mengangguk kecil. Entah itu tulus apa tidak, hati ini berharap ia menyelami kata-kataku. Melihat kondisi rumah tanggaku yang diguncang dengan persoalan sama, aku memilih untuk resign. Karena melihat kinerjaku selama ini, atasan meminta pindah di kantor cabang saja. Aku memilih tak menolak, di tempat baru itu, tak intens bertemu lagi Rita seperti sekarang. Bukan karena tak sayang pada kantor ini. Ada hal yang lebih penting kita sayangi selain dari pekerjaan, yakni keluarga.D
Ya, Rabb .... Andai boleh memaksa, biarkan bidadari kecil kami di sini saja tanpa harus ke mana-mana. Meski dia tidak terlahir dari rahimku, dia bagai putri kandungku Sungguh perpisahan ini begitu menyesak di dada. --------Jangan menangis, Sayang. Nanti Caca melihat kita dan bisa-bisa melemahkan lagi niat yang susah payah kita membujuknya," bisik Mas Reza. Meski lelaki pekerja keras itu terlihat tegar, suaranya yang terdengar parau menunjukkan ia hanya berusaha kuat saja. Lelaki memang selalu ingin tampak kuat, meski kenyatannya mereka sering menangis di tempat yang tak terlihat seorangpun. Ibarat tali, anak itu pengikat aku dan Mas Reza. Andai bukan karena Caca, mungkin pernikahan tak normal ini akan selamanya begitu, atau bisa saja terlerai sebelum sempat diperbaiki, dibangun, apalagi dikembangkan. Betapa berat nia hati ini melepaskan Caca. Alangkah tak biasanya nanti rumah jika dia telah pergi. Alangkah sunyinya nanti rumah bila dia tak lagi di sini. Alangkah kosongnya nanti ..
Pov Danar"Akhirnya, lu, nikah juga, Brow!""Kita-kita udah pada punya anak, lu, baru nikah.""Ntar, lu, bawah anakmu, malah orang kira, itu cucu lu."Begitulah teman-teman membully saat kuceritakan tentang rencana pernikahanku dekat-dekat ini. Marah? Tentu saja tidak. Duda berumur sepertiku sudah terbiasa ejekan seperti itu."Sory, Brow. Ada telpon calon mertua," ujarku sumringah, lalu menjauh dari ruangan kantor. Getaran dari benda pipih di saku celanaku, meyakinkan kalau panggilan itu, berhubungan soal penyempurnaan rencana pernikahan. "Maafkan ibu, Nak. Ibu tak kuasa saat Dahlia berkata tidak bisa melanjutkan pernikahan kalian."Deght, kalimat calon ibu mertuaku di seberang telpon, tanpa diawali ba, bi, bu, seperti bom hiroshima yang meluluh lantakkan pemukiman di hatiku."Apa hanya alasan belum siap, Dahlia membatalkan rencana pernikahan ini, Bu?" tanyaku pelan, berusaha tenang walau hancur luluh lantak di dalam dada. Marah, kaget, kecewa, dan sedih, membuat tulangku seakan m
POV CacaIni libur kedua setelah setahun berlalu. Selain kangen dengan adik Rizal, juga acara pernikahan Om Reno -adik kedua bunda Zahrah- memaksaku pulang. Ada gelenyar entah saat menjejaki kota penuh kenangan. Rindu ini telah lama membebat, tapi ragu dan takut begitu menguasai.Maafkanlah wanita lemah ini, jika masih butuh waktu lama mengistirahatkan kelelahan."Mbak Caca ..." Teriakan Rizal menyambut saat aku turun dari kendaraan terakhir."Diantar sama bunda, kan?" ujarku menggenggam tangannya. Sengaja bertanya demikian, khawatir saja kalau Om Danar yang muncul seperti dulu. Huft ... entah kenapa dia dan kota ini tak bisa terpisahkan di pikiranku."Tu ...!" Tangan mungil Rizal menunjuk tante Raina yang melambai ke arah kami. Ada Om Angga melakukan hal sama di belakangnya. Ck! Ngapain pria tengil itu ikut?"Aku di rumah Oma nginapnya ya?!" Om Angga langsung menaikkan jari tanda setuju. Sementara adik Rizal tak henti berceloteh sambil mengunyah. Makanan anak ini sefavoritku, doyan
POV Caca"Oma harus tahu soal ini, Ca." Suara Om Angga membuatku berpaling dari suara roda empat Om Danar yang semakin mengecil.Sejak kapan lelaki ini di situ? Apa dia melihat derasnya air mataku yang seketika tumpah melihat Om Danar berlalu? Huf .... Di balik kata ikhlas itu, selalu saja ada genangan yang menyelingnya."Belum saatnya, Om. Kalau waktu dan tempat memungkinkan, aku akan cerita, kok," ujarku memohon pengertian. Dari ekspresi Om Angga yang serius, aku yakin dia mengetahui jelas persoalanku. Berarti sejak tadi dia mengawasi di situ. Tak salah lagi."Bagaimana jika Oma tahu dari orang lain yang pasti cerita akan mengalami penambahan dan kekurangan?" desaknya mengikutiku."Aku belum siap bercerita sekarang, Om," kataku menunjuk bagasi mobil. Oma selalu membawa aneka macam oleh-oleh bila datang. Yang bisa dimakan satu kamar.Lalu dengan cekatan aku menurunkan lima kantong plastik berukuran besar, Isinya sudah bisa ditebak, makanan dan minuman ringan. "Sebelum terlambat me
POV CacaGegas aku menarik lengan Oma ke kamar, khawatir sekali rasanya jika persoalan ini sampai di telinga beliau.Andai pernikahan dadakan itu tak berperkara, kupastikan akan menceritakan ke Oma penuh rasa bangga, lalu meminta restu, kemudian memproklamirkan dengan mengadakan pesta meriah, mengundang sanak saudara, teman, tetangga, anak yatim, de el el. Ini? Sepertinya hayalanku melewati langit ke tujuh. Untung saat kembali, masih ingat jalan pulang. Bagai memukul air, tapi terpercik di muka sendiri. Itulah penggambaran diri sekarang. Jadi, dengan menghayal aku membereskan masalah. Huft .... Semoga otakku masih stay di posisinya. "Kapan datang, Hauroh?" sapa Tasnim yang sedang memegang sapu. Itu resiko sebagai anak pengelola pondok."Baru saja, Nim. Oh, ya, Oma datang. Kamu temani dulu ya, Say," ujarku mengedipkan mata. Tasnim yang sudah biasa melihat ekspresi begitu, mengangguk dan mempersilakan Oma. Mereka sudah akrab, karena seringnya bertemu saat Oma menjenguk."Caca mau min
POV CacaMeski telah menguatkan hati, tetap saja denyut jantung berdetak lebih, sesampai di rumah Om Danar. Perkiraanku orang-orang semalam masih stand by menunggu tuk memberi hukuman, tapi .... sepertinya aman, tak ada alas kaki yang berjejer. Aku celingak-celinguk kanan-kiri memastikan, pun memasang telinga untuk mendengar suara dari dalam. Alhamdulillah, benar-benar sepi seperti biasa. "Terima kasih Ya, Allah." Tak sadar tangan mengusap dada, merasa aman dari perkiraan sebelumnya.Aku meletakkan bokong di kursi teras saat Om Danar melewati pintu. Ini pilihan paling tepat menurutku, karena lelaki yang masih bergelar suamiku itu telah berubah 180 derajat. Jangankan meminta masuk dengan wajah penuh harap seperti biasa, mengajak bicara saja dia seperti enggan. Huft, walau tahu hubungan kini sangat rentan, yang bak telur di ujung tombak, tak memungkiri dalam hati yang terdalam aku menginginkan keajaiban. Salahkah aku masih mengharap setitik hujan di tengah kemarau? Salahkah diri me
POV CacaAku bolak-balik bak setrikaan mendengar suara ribut di luar. Berbagai reaksi dan tanggapan menjurus ke aku, dan tentu saja celaan lebih banyak. Itu baru satu kalimat Mimi Bianca, belum dua, tiga, empat ... Huft, beginilah jika melakukan dosa. Selain mendapat azab, hati juga tak tenang.Maka sangat benar yang disampaikan para alim ulama. "Hindari maksiat, karena itu perbuatan yang merugikan diri sendiri. Sesungguhnya Allah tak pernah menghukum hambanya, selain dari perbuatan dosa hamba itu sendiri."Ah, manusia memang terkadang dzolim pada diri sendiri. Namun, ajaibnya selalu merasa lurus dan memaksa benar dengan memakai logika tak berdasar. Aku rasa pernah di posisi itu saat belum belajar agama. Aku memutuskan keluar dan bergabung. Entah mau melakukan klarifikasi, pembelaan, atau berdebat dengan Mimi Bianca, aku juga tak tahu mau ngapain. Yang pasti tak harus sembunyi seperti kucing dibawa kolam meja setelah mencuri ikan kan? Apa, sih, yang kupikir, sepertinya keruwetan mas
POV CacaAku berlari ke sana-ke mari mencari jilbab yang dilepas Om Danar. Perasaan diletakkan tak jauh darinya. Kenapa nggak ada? Inilah efek panik yang mengakibatkan otak tidak fokus."Om simpan di mana jilbabku?" kataku menarik lengan Om Danar untuk membantu. "Tu!" tunjuknya tanpa merasa bersalah. Dia kemudian melangkah ke pintu seusai aku memakai kerudung dan cadar."Bapak menunggu di luar. Apa yang kau lakukan Danna, tidak bisakah kau menunggu sampai selesai semua prosesi .... Arght! Aku tak tahu apa yang kau pikirkan sekarang." Selepas berucap, Bu Maya membalik badan ke arah ruang tamu. Sementara aku yang bisanya berlindung di balik punggung Om Danar, merasakan ujung dan kaki seakan kompak dingin.Dalam keadaan nyata-nyata benar saja, semua orang pasti akan merasakan panik sepertiku jika di posisi seperti digerebek. Apalagi kami yang hanya menikah tanpa persaksian orang banyak. Tunggu! Sepertinya Om Danar tak ngaruh. Dia malah menyugar rambut lalu memperbaiki gulungan bajunya.
POV Caca"Apa Bibik lihat ponselku?" teriakku memeriksa meja kerja Om Danar. Mulai lelaki itu mengambilnya di mobil, sampai sekarang belum terlihat. Tidak mungkin kan dia membawa benda pipih itu akad nikah? Kurang kerjaan banget kalau sampai itu terjadi.Karena tak ada jawaban, aku mencari tiap laci. Siapa tahu Om Danar menaruhnya di sana. Tanganku berhenti bergerak saat menemukan foto lama tapi masih terawat. Ada Om Danar dan Bunda Zahrah di antara teman-teman lainnya yang berpakaian putih abu-abu. 'Sekuat apa kita berusaha, jodoh tidak bisa diubah.' Tulisan di balik gambar membuat mataku berkabut tiba-tiba. Sedih karena mengingat Bunda, sekaligus kalimat itu sukses menyentil perjalanan jodoh yang sedang kualami.Ya, sekuat apa ingin lepas dari Om Danar, tapi rasanya amat susah. Selain dia tak ada niat berpisah, pun hatiku lebih-lebih.Huft, apa dosa mencintai di situasi yang serbah salah? Apa salah bertahan di tengah badai yang menerjang? Ya, Rabb ... Andai waktu bisa diputar ul
POC Caca"Kita mau ke mana, Om?" tanyaku saat mobil melaju. Lelaki matang itu bergeming, mimiknya tak mampu kumaknai. Arhgt, siapa lagi yang memberi informasi aku di sini. Atau jangan-jangan Om Angga? Ck! Adik Bunda Zahrah itu memang sudah berhenti menganggu ketenanganku, malah mengirim pengganggu yang kuperkirakan akan lebih panjang ceritanya. "Jangan bawa Caca ke pesta itu, Om," mohonku menangkupkan kedua tangan di depan dada ketika menyadari arah mobil benar-benar menuju ke sana. Apa yang harus kulakukan Ya, Rabb?"Bukannya Caca tak mau berjuang, Om. Tapi ...." kataku terhenti melihat seorang wanita cantik turun dari mobil yang sebelumnya memepet dan membunyikan klakson panjang tanda menyuruh berhenti. Ibu Maya! Refleks aku membungkukkan badan dengan niat bersembunyi seperti yang kulakukan tadi ketika melihat Om Danar di dalam tanda. Huft, kurasa akan sia-sia lagi."Cepetan turun, Om." Tak seharusnya aku mengintruksi, sudah jelas dia lebih dewasa dariku, ditambah statusnya sebag
POV Caca"Ayo anterin aku cepat, Om," kataku lebih membungkukkan badan saat dengan ekor mata melihat lelaki yang jadi pusat perhatian itu menuju ke mari. "Kalau Om Angga gak mau cepat, Caca bakalan nggak mau bicara Om seumur hidup," ancamku tidak serius, tapi dengan nada yang ditekan.Lelaki humoris itu gegas masuk mobil dan segera menyalakan mesin.Kami memang terhitung sangat akrab dulu, bahkan sampai sekarang dia tidak berubah, cuman aku yang ambil jarak sejak masuk pondok. "Maaf, Mas. Nanti saya kembali," pamit Om Angga sebelum melajukan mobil. Mas adalah panggilan Om Angga ke Om Danar jika di luar kampus, karena memang terhitung kerabat dekat, tentu beda jika berada dalam lingkup akademik. Aku rasa seperti itu yang terjadi mengingat tante Raina melakukan sama. "Kok kayaknya kamu takut sama Om Danar? Padahal dia baik loh, baik banget malah."Aku memilih memperbaiki cadar akibat aksi sembunyi tadi, sekaligus pura-pura tak mendengar uraian Om Angga. Kadang dia kalau bercerita lup