Ya, Rabb .... Andai boleh memaksa, biarkan bidadari kecil kami di sini saja tanpa harus ke mana-mana. Meski dia tidak terlahir dari rahimku, dia bagai putri kandungku Sungguh perpisahan ini begitu menyesak di dada. --------Jangan menangis, Sayang. Nanti Caca melihat kita dan bisa-bisa melemahkan lagi niat yang susah payah kita membujuknya," bisik Mas Reza. Meski lelaki pekerja keras itu terlihat tegar, suaranya yang terdengar parau menunjukkan ia hanya berusaha kuat saja. Lelaki memang selalu ingin tampak kuat, meski kenyatannya mereka sering menangis di tempat yang tak terlihat seorangpun. Ibarat tali, anak itu pengikat aku dan Mas Reza. Andai bukan karena Caca, mungkin pernikahan tak normal ini akan selamanya begitu, atau bisa saja terlerai sebelum sempat diperbaiki, dibangun, apalagi dikembangkan. Betapa berat nia hati ini melepaskan Caca. Alangkah tak biasanya nanti rumah jika dia telah pergi. Alangkah sunyinya nanti rumah bila dia tak lagi di sini. Alangkah kosongnya nanti ..
Pov Danar"Akhirnya, lu, nikah juga, Brow!""Kita-kita udah pada punya anak, lu, baru nikah.""Ntar, lu, bawah anakmu, malah orang kira, itu cucu lu."Begitulah teman-teman membully saat kuceritakan tentang rencana pernikahanku dekat-dekat ini. Marah? Tentu saja tidak. Duda berumur sepertiku sudah terbiasa ejekan seperti itu."Sory, Brow. Ada telpon calon mertua," ujarku sumringah, lalu menjauh dari ruangan kantor. Getaran dari benda pipih di saku celanaku, meyakinkan kalau panggilan itu, berhubungan soal penyempurnaan rencana pernikahan. "Maafkan ibu, Nak. Ibu tak kuasa saat Dahlia berkata tidak bisa melanjutkan pernikahan kalian."Deght, kalimat calon ibu mertuaku di seberang telpon, tanpa diawali ba, bi, bu, seperti bom hiroshima yang meluluh lantakkan pemukiman di hatiku."Apa hanya alasan belum siap, Dahlia membatalkan rencana pernikahan ini, Bu?" tanyaku pelan, berusaha tenang walau hancur luluh lantak di dalam dada. Marah, kaget, kecewa, dan sedih, membuat tulangku seakan m
POV Danar"Berdoa, Nanda. Jadikan shalat dan sabar sebagai penolongmu. Sudah ketentuan Allah bahwa semua yang bernyawa pasti mati. Pada hakikatnya, kita semua menunggu giliran," ujar perempuan bercadar yang kuperkirakan agak berumur sambil menarik wanita yang baru saja kunikahi dari tubuh jasad terbujur ke dalam pelukannya."Doakan ibumu, Sayang. Ada tiga amalan yang tak putus dari orang meninggal. Ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan doa anak sholeh sholehah." Nasehat wanita itu kian membuat tergugu gadis yang baru saja ditinggal oleh ibunya. Aku larut dalam kesedihan, kulihat Pak Surya berkali-kali menghapus air matanya. Entah apa hubungan mereka.Setelah menunggu sebentar dari pihak rumah sakit dan Pak Surya berbincang dengan salah satu lelaki tadi, keluarga diperbolehkan membawa pulang jenazah.Suara mobil ambulance nyaring menggema membelah jalanan, menyadarkan jiwa-jiwa yang sibuk dengan dunia bahwa kematian itulah yang dituju. Tiga wanita bercadar tadi ikut mobil jenazah. S
POV Danar"Om nggak punya rumah?" Pertanyaan gadis ini membuatku menggaruk kepala yang tak gatal, sekaligus memacu aliran darah yang tiba-tiba melesat."Mau ke rumah, Om?" tanyaku hati-hati setelah berpikir. Okey, aku mengikuti panggilan om-nya, nanti kita lihat semudah apa dirinya dan setua apa diriku.Dari segi umur kuakui memang sudah banyak, 36 tahun 7 bulan. Namun, dari sisi wajah dan penampilan yang melihat tak akan percaya kalau angka itu disebut.Barangkali karena wajahku baby face, atau ...? Yang jelas itu Rahmat dari Allah."Terserah, Om, gimana baiknya. Asal jangan di rumah mama untuk saat ini," jawabnya memandang kosong, tapi tetap naik ke jok depan setelah kubukakan pintu.Lima belas menit berlalu hanya hening yang tercipta. Aku pun bingung memulai dari mana percakapan, mungkin saking banyaknya pertanyaan yang mendesak di kepala hingga tak tahu memilah mana duluan. "Tolong tulis nomor Pak Surya di sini," ujarku memecah kesunyian sambil tangan menyodorkan HP ke arahnya.G
POV CacaSalsabilah Putri, dipanggil Caca, itulah namaku. Anak dari Reza Hardian, seorang lelaki keturunan rakyat biasa yang memiliki perangai lembut, pekerja keras, dan sayang keluarga.Amrita Kusumah Wijayah, ibu yang melahirkanku. Salah satu cucu pemilik perusahaan terbesar di negara ini. Nominal harta bendanya tak akan habis tujuh turunan. Apa aku bahagia menjadi bagian dari keluarga konglomerat itu? Entahlah ... Tidak mudah terlahir dari ayah dan mamah yang bercerai, apalagi di saat proses pertumbuhan. Aku seperti hidup di dua dunia. Dunia mama Rita serta dunia ayah dan bunda Zahrah. Ke duanya benar di mataku ketika itu.Semua dimulai saat aku dibujuk ayah dan bunda Zahrah ikut mama Rita untuk mengajariku tentang bakti kepada ke dua orang tua."Caca mau seperti anak yang punya ibu gila? Atau seperti Alqomah?" kata bunda Zahrah pada saat itu setelah menceritakan kisah teladan. Ah, Ayah, Bunda, mengingatmu takkan pernah cukup waktu tuk mengenangmu. Biar sungai Musi diubah jadi t
POV CACADengan alasan masih lemah dan kejiwaan, dokter baru mengijinkan keluar setelah kejadian mencekam itu. Aku duduk di antara dua pusara, lidah terasa keluh dan tenggorokan tak mampu lagi mengeluarkan suara. Hanya sedu yang bisa kulakukan.Andai aku tahu kecelakaan akan terjadi subuh itu, tak perlu menghubungi ayah tuk menjemput.Lihatlah! Kebodohanku membuat ke dua malaikat itu pergi, bahkan jasad terakhirnya pun tak sempat aku saksikan. "Kenapa bukan nyawa orang laknat aku saja diambil, Wahai Tuhan ...?""Ayo kita pulang, Sayang." Oma menyentuh pundakku. Wanita di atas setengah abad itu jauh lebih tegar daripada aku."Kamu sudah hampir sejam di sini, Ca. Adik Rizal kepanasan menunggu di mobil." Oma membujuk dengan menyebut nama adikku. Ah, kenapa bisa lupa dengan adik semata wayang itu? Andai dia tidak bersama tante Reina subuh tragis, mungkin bersanding juga dengan pekuburan ayah bunda di sana.Ya, Tuhan ... Apakah ini ujian? Atau siksa? Sebelum aku meninggalkan pusara ayah
POV CACATiga jam melewati jalanan yang diapit persawahan sampailah kami di sebuah kaki bukit. Nampak bangunan dikelilingi pagar berdindin batu semen setinggi dua meter.Sekilas tak ada perubahan kondisi pesantren yang pernah kuhuni hampir empat bulan. Asri, tenang, damai, dengan penghuni yang ramah.Aku dan Oma menuju gerbang pondok, sedangkan Om Angga -adik ketiga bunda Zahrah-menunggu di mobil. Kami hanya bertiga, masih banyak keluarga dan kerabat yang datang bela sungkawa membuat yang lain tak bisa mengantar. Sepuluh meter melewati pos penjagaan terlihatlah keramaian para santri, kebetulan bertepatan waktu libur pekanan. Mereka semua memakai pakaian longggar dengan jilbab panjang menutup pinggul, tak sedikit juga yang memakai kain penutup wajah. Ah, andai aku tak terbujuk keinginan mamah Rita untuk menetap bersamanya di luar negeri. Mungkin aku tak akan pernah melepas pakaian itu, bahkan tak perlu membawa beban dosa dan sesal tiada berujung. Kami disambut dua wanita berpakaian s
POV CACAAku masih sempat melihat mamah mengusap mata dengan punggung tangannya sebelum benar-benar hilang di balik gerbang ponpes. "Bagaimana perasaanmu, Hauroh?" Ustazah Irfa memecah kesunyian setelah membiarkan aku terpekur sendiri, sementara Tasnim dan ustaz Hanafi tak terlihat lagi. Tak tahu menjawab apa, pandangan kosong ke depan. Di sisi batin yang kulakukan ini salah, sementara sisi lainnya mengatakan benar. Ah, apakah perasaan dulu mulai tergugah? "Apabila yang kita lakukan itu benar, maka hati akan puas. Namun, jika salah, rasa hampalah yang mendominasi. Itulah jiwa-jiwa yang hatinya condong kebenaran." Ustazah Irfa ikut duduk melantai di sisiku."Seorang ibu tak akan pernah berdosa pada anaknya, melainkan pada Allah. Beda dengan seorang anak, dia akan berdosa pada orang tuanya dan tak akan mendapat ridho Allah sebelum meraih ridho orang tua. Memang tidak ada ketaatan pada orang tua jika melanggar syariat, tapi tetap harus berbuat baik kepadanya.""Apa yang mesti kulakuka