POV Danar"Om nggak punya rumah?" Pertanyaan gadis ini membuatku menggaruk kepala yang tak gatal, sekaligus memacu aliran darah yang tiba-tiba melesat."Mau ke rumah, Om?" tanyaku hati-hati setelah berpikir. Okey, aku mengikuti panggilan om-nya, nanti kita lihat semudah apa dirinya dan setua apa diriku.Dari segi umur kuakui memang sudah banyak, 36 tahun 7 bulan. Namun, dari sisi wajah dan penampilan yang melihat tak akan percaya kalau angka itu disebut.Barangkali karena wajahku baby face, atau ...? Yang jelas itu Rahmat dari Allah."Terserah, Om, gimana baiknya. Asal jangan di rumah mama untuk saat ini," jawabnya memandang kosong, tapi tetap naik ke jok depan setelah kubukakan pintu.Lima belas menit berlalu hanya hening yang tercipta. Aku pun bingung memulai dari mana percakapan, mungkin saking banyaknya pertanyaan yang mendesak di kepala hingga tak tahu memilah mana duluan. "Tolong tulis nomor Pak Surya di sini," ujarku memecah kesunyian sambil tangan menyodorkan HP ke arahnya.G
POV CacaSalsabilah Putri, dipanggil Caca, itulah namaku. Anak dari Reza Hardian, seorang lelaki keturunan rakyat biasa yang memiliki perangai lembut, pekerja keras, dan sayang keluarga.Amrita Kusumah Wijayah, ibu yang melahirkanku. Salah satu cucu pemilik perusahaan terbesar di negara ini. Nominal harta bendanya tak akan habis tujuh turunan. Apa aku bahagia menjadi bagian dari keluarga konglomerat itu? Entahlah ... Tidak mudah terlahir dari ayah dan mamah yang bercerai, apalagi di saat proses pertumbuhan. Aku seperti hidup di dua dunia. Dunia mama Rita serta dunia ayah dan bunda Zahrah. Ke duanya benar di mataku ketika itu.Semua dimulai saat aku dibujuk ayah dan bunda Zahrah ikut mama Rita untuk mengajariku tentang bakti kepada ke dua orang tua."Caca mau seperti anak yang punya ibu gila? Atau seperti Alqomah?" kata bunda Zahrah pada saat itu setelah menceritakan kisah teladan. Ah, Ayah, Bunda, mengingatmu takkan pernah cukup waktu tuk mengenangmu. Biar sungai Musi diubah jadi t
POV CACADengan alasan masih lemah dan kejiwaan, dokter baru mengijinkan keluar setelah kejadian mencekam itu. Aku duduk di antara dua pusara, lidah terasa keluh dan tenggorokan tak mampu lagi mengeluarkan suara. Hanya sedu yang bisa kulakukan.Andai aku tahu kecelakaan akan terjadi subuh itu, tak perlu menghubungi ayah tuk menjemput.Lihatlah! Kebodohanku membuat ke dua malaikat itu pergi, bahkan jasad terakhirnya pun tak sempat aku saksikan. "Kenapa bukan nyawa orang laknat aku saja diambil, Wahai Tuhan ...?""Ayo kita pulang, Sayang." Oma menyentuh pundakku. Wanita di atas setengah abad itu jauh lebih tegar daripada aku."Kamu sudah hampir sejam di sini, Ca. Adik Rizal kepanasan menunggu di mobil." Oma membujuk dengan menyebut nama adikku. Ah, kenapa bisa lupa dengan adik semata wayang itu? Andai dia tidak bersama tante Reina subuh tragis, mungkin bersanding juga dengan pekuburan ayah bunda di sana.Ya, Tuhan ... Apakah ini ujian? Atau siksa? Sebelum aku meninggalkan pusara ayah
POV CACATiga jam melewati jalanan yang diapit persawahan sampailah kami di sebuah kaki bukit. Nampak bangunan dikelilingi pagar berdindin batu semen setinggi dua meter.Sekilas tak ada perubahan kondisi pesantren yang pernah kuhuni hampir empat bulan. Asri, tenang, damai, dengan penghuni yang ramah.Aku dan Oma menuju gerbang pondok, sedangkan Om Angga -adik ketiga bunda Zahrah-menunggu di mobil. Kami hanya bertiga, masih banyak keluarga dan kerabat yang datang bela sungkawa membuat yang lain tak bisa mengantar. Sepuluh meter melewati pos penjagaan terlihatlah keramaian para santri, kebetulan bertepatan waktu libur pekanan. Mereka semua memakai pakaian longggar dengan jilbab panjang menutup pinggul, tak sedikit juga yang memakai kain penutup wajah. Ah, andai aku tak terbujuk keinginan mamah Rita untuk menetap bersamanya di luar negeri. Mungkin aku tak akan pernah melepas pakaian itu, bahkan tak perlu membawa beban dosa dan sesal tiada berujung. Kami disambut dua wanita berpakaian s
POV CACAAku masih sempat melihat mamah mengusap mata dengan punggung tangannya sebelum benar-benar hilang di balik gerbang ponpes. "Bagaimana perasaanmu, Hauroh?" Ustazah Irfa memecah kesunyian setelah membiarkan aku terpekur sendiri, sementara Tasnim dan ustaz Hanafi tak terlihat lagi. Tak tahu menjawab apa, pandangan kosong ke depan. Di sisi batin yang kulakukan ini salah, sementara sisi lainnya mengatakan benar. Ah, apakah perasaan dulu mulai tergugah? "Apabila yang kita lakukan itu benar, maka hati akan puas. Namun, jika salah, rasa hampalah yang mendominasi. Itulah jiwa-jiwa yang hatinya condong kebenaran." Ustazah Irfa ikut duduk melantai di sisiku."Seorang ibu tak akan pernah berdosa pada anaknya, melainkan pada Allah. Beda dengan seorang anak, dia akan berdosa pada orang tuanya dan tak akan mendapat ridho Allah sebelum meraih ridho orang tua. Memang tidak ada ketaatan pada orang tua jika melanggar syariat, tapi tetap harus berbuat baik kepadanya.""Apa yang mesti kulakuka
POV CacaMamah tak bergerak lagi sesaat akad baru saja disahkan. Senyum samar di bibirnya seakan menunjukkan dia pergi dengan bahagia. "Terima kasih, Om, telah membantuku mewujudkan keinginan mamah," lirihku dalam hati. Semua berjalan cepat, insiden mimi-pipi saat proses pengurusan jenazah mamah membuatku kian sadar telah mengorbankan hidup seseorang yang tak ada sangkut pautnya denganku. Apa yang telah kulakukan Ya Rabbi ....? Belum usai penyesalanku atas semua kepergian orang-orang yang kukasihi, kini tanpa sadar aku melibatkan lelaki yang seharusnya kuhormati. Teriakan dan dorongan kuat mimi Bianca membuatku tersungkur di depan tiga pusara, Ayah, bunda Zahrah, dan mamah Rita. Tak ada yang ingin kulakukan atas perlakuan itu. Sedari awal mereka tak menyukaiku, andai bukan mamah sudah lama aku dicoret dari daftar keluarga konglomerat mereka. Ketika bangun dan memperbaiki cadar yang terlepas, Om Danar muncul entah darimana saat mimi Bianca melanjutkan aksinya, dia memang adik bungs
POV CacaAku kian terisak mendengar kalimat Om Danar, tak kupedulikan lagi cadar telah kuyup dengan lelehan mata, pun cairan dari hidung, padahal sedari tadi sudah pakai tisu."Berapa umurmu?" Om Danar terlihat menautkan alis disertai tatapan intimidasi. Kedua tanganya masih diletakkan di atas stir meski mobil telah terparkir di depan pondok, sepertinya dia sangat marah.Aku hanya mampu menggeleng menyadari kekeliruan fatal, sekaligus takut menjawab jujur. Huft, bagaimana bisa mengungkap kebenaran tentang semua jati diri dan kebobrokan masa laluku nantinya, kalau berkata jujur hal sepele saja sekarang tak mampu kulakukan. Hiks ..."Tidak tahu usia sendiri?" tanya Om Danar sambil mengeluarkan tisu di tempat penyimpanan barang di depan dudukku, mungkin menyadari tisu yang terletak di dashboard telah habis kupakai.Meski tampak murka, lelaki dewasa itu masih peduli situasi."D-delapan b-belas tahun kurang tiga bulan, Om." Akhirnya aku bisa juga menjawab meski gagap, tapi tak berani sama
POV DanarAku meninggalkan zona dag dig dug saat mendengar ketukan, Pak Surya berdiri di depan pintu utama dengan menenteng ransel, entah dari mana beliau tahu alamat rumahku.Setelah mempersilakan masuk dan duduk, lelaki berpakaian rapi itu mencegah saat aku hendak memanggil Hauroh."Aku mewakili ibu Rita atas semua yang terjadi. Beliau hanya menginginkan putrinya aman sebelum pergi." Pak Surya menatapku bersalah."Anda berhak tak ingin melanjutkan pernikahan ini, kami sangat mengerti posisi Mas Danar." Aku mengernyit mencerna kalimat lelaki umur jelang setengah abad itu."Selain yang Mas lihat tadi di rumah duka, Hauroh masih berstatus anak sekolah, besok simulasi pra ujian nasional," Lanjut Pak Surya sebelum aku berkata apa-apa, lantas memperlihatkan nama dan alamat sebuah pondok pesantren di ponselnya."Sebelum terlambat, Mas Danar bisa berhenti. Toh, ibu Rita sudah tak ada, kuyakin Hauroh juga pasti mendukung," urai Pak Surya lagi sambil menepuk pundakku yang masih belum bisa ber