POV Danar"Kenapa, Brow? Kaget lihat anak yang dulu imut kini lebih besar dari tante-tantenya? Atau heran melihat penampilannya yang drastis?" Tio menepuk pundakku yang masih terpaku, entah bagaimana harus menjawab, sedangkan suasana hatiku sekarang kacau balau.Menilik dari perkembangan tubuh, wajar anak itu tumbuh cepat, barangkali dari turunan sang ayah. Begitu juga cara berpakaiannya, aku rasa ada andil besar Zahrah di sana.Panggilan om bocah itu tak kupersoakan lagi, selain karena mengenalku, memang itu kebiasaannya sejak kecil dulu saat bertemu.Yang jadi penambah permasalahan sekarang adalah mengapa aku yang dipilih mamahya untuk menikahi putrinya? Dan kenapa anak itu mau? Ada hal apa di balik kejadian ini? Huft, memikirkan semua itu membuatku migren, ditambah belum menemukan langkah tepat menjelaskan ke bapak tentang Dahlia. Bisa-bisa aku ke poli syaraf kalau begini terus."Pesta nikahan kamu dapat dimajuin, kok, sebelum undangan diedar. Rembukkan saja bersama kedua belah p
POV Danar"Kapan kalian menikah?" tanya Mbak Maya setelah jeda lama. Wanita sosialita itu terlihat memperbaiki duduk dan menambah kecepatan AC mobil.Suatu kewajaran jika kakakku itu paling tertekan, semenjak ibu tiada Mbak Maya menggantikan peran beliau. Bapak, aku, dan Mbak Mita senantiasa melalui pertimbangan dia jika berurusan keluarga, salah satunya acara pernikahan pertamaku dulu. Begitupun saat kami kesulitan keuangan misalnya, dia selalu tampil sebagai."Dua hari lalu setelah menerima pembatalan pernikahan ibu Dahlia lewat telpon," jawabku memohon pengertian, adiknya ini tak akan mengambil langkah besar bila tak ada alasan kuat.Arhgt, mengingat isi telpon ibu Romlah pagi itu masih ada kecamuk yang menyisakan banyak sesal."Darimana asal? Pendidikan? Keluarga? Dan di mana kamu menikah?" berondong tanya Mbak Maya. Walau dia berusaha menguasai amarah, tapi netranya tak bisa menyembunyikan penyesalan."Dia ..." jawabku terjeda, berfikir untuk merangkai kalimat tepat, aku ingin me
POV CacaSebelum menunjuk Om Danar sebagai pendamping aku memang telah memprediksi hal ini akan terjadi, bahkan mempersiapkan langkah selanjutnya. Entah kenapa setelah menghadapi kenyataan rasanya teramat berat, hatiku telah menghianati rencana awal.Mungkinkah diri telah melampau batas? Sudah berlebihan kah asa ini dari tujuan semula? Ataukah aku seperti pepatah, diberi hati minta jantung?"Aku sebenarnya berharap kamu mundur dari pernikahan dadakan kalian? Toh, buat apa bertahan kalau hanya bersembunyi? Apa bedanya kucing yang mengambil makanan dengan cara mencuri?" Aku tak langsung menyanggah ucapan wanita yang bernama Mbak Dahlia, ini kedua kalinya dia datang membahas soal pernikahannya dengan Om Danar setelah kemarin bersama Bu Maya."Untung Mbak Maya saja yang paham soal kalian, aku tak bisa bayangkan jika bapak Mas Danar sampai tahu, mungkin akan stop jantung." Refleks aku mengangkat wajah mencari kebenaran di balik ucapan wanita berpakain dinas itu, dia duduk dengan elegan sa
POV Caca"Besok aku ingin ke rumah Mamah," kataku masih tergugu, lantas memasang jarak. Entah ini keputusan tepat atau bukan, tak mungkin di sini sampai hari H Om Danar dengan Mbak Dahlia. Membayangkan saja hatiku sangat sakit, apalagi melihat langsung nantinya. Om Danar menatapku entah, lalu menggeleng perlahan. "Dari awal pernikahan kita salah, Om. Akulah yang bertanggung jawab semua ini," tekanku lagi mencari kelonggaaran dari situasi yang seakan melilit.Dada serasa tercekik, membuat pernafasan menyempit. Lelah, sungguh sangat lelah. Jika yang dikatakan Mbak Dahlia tentang bapak Om Danar, maka aku tak punya harapan sama sekali. Sudah tak punya tempat di hati mereka, ditambah ada janin yang butuh orang tua utuh. Mana aku tega membuat janin tak berdosa itu tak punya ayah sebelum lahir. Andai tak ingat bergunungnya aib di masa laluku, mungkin akan menyalahkan Om Danar tentang kehamilan Mbak Dahlia yang seakan ingin berlepas tangan. Arght, apa nilai plusku ingin menjudge keburuka
POV Caca“Itu mimi Bianca, Bi,” kataku panik setelah mendengar jelas suara adik bungsu mamah Rita yang sedang mengintruksi sopirnya. Aku memang sempat dekat dengan semua saudara mamah sewaktu tinggal di luar tanah air, selayak ponakan dan tante pada umumnya. Tapi itu dulu sebelum peristiwa penolakanku pada lelaki bule yang melamar mamah. Dengar-dengar setiap mereka punya hunian dalam negeri selain di negeri modeling itu, tapi tak tahu posisi pasnya daerah mana. Arght, kenapa bisa bersamaan begini? Padahal ini tempat pelarian sementara yang teraman kupikir untuk menghindari acara pernikahan Om Danar.“Mau ke mana, Non?” tanya bibi saat melihatku tergesa ke arah pintu belakang.“Mau lari lah, Bi. Aku belum mau mati muda,” ucapku dengan keringat dingin, mengingat mimi Bianca orangnya nekatan.“Non Caca masuk di kamar bibi saja dulu, khawatir saat keluar nanti malah terlihat.” Tanpa berfikir lama aku menyusup ke bilik bibi seiring suara mimi Bianca semakin mendekat.“Sepatuku di luar, B
POV Caca"Ayo anterin aku cepat, Om," kataku lebih membungkukkan badan saat dengan ekor mata melihat lelaki yang jadi pusat perhatian itu menuju ke mari. "Kalau Om Angga gak mau cepat, Caca bakalan nggak mau bicara Om seumur hidup," ancamku tidak serius, tapi dengan nada yang ditekan.Lelaki humoris itu gegas masuk mobil dan segera menyalakan mesin.Kami memang terhitung sangat akrab dulu, bahkan sampai sekarang dia tidak berubah, cuman aku yang ambil jarak sejak masuk pondok. "Maaf, Mas. Nanti saya kembali," pamit Om Angga sebelum melajukan mobil. Mas adalah panggilan Om Angga ke Om Danar jika di luar kampus, karena memang terhitung kerabat dekat, tentu beda jika berada dalam lingkup akademik. Aku rasa seperti itu yang terjadi mengingat tante Raina melakukan sama. "Kok kayaknya kamu takut sama Om Danar? Padahal dia baik loh, baik banget malah."Aku memilih memperbaiki cadar akibat aksi sembunyi tadi, sekaligus pura-pura tak mendengar uraian Om Angga. Kadang dia kalau bercerita lup
POC Caca"Kita mau ke mana, Om?" tanyaku saat mobil melaju. Lelaki matang itu bergeming, mimiknya tak mampu kumaknai. Arhgt, siapa lagi yang memberi informasi aku di sini. Atau jangan-jangan Om Angga? Ck! Adik Bunda Zahrah itu memang sudah berhenti menganggu ketenanganku, malah mengirim pengganggu yang kuperkirakan akan lebih panjang ceritanya. "Jangan bawa Caca ke pesta itu, Om," mohonku menangkupkan kedua tangan di depan dada ketika menyadari arah mobil benar-benar menuju ke sana. Apa yang harus kulakukan Ya, Rabb?"Bukannya Caca tak mau berjuang, Om. Tapi ...." kataku terhenti melihat seorang wanita cantik turun dari mobil yang sebelumnya memepet dan membunyikan klakson panjang tanda menyuruh berhenti. Ibu Maya! Refleks aku membungkukkan badan dengan niat bersembunyi seperti yang kulakukan tadi ketika melihat Om Danar di dalam tanda. Huft, kurasa akan sia-sia lagi."Cepetan turun, Om." Tak seharusnya aku mengintruksi, sudah jelas dia lebih dewasa dariku, ditambah statusnya sebag
POV Caca"Apa Bibik lihat ponselku?" teriakku memeriksa meja kerja Om Danar. Mulai lelaki itu mengambilnya di mobil, sampai sekarang belum terlihat. Tidak mungkin kan dia membawa benda pipih itu akad nikah? Kurang kerjaan banget kalau sampai itu terjadi.Karena tak ada jawaban, aku mencari tiap laci. Siapa tahu Om Danar menaruhnya di sana. Tanganku berhenti bergerak saat menemukan foto lama tapi masih terawat. Ada Om Danar dan Bunda Zahrah di antara teman-teman lainnya yang berpakaian putih abu-abu. 'Sekuat apa kita berusaha, jodoh tidak bisa diubah.' Tulisan di balik gambar membuat mataku berkabut tiba-tiba. Sedih karena mengingat Bunda, sekaligus kalimat itu sukses menyentil perjalanan jodoh yang sedang kualami.Ya, sekuat apa ingin lepas dari Om Danar, tapi rasanya amat susah. Selain dia tak ada niat berpisah, pun hatiku lebih-lebih.Huft, apa dosa mencintai di situasi yang serbah salah? Apa salah bertahan di tengah badai yang menerjang? Ya, Rabb ... Andai waktu bisa diputar ul