POV Caca“Itu mimi Bianca, Bi,” kataku panik setelah mendengar jelas suara adik bungsu mamah Rita yang sedang mengintruksi sopirnya. Aku memang sempat dekat dengan semua saudara mamah sewaktu tinggal di luar tanah air, selayak ponakan dan tante pada umumnya. Tapi itu dulu sebelum peristiwa penolakanku pada lelaki bule yang melamar mamah. Dengar-dengar setiap mereka punya hunian dalam negeri selain di negeri modeling itu, tapi tak tahu posisi pasnya daerah mana. Arght, kenapa bisa bersamaan begini? Padahal ini tempat pelarian sementara yang teraman kupikir untuk menghindari acara pernikahan Om Danar.“Mau ke mana, Non?” tanya bibi saat melihatku tergesa ke arah pintu belakang.“Mau lari lah, Bi. Aku belum mau mati muda,” ucapku dengan keringat dingin, mengingat mimi Bianca orangnya nekatan.“Non Caca masuk di kamar bibi saja dulu, khawatir saat keluar nanti malah terlihat.” Tanpa berfikir lama aku menyusup ke bilik bibi seiring suara mimi Bianca semakin mendekat.“Sepatuku di luar, B
POV Caca"Ayo anterin aku cepat, Om," kataku lebih membungkukkan badan saat dengan ekor mata melihat lelaki yang jadi pusat perhatian itu menuju ke mari. "Kalau Om Angga gak mau cepat, Caca bakalan nggak mau bicara Om seumur hidup," ancamku tidak serius, tapi dengan nada yang ditekan.Lelaki humoris itu gegas masuk mobil dan segera menyalakan mesin.Kami memang terhitung sangat akrab dulu, bahkan sampai sekarang dia tidak berubah, cuman aku yang ambil jarak sejak masuk pondok. "Maaf, Mas. Nanti saya kembali," pamit Om Angga sebelum melajukan mobil. Mas adalah panggilan Om Angga ke Om Danar jika di luar kampus, karena memang terhitung kerabat dekat, tentu beda jika berada dalam lingkup akademik. Aku rasa seperti itu yang terjadi mengingat tante Raina melakukan sama. "Kok kayaknya kamu takut sama Om Danar? Padahal dia baik loh, baik banget malah."Aku memilih memperbaiki cadar akibat aksi sembunyi tadi, sekaligus pura-pura tak mendengar uraian Om Angga. Kadang dia kalau bercerita lup
POC Caca"Kita mau ke mana, Om?" tanyaku saat mobil melaju. Lelaki matang itu bergeming, mimiknya tak mampu kumaknai. Arhgt, siapa lagi yang memberi informasi aku di sini. Atau jangan-jangan Om Angga? Ck! Adik Bunda Zahrah itu memang sudah berhenti menganggu ketenanganku, malah mengirim pengganggu yang kuperkirakan akan lebih panjang ceritanya. "Jangan bawa Caca ke pesta itu, Om," mohonku menangkupkan kedua tangan di depan dada ketika menyadari arah mobil benar-benar menuju ke sana. Apa yang harus kulakukan Ya, Rabb?"Bukannya Caca tak mau berjuang, Om. Tapi ...." kataku terhenti melihat seorang wanita cantik turun dari mobil yang sebelumnya memepet dan membunyikan klakson panjang tanda menyuruh berhenti. Ibu Maya! Refleks aku membungkukkan badan dengan niat bersembunyi seperti yang kulakukan tadi ketika melihat Om Danar di dalam tanda. Huft, kurasa akan sia-sia lagi."Cepetan turun, Om." Tak seharusnya aku mengintruksi, sudah jelas dia lebih dewasa dariku, ditambah statusnya sebag
POV Caca"Apa Bibik lihat ponselku?" teriakku memeriksa meja kerja Om Danar. Mulai lelaki itu mengambilnya di mobil, sampai sekarang belum terlihat. Tidak mungkin kan dia membawa benda pipih itu akad nikah? Kurang kerjaan banget kalau sampai itu terjadi.Karena tak ada jawaban, aku mencari tiap laci. Siapa tahu Om Danar menaruhnya di sana. Tanganku berhenti bergerak saat menemukan foto lama tapi masih terawat. Ada Om Danar dan Bunda Zahrah di antara teman-teman lainnya yang berpakaian putih abu-abu. 'Sekuat apa kita berusaha, jodoh tidak bisa diubah.' Tulisan di balik gambar membuat mataku berkabut tiba-tiba. Sedih karena mengingat Bunda, sekaligus kalimat itu sukses menyentil perjalanan jodoh yang sedang kualami.Ya, sekuat apa ingin lepas dari Om Danar, tapi rasanya amat susah. Selain dia tak ada niat berpisah, pun hatiku lebih-lebih.Huft, apa dosa mencintai di situasi yang serbah salah? Apa salah bertahan di tengah badai yang menerjang? Ya, Rabb ... Andai waktu bisa diputar ul
POV CacaAku berlari ke sana-ke mari mencari jilbab yang dilepas Om Danar. Perasaan diletakkan tak jauh darinya. Kenapa nggak ada? Inilah efek panik yang mengakibatkan otak tidak fokus."Om simpan di mana jilbabku?" kataku menarik lengan Om Danar untuk membantu. "Tu!" tunjuknya tanpa merasa bersalah. Dia kemudian melangkah ke pintu seusai aku memakai kerudung dan cadar."Bapak menunggu di luar. Apa yang kau lakukan Danna, tidak bisakah kau menunggu sampai selesai semua prosesi .... Arght! Aku tak tahu apa yang kau pikirkan sekarang." Selepas berucap, Bu Maya membalik badan ke arah ruang tamu. Sementara aku yang bisanya berlindung di balik punggung Om Danar, merasakan ujung dan kaki seakan kompak dingin.Dalam keadaan nyata-nyata benar saja, semua orang pasti akan merasakan panik sepertiku jika di posisi seperti digerebek. Apalagi kami yang hanya menikah tanpa persaksian orang banyak. Tunggu! Sepertinya Om Danar tak ngaruh. Dia malah menyugar rambut lalu memperbaiki gulungan bajunya.
POV CacaAku bolak-balik bak setrikaan mendengar suara ribut di luar. Berbagai reaksi dan tanggapan menjurus ke aku, dan tentu saja celaan lebih banyak. Itu baru satu kalimat Mimi Bianca, belum dua, tiga, empat ... Huft, beginilah jika melakukan dosa. Selain mendapat azab, hati juga tak tenang.Maka sangat benar yang disampaikan para alim ulama. "Hindari maksiat, karena itu perbuatan yang merugikan diri sendiri. Sesungguhnya Allah tak pernah menghukum hambanya, selain dari perbuatan dosa hamba itu sendiri."Ah, manusia memang terkadang dzolim pada diri sendiri. Namun, ajaibnya selalu merasa lurus dan memaksa benar dengan memakai logika tak berdasar. Aku rasa pernah di posisi itu saat belum belajar agama. Aku memutuskan keluar dan bergabung. Entah mau melakukan klarifikasi, pembelaan, atau berdebat dengan Mimi Bianca, aku juga tak tahu mau ngapain. Yang pasti tak harus sembunyi seperti kucing dibawa kolam meja setelah mencuri ikan kan? Apa, sih, yang kupikir, sepertinya keruwetan mas
POV CacaMeski telah menguatkan hati, tetap saja denyut jantung berdetak lebih, sesampai di rumah Om Danar. Perkiraanku orang-orang semalam masih stand by menunggu tuk memberi hukuman, tapi .... sepertinya aman, tak ada alas kaki yang berjejer. Aku celingak-celinguk kanan-kiri memastikan, pun memasang telinga untuk mendengar suara dari dalam. Alhamdulillah, benar-benar sepi seperti biasa. "Terima kasih Ya, Allah." Tak sadar tangan mengusap dada, merasa aman dari perkiraan sebelumnya.Aku meletakkan bokong di kursi teras saat Om Danar melewati pintu. Ini pilihan paling tepat menurutku, karena lelaki yang masih bergelar suamiku itu telah berubah 180 derajat. Jangankan meminta masuk dengan wajah penuh harap seperti biasa, mengajak bicara saja dia seperti enggan. Huft, walau tahu hubungan kini sangat rentan, yang bak telur di ujung tombak, tak memungkiri dalam hati yang terdalam aku menginginkan keajaiban. Salahkah aku masih mengharap setitik hujan di tengah kemarau? Salahkah diri me
POV CacaGegas aku menarik lengan Oma ke kamar, khawatir sekali rasanya jika persoalan ini sampai di telinga beliau.Andai pernikahan dadakan itu tak berperkara, kupastikan akan menceritakan ke Oma penuh rasa bangga, lalu meminta restu, kemudian memproklamirkan dengan mengadakan pesta meriah, mengundang sanak saudara, teman, tetangga, anak yatim, de el el. Ini? Sepertinya hayalanku melewati langit ke tujuh. Untung saat kembali, masih ingat jalan pulang. Bagai memukul air, tapi terpercik di muka sendiri. Itulah penggambaran diri sekarang. Jadi, dengan menghayal aku membereskan masalah. Huft .... Semoga otakku masih stay di posisinya. "Kapan datang, Hauroh?" sapa Tasnim yang sedang memegang sapu. Itu resiko sebagai anak pengelola pondok."Baru saja, Nim. Oh, ya, Oma datang. Kamu temani dulu ya, Say," ujarku mengedipkan mata. Tasnim yang sudah biasa melihat ekspresi begitu, mengangguk dan mempersilakan Oma. Mereka sudah akrab, karena seringnya bertemu saat Oma menjenguk."Caca mau min