POV CACATiga jam melewati jalanan yang diapit persawahan sampailah kami di sebuah kaki bukit. Nampak bangunan dikelilingi pagar berdindin batu semen setinggi dua meter.Sekilas tak ada perubahan kondisi pesantren yang pernah kuhuni hampir empat bulan. Asri, tenang, damai, dengan penghuni yang ramah.Aku dan Oma menuju gerbang pondok, sedangkan Om Angga -adik ketiga bunda Zahrah-menunggu di mobil. Kami hanya bertiga, masih banyak keluarga dan kerabat yang datang bela sungkawa membuat yang lain tak bisa mengantar. Sepuluh meter melewati pos penjagaan terlihatlah keramaian para santri, kebetulan bertepatan waktu libur pekanan. Mereka semua memakai pakaian longggar dengan jilbab panjang menutup pinggul, tak sedikit juga yang memakai kain penutup wajah. Ah, andai aku tak terbujuk keinginan mamah Rita untuk menetap bersamanya di luar negeri. Mungkin aku tak akan pernah melepas pakaian itu, bahkan tak perlu membawa beban dosa dan sesal tiada berujung. Kami disambut dua wanita berpakaian s
POV CACAAku masih sempat melihat mamah mengusap mata dengan punggung tangannya sebelum benar-benar hilang di balik gerbang ponpes. "Bagaimana perasaanmu, Hauroh?" Ustazah Irfa memecah kesunyian setelah membiarkan aku terpekur sendiri, sementara Tasnim dan ustaz Hanafi tak terlihat lagi. Tak tahu menjawab apa, pandangan kosong ke depan. Di sisi batin yang kulakukan ini salah, sementara sisi lainnya mengatakan benar. Ah, apakah perasaan dulu mulai tergugah? "Apabila yang kita lakukan itu benar, maka hati akan puas. Namun, jika salah, rasa hampalah yang mendominasi. Itulah jiwa-jiwa yang hatinya condong kebenaran." Ustazah Irfa ikut duduk melantai di sisiku."Seorang ibu tak akan pernah berdosa pada anaknya, melainkan pada Allah. Beda dengan seorang anak, dia akan berdosa pada orang tuanya dan tak akan mendapat ridho Allah sebelum meraih ridho orang tua. Memang tidak ada ketaatan pada orang tua jika melanggar syariat, tapi tetap harus berbuat baik kepadanya.""Apa yang mesti kulakuka
POV CacaMamah tak bergerak lagi sesaat akad baru saja disahkan. Senyum samar di bibirnya seakan menunjukkan dia pergi dengan bahagia. "Terima kasih, Om, telah membantuku mewujudkan keinginan mamah," lirihku dalam hati. Semua berjalan cepat, insiden mimi-pipi saat proses pengurusan jenazah mamah membuatku kian sadar telah mengorbankan hidup seseorang yang tak ada sangkut pautnya denganku. Apa yang telah kulakukan Ya Rabbi ....? Belum usai penyesalanku atas semua kepergian orang-orang yang kukasihi, kini tanpa sadar aku melibatkan lelaki yang seharusnya kuhormati. Teriakan dan dorongan kuat mimi Bianca membuatku tersungkur di depan tiga pusara, Ayah, bunda Zahrah, dan mamah Rita. Tak ada yang ingin kulakukan atas perlakuan itu. Sedari awal mereka tak menyukaiku, andai bukan mamah sudah lama aku dicoret dari daftar keluarga konglomerat mereka. Ketika bangun dan memperbaiki cadar yang terlepas, Om Danar muncul entah darimana saat mimi Bianca melanjutkan aksinya, dia memang adik bungs
POV CacaAku kian terisak mendengar kalimat Om Danar, tak kupedulikan lagi cadar telah kuyup dengan lelehan mata, pun cairan dari hidung, padahal sedari tadi sudah pakai tisu."Berapa umurmu?" Om Danar terlihat menautkan alis disertai tatapan intimidasi. Kedua tanganya masih diletakkan di atas stir meski mobil telah terparkir di depan pondok, sepertinya dia sangat marah.Aku hanya mampu menggeleng menyadari kekeliruan fatal, sekaligus takut menjawab jujur. Huft, bagaimana bisa mengungkap kebenaran tentang semua jati diri dan kebobrokan masa laluku nantinya, kalau berkata jujur hal sepele saja sekarang tak mampu kulakukan. Hiks ..."Tidak tahu usia sendiri?" tanya Om Danar sambil mengeluarkan tisu di tempat penyimpanan barang di depan dudukku, mungkin menyadari tisu yang terletak di dashboard telah habis kupakai.Meski tampak murka, lelaki dewasa itu masih peduli situasi."D-delapan b-belas tahun kurang tiga bulan, Om." Akhirnya aku bisa juga menjawab meski gagap, tapi tak berani sama
POV DanarAku meninggalkan zona dag dig dug saat mendengar ketukan, Pak Surya berdiri di depan pintu utama dengan menenteng ransel, entah dari mana beliau tahu alamat rumahku.Setelah mempersilakan masuk dan duduk, lelaki berpakaian rapi itu mencegah saat aku hendak memanggil Hauroh."Aku mewakili ibu Rita atas semua yang terjadi. Beliau hanya menginginkan putrinya aman sebelum pergi." Pak Surya menatapku bersalah."Anda berhak tak ingin melanjutkan pernikahan ini, kami sangat mengerti posisi Mas Danar." Aku mengernyit mencerna kalimat lelaki umur jelang setengah abad itu."Selain yang Mas lihat tadi di rumah duka, Hauroh masih berstatus anak sekolah, besok simulasi pra ujian nasional," Lanjut Pak Surya sebelum aku berkata apa-apa, lantas memperlihatkan nama dan alamat sebuah pondok pesantren di ponselnya."Sebelum terlambat, Mas Danar bisa berhenti. Toh, ibu Rita sudah tak ada, kuyakin Hauroh juga pasti mendukung," urai Pak Surya lagi sambil menepuk pundakku yang masih belum bisa ber
POV Danar"Kenapa, Brow? Kaget lihat anak yang dulu imut kini lebih besar dari tante-tantenya? Atau heran melihat penampilannya yang drastis?" Tio menepuk pundakku yang masih terpaku, entah bagaimana harus menjawab, sedangkan suasana hatiku sekarang kacau balau.Menilik dari perkembangan tubuh, wajar anak itu tumbuh cepat, barangkali dari turunan sang ayah. Begitu juga cara berpakaiannya, aku rasa ada andil besar Zahrah di sana.Panggilan om bocah itu tak kupersoakan lagi, selain karena mengenalku, memang itu kebiasaannya sejak kecil dulu saat bertemu.Yang jadi penambah permasalahan sekarang adalah mengapa aku yang dipilih mamahya untuk menikahi putrinya? Dan kenapa anak itu mau? Ada hal apa di balik kejadian ini? Huft, memikirkan semua itu membuatku migren, ditambah belum menemukan langkah tepat menjelaskan ke bapak tentang Dahlia. Bisa-bisa aku ke poli syaraf kalau begini terus."Pesta nikahan kamu dapat dimajuin, kok, sebelum undangan diedar. Rembukkan saja bersama kedua belah p
POV Danar"Kapan kalian menikah?" tanya Mbak Maya setelah jeda lama. Wanita sosialita itu terlihat memperbaiki duduk dan menambah kecepatan AC mobil.Suatu kewajaran jika kakakku itu paling tertekan, semenjak ibu tiada Mbak Maya menggantikan peran beliau. Bapak, aku, dan Mbak Mita senantiasa melalui pertimbangan dia jika berurusan keluarga, salah satunya acara pernikahan pertamaku dulu. Begitupun saat kami kesulitan keuangan misalnya, dia selalu tampil sebagai."Dua hari lalu setelah menerima pembatalan pernikahan ibu Dahlia lewat telpon," jawabku memohon pengertian, adiknya ini tak akan mengambil langkah besar bila tak ada alasan kuat.Arhgt, mengingat isi telpon ibu Romlah pagi itu masih ada kecamuk yang menyisakan banyak sesal."Darimana asal? Pendidikan? Keluarga? Dan di mana kamu menikah?" berondong tanya Mbak Maya. Walau dia berusaha menguasai amarah, tapi netranya tak bisa menyembunyikan penyesalan."Dia ..." jawabku terjeda, berfikir untuk merangkai kalimat tepat, aku ingin me
POV CacaSebelum menunjuk Om Danar sebagai pendamping aku memang telah memprediksi hal ini akan terjadi, bahkan mempersiapkan langkah selanjutnya. Entah kenapa setelah menghadapi kenyataan rasanya teramat berat, hatiku telah menghianati rencana awal.Mungkinkah diri telah melampau batas? Sudah berlebihan kah asa ini dari tujuan semula? Ataukah aku seperti pepatah, diberi hati minta jantung?"Aku sebenarnya berharap kamu mundur dari pernikahan dadakan kalian? Toh, buat apa bertahan kalau hanya bersembunyi? Apa bedanya kucing yang mengambil makanan dengan cara mencuri?" Aku tak langsung menyanggah ucapan wanita yang bernama Mbak Dahlia, ini kedua kalinya dia datang membahas soal pernikahannya dengan Om Danar setelah kemarin bersama Bu Maya."Untung Mbak Maya saja yang paham soal kalian, aku tak bisa bayangkan jika bapak Mas Danar sampai tahu, mungkin akan stop jantung." Refleks aku mengangkat wajah mencari kebenaran di balik ucapan wanita berpakain dinas itu, dia duduk dengan elegan sa