POV CacaAku kian terisak mendengar kalimat Om Danar, tak kupedulikan lagi cadar telah kuyup dengan lelehan mata, pun cairan dari hidung, padahal sedari tadi sudah pakai tisu."Berapa umurmu?" Om Danar terlihat menautkan alis disertai tatapan intimidasi. Kedua tanganya masih diletakkan di atas stir meski mobil telah terparkir di depan pondok, sepertinya dia sangat marah.Aku hanya mampu menggeleng menyadari kekeliruan fatal, sekaligus takut menjawab jujur. Huft, bagaimana bisa mengungkap kebenaran tentang semua jati diri dan kebobrokan masa laluku nantinya, kalau berkata jujur hal sepele saja sekarang tak mampu kulakukan. Hiks ..."Tidak tahu usia sendiri?" tanya Om Danar sambil mengeluarkan tisu di tempat penyimpanan barang di depan dudukku, mungkin menyadari tisu yang terletak di dashboard telah habis kupakai.Meski tampak murka, lelaki dewasa itu masih peduli situasi."D-delapan b-belas tahun kurang tiga bulan, Om." Akhirnya aku bisa juga menjawab meski gagap, tapi tak berani sama
POV DanarAku meninggalkan zona dag dig dug saat mendengar ketukan, Pak Surya berdiri di depan pintu utama dengan menenteng ransel, entah dari mana beliau tahu alamat rumahku.Setelah mempersilakan masuk dan duduk, lelaki berpakaian rapi itu mencegah saat aku hendak memanggil Hauroh."Aku mewakili ibu Rita atas semua yang terjadi. Beliau hanya menginginkan putrinya aman sebelum pergi." Pak Surya menatapku bersalah."Anda berhak tak ingin melanjutkan pernikahan ini, kami sangat mengerti posisi Mas Danar." Aku mengernyit mencerna kalimat lelaki umur jelang setengah abad itu."Selain yang Mas lihat tadi di rumah duka, Hauroh masih berstatus anak sekolah, besok simulasi pra ujian nasional," Lanjut Pak Surya sebelum aku berkata apa-apa, lantas memperlihatkan nama dan alamat sebuah pondok pesantren di ponselnya."Sebelum terlambat, Mas Danar bisa berhenti. Toh, ibu Rita sudah tak ada, kuyakin Hauroh juga pasti mendukung," urai Pak Surya lagi sambil menepuk pundakku yang masih belum bisa ber
POV Danar"Kenapa, Brow? Kaget lihat anak yang dulu imut kini lebih besar dari tante-tantenya? Atau heran melihat penampilannya yang drastis?" Tio menepuk pundakku yang masih terpaku, entah bagaimana harus menjawab, sedangkan suasana hatiku sekarang kacau balau.Menilik dari perkembangan tubuh, wajar anak itu tumbuh cepat, barangkali dari turunan sang ayah. Begitu juga cara berpakaiannya, aku rasa ada andil besar Zahrah di sana.Panggilan om bocah itu tak kupersoakan lagi, selain karena mengenalku, memang itu kebiasaannya sejak kecil dulu saat bertemu.Yang jadi penambah permasalahan sekarang adalah mengapa aku yang dipilih mamahya untuk menikahi putrinya? Dan kenapa anak itu mau? Ada hal apa di balik kejadian ini? Huft, memikirkan semua itu membuatku migren, ditambah belum menemukan langkah tepat menjelaskan ke bapak tentang Dahlia. Bisa-bisa aku ke poli syaraf kalau begini terus."Pesta nikahan kamu dapat dimajuin, kok, sebelum undangan diedar. Rembukkan saja bersama kedua belah p
POV Danar"Kapan kalian menikah?" tanya Mbak Maya setelah jeda lama. Wanita sosialita itu terlihat memperbaiki duduk dan menambah kecepatan AC mobil.Suatu kewajaran jika kakakku itu paling tertekan, semenjak ibu tiada Mbak Maya menggantikan peran beliau. Bapak, aku, dan Mbak Mita senantiasa melalui pertimbangan dia jika berurusan keluarga, salah satunya acara pernikahan pertamaku dulu. Begitupun saat kami kesulitan keuangan misalnya, dia selalu tampil sebagai."Dua hari lalu setelah menerima pembatalan pernikahan ibu Dahlia lewat telpon," jawabku memohon pengertian, adiknya ini tak akan mengambil langkah besar bila tak ada alasan kuat.Arhgt, mengingat isi telpon ibu Romlah pagi itu masih ada kecamuk yang menyisakan banyak sesal."Darimana asal? Pendidikan? Keluarga? Dan di mana kamu menikah?" berondong tanya Mbak Maya. Walau dia berusaha menguasai amarah, tapi netranya tak bisa menyembunyikan penyesalan."Dia ..." jawabku terjeda, berfikir untuk merangkai kalimat tepat, aku ingin me
POV CacaSebelum menunjuk Om Danar sebagai pendamping aku memang telah memprediksi hal ini akan terjadi, bahkan mempersiapkan langkah selanjutnya. Entah kenapa setelah menghadapi kenyataan rasanya teramat berat, hatiku telah menghianati rencana awal.Mungkinkah diri telah melampau batas? Sudah berlebihan kah asa ini dari tujuan semula? Ataukah aku seperti pepatah, diberi hati minta jantung?"Aku sebenarnya berharap kamu mundur dari pernikahan dadakan kalian? Toh, buat apa bertahan kalau hanya bersembunyi? Apa bedanya kucing yang mengambil makanan dengan cara mencuri?" Aku tak langsung menyanggah ucapan wanita yang bernama Mbak Dahlia, ini kedua kalinya dia datang membahas soal pernikahannya dengan Om Danar setelah kemarin bersama Bu Maya."Untung Mbak Maya saja yang paham soal kalian, aku tak bisa bayangkan jika bapak Mas Danar sampai tahu, mungkin akan stop jantung." Refleks aku mengangkat wajah mencari kebenaran di balik ucapan wanita berpakain dinas itu, dia duduk dengan elegan sa
POV Caca"Besok aku ingin ke rumah Mamah," kataku masih tergugu, lantas memasang jarak. Entah ini keputusan tepat atau bukan, tak mungkin di sini sampai hari H Om Danar dengan Mbak Dahlia. Membayangkan saja hatiku sangat sakit, apalagi melihat langsung nantinya. Om Danar menatapku entah, lalu menggeleng perlahan. "Dari awal pernikahan kita salah, Om. Akulah yang bertanggung jawab semua ini," tekanku lagi mencari kelonggaaran dari situasi yang seakan melilit.Dada serasa tercekik, membuat pernafasan menyempit. Lelah, sungguh sangat lelah. Jika yang dikatakan Mbak Dahlia tentang bapak Om Danar, maka aku tak punya harapan sama sekali. Sudah tak punya tempat di hati mereka, ditambah ada janin yang butuh orang tua utuh. Mana aku tega membuat janin tak berdosa itu tak punya ayah sebelum lahir. Andai tak ingat bergunungnya aib di masa laluku, mungkin akan menyalahkan Om Danar tentang kehamilan Mbak Dahlia yang seakan ingin berlepas tangan. Arght, apa nilai plusku ingin menjudge keburuka
POV Caca“Itu mimi Bianca, Bi,” kataku panik setelah mendengar jelas suara adik bungsu mamah Rita yang sedang mengintruksi sopirnya. Aku memang sempat dekat dengan semua saudara mamah sewaktu tinggal di luar tanah air, selayak ponakan dan tante pada umumnya. Tapi itu dulu sebelum peristiwa penolakanku pada lelaki bule yang melamar mamah. Dengar-dengar setiap mereka punya hunian dalam negeri selain di negeri modeling itu, tapi tak tahu posisi pasnya daerah mana. Arght, kenapa bisa bersamaan begini? Padahal ini tempat pelarian sementara yang teraman kupikir untuk menghindari acara pernikahan Om Danar.“Mau ke mana, Non?” tanya bibi saat melihatku tergesa ke arah pintu belakang.“Mau lari lah, Bi. Aku belum mau mati muda,” ucapku dengan keringat dingin, mengingat mimi Bianca orangnya nekatan.“Non Caca masuk di kamar bibi saja dulu, khawatir saat keluar nanti malah terlihat.” Tanpa berfikir lama aku menyusup ke bilik bibi seiring suara mimi Bianca semakin mendekat.“Sepatuku di luar, B
POV Caca"Ayo anterin aku cepat, Om," kataku lebih membungkukkan badan saat dengan ekor mata melihat lelaki yang jadi pusat perhatian itu menuju ke mari. "Kalau Om Angga gak mau cepat, Caca bakalan nggak mau bicara Om seumur hidup," ancamku tidak serius, tapi dengan nada yang ditekan.Lelaki humoris itu gegas masuk mobil dan segera menyalakan mesin.Kami memang terhitung sangat akrab dulu, bahkan sampai sekarang dia tidak berubah, cuman aku yang ambil jarak sejak masuk pondok. "Maaf, Mas. Nanti saya kembali," pamit Om Angga sebelum melajukan mobil. Mas adalah panggilan Om Angga ke Om Danar jika di luar kampus, karena memang terhitung kerabat dekat, tentu beda jika berada dalam lingkup akademik. Aku rasa seperti itu yang terjadi mengingat tante Raina melakukan sama. "Kok kayaknya kamu takut sama Om Danar? Padahal dia baik loh, baik banget malah."Aku memilih memperbaiki cadar akibat aksi sembunyi tadi, sekaligus pura-pura tak mendengar uraian Om Angga. Kadang dia kalau bercerita lup