Setelah melihat kedekatatan dan laku mereka yang berkali-kali. Kenapa aku masih takut kehilangan lelaki pembawa kekacauan itu?-------"Mas, lagi di mana?" Kuberinisiatif menelpon Mas Reza. Walau suara mulai terdengar serak. Namun, harus tetap tenang.Kalau pun mereka terbukti seperti apa yang terpikir di otak, aku harus menunjukkan bahwa dunia takkan hancur oleh sebuah kecurangan. "Di jalan," jawab lelaki pencipta gulana itu di seberang."Mau kemana? Maksudku arah mana? Zahrah juga sementara di jalan mau pulang, siapa tahu bisa ketemu, sekalian bareng belanja dapur," tanyaku menjadikan dapur alasan, padahal stok masih tersedia dua hari lagi.Sebenarnya ingin sekali bertanya. "Dengan siapa? Entah kenapa aku takut memikirkan jawabannya. Ya, Rabbi ...Setelah melihat kedekatatan dan laku mereka yang berkali-kali, kenapa aku masih takut kehilangan lelaki pembawa kekacauan itu?Benarkah cinta berlebih, merusak kesehatan jantung? Kalau tidak, kenapa jantung di balik dada ini, menghentak k
Siapa dia? Amrita saja tak pernah meluangkan waktu, apalagi memperlakukan putrinya seperti ini? Apakah ini yang disebut bidadari?-----------Ayah meninggal saat aku baru saja duduk di bangku tingkat SLTA. Sementara Dina adikku, berumur sembilan tahun.Kehilangan sosok tulang punggung itu sangat terasa di keluarga kecil kami. Meski bibir mama -Oma- tak pernah merangkai keluhan. Aku tahu beliau kesulitan keuangan. Mengandalkan pensiunan gaji bapak, tidaklah cukup untuk kebutuhan kami hidup di kota besar. Itu terbukti saat motor aku dan bapak dijual satu-satu.Sepulang sekolah, aku menyambi pekerjaan pada mandor tetangga, sebagai tukang angkut pasir jika ada pemesanan. Mungkin, dari situlah badan ini terbentuk dengan sendirinya.Oma memaksa, aku melanjutkan di bangku perkuliahan. Meski hanya modal mau dan nekat yang kami punya. Untuk menyiasati pembayaran semester, aku bekerja apa saja selain sebagai kuli angkut pasir, yang penting halal dan menghasilkan. Di bangku kuliah inilah, Ce
Sepertinya bukan Caca dan Oma saja yang dibuat terlena sekarang, diri ini pun mulai mabuk dengan pesona akhlaknya. ---------Ada yang menghangat di dada melihat kedekatan Caca dengan wanita berpakain longgar itu. Meski banyak waktu yang telah terbuang sia-sia tanpa bersama putri kecilku, aku tahu dia tidak gampang dekat dengan seseorang, kecuali Oma. Sekarang? Mereka seperti anak dan ibu kandung saja. Tak memungkiri. Di sudut hati, ada harap merayap, andai itu adalah Amrita. Ah, kenapa mesti mengingat dia lagi!"Gimana dengan Zahrah, Reza?" Di sela sarapan, Oma menyebut lagi, lagi, dan lagi nama salah satu wanita untuk kunikahi."Itu, loh. Guru ngaji Caca, yang dipanggilnya Bunda," lanjut beliau saat aku menautkan alis. Oh, jadi namanya Zahrah? Cantik sekali! Secantik orangnya. Nilaiku dalam hati. "Mau kalau Bunda, jadi mama Caca?" Oma bertanya pada gadis kecil di sampingku. "Maksudnya ...? Bunda akan tinggal di sini selamanya? Tanpa pergi-pergi? Tanpa pulang-balik?" Caca memperj
Setelah seharian berdiri menyalami tamu, tibalah saatnya meluruskan badan. Kami sengaja tak mengadakan acara malam, selain karena ribet, juga terlalu banyak memorsir tenaga. "Istrimu mana?" tanya Oma ketika aku pulang dari masjid shalat Isya.Mata beliau berkilau menatapku dari atas ke bawa, lalu senyumnya mengembang lebar. Kuyakin rasa bahagia melihat perubahan putranya. Apa tadi Oma bilang? Istri? Alangkah indah kata itu. Aku mengangkat kedua tangan tanda tidak tahu, kemudian kaki kembali menuju peraduan. Sejak acara selesai, netra ini tak pernah menangkap sosok gadis yang mendampingiku seharian di pelaminan. Mungkin bersama Caca, sedari tadi mereka seakan seperti prangko. Ada yang berdenyut saat memasuki ruang pribadiku. Dekorasi yang cantik dengan tempat tidur dipenuhi bunga. Mungkinkah akan seharum bunga berwarna-warni itu rasa ini berbalas? "Suami istri memang harus ke kamar, Zahrah? Apa kata kerabat yang masih ada sekarang kalau kamu tidur di kamar Caca? Pokoknya kamu harus
Ibu dari anak kandungku ini benar-benar bermetamorfosis sesuai keadaan jaman. Dimana jabatan, harta, dan ambisi menyatu dalam kekuasaan yang melenakan. Dan mengalah, sesuatu yang tabu dijalankan. ---------"Aku benar-benar ingin rujuk sama kamu, Mas! Itulah alasan aku memilih kantor ini bekerja," ucap Amrita menatapku lurus sesaat ia letakkan bokong di kursi depan mejaku.Setelah berfikir sejenak, aku mengalihkan pandangan dari laptop. Mungkin inilah waktunya berbicara empat mata setelah berkali-kali ia meminta waktu. Rasa enggan mengulik masa lalu, membuatku mengabaikan pesan, telpon ataupun ucapan langsung jika bertemu. Apalagi sekarang hubungan rumah tanggaku hampir dikata nyaris sempurna. Aku tahu Zahrah lagi hamil. Entah alasan apa yang membuatnya tak mengabariku. Dia pikir aku tak tahu? Bahkan jumlah tahi lalat di kulitnya aku ingat. Apalagi perubahan pada tubuhnya. Ah, mengingat wanita penyempurna hidup itu, selalu memicu jantung bagai berolah raga. "Sebenarnya aku bisa memil
Tak ada kebetulan di dunia ini. Memang Caca bukan putri kandungku, tapi hati kami terikat. begitu kuat. Andai ayahnya seperti itu juga. Mungkin, nestapa ini tak perlu ada. -----Tak tahu mesti melakukan apa. Lelaki yang dari dulu lebih suka menyimpan masalah sendiri ini, sekedar memintaku memberi kesempatan, tanpa penjelasan. Seakan tak ingin berbagi beban.Mungkinkah memang ia tak pernah menganggapku ada?"Baiklah kalau itu keinginan, Mas?" ucapku kecewa.Sejujurnya pengin banget mendengar uneg-unegnya. Apalagi ini menyangkut mantan istri, otomatis ada sangkut paut dengan rumah tangga ini.Karena melihat kekeh, tak ingin berbagi cerita, ditambah sorot mata teduh itu menyimpan kecemasan. Apa salahnya memberi kesempatan.Benarkah pria yang tiga kali gagal dalam rumah tangga itu nggak tahu sama sekali. Jikalau kejujuran sekecil apapun, sangat membantu terjaganya pondasi ikatan pernikahan?Apalagi masalah yang terkait dengan masa lalu. Setidaknya, aku dapat memaklumi atau mengantisipasi
Sempurnalah sakit dalam tubuh, hingga bumi seakan berhenti berputar pada rotasinya.Sementara masih menunggu reda gejolak perut yang seakan ingin mengeluarkan semua isinya, bersamaan itu juga nada panggilan yang kustel khusus Mas Reza terus berdering.Mengingat tadi dan kejadian-kejadian sebelumnya, seperti memicu untuk muntah. Keringat mulai bercucuran, ujung tangan, dan kaki dingin, sementara jemari kecil Caca memijit leher belakanku. "Kita terus ke rumah sakit aja, ya, Bund?" Caca mulai menangis. Ini pertama kali melihatku seperti sekarang. Kedua tangan menyandar pada sisi wastafel, lantas gemetar jemari menon-aktifkan benda pipih tersebut."Kita kerumah loundry aja, ya, Sayang?"Meminta pendapat Caca setelah agak mendingan, putri kecil itu mengangguk. Pun ikut tersenyum setelah kulakukan hal sama.Taksi menjadi pilihan, tak mungkin menyetir dalam keadaan seperti ini. Yang kupikir sekarang adalah tempat membaringkan tubuh dari kelelahan teramat panjang."Nak Reza, tadi datang menca
Tak ada jawaba, juga reaksi, dia hanya mengangguk pelan. Ada guncangan kecil dan tarikan nafas panjang yang terdengar lirih di telingaku. ---------"Kalau kamu pengin benar-benar merawat Caca, berilah contoh yang baik. Setidak batasi pergaulan dan pakailah pakaian tertutup. Karena anak akan mencontoh apa-apa yang dilakukan orang tua. Aku tak mau menyesal suatu hari nanti, menyerahkan Caca kepadamu." Sambil mengemas barang-barang di atas meja, aku berujar pada Amrita. Wanita yang pernah memenuhi hatiku terlihat mengangguk kecil. Entah itu tulus apa tidak, hati ini berharap ia menyelami kata-kataku. Melihat kondisi rumah tanggaku yang diguncang dengan persoalan sama, aku memilih untuk resign. Karena melihat kinerjaku selama ini, atasan meminta pindah di kantor cabang saja. Aku memilih tak menolak, di tempat baru itu, tak intens bertemu lagi Rita seperti sekarang. Bukan karena tak sayang pada kantor ini. Ada hal yang lebih penting kita sayangi selain dari pekerjaan, yakni keluarga.D