Mengingat Mbak Rita ingin baikan, ditambah cara memandang Mas Reza, aku tahu, ia mengharapkan mantan suaminya kembali. Dada seakan kembali menyempit membayangkan itu semua.
------Memandangi wajah Caca tidur tanpa melepas mukenah, salat berjamaah selesai, ia pun langsung melepaskan lelah.Kehadiran bidadari kecil ini membuat hidup berwarna. Namun, sekaligus hambar mengingat hubunganku dengan ayahnya.Sambil menyalahkan TV, aku menyetrika pakaian, tak lama berselang terdengar salam Mas Reza dari masjid.Ia langsung duduk di sofa, sambil menyeruput kopi, kebiasaanya setiap malam. "Udah siap ngejelasin isi pesanku tadi siang?"Pertanyaannya tak menghentikan pergerakan tanganku, walau tatapnya mulai tak sabar, aku membereskan lipatan terakhir sekaligus pura-pura tak menghiraukannya."Zahrah." Mas Reza memanggil lembut. Aku berpindah, duduk dua sofa di antaranya. "Ceritalah tentang Danar." ujarnya setelah mematikan TV. Aku terdiam lama guna merangkai kata tepat dalam hati. "Sebaiknya Mas bertanya. Semua tentang Mas Danar, sama yang diceritakan Reno." Ia mengernyit, kaget.Adik ketigaku itu sempat cerita, Mas Reza cari informasi tentang Mas Danar, sebelum kepulangannya kemarin.Aneh! Seperti bukan Mas Reza, yang tak pernah kepo tentangku. Lelaki bertubuh proporsional itu mendekat, ia duduk setengah meter. Kembali aliran darah berpacu, jantung pun mulai tak terkendali. Aroma parfum menusuk hidung, netranya memorandakan ketenanganku. Perlahan Mas Reza melepas baju koko, menyampirkan di sandaran sofa, kaos berlengan pendek nampak sebagai dalaman. Lama kami terdiam, hanya suara kipas anging terdengar, menyesapi pikiran masing-masing."Bagaimana engkau mencintai seseorang?" tanyanya memecah keheningan, lalu memindai wajahku dengan tatap entah. Aku membalas gelisah netranya, debaran aneh menjalari setiap persendian tubuh."Menyebut namanya dalam doa," jawabku berusaha datar.Kupegang tengkuk seketika menegang, menyeimbangi irama jantung yang menghentak keras. "Siapa lelaki yang kau cintai selain dari keluargamu?" Mas Reza meletakkan tangan pada sandaran sofa tempat dudukku. Jemari mulai dingin, aku membenahi ikatan rambut terasa longgar. Di rumah memang tidak mengenakan jilbab kecuali ada tamu bukan mahram. "Orang yang telah dihalalkan Allah," jawabku menatap wajah teduh itu. Kedua tangannya meraih kedua tanganku, lalu menciumnya, lama. Gemuruh di dada menggelegar, jantung terpompa keras. Hembusan nafasnya menghangat pada tanganku yang beku. "Trima kasih," ucapnya. Sementara menikmati debar aneh di dada, perlahan tangan kanan meraih kepala, tangan lain merangkul pundak, lantas bibirnya diletakkan di kening. Aku menutup mata merasai hangat sentuhannya.Tak kurasakan tubuh sudah berada dalam pelukannya, erat. Detak jantung memompa cepat, debaran ini bukan milikku saja. Kubiarkan mata terus terpejam, menikmati belaiannya di rambut, debar indah kini nyata, seakan tak ingin berhenti sampai di sini. ***Jam sebelas malam belum mampu lelap, balik kanan-kiri mencari posisi nyaman. Namun, kejadian tadi, menghilangkan rasa kantuk. Mengingatnya, membuat bibirku menarik ulasan senyum.Notif pesan WA seketika membuat kaget dari lamunan, Mas Reza! [Bisakah ke kamarku, Zahrah?]Jantung kembali memompa cepat bersama debaran tiba-tiba menciptakan dingin seketika. [Ada apa, Mas?]Tanda centang tak berubah warna. Menunggu lima menit, belum terbaca. Kuputuskan ke kamarnya, pelan membuka pintu yang memang tidak pernah dikunci. Terlihat dalam remang lampu, Mas Reza terbaring dengan menggunakan selimut, HP ia letakkan di dada. Berbalik ke kamar mengira lelaki pembawa debar itu sudah tidur."Zahrah, kemari?" Suaranya berat memanggil. Ragu menguasaiku, ia memencet tombol ke lampu terang di sisi tempat tidur. "Kemarilah!"Aku menurut, masuk, ia mengubah posisi menjadi duduk. Kemudian menarik lenganku, "Sepertinya aku lagi nggak enak badan, Zahrah." Tanganku dialihkan ke keningnya.Sontak kaget. "Mas, kenapa nggak bilang?" Panik, suhu badannya panas sekali.Kok, tidak terasa ketika ia menarik tanganku tadi? Aku gegags ke dapur, mengambil air dalam termos, handuk kecil, dan obat di penyimpanan. "Mas, minum obat!" kataku sambil mengompres keningnya. Mendengar dengkuran halus, obat aku simpan di atas nakas.* Aku terbangun setelah melihat cahaya dari jendela. Mengumpulkan kesadaran, inikan bukan ...? Mas Reza mana? Pasti dia yang memindahkan tubuh ini dari kursi semalam. Kuperiksa semua badan, utuh, bahkan selimut menutup rapi."Udah bangun?" Mas Reza muncul dari kamar mandi, memakai kaos oblong, celana pendek di atas lutut. Aku membalikkan badan, mengingat tak pernah melihatnya seperti ini. "Mas, sudah sembuh?" ucapku sambil bangun dari tempat tidurnya.Ia mendekat, harum sampo menyeruak sensitif hidungku."Sengaja aku nggan bangunin salat, kufikir kamu lagi berhalangan karena banyak alat wanita di atas mejamu."Tidak! Ia pasti melihat pembalut di meja kamarku, belum sempat tersimpan kemarin sore. Wajah refleks bagai berlapis. Kenapa juga Mas Reza ke sana? Tumben. "Mau kemana?" tanyanya melihatku hendak beranjak. "Mau lihat Caca," ucapku ingin mengakhiri zona debar ini. "Caca udah salat, tidur kembali, capek katanya." Mas Reza duduk di sisiku. Jantung pun mulai tak terkendali. "Mau masak sarapan, Mas," Ia menarik tangan ketika aku sudah berdiri."Mulai sekarang, aku pindah ke kamarmu atau kamu yang kemari." Ia tak menggubrisku. Terasa ada aliran menghangat di balik debar, mendengar rangkaian kalimatnya. Kembali duduk, menajamkan pendengaran. Takut, jangan-jangan aku salah paham, "Ma-maksud, Mas?" tanyaku.Tok ... Tok ...Mas Reza menahan tanganku saat hendak membuka pintu luar, "biar aku saja, kamu tunggu di sini," ujarnya.Sosok jangkung itupun melangkah keluar, setelah memakai celana panjang menutup betis Cepat merapikan spring bed yang kutempati tidur semalam. Bibir melengkung membentuk bulan sabit, membayangkan, memopong, dan tidur seranjang dengannya.Karena lama Mas Reza belum muncul, aku bermaksud keluar untuk mengetahui siapa yang datang. Kakiku kembali terpaku di lantai, air mata berkumpul di pelupuk, siap kapan saja meluncur tanpa persetujuan. Ngapain mereka sepagi ini kemari? Mbak Rita bersama teman yang kulihat di pantai, duduk di sofa tamu paling kanan, sementara Mas Reza di sofa paling kiri, sofa kami berbentuk liter L. Entah apa topik perbincangan mereka. Lama berfikir, sebaiknya melayani sebagai tamu, terus mandi, berkemas, dan keluar dengan alasan apalah, agar ada ruang nafas pada dada yang sekarang ini sedang mencekik. "Silahkan dicicipi, Mbak, Mbak." Kupersilahkan mereka setelah meletakkan tiga gelas minuman dan dua toples kue sisa acara Raina, lalu duduk di tengah. Meskipun terasa sesak di balik dada, kuusahakan berbincang sedatar dan ala kadarnya, kendati tak yakin mampu duduk lama di antara mereka. Aku pamit kedalam dengan alasan mengurus Caca, padahal ingin melanjutkan rencana yang telah tersusun tadi. Saat berdiri, Mas Reza kembali menggenggam tanganku, sambil menatap lekat."Duduklah, Zahrah, Caca belum bangun." Mas Reza menarik duduk agak dempet dengannya. Aku berusaha melonggarkan genggaman tangan pria pembawa debar itu. Namun, tangan kekarnya semakin merekat. Bahkan genggaman tangan kami, ia letakkan di atas pahanya sambil bercerita, santai. Bukan cuma aku saja, merasakan suasana kaku, terlihat Mbak Rita, pun nggak sesantai tadi bersama temannya. Belum habis minuman yang tersaji, mereka pamit pulang. Aku bernafas lega, tapi nggak enak hati juga.Wait! Kenapa wanita nyaris sempurna itu bersikap aneh? Kemana kelembutan yang kubenci itu? Mungkinkah ada sesuatu yang terjadi? Entahlah. Mas Reza mengantar mereka sampai pagar, aku pun demikian.Setelah mobil Mbak Rita berlalu, Mas Reza mengunci pintu."Makasih, Zahrah, untuk semuanya." Ia kembali mencium tanganku, hangat, masih dalam genggamannya. Aku bingung memaknai ucapan itu. Terima kasih untuk apa? Karena melayani tamunya? Atau membuat mantan istrinya cemburu?Mengingat Mbak Rita pengin rujuk, ditambah cara memandang ke Mas Reza, aku tahu ia mengharapkan mantan suaminya kembali. Dada seakan menyempit kembali membayangkan itu semua."Ayah, ngapain cium tangan Bunda? Caca mendekat, boneka beruang dalam gendongan, pun suaranya serak khas orang bangun tidur. "Tangan, Bunda, nggak papa, kan?" Gadis kecil itu meniup tanganku, Mas Reza tersenyum. Aku hanya menggeleng melihatnya sambil duduk bertopang pada lutut menyamakan tinggi dengan Caca. "Tangan bunda nggak sakit, Sayang. Ayah menciumnya sebagai tanda terima kasih, karena tlah merawat, memasak, dan menjaga kita," jawab Mas Reza, pun mengikut menyamakan posisi. "Makasih, Bunda. Caca sayang banget sama Bunda." Kini Caca gantian mencium tanganku."Bunda juga, sayang Caca," Aku melakukan hal sama, mencium tangan mungil itu lalu memeluknya erat."Ayah, juga mau." Tangan kekar nan panjang itu meraih tubuhku dengan Caca dalam pelukannya. "Udah, ah, Caca lapar.""Aduh, bunda belum masak, Sayang." Aku menepuk jidat. "Ayah udah masak, kok." Mataku membulat tak percaya. "Taraa!" Mas Reza membuka tudung saji, nasi goreng sosis daging tinggal disantap. "Wow! Ayah pinter masak juga rupanya, tapi masih enakan masakan bunda." sela Caca diantara kunyahanya. "Ntar, ayah ajak bunda tanding masak, buat nentuin siapa yang terenak," jawab Mas Reza bercanda sambil melirikku. "Ayah, nggak bakalan menang. Caca setuju sama Om Danar, kalau masakan Bunda paling enak."Mas Reza tersedak, meminum air cepat, wajahnya memerah. Entah kenapa ia selalu begitu kalau mendengar nama Mas Danar. Toh, aku dan Reno telah menjelaskannya. ***Dua kata yang keluar dari bibir berukuran sedang itu, sukses membuatku mendarat darurat. Rasanya seperti terjungkal di atas tanah.--------------------"Caca, ayah nggak bisa nemanin beli seragam baru besok. Sama Bunda, aja, ya?"Mas Reza duduk di sofa ruang keluarga, tempat favorit kami berkumpul pada waktu senggang. Wajahnya terlihat gelisah, setelah menerima panggilan telepon."Keluar kota lagi? Berapa hari, Ayah?" Caca berpindah ke pangkuan Mas Reza, menyandarkan kepala di dada bidang itu. "Peresmian kantor cabang baru, yang diurus kemarin-kemarin, untuk sementara masih nyewa gedung dulu." Nanar pria maskulin itu menatap. Mungkinkah kalimat itu ditujukan untukku? "Emangnya nggak bisa kerja tanpa pergi terus gitu? Seperti ayahnya Sisil?" Protes Caca yang entah berapa sekian kali. Sejak gadis kecil itu bersekolah di TK, sering membandingkan Mas Reza dengan ayah teman-temannya, yang hampir setiap hari menjemput.Aku meletakkan pakaian Mas Reza yang telah rapi di atas meja setrikaan
Jiwa berontak mendengar kata istri darinya. Apakah layak diri ini menyandang gelar itu? Bukankah aku tak dibutuhkan sebagai istri? Bukankah ada mantan akan menjadi istri seutuhnya? ------------------"Caca senang, deh, hari ini jalan-jalan ma Om Tio."Bidadari cantik itu menyeruput ice cream, tangan sebelah mengeluarkan plastik penuh makanan."Oh, ya." jawabku tetap fokus menyetir menuju rumah, sesekali menanggapi celotehannya. Seperti ia telah lupa dengan laku Mas Reza tadi siang."Ayah, udah pulang." Caca melompat turun, setelah mobil berhenti, dan melihat pagar terbuka, ada roda empat Mas Reza terpakir. Halaman rumah Oma ini memang luas. Tumben Mas Reza keluar kota hanya semalam? Ini juga pulang tanpa ada pemberi tahuan? Entah kenapa sesak ini muncul lagi, padahal aku sudah ikhlas. Apapun terjadi sampai ke rumah ini dan sebelum bertemu pria pembuat galau itu, semoga hati ini baik-baik saja. Ya ... Allah ... Mohon beri hamba kekuatan dan keikhlasan lebih. Pliss. Walaupun ragu
Membelai kepala tertutup jilbab itu tulus, andai sekarang kau ingin bersama hanya mamah dan ayahmu saja, aku siap sayang, karena itu sedang kuusahakan sekarang. --------------------"Rumahnya nggak bagus, kotor." Caca mengibas-ngibas pakaiannya setelah kami mengelilingi bangunan tingkat dua model lama.Salah tingkah Mas Reza melirik, mungkin karena penolakanku semalam. "Kalau udah dicat ulang dan direnov sedikit. Pasti bagus lagi, kok." Aku menyentil lembut hidung Caca. Sedang Mas Reza tersenyum bahagia, tampak bernafas lega. Meskipun berusaha menghindari lelaki yang susah ditebak itu, tapi aku tetap menjaga kebahagiaannya. Bapak-ibu benar, aku memang tertutup. Namun, lebih mementingkan orang-orang di sekitar. "Rumah ini kosong sekitar dua tahun, kamu boleh membuatnya jadi apa saja, eitempati juga boleh." Pria berhidung mancung itu berucap sambil fokus menyetir."Emang Bunda mau tinggal di sana?" ucap Caca sambil mengunyah roti sisa pemberian Mas Tio kemarin. "Entahlah sayang,
Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menyimpan semua ini.--------------------Jam 12 siang, kami pun sampai di rumah."Mas, emang nggak berlebihan ngasih Zahrah rumah lagi?" tanyaku bersandar pada sofa ruang tamu setelah ganti baju dan salat Duhur.Mas Reza mengernyit ke arahku, ia selalu gagah memakai baju koko putih dan sarung warna senada. Ia dari masjid."Maksud Zahrah, apa nggak diganti aja pakai nama Caca?" ujarku lagi mendetailkan maksud. Aku membalas tatap lelaki aneh itu. Toh, buat apa memberi rumah kalau akhirnya ia akan pergi bersama mantannya.Bukankah selama kita berusaha rejeki tak perlu dikhawatirkan? Dan selama nafas di tenggorokan, pintu langit masih terbuka untuk menurunkan rezeki dan menaikkan amal setiap hamba. Perlahan ia duduk di dekatku, setelah meletakkan peci di meja."Zahrah nggak suka? Apa bedanya kamu dengan Caca buatku?" tanyanya penuh penekanan.Debaran kuat menghentak, Mas Reza memosisikanku dengan Caca sama?Terus, Mbak Rita? Apakah itu artinya a
Dua tahu bukan waktu yang singkat. -----Pukul setengah sembilan malam, aku masih berkutat di luar kamar, rasanya asing memasuki ruang pribadi Mas Reza.Hawa dingin menjalari jemariku, mengingat kami tak pernah sengaja tidur sekamar. Kecuali dalam keadaan terpaksa.Sungguh ajaib rasa ini. Bukankah ini doaku setiap waktu? Kenapa seperti sebuah beban?Seingatku kami sekamar hanya pada saat ada Oma, nikahan Reina, berkunjung ke kampung. Itupun untuk menghindari kecurigaan orang rumah, dan terakhir ketika Mas Reza sakit.Untuk menghalau galau. Aku mengerjakan apa saja yang bisa kulakukan. Sampai lantai yang sudah bersih kupel kembali.Huft ...Ternyata susah juga menghadapi situasi yang tiba-tiba berubah.Pria maskulin itu belum pulang dari shalat jamaah Isya. Padahal masjidnya berada sekitar lima ratus meter saja dari rumah. Tumben.Kembali aku melanjutkan kegiatan membersihkan rumah tanpa fokus, menyetrika dan menyusun alat-alat dapur.Biasanya aku kerjakan semua pagi hari setelah Mas R
Apakah kalimat sakti bak mantra itu masih berguna buatku sekarang? Setelah melihat keadaan seperti ini?--------------------Hidup serasa berubah semenjak kejadian malam itu. Kusambut hari penuh semangat dan tubuh terasa ringan beraktifitas.Tiap waktu aku nikmati dengan debar indah. Berpisah sejenak dari Mas Reza menghadirkan rindu yang tak mampu dituturkan. Mungkin inilah yang disebut masa pacaran. Bonusnya, kami merasakan setelah halal dan proses panjang nan rumit.Ya, aku mencintainya.Berharap ia pun sama denganku, walau tak pernah terangkai lewat kalimat. Tak seperti kemarin-kemarin. Semua praduga-praduga yang tiba-tiba saja datang entah darimana, berusaha aku hindari. Bukankah kebanyakan salah sangka itu bagian dari syetan?'Sesungguhnya Aku (Kata Allah) berpegang pada prasangka hambaKU.'Kalau tidak salah ingat, seperti itulah konteks kalimat dalam Hadits Qudsi yang pernah diajarkan guru agamaku di waktu sekolah. Sungguh, nasehat itu sangat penting menjadi pengingat terut
Pria pekerja keras itu, punya seribu cara meluluhkan hatiku. -----"Kita jalan-jalan, yuk!" ajak Mas Reza di suatu sore. "Siap," jawab aku dan Caca hampir bersamaan.Semenjak kejadian di kantor Mas Reza tempo hari, lelaki maskulin itu menunjukkan kesalahannya dengan lebih sering di rumah, mengajak jalan-jalan, olahraga, memasak bareng, dan apa saja yang bermanfaat. Kalau ia keluar kota paling lama dua hari, itupun hampir tiap istirahatnya video call.Padahal kejadian hari itu, tak pernah bertanya atau membahasnya lagi. Kami ingin melupakan semua, sejalan dengan bergilirnya sang waktu. Ada juga hikmah di balik kejadian menyesakkan itu, waktu-waktu berharga Mas Reza lebih banyak tercurah ke keluarga kecilnya. [Mas, cepat pulang, ya?!] pesan WA kukirim. Hampir jam empat sore, waktu pulang pria pencipta rasa nano-nano itu. Melepas debar kerinduan ketika melihat sosoknya adalah hal sangat menyenangkan buatku. Hingga terlambat sedikit saja dari waktu kedatangannya mencipta gelisah d
Seketika debar menghentak kuat, praduga mulai melanglang. Namun, tetap berusaha berpikir positif.--------------------Langkah pertama, untuk menghilangkan praduga-paraduga di hati, tentang kepastian hubungan Mas Reza dan Mbak Rita adalah mengecek benda canggih milik pria pencipta gulana itu. Sebelum ia terbangun cepat mengambil gawainya yang masih terchas di atas nakas.Ini pertama kali memeriksa barang pribadi pria yang telah menikahiku empat tahun lebih. Sebelum menikah, memang sempat berjanji. Siapapun yang menjadi pendamping hidupku kelak tak akan mengutak-atik HP pasangan. Itu disebabkan seringnya mendengar cerita, banyak pasangan rumah tangga hancur disebabkan oleh benda bak monster tersebut. Kali ini kulanggar janji sendiri, demi keselamatan rumah tangga itu. Meski tak yakin, kalau langkah ini sudah benar. Bisa saja yang kulakukan menjadi awal kehancuran sebuah mahligai. Ampuni hamba yang lemah ini, Ya, Allah ....Hanya inilah yang terpikir langkah terbaik dalam mempertahan