Setiap jepretan kamera itu mengambil gambar, cahaya yang ditimbulkannya bak tombak, melayang menghujam jantungku. Perih tak terkira.
--------------------Suara decitan pagar membuyarkanku dari lamunan lima tahun silam. Mengumpulkan kesadaran, ternyata mobil sudah terparkir di garasi.Melihat Caca tak ada di tempat, segera mengambil barang dari mobil. Selangkah berbalik, bruk ..., tak sengaja menabrak dada Mas Reza, muncul dari arah pagar.Kontak fisik tanpa sengaja membuaku terpaku, aroma parfum menusuk penciuman. Lagi-lagi debaran aneh hadir tanpa diundang dan itu terjadi begitu lama, dibanding kejadian yang hanya beberapa detik."Maaf, Mas. Aku nggak sengaja.""Kamu sehat, kan?" tanya Mas Reza menelisik. Aku mengangguk dan segera berlalu, tak ingin ia tahu perubahan warna wajahku.***"Kantor rencana buka cabang di luar daerah, aku mendapat tugas menyurvei lokasi."Sambil menyesap kopi, rutinitas malamnya, Mas Reza menatapku lekat. Caca menikmati film kartun kesayangan setelah menyiapkan persiapan buku-buku sekolah besok pagi."Berapa lama, Ayah?" Caca mendekat dan bergelayut manja. Bahasa seperti itu mampu ia pahami di umurnya sekarang, mungkin karena sudah biasa ditinggal pergi dengan alasan sama."Sekitar sepekan, atau bisa lebih, tergantung dari pekerjaannya, Sayang.""Lima hari lagi, kan, Caca udah tamat. Ayah nggak sempat, dong, lihat Caca pakai topi wisuda?" Kedua tangan mungil itu membentuk toga di atas kepalanya.Mas Reza mengalihkan pandangan meminta penjelasan, aku mengangguk meng-iyak-kan lalu tersenyum melihat tingkah Caca, sambil melanjutkan setrikaan pakaian hampir selesai."Nanti ayah usahain datang." Ia beucap sambil mengelus rambut putrinya, disambut sorakan Caca.***Hari yang ditunggu telah tiba. Senyum merekah tak henti menghiasi bibir Caca, melihat sang ayah memasuki tenda acara, menepati janji. Meskipun terlambat, datang saat sesi foto, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.Ada rasa bahagia melihat langsung pemilik wajah memesona itu. Akhir-akhir ini ia semakin sering video call, bahkan setiap waktu. Namun, bertemu tanpa sekat layar menghadirkan debar kuat di balik dada.Mas Reza datang tidak sendiri, ia bersama lima anggota timnya. Rasa bahagia itu seketika berubah menjadi durja, bagiku, mengetahui Mbak Rita dan temannya yang kulihat di pantai termasuk tim tergabung.Tiba-tiba seperti ada bongkahan batu menahan lajunya pernafasanku.Selayak teman akrab, aku dan Mbak Rita berpelukan, kebiasaan kami jika bertemu. Walaupun tak natural, kucoba bersikap biasa.Lihatlah, lagi-lagi ia bersikap lembut, tanpa beban, dan sopan. Memomosisikan wanita cantik itu, di mana tempatnya selalu berpijak. Sempurna!Caca begitu antusias untuk berfoto keluarga setelah melakukan bersama dengan guru dan teman-temannya.Suasana hatiku semakin canggung, melihat Mas Reza dan Mbak Rita mengambil gambar bersama Caca, kemudian selfi-selfi juga.Dada kian sesak, debaran membuncah, seperti genderang mau perang. Air mata pun tak mau diajak kompromi, ia siap mengalir kapan saja, tanpa permisi."Bunda ke kamar kecil dulu, ya, sayang," ujarku pada Caca.Lagi, aku mencari alasan untuk tak menyaksikan setiap jepretan kamera itu. Cahaya yang ditimbulkannya bak tombak melayang menghujam jantungku, tepat sasaran. Argh .... Sakit tak berdarah.Di samping bangunan sekolah, kutumpahkan semua sesak di wastafel, untung tidak orang. Kupegangi dada, terasa perih, kalimat zikir kulantunkan dalam hati, terus. Berkali-kali menghapus air mata yang seakan enggan untuk berhenti.Rasa ini membuat otakku tak mampu berpikir jernih. Tak ingin rasanya keluar dari tempat ini sampai acara selesai. Takut pertahanan lemah ini jebol."Bunda ...!" Suara Caca terdengar dari luar. Buru-buru aku membersihkan wajah, memasang make up tipis, dan merapikan jilbab. Berharap wajahku nampak alami kembali."Iyya, sayang." Aku keluar dengan mata sembab. Caca menyelidik, wajahnya khawatir. Mas Reza berdiri dari jarak tiga meter mengawasi. Mungkinkah ia cemas seperti Caca?"Bunda nggak apa-apa, sayang, cuma pusing sedikit." Aku mencairkan ekspresi cemasnya, ia pun tersenyum, lalu Caca menuntun ke arah sang ayah yang menunggu.Netra Mas Reza memindai, munhkin mencari kebenaran pada kalimat kulontar pada Caca. Aku membuang wajah sembarang tempat jika bersitatap matanya. Entah kenapa hatiku tak sanggup berhadap langsung dengan sosok maskulin itu saat ini."Ke dokter?" Tawarannya hanya membuatku semakin meloy."Enggak perlu, Mas. Ntar berhenti sendiri, kalau dah isrtirahat," ucapku berusaha sedatar mungkin.Kulirik ke dalam tenda acara yang digulung naik, terlihat pada sebuah meja, tim Mas Reza menyantap makanan yang disajikan panitia sambil bercanda ria, termasuk Mbak RitaTiba-tiba kakiku berat menuju tempat itu lagi."Bunda pulang aja duluan, ya, sayang. Kan, ada ayah." Alasan yang selalu sama apabila rasa ini tak mampu lagi untuk kubawa.Aku langsung melangkah, tanpa mendengar jawaban Caca, sambil mendongak ke atas, menahan air mata agar tak tumpah.Belum genap tiga langkah, tangan kekar Mas Reza menahan lenganku dan ..., menggenggamnya.Kaget. Sela-sela jarinya ia masukkan kedalan sela jariku. Erat.Aku berbalik, matanya menatap syahdu. Aku berusaha merenggangkan, ia semakin mengeratkan genggaman.Genggaman itu menciptakan debaran hangat, sisi hatiku menahan keinginan untuk pergi.Arhg, alangkah lemahnya jiwa ini di hadapannya. Benarlah kata bapak-ibu, aku tipe wanita suka menyimpan rasa sendiri, cepat kasihan, dan bicara sepentingnya."Kalau mau pulang, kita sama-sama," ujar Mas Reza."Setuju," tambah Caca. "Acaranya juga udah selesai kok," lanjutnya.Refkeks tangan memeluk Bidadari kecil itu, lama, lantas mencium pipi kanan-kirinya. Meskipun dia tidak lahir dari rahimku, ia seperti putriku sendiri.Saksikanlah! Bahkan sekarang ia rela meninggalkan teman-temannya yang sedang menikmati momen-momen perpisahan demi egoku."Maafkan bunda sayang, bunda nggak jadi pulang, ayo sekalian kita habisin acaranya!"Caca melonjak senang, kulirik Mas Reza menarik napas lega. Mungkinkah genggaman tangan ini hanya sekedar menahanku saja demi putrinya?Kami menuju tempat acara. Tangan kanan Mas Reza menggendong Caca, sedang tangan lain, ia gunakan kembali menggenggam tanganku.Kali ini aku menurut, kembali menikmati debar nano-nano yang tiba-tiba menguasai. Ini kedua kali kami kontak fisik, dengan sengaja dan penuh perasaan. Mungkin, aku saja merasa begitu.Aku melirik Mbak Rita, sekilas ia bersikap datar saja mellihat Mas Reza tak melepaskan genggaman, sampai duduk bergabung dengan mereka.Bahkan wanita itu, menyambut dan mendudukkan aku di sampingnya. Pantaskah hati ini membenci dengan kelembutan yang selalu ia tampilkan mulai dari pertemuan pertama?***Meski lewat layar, mengapa tatapan itu mengintimidasi?-------"Sepertinya ayah masih tinggal beberapa hari lagi, Ca. Kamu baik-baik aja ma, bunda, ya?" ujar Mas Reza di balik layar. Dua hari setelah acara wisuda Caca. "Siap." Gadis periang itu menaikkan jempol."Bunda mana?" tanya Mas Reza kemudian. Tergesa aku berlari dari arah dapur saat suara Caca memanggil "Ayah nyariin, Bunda," ucap Caca menyerahkan HP, kemudian melanjutkan permainan boneka-bonekanya lagi.Bingung, namun tetap meraih benda pipih itu. Tumben mau bicara langsung sama aku? Biasanya sama Caca aja.Aku menatap layar, Mas Reza memakai kemeja putih tersenyum manis, sepertinya sudah siap. Ia lantas melambai ke layar dengan kaku, aku melakukan hal sama. Untung ia jauh, kalau tidak pasti ia tahu berisiknya kerja jantung di balik kulit ini dengan jarak begitu dekat. "Gimana kabarmu?" Menurutku ini pertanyaan basa-basi."Baik," jawabku singkat tanpa berani menatap netra teduhnya."Masih ada pekerjaan belum kelar, Zahrah.
Mas Reza memeluk Caca, netranya tak lepas dariku. Kalau ia bersikap aneh begini terus, bisa-bisa aku periksa di poli jantung. -----"Ada yang nyariin, Mbak, penting katanya," bisik Angga ketika aku sedang menata meja untuk menyiapkan makan siang untuk para tamu dan kerabat.Aku mengangguk, tapi tak menghiraukan. Mengingat adikku yang baru tamat SMP itu sering bercanda."Cepetan, Mbak, ntar tamunya pulang." Tak beranjak Angga menunggu."Serius, ni? Cacanya mana? Kok, ditinggal pona'annya?""Itu ... Caca sama tamu yang nyariin, Mbak." Ia menunjuk ke luarDahiku mengernyit, tumben Caca mau diambil sama orang baru?Aku menyelip keluar di antara keramain kerabat. Ibu duduk di ruang tengah berbincang dengan tetamu.Di bawah tenda pengantin yang telah terpasang tiga hari lalu, banyak keluarga laki-laki bercengkrama antar mereka.Kucari sosok Caca. Deght.Jantung ini kembali bergeser, melihat Caca duduk di pangkuan Mas Reza. Di sebelahnya ada bapak, om-om dari keluarga ayah-ibu, dan Mas Dana
Mengingat Mbak Rita ingin baikan, ditambah cara memandang Mas Reza, aku tahu, ia mengharapkan mantan suaminya kembali. Dada seakan kembali menyempit membayangkan itu semua.------Memandangi wajah Caca tidur tanpa melepas mukenah, salat berjamaah selesai, ia pun langsung melepaskan lelah.Kehadiran bidadari kecil ini membuat hidup berwarna. Namun, sekaligus hambar mengingat hubunganku dengan ayahnya.Sambil menyalahkan TV, aku menyetrika pakaian, tak lama berselang terdengar salam Mas Reza dari masjid.Ia langsung duduk di sofa, sambil menyeruput kopi, kebiasaanya setiap malam. "Udah siap ngejelasin isi pesanku tadi siang?"Pertanyaannya tak menghentikan pergerakan tanganku, walau tatapnya mulai tak sabar, aku membereskan lipatan terakhir sekaligus pura-pura tak menghiraukannya."Zahrah." Mas Reza memanggil lembut. Aku berpindah, duduk dua sofa di antaranya. "Ceritalah tentang Danar." ujarnya setelah mematikan TV. Aku terdiam lama guna merangkai kata tepat dalam hati. "Sebaiknya Ma
Dua kata yang keluar dari bibir berukuran sedang itu, sukses membuatku mendarat darurat. Rasanya seperti terjungkal di atas tanah.--------------------"Caca, ayah nggak bisa nemanin beli seragam baru besok. Sama Bunda, aja, ya?"Mas Reza duduk di sofa ruang keluarga, tempat favorit kami berkumpul pada waktu senggang. Wajahnya terlihat gelisah, setelah menerima panggilan telepon."Keluar kota lagi? Berapa hari, Ayah?" Caca berpindah ke pangkuan Mas Reza, menyandarkan kepala di dada bidang itu. "Peresmian kantor cabang baru, yang diurus kemarin-kemarin, untuk sementara masih nyewa gedung dulu." Nanar pria maskulin itu menatap. Mungkinkah kalimat itu ditujukan untukku? "Emangnya nggak bisa kerja tanpa pergi terus gitu? Seperti ayahnya Sisil?" Protes Caca yang entah berapa sekian kali. Sejak gadis kecil itu bersekolah di TK, sering membandingkan Mas Reza dengan ayah teman-temannya, yang hampir setiap hari menjemput.Aku meletakkan pakaian Mas Reza yang telah rapi di atas meja setrikaan
Jiwa berontak mendengar kata istri darinya. Apakah layak diri ini menyandang gelar itu? Bukankah aku tak dibutuhkan sebagai istri? Bukankah ada mantan akan menjadi istri seutuhnya? ------------------"Caca senang, deh, hari ini jalan-jalan ma Om Tio."Bidadari cantik itu menyeruput ice cream, tangan sebelah mengeluarkan plastik penuh makanan."Oh, ya." jawabku tetap fokus menyetir menuju rumah, sesekali menanggapi celotehannya. Seperti ia telah lupa dengan laku Mas Reza tadi siang."Ayah, udah pulang." Caca melompat turun, setelah mobil berhenti, dan melihat pagar terbuka, ada roda empat Mas Reza terpakir. Halaman rumah Oma ini memang luas. Tumben Mas Reza keluar kota hanya semalam? Ini juga pulang tanpa ada pemberi tahuan? Entah kenapa sesak ini muncul lagi, padahal aku sudah ikhlas. Apapun terjadi sampai ke rumah ini dan sebelum bertemu pria pembuat galau itu, semoga hati ini baik-baik saja. Ya ... Allah ... Mohon beri hamba kekuatan dan keikhlasan lebih. Pliss. Walaupun ragu
Membelai kepala tertutup jilbab itu tulus, andai sekarang kau ingin bersama hanya mamah dan ayahmu saja, aku siap sayang, karena itu sedang kuusahakan sekarang. --------------------"Rumahnya nggak bagus, kotor." Caca mengibas-ngibas pakaiannya setelah kami mengelilingi bangunan tingkat dua model lama.Salah tingkah Mas Reza melirik, mungkin karena penolakanku semalam. "Kalau udah dicat ulang dan direnov sedikit. Pasti bagus lagi, kok." Aku menyentil lembut hidung Caca. Sedang Mas Reza tersenyum bahagia, tampak bernafas lega. Meskipun berusaha menghindari lelaki yang susah ditebak itu, tapi aku tetap menjaga kebahagiaannya. Bapak-ibu benar, aku memang tertutup. Namun, lebih mementingkan orang-orang di sekitar. "Rumah ini kosong sekitar dua tahun, kamu boleh membuatnya jadi apa saja, eitempati juga boleh." Pria berhidung mancung itu berucap sambil fokus menyetir."Emang Bunda mau tinggal di sana?" ucap Caca sambil mengunyah roti sisa pemberian Mas Tio kemarin. "Entahlah sayang,
Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menyimpan semua ini.--------------------Jam 12 siang, kami pun sampai di rumah."Mas, emang nggak berlebihan ngasih Zahrah rumah lagi?" tanyaku bersandar pada sofa ruang tamu setelah ganti baju dan salat Duhur.Mas Reza mengernyit ke arahku, ia selalu gagah memakai baju koko putih dan sarung warna senada. Ia dari masjid."Maksud Zahrah, apa nggak diganti aja pakai nama Caca?" ujarku lagi mendetailkan maksud. Aku membalas tatap lelaki aneh itu. Toh, buat apa memberi rumah kalau akhirnya ia akan pergi bersama mantannya.Bukankah selama kita berusaha rejeki tak perlu dikhawatirkan? Dan selama nafas di tenggorokan, pintu langit masih terbuka untuk menurunkan rezeki dan menaikkan amal setiap hamba. Perlahan ia duduk di dekatku, setelah meletakkan peci di meja."Zahrah nggak suka? Apa bedanya kamu dengan Caca buatku?" tanyanya penuh penekanan.Debaran kuat menghentak, Mas Reza memosisikanku dengan Caca sama?Terus, Mbak Rita? Apakah itu artinya a
Dua tahu bukan waktu yang singkat. -----Pukul setengah sembilan malam, aku masih berkutat di luar kamar, rasanya asing memasuki ruang pribadi Mas Reza.Hawa dingin menjalari jemariku, mengingat kami tak pernah sengaja tidur sekamar. Kecuali dalam keadaan terpaksa.Sungguh ajaib rasa ini. Bukankah ini doaku setiap waktu? Kenapa seperti sebuah beban?Seingatku kami sekamar hanya pada saat ada Oma, nikahan Reina, berkunjung ke kampung. Itupun untuk menghindari kecurigaan orang rumah, dan terakhir ketika Mas Reza sakit.Untuk menghalau galau. Aku mengerjakan apa saja yang bisa kulakukan. Sampai lantai yang sudah bersih kupel kembali.Huft ...Ternyata susah juga menghadapi situasi yang tiba-tiba berubah.Pria maskulin itu belum pulang dari shalat jamaah Isya. Padahal masjidnya berada sekitar lima ratus meter saja dari rumah. Tumben.Kembali aku melanjutkan kegiatan membersihkan rumah tanpa fokus, menyetrika dan menyusun alat-alat dapur.Biasanya aku kerjakan semua pagi hari setelah Mas R
POV CacaIni libur kedua setelah setahun berlalu. Selain kangen dengan adik Rizal, juga acara pernikahan Om Reno -adik kedua bunda Zahrah- memaksaku pulang. Ada gelenyar entah saat menjejaki kota penuh kenangan. Rindu ini telah lama membebat, tapi ragu dan takut begitu menguasai.Maafkanlah wanita lemah ini, jika masih butuh waktu lama mengistirahatkan kelelahan."Mbak Caca ..." Teriakan Rizal menyambut saat aku turun dari kendaraan terakhir."Diantar sama bunda, kan?" ujarku menggenggam tangannya. Sengaja bertanya demikian, khawatir saja kalau Om Danar yang muncul seperti dulu. Huft ... entah kenapa dia dan kota ini tak bisa terpisahkan di pikiranku."Tu ...!" Tangan mungil Rizal menunjuk tante Raina yang melambai ke arah kami. Ada Om Angga melakukan hal sama di belakangnya. Ck! Ngapain pria tengil itu ikut?"Aku di rumah Oma nginapnya ya?!" Om Angga langsung menaikkan jari tanda setuju. Sementara adik Rizal tak henti berceloteh sambil mengunyah. Makanan anak ini sefavoritku, doyan
POV Caca"Oma harus tahu soal ini, Ca." Suara Om Angga membuatku berpaling dari suara roda empat Om Danar yang semakin mengecil.Sejak kapan lelaki ini di situ? Apa dia melihat derasnya air mataku yang seketika tumpah melihat Om Danar berlalu? Huf .... Di balik kata ikhlas itu, selalu saja ada genangan yang menyelingnya."Belum saatnya, Om. Kalau waktu dan tempat memungkinkan, aku akan cerita, kok," ujarku memohon pengertian. Dari ekspresi Om Angga yang serius, aku yakin dia mengetahui jelas persoalanku. Berarti sejak tadi dia mengawasi di situ. Tak salah lagi."Bagaimana jika Oma tahu dari orang lain yang pasti cerita akan mengalami penambahan dan kekurangan?" desaknya mengikutiku."Aku belum siap bercerita sekarang, Om," kataku menunjuk bagasi mobil. Oma selalu membawa aneka macam oleh-oleh bila datang. Yang bisa dimakan satu kamar.Lalu dengan cekatan aku menurunkan lima kantong plastik berukuran besar, Isinya sudah bisa ditebak, makanan dan minuman ringan. "Sebelum terlambat me
POV CacaGegas aku menarik lengan Oma ke kamar, khawatir sekali rasanya jika persoalan ini sampai di telinga beliau.Andai pernikahan dadakan itu tak berperkara, kupastikan akan menceritakan ke Oma penuh rasa bangga, lalu meminta restu, kemudian memproklamirkan dengan mengadakan pesta meriah, mengundang sanak saudara, teman, tetangga, anak yatim, de el el. Ini? Sepertinya hayalanku melewati langit ke tujuh. Untung saat kembali, masih ingat jalan pulang. Bagai memukul air, tapi terpercik di muka sendiri. Itulah penggambaran diri sekarang. Jadi, dengan menghayal aku membereskan masalah. Huft .... Semoga otakku masih stay di posisinya. "Kapan datang, Hauroh?" sapa Tasnim yang sedang memegang sapu. Itu resiko sebagai anak pengelola pondok."Baru saja, Nim. Oh, ya, Oma datang. Kamu temani dulu ya, Say," ujarku mengedipkan mata. Tasnim yang sudah biasa melihat ekspresi begitu, mengangguk dan mempersilakan Oma. Mereka sudah akrab, karena seringnya bertemu saat Oma menjenguk."Caca mau min
POV CacaMeski telah menguatkan hati, tetap saja denyut jantung berdetak lebih, sesampai di rumah Om Danar. Perkiraanku orang-orang semalam masih stand by menunggu tuk memberi hukuman, tapi .... sepertinya aman, tak ada alas kaki yang berjejer. Aku celingak-celinguk kanan-kiri memastikan, pun memasang telinga untuk mendengar suara dari dalam. Alhamdulillah, benar-benar sepi seperti biasa. "Terima kasih Ya, Allah." Tak sadar tangan mengusap dada, merasa aman dari perkiraan sebelumnya.Aku meletakkan bokong di kursi teras saat Om Danar melewati pintu. Ini pilihan paling tepat menurutku, karena lelaki yang masih bergelar suamiku itu telah berubah 180 derajat. Jangankan meminta masuk dengan wajah penuh harap seperti biasa, mengajak bicara saja dia seperti enggan. Huft, walau tahu hubungan kini sangat rentan, yang bak telur di ujung tombak, tak memungkiri dalam hati yang terdalam aku menginginkan keajaiban. Salahkah aku masih mengharap setitik hujan di tengah kemarau? Salahkah diri me
POV CacaAku bolak-balik bak setrikaan mendengar suara ribut di luar. Berbagai reaksi dan tanggapan menjurus ke aku, dan tentu saja celaan lebih banyak. Itu baru satu kalimat Mimi Bianca, belum dua, tiga, empat ... Huft, beginilah jika melakukan dosa. Selain mendapat azab, hati juga tak tenang.Maka sangat benar yang disampaikan para alim ulama. "Hindari maksiat, karena itu perbuatan yang merugikan diri sendiri. Sesungguhnya Allah tak pernah menghukum hambanya, selain dari perbuatan dosa hamba itu sendiri."Ah, manusia memang terkadang dzolim pada diri sendiri. Namun, ajaibnya selalu merasa lurus dan memaksa benar dengan memakai logika tak berdasar. Aku rasa pernah di posisi itu saat belum belajar agama. Aku memutuskan keluar dan bergabung. Entah mau melakukan klarifikasi, pembelaan, atau berdebat dengan Mimi Bianca, aku juga tak tahu mau ngapain. Yang pasti tak harus sembunyi seperti kucing dibawa kolam meja setelah mencuri ikan kan? Apa, sih, yang kupikir, sepertinya keruwetan mas
POV CacaAku berlari ke sana-ke mari mencari jilbab yang dilepas Om Danar. Perasaan diletakkan tak jauh darinya. Kenapa nggak ada? Inilah efek panik yang mengakibatkan otak tidak fokus."Om simpan di mana jilbabku?" kataku menarik lengan Om Danar untuk membantu. "Tu!" tunjuknya tanpa merasa bersalah. Dia kemudian melangkah ke pintu seusai aku memakai kerudung dan cadar."Bapak menunggu di luar. Apa yang kau lakukan Danna, tidak bisakah kau menunggu sampai selesai semua prosesi .... Arght! Aku tak tahu apa yang kau pikirkan sekarang." Selepas berucap, Bu Maya membalik badan ke arah ruang tamu. Sementara aku yang bisanya berlindung di balik punggung Om Danar, merasakan ujung dan kaki seakan kompak dingin.Dalam keadaan nyata-nyata benar saja, semua orang pasti akan merasakan panik sepertiku jika di posisi seperti digerebek. Apalagi kami yang hanya menikah tanpa persaksian orang banyak. Tunggu! Sepertinya Om Danar tak ngaruh. Dia malah menyugar rambut lalu memperbaiki gulungan bajunya.
POV Caca"Apa Bibik lihat ponselku?" teriakku memeriksa meja kerja Om Danar. Mulai lelaki itu mengambilnya di mobil, sampai sekarang belum terlihat. Tidak mungkin kan dia membawa benda pipih itu akad nikah? Kurang kerjaan banget kalau sampai itu terjadi.Karena tak ada jawaban, aku mencari tiap laci. Siapa tahu Om Danar menaruhnya di sana. Tanganku berhenti bergerak saat menemukan foto lama tapi masih terawat. Ada Om Danar dan Bunda Zahrah di antara teman-teman lainnya yang berpakaian putih abu-abu. 'Sekuat apa kita berusaha, jodoh tidak bisa diubah.' Tulisan di balik gambar membuat mataku berkabut tiba-tiba. Sedih karena mengingat Bunda, sekaligus kalimat itu sukses menyentil perjalanan jodoh yang sedang kualami.Ya, sekuat apa ingin lepas dari Om Danar, tapi rasanya amat susah. Selain dia tak ada niat berpisah, pun hatiku lebih-lebih.Huft, apa dosa mencintai di situasi yang serbah salah? Apa salah bertahan di tengah badai yang menerjang? Ya, Rabb ... Andai waktu bisa diputar ul
POC Caca"Kita mau ke mana, Om?" tanyaku saat mobil melaju. Lelaki matang itu bergeming, mimiknya tak mampu kumaknai. Arhgt, siapa lagi yang memberi informasi aku di sini. Atau jangan-jangan Om Angga? Ck! Adik Bunda Zahrah itu memang sudah berhenti menganggu ketenanganku, malah mengirim pengganggu yang kuperkirakan akan lebih panjang ceritanya. "Jangan bawa Caca ke pesta itu, Om," mohonku menangkupkan kedua tangan di depan dada ketika menyadari arah mobil benar-benar menuju ke sana. Apa yang harus kulakukan Ya, Rabb?"Bukannya Caca tak mau berjuang, Om. Tapi ...." kataku terhenti melihat seorang wanita cantik turun dari mobil yang sebelumnya memepet dan membunyikan klakson panjang tanda menyuruh berhenti. Ibu Maya! Refleks aku membungkukkan badan dengan niat bersembunyi seperti yang kulakukan tadi ketika melihat Om Danar di dalam tanda. Huft, kurasa akan sia-sia lagi."Cepetan turun, Om." Tak seharusnya aku mengintruksi, sudah jelas dia lebih dewasa dariku, ditambah statusnya sebag
POV Caca"Ayo anterin aku cepat, Om," kataku lebih membungkukkan badan saat dengan ekor mata melihat lelaki yang jadi pusat perhatian itu menuju ke mari. "Kalau Om Angga gak mau cepat, Caca bakalan nggak mau bicara Om seumur hidup," ancamku tidak serius, tapi dengan nada yang ditekan.Lelaki humoris itu gegas masuk mobil dan segera menyalakan mesin.Kami memang terhitung sangat akrab dulu, bahkan sampai sekarang dia tidak berubah, cuman aku yang ambil jarak sejak masuk pondok. "Maaf, Mas. Nanti saya kembali," pamit Om Angga sebelum melajukan mobil. Mas adalah panggilan Om Angga ke Om Danar jika di luar kampus, karena memang terhitung kerabat dekat, tentu beda jika berada dalam lingkup akademik. Aku rasa seperti itu yang terjadi mengingat tante Raina melakukan sama. "Kok kayaknya kamu takut sama Om Danar? Padahal dia baik loh, baik banget malah."Aku memilih memperbaiki cadar akibat aksi sembunyi tadi, sekaligus pura-pura tak mendengar uraian Om Angga. Kadang dia kalau bercerita lup