Setelah sekian lama aku berpikir, aku menghela napas kesal. Langsung mengetuk pintu itu.
Tok! Tok!
Walaupun sudah suami istri, setidaknya aku harus sopan pada suami kontrakku.
Cklek!
Pak Gavin membukakan pintu untukku. Kemudian pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Hampir jam sembilan? Kemana aja kamu?" tanyanya galak sembari mengancingkan kemejanya.
"Habis dari bawah, Pak!" jawabku.
Pak Gavin sedikit mendekatkan wajahnya padaku, lalu memasang mimik wajah seolah tak percaya akan apa yang aku katakan barusan. "Oh ya"
Aku yang sudah tak tahan akibat wajahnya terlalu dekat dengan mataku, langsung mendorong dada bidangnya secara perlahan. "Aku mau masuk, Pak!"
Aku langsung masuk tanpa memedulikan Pak Gavin.
"Biasanya istri dulu yang mandi baru suami. Ini terpaksa suami dulu yang mandi karena istri kelayapan," protes Pak Gavin di belakangku.
Aku memutar bola malas, lalu menoleh ke belakang agar bisa melihat Pak Gavin. "Siapa juga yang kelayapan! Aku ta-"
"Hm. Terserah kamu!" potong Pak Gavin, lalu melempar handuk yang berada di tangannya kepadaku. "Sana mandi!"
Refleks aku menangkapnya. "Kenapa harus pakai handuk kamu? Lagian ini juga rada basah, gak enak dipakai," protesku sembari menggenggam handuk.
Pak mendengus. "Banyak protes! Di kamar hotel ini hanya ada satu handuk, jadi harus gantian. Kalau kamu gak mau bekas aku juga gak apa-apa, aku juga gak maksa," paparnya sembari mencoba menarik handuk dari langsung menarik balik handuk itu. "Iya iya, aku mau kok mandi pakai handuk ini!"
"Menurut saya, istri itu harus mau menggunakan barang-barang bekas suaminya. Apalagi kalau istrinya kontrak kaya kamu. Karena di mata saya, istri kontrak itu gak beda dari babu," lontar Pak Gavin datar.
Perkataan itu mampu membuat tanganku mengepal. Sungguh perkataan itu sangat menyakitkan. Tak mau memperpanjang masalah, aku langsung masuk ke kamar mandi dengan handuk yang melekat di bahuku. Aku sangat kesal.
Setelah empat puluh lima menit, akhirnya aku keluar juga dari kamar mandi dengan handuk yang melekat pada kepalaku akibat habis keramas. Wajar lama, karena aku harus membersihkan riasan make up ku terlebih dahulu.
Aku mengambil sebuah novel yang berjudul 'Perjodohan' dari dalam tasku. Aku menyandarkan tubuhku di kepala ranjang, lalu membaca novel itu. Sedangkan Pak Gavin ia sedang rebahan pada sofa dengan Handphone di tangannya.
Di dalam novel itu, walaupun perjodohan namun sangat romantis. Yang wanita selalu dibuat baper oleh suaminya. Dan mereka juga melakukan apa yang sepantasnya dilakukan suami istri. Tidak seperti diriku dan juga Pak Gavin yang saling menyendiri tak tentu arah.
"Pak!" panggilku.
"Saya bukan bapakmu!" sahut Pak Gavin.
Dahiku mengerut. Jelas-jelas waktu itu dia sendiri yang menyuruhku memanggilnya 'Bapak'.
"Waktu itu Bapak sendiri yang menyuruh aku memanggil dengan panggilan itu!" gerutuku.
"Saat itu kita belum ada hubungan apa-apa. Kalau sekarang kita sudah suami istri," jelasnya tapi masih fokus pada handphonenya.
"Kontrak," sambungku hingga mendapat tatapan tajam darinya.
Aku menyengir. "Hehe, iya bercanda."
"Terus sekarang aku manggilnya apa?" tanyaku.
"Mas," jawabnya masih tidak menoleh ke arahku.
"M-mas?" tanyaku lagi dengan kekehan. Jujur, panggilan itu sangat aneh buatku yang masih berumur 18 tahun.
"Kenapa?" lontarnya dengan wajah yang datar.
"E-enggak, kok!"
"Mas!" panggilku.
Mas Gavin berdecak. "Ck! Apasih!"
"Mas, jangan fokus ke handphone terus kenapa, sih!" decakku.
"Karena di sini gak ada yang menarik selain handhponeku."
Aku menghiraukan jawaban itu.
"Mas, baca deh novel ini!" Aku menunjukkan novelku. "Di dalam novel ini berisi cerita tentang perjodohan. Walaupun mereka dijodohkan, tapi mereka tetap romantis. Gak seperti kita yang saling berdiam diri."
Sudah ku duga, pria itu pasti tidak mau menemuiku hanya karena sebuah novel di tanganku ini.
Mendadak jantungku berdegup sangat kencang karena Mas Gavin tiba-tiba beranjak dari sofa dan berjalan ke arahku. Bahkan bulu kudukku merinding.
Pria itu mengambil novel dari tanganku. "Ini novelnya?" Ekspresinya sangat datar.
Aku mengangguk.
Mas Gavin menatap tajam aku. "Waktu itu sudah saya bilang. Jangan berharap lebih pada rumah tangga ini. Karena saya dan kamu hanyalah sebatas pengasuh bayi dan bayi. Kamu hanyalah titipan untuk saya. Saya juga sebenarnya ilfeel melihat kamu yang umurnya jauh di bawah saya."
Aku yang tadinya membalas tatapan tajam Mas Gavin, kini menundukkan kepalaku. Aku tertegun. Ternyata bagi pria itu diriku tidak ada apa-apanya.
"Minggir kamu!" Mas Gavin mengusir aku yang sedang bersandar di kepala kasur.
Aku menatap Mas Gavin bingung. "Hah, minggir?"
"Ck! Iya minggir saya mau tidur di kasur!"
"Di samping masih lebar tempatnya," sahutku sembari menunjukkan kasur yang masih lebar di sebelahku bersandar.
"Saya gak sudi tidur satu ranjang sama kamu!" ketus Mas Gavin membuat dadaku terasa sesak.
"Terus aku tidur dimana?"
Mas Gavin memalingkan wajahnya ke arah sofa.
"Mas! Kalo di novel-novel suami yang tidur di sofa, bukan istri!"
Tiba-tiba Mas Gavin merebut novel di tanganku, lalu merobek selembar kertas dari novel itu.
Srekk!
Setelah disobek, kemudian novel itu dibanting ke lantai. Aku yang melihat ini otomatis menganga tidak percaya.
"Mas-"
"Cukup, Rain! Cukup kamu bertingkah seperti anak-anak! Aku dan pemeran suami di novel itu berbeda! Jangan kamu kaitkan rumah tangga ini dengan novel busuk kamu itu!" bentak Mas Gavin dengan wajah marahnya.
Sementara di sisi lain, mataku sudah memerah bahkan menjatuhkan cairan bening, namun dengan cepat aku menyekanya. Aku pun menarik salah satu bantal yang terdapat di ranjang itu. Aku hendak menarik selimut, namun dihadang oleh Mas Gavin.
"Selimutnya cuma ada satu di kamar ini! Jadi ini buat saya aja!" tutur Mas Gavin embari memegang erat-erat selimut itu.
Dengan mata yang masih memerah, aku menatap Mas Gavin. "A-aku gak bisa tidur tanpa selimut, Mas."
"Saya lebih gak bisa tidur tanpa selimut!"
Tak mau beradu mulut, aku pun langsung keluar dari kamar. Saat ini perasanku sangatlah hancur. Dari dulu, aku tidak menyukai laki-laki yang kasar terhadap wanita, tapi apalah daya karena ini sudah takdir.
Aku menuruni tangga, lalu berjalan berkelintaran. Mama, itulah yang saat ini sosok yang aku cari. Aku tidak mau tidur satu kamar dengan pria itu, aku mau pulang saja dengan Mamaku.
Tak sengaja aku berpapasan dengan Bunda Anggun. "Bunda, liat Mama Inka gak?" tanyaku.
"Mama kamu baru saja pulang," jawab Bunda. "Memangnya ada apa?" tanyanya heran.
Aku menggeleng. "Enggak ada apa-apa kok, Bunda."
Bunda Anggun memegang pundak kananku. "Inka, kamu sudah berumah tangga. Dan mulai saat ini, kamu adalah milik Gavin, bukan milik orang tuamu lagi."
"Tapi setelah kontrak itu selesai, aku kembali pada orangtua aku, Bunda."
Bunda langsung membalikkan badannya hingga membelakangiku. "Mungkin bagi kalian ini adalah pernikahan kontrak yang bisa cerai setelah empat tahun, tapi bagi Bunda itu gak boleh terjadi! Biar bagaimana pun kalian harus bersatu sampai maut memisahkan!"
Jam 22:10Aku membuka knop pintu kamar secara perlahan. Ku lihat Mas Gavin sedang tidur pulas dengan membelakangiku.Aku menghela napas lega. Untung saja ia sudah tidur, kalau tidak pasti sudah kena omel lagi."Dari mana?"Aku yang sengaja berjalan dengan perlahan agar Mas Gavin tak mendengar suara derap langkah kakiku, langsung menghentikan langkahku. Tatapanku lurus menatap ke depan. Aku kira Mas Gavin sudah tidur, ternyata belum."Mau mengaduh sama Mama kamu?" Mas Gavin tersenyum sinis. "Dasar bocah!""Dengar ya, Rain! Mungkin sebelum menikah kamu bisa bermanja-manja sama orang tuamu! Tapi sekarang kamu sudah berbeda status! Kamu titipan orang tuamu untukku dan kamu gak boleh bersikap semena-mena denganku!" lanjut Mas Gavin.Aku mengentakkan kakiku, lalu berjalan ke arah sofa. Aku tidur dengan tubuh yang menghadap ke sandaran sofa. Kupingku aku timpah dengan bantalku agar tidak mendengar suara omelan Mas Gavin.Sudah beberap
"Ngomong-ngomong kalian sudah pada makan?" tanya Bunda."Ak-" Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tapi kali ini bukan Bunda yang memotongnya, melainkan Mas Gavin."Sudah kok, Bunda." Pria itu sangat tega, egois. Ia hanya mengatakan kondisi perutnya, bukan istrinya."Beneran?" Bunda memastikan.Mas Gavin tersenyum ke arah Bunda. Senyum yang tak pernah aku lihat. "Beneran, Bunda.""Bunda, kami langsung pulang, ya!" izin Mas Gavin.Bunda refleks melihat jam yang melingkar di tangannya. "Ini masih jam delapan, cepat sekali kalian pulangnya. Lagian kenapa gak barengan aja sama Bunda dan Ayah?" tanya Bunda."Maaf, Bunda. Sepertinya Gavin tidak mampir ke rumah Bunda. Gavin langsung pulang saja dengan Rain," tutur Mas Gavin."Kalau kalian langsung pulang, bagaimana dengan pakaian Inka?" tanya Bunda."Itu tak masalah, Bunda. Nanti sore Gavin bakal menemani Rain pulang mengambil pakaiannya."Sementara aku yang dari tadi hanya&nbs
"Saran Mama, coba kamu turuti apa kata Gavin, buat dia sampai luluh padamu," papar Mama. Dengan mata yang masih memerah, aku menjawab, "luluh? Mustahil baginya untuk luluh padaku." "Kenapa kamu berpikiran begitu?" "Ma, Mas Gavin itu masih berhubungan dengan mantan istrinya. Bagaimana bisa ia luluh padaku?" "Gak ada salahnya mencoba, Inka." "Kamu coba aja, ya!" bujuk Mama sembari memegang lenganku untuk meyakinkan. Aku terdiam sejenak, tak lama aku kembali berkata, "okey. Aku akan mencoba saran Mama." "Nah, gitu dong!" Setelah itu, tak ada pembicaraan di antara kami lagi. Hingga aku memanggil Mama Sekar. "Ma!" panggilku. Mama melihat ke aku. "Iya, ada apa?" "Malam ini Inka ingin tidur di sini." "Gak bisa gitu, sayang. Kamu sudah menikah, kamu sudah menjadi hak suami kamu. Lagian apa nanti kata Papa kalau kamu nginap di sini," ujar Mama. "Kenapa sih, Mama selalu takut sama Papa?"
"Pa... Inka gak mau dijodohkan," keluhku dengan menatap Papa ku yang sedang duduk di kursi makan. Di meja makan, kini sangat banyak sekali berbagai makanan. "Dari SMA sudah tiga kali Papa menyuruhmu untuk menikah dengan laki-laki pilihan Papa, tapi kamu menolak dan Papa diam dengan semua itu. Dan sekarang kamu sudah kuliah, kamu mau menolak itu lagi? Tapi maaf, tidak bisa! Keputusan Papa kali ini gak bisa dibantah!" papar Papaku, Gery. "Lagian buat apa sih, Papa menjodohkan aku?" tanyaku heran. Semenjak dari SMA, Papa selalu menyuruhku menikah dengan lelaki pilihannya. "Inka, kamu tahukan Papa sama Mama jarang di rumah? Kami sering di luar negeri. Papa hanya ingin ada yang menjaga kamu di saat kamu kuliah di sini. Setelah kamu lulus, kamu bisa melakukan sesukamu, termasuk bercerai," tutur pria setengah baya yang ada di hadapanku.
"Ekmm... Sepertinya aku ingin pindah kampus," celetukku tanpa sadar."Buat apa? Lebih baik kamu tetap di kampus itu. Malahan kamu harusnya bahagia karena yang menjadi Dosen di fakultasmu itu Gavin!" sahut Papaku.Aku mengangkat alisku sebelah. "Harusnya bahagia? Kenapa?"Ku dengar Papa mendengus kesal. "Kalau Dosen kamu itu Gavin, otomatis nilai kamu juga bagus!""Maaf, Om!" celetuk Gavin mendadak."Prinsip itu tidak berlaku pada saya. Mahasiswa tetaplah mahasiswa dan istri tetaplah istri!" lanjutnya.Papa menatap pria yang bernama Gavin itu kagum. "Om suka model laki-laki yang seperti kamu! Profesional!""Bolehkah kita berbicara sebentar?" Pria itu menatapku dengan tatapan tajam.Aku yang tak sengaja menatap matanya juga sontak gelagapan. "I-iya bisa, silakan!""Saya maunya berbicara empat mata dengan Anda!" ucap pria itu.Tante Anggun menyenggol lengan anaknya. "Jangan terlalu kasar pada perempuan!" per
"Saran Mama, coba kamu turuti apa kata Gavin, buat dia sampai luluh padamu," papar Mama. Dengan mata yang masih memerah, aku menjawab, "luluh? Mustahil baginya untuk luluh padaku." "Kenapa kamu berpikiran begitu?" "Ma, Mas Gavin itu masih berhubungan dengan mantan istrinya. Bagaimana bisa ia luluh padaku?" "Gak ada salahnya mencoba, Inka." "Kamu coba aja, ya!" bujuk Mama sembari memegang lenganku untuk meyakinkan. Aku terdiam sejenak, tak lama aku kembali berkata, "okey. Aku akan mencoba saran Mama." "Nah, gitu dong!" Setelah itu, tak ada pembicaraan di antara kami lagi. Hingga aku memanggil Mama Sekar. "Ma!" panggilku. Mama melihat ke aku. "Iya, ada apa?" "Malam ini Inka ingin tidur di sini." "Gak bisa gitu, sayang. Kamu sudah menikah, kamu sudah menjadi hak suami kamu. Lagian apa nanti kata Papa kalau kamu nginap di sini," ujar Mama. "Kenapa sih, Mama selalu takut sama Papa?"
"Ngomong-ngomong kalian sudah pada makan?" tanya Bunda."Ak-" Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tapi kali ini bukan Bunda yang memotongnya, melainkan Mas Gavin."Sudah kok, Bunda." Pria itu sangat tega, egois. Ia hanya mengatakan kondisi perutnya, bukan istrinya."Beneran?" Bunda memastikan.Mas Gavin tersenyum ke arah Bunda. Senyum yang tak pernah aku lihat. "Beneran, Bunda.""Bunda, kami langsung pulang, ya!" izin Mas Gavin.Bunda refleks melihat jam yang melingkar di tangannya. "Ini masih jam delapan, cepat sekali kalian pulangnya. Lagian kenapa gak barengan aja sama Bunda dan Ayah?" tanya Bunda."Maaf, Bunda. Sepertinya Gavin tidak mampir ke rumah Bunda. Gavin langsung pulang saja dengan Rain," tutur Mas Gavin."Kalau kalian langsung pulang, bagaimana dengan pakaian Inka?" tanya Bunda."Itu tak masalah, Bunda. Nanti sore Gavin bakal menemani Rain pulang mengambil pakaiannya."Sementara aku yang dari tadi hanya&nbs
Jam 22:10Aku membuka knop pintu kamar secara perlahan. Ku lihat Mas Gavin sedang tidur pulas dengan membelakangiku.Aku menghela napas lega. Untung saja ia sudah tidur, kalau tidak pasti sudah kena omel lagi."Dari mana?"Aku yang sengaja berjalan dengan perlahan agar Mas Gavin tak mendengar suara derap langkah kakiku, langsung menghentikan langkahku. Tatapanku lurus menatap ke depan. Aku kira Mas Gavin sudah tidur, ternyata belum."Mau mengaduh sama Mama kamu?" Mas Gavin tersenyum sinis. "Dasar bocah!""Dengar ya, Rain! Mungkin sebelum menikah kamu bisa bermanja-manja sama orang tuamu! Tapi sekarang kamu sudah berbeda status! Kamu titipan orang tuamu untukku dan kamu gak boleh bersikap semena-mena denganku!" lanjut Mas Gavin.Aku mengentakkan kakiku, lalu berjalan ke arah sofa. Aku tidur dengan tubuh yang menghadap ke sandaran sofa. Kupingku aku timpah dengan bantalku agar tidak mendengar suara omelan Mas Gavin.Sudah beberap
Setelah sekian lama aku berpikir, aku menghela napas kesal. Langsung mengetuk pintu itu.Tok! Tok!Walaupun sudah suami istri, setidaknya aku harus sopan pada suami kontrakku.Cklek!Pak Gavin membukakan pintu untukku. Kemudian pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Hampir jam sembilan? Kemana aja kamu?" tanyanya galak sembari mengancingkan kemejanya."Habis dari bawah, Pak!" jawabku.Pak Gavin sedikit mendekatkan wajahnya padaku, lalu memasang mimik wajah seolah tak percaya akan apa yang aku katakan barusan. "Oh ya"Aku yang sudah tak tahan akibat wajahnya terlalu dekat dengan mataku, langsung mendorong dada bidangnya secara perlahan. "Aku mau masuk, Pak!"Aku langsung masuk tanpa memedulikan Pak Gavin."Biasanya istri dulu yang mandi baru suami. Ini terpaksa suami dulu yang mandi karena istri kelayapan," protes Pak Gavin di belakangku.Aku memutar bola malas, lalu menoleh ke belakan
"Ekmm... Sepertinya aku ingin pindah kampus," celetukku tanpa sadar."Buat apa? Lebih baik kamu tetap di kampus itu. Malahan kamu harusnya bahagia karena yang menjadi Dosen di fakultasmu itu Gavin!" sahut Papaku.Aku mengangkat alisku sebelah. "Harusnya bahagia? Kenapa?"Ku dengar Papa mendengus kesal. "Kalau Dosen kamu itu Gavin, otomatis nilai kamu juga bagus!""Maaf, Om!" celetuk Gavin mendadak."Prinsip itu tidak berlaku pada saya. Mahasiswa tetaplah mahasiswa dan istri tetaplah istri!" lanjutnya.Papa menatap pria yang bernama Gavin itu kagum. "Om suka model laki-laki yang seperti kamu! Profesional!""Bolehkah kita berbicara sebentar?" Pria itu menatapku dengan tatapan tajam.Aku yang tak sengaja menatap matanya juga sontak gelagapan. "I-iya bisa, silakan!""Saya maunya berbicara empat mata dengan Anda!" ucap pria itu.Tante Anggun menyenggol lengan anaknya. "Jangan terlalu kasar pada perempuan!" per
"Pa... Inka gak mau dijodohkan," keluhku dengan menatap Papa ku yang sedang duduk di kursi makan. Di meja makan, kini sangat banyak sekali berbagai makanan. "Dari SMA sudah tiga kali Papa menyuruhmu untuk menikah dengan laki-laki pilihan Papa, tapi kamu menolak dan Papa diam dengan semua itu. Dan sekarang kamu sudah kuliah, kamu mau menolak itu lagi? Tapi maaf, tidak bisa! Keputusan Papa kali ini gak bisa dibantah!" papar Papaku, Gery. "Lagian buat apa sih, Papa menjodohkan aku?" tanyaku heran. Semenjak dari SMA, Papa selalu menyuruhku menikah dengan lelaki pilihannya. "Inka, kamu tahukan Papa sama Mama jarang di rumah? Kami sering di luar negeri. Papa hanya ingin ada yang menjaga kamu di saat kamu kuliah di sini. Setelah kamu lulus, kamu bisa melakukan sesukamu, termasuk bercerai," tutur pria setengah baya yang ada di hadapanku.