"Pa... Inka gak mau dijodohkan," keluhku dengan menatap Papa ku yang sedang duduk di kursi makan. Di meja makan, kini sangat banyak sekali berbagai makanan.
"Dari SMA sudah tiga kali Papa menyuruhmu untuk menikah dengan laki-laki pilihan Papa, tapi kamu menolak dan Papa diam dengan semua itu. Dan sekarang kamu sudah kuliah, kamu mau menolak itu lagi? Tapi maaf, tidak bisa! Keputusan Papa kali ini gak bisa dibantah!" papar Papaku, Gery.
"Lagian buat apa sih, Papa menjodohkan aku?" tanyaku heran. Semenjak dari SMA, Papa selalu menyuruhku menikah dengan lelaki pilihannya.
"Inka, kamu tahukan Papa sama Mama jarang di rumah? Kami sering di luar negeri. Papa hanya ingin ada yang menjaga kamu di saat kamu kuliah di sini. Setelah kamu lulus, kamu bisa melakukan sesukamu, termasuk bercerai," tutur pria setengah baya yang ada di hadapanku.
Mama yang duduk di samping Papa pun sontak terkejut mendengar penuturan suaminya. "B-bercerai? Berarti Inka menikah kontrak?"
Dengan santai, Papa mengangguk. "Ya, lagian juga dengan menikahkan Inka dengan anak temanku akan meningkatkan penghasilan di perusahaan kita."
Sebenarnya Mama juga gak suka dengan keputusan Papa. Katanya, pernikahan belum sesuai dengan umurku yang baru memasuki 19 tahun.
Memang pada umumnya usia siswa tamat SMA 18 tahun. Sewaktu SD, aku selalu mengabaikan sekolahku. Selalu berpindah-pindah sekolah hingga suatu saat harus mengulang dari kelas satu kembali. Ini semua karena Mama dan Papa yang sibuk dengan urusan kantornya di luar negeri, hingga tak memikirkan nasib pendidikanku.
"Pa... Sudahlah jangan menjodohkan anak kita! Kasihan dia, umurnya masih terlalu muda! Mama yakin kok dia bisa jaga diri di negeri ini!" usul Mama.
Papa langsung menatap Mama. "Bisa jaga diri kamu bilang? Lihatlah anakmu! Semasa SMA dirinya tidak pernah beres! Selalu bolos kelas! Bahkan kita sering dipanggil ke sekolahnya!" bantah Papa dengan penuh penekanan.
Aku mendengus. Memang sewaktu aku SMA bisa dikatakan salah satu murid yang bad. Tapi percayalah, aku bisa menjaga diri dan merubah sikapku yang dulu.
"Tapi tidak begini juga caranya, Pa!" bantah Mama.
Ting tong!
Mendadak suara bel berbunyi, itu artinya tamu Papa sudah datang.
"Sudah hentikan pertikaian ini!" titah Papa.
"Bi Inem, tolong bukakan pintunya!" teriak Papa menyuruh pembantuku yang ada di dapur.
"Inka, kamu duduk di sini!" Papa menepuk kursi di sampingnya. Sebelumnya, Mama sudah terlebih dahulu pindah ke kursi yang paling ujung. Sehingga aku yang berada di tengah-tengah mereka.
Aku memijit pelipisku dengan kepala yang terus menunduk. Aku takut jika laki-laki yang dijodohkan denganku sudah tua.
Dengan tatapan yang terus menatap lantai, aku melihat bayangan beberapa kaki berjalan ke arah kami. Derap langkah itu semakin lama semakin keras suaranya.
"Sampai juga akhirnya! Apa kabar, Bayu?" Sepertinya Papa sedang berjabat tangan pada temannya yang baru datang itu.
"Saya sangat sehat."
"Jeng!" Mama menyapa wanita di depannya dengan senyuman, lalu saling bersentuhan pipi. Memang sebelumnya Mama belum pernah bertemu dengan wanita itu sehingga tidak saling mengenal.
"Jadi ini ya anaknya?" tanya wanita bernama Anggun itu sembari menunjuk ke arahku yang sedang menunduk.
Papa menarik tubuhku hingga berdiri. Aku sontak mendongakkan wajahku dengan ekspresi datar.
"Senyum!" Papa mencubit pinggangku.
Refleks, aku tersenyum dengan paksaan. Pandanganku mengedar pada seluruh penjuru ruang makan ini. Aku mencari sosok laki-laki yang dijodohkan denganku, namun aku tidak menemui itu.
"Manis banget anaknya," puji Tante Anggun.
Aku senyum tipis ke arahnya. "Terima kasih, Tante."
Papa terus menatap ke arah pintu. "Ekhm! Ngomong-ngomong, dimana anak muda kalian?" tanya Papa.
"Sedang berada di luar, sedang menerima panggilan," jawab Bayu sopan.
Tante Anggun beranjak dari kursinya. "Tunggu ya, biar saya panggil dulu."
Setelah beberapa menit kemudian, seorang wanita paruh baya itu berjalan memasuki rumah dengan seorang laki-laki di sampingnya.
Tante Anggun mendudukkan anak laki-lakinya itu tepat di tengah-tengah dirinya dan suaminya. "Kenalin, ini namanya Gavin."
Gavin tersenyum tipis kepada semua orang yang berada di hadapannya, termasuk aku. Laki-laki itu sangat tampan, tapi sayang tatapannya sangat tajam. Terdapat aura seram di wajahnya.
Tante Anggun yang melihat anaknya tidak bersalaman ataupun mengucapkan sepatah dua kata kepada kami langsung angkat bicara. "Maafkan anak saya, ya. Dia memang gitu, sifatnya cuek serta dingin. Tapi kalo sudah saling kenal, emmh... Jangan tanya lagi! Sifatnya jadi terbalik!" tutur Tante Anggun.
"Iya, kami mengerti itu," sahut Papa.
Kali ini Om Bayu yang angkat bicara. "Tapi maaf sebelumnya, kami ingin memberitahu kepada kalian jika anak kami ini adalah seorang Duda."
Deg!
Mama yang tadinya sedikit menunduk kini mendongakkan wajahnya tegak. Aura wajahnya sudah berbeda dari yang tadi. Sepertinya Mama akan membatalkan perjodohan ini. Mama tidak terima jika anaknya yang masih berumur muda harus menikah dengan seorang Duda.
Ku lihat Papa tersenyum. "Tidak apa-apa. Yang terpenting dia bisa menjaga anakku semasa kuliahnya. Lagian Duda sudah tentu berpengalaman, jadi dia bisa mengajarkan anak saya banyak hal," ungkap Papa enteng.
Mama sontak menolehkan pandangannya ke Papa. "Pa!" peringat Mama.
Papa menatap Mama balik. "Ma, Papa hanya ingin anak kita memiliki sifat dewasa apabila dinikahkan dengan Duda seperti Gavin," balas Papa.
Om Bayu berdeham. "Ekhm! Saya juga berharapnya anak kita akan menikah, Gery. Saya lelah melihat Gavin yang terus berhubungan dengan mantan istrinya," papar Om Bayu.
Mendengar paparan itu, refleks aku mengernyitkan dahi. "Berhubungan dengan mantan istri? Jika masih ingin berhubungan dengan mantan istri, lantas kenapa bisa bercerai?” tanyaku.
"Jadi begini, Inka. Dulu Gavin selalu dibodoh-bodohi oleh mantan istrinya bahkan diduakan. Di saat itu, Gavin sangat marah hingga ia menceraikan istrinya itu. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini Gavin malah terpikat kembali dengan mantan istrinya," jelas Tante Anggun dengan ekspresi wajah yang pilu.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku setelah mendengar penjelasan Tante Anggun.
"Oh iya Gavin, Om cuma mau bilang jika pernikahan kalian ini hanya empat tahun. Ketika sudah empat tahun atau tepatnya Inka lulus kuliah kalian boleh bercerai. Tapi kalau kami anjurkan sih, jangan!" tutur Papa.
Tante Anggun tiba-tiba terkejut. "Em-empat tahun? Mereka cuma nikah kontrak?"
Om Bayu mengangguk. "Iya, Bunda. Pak Gery ini hanya menitipkan anaknya kepada Gavin semasa kuliah."
"Kenapa harus kontrak? Apakah tidak bisa bersatu selamanya?" tanya Tante Anggun heran.
"Itu juga terserah mereka, Bun. Kalau mau lanjut ya lanjut!" sahut Om Bayu.
Seketika suasana menjadi canggung. Apalagi Tante Anggun yang sepertinya syok mengetahui ini. Tapi tak lama, secara perlahan suasa canggung ini meredam.
"Oh iya, ngomong-ngomong kamu kuliah dimana?" tanya Tante Anggun.
"Kuliah di Universitas Nusantara, Tante!" jawabku dengan senyuman tipis.
"Wahh... Pas banget! Gavin juga Dosen di kampus itu loh! Siapa tahu nanti Gavin jadi Dosen di mata kuliah kamu," tutur Tante Anggun.
"Rasanya itu gak mungkin, Tante. Kalau Inka ambil jurusan akuntansi, dan mungkin aja Kak Gavin Dosen di jurusan lain."
"Enggak! Gavin mengajar di fakultas ekonomi!" sosor Tante Anggun.
Sementara aku menelan saliva kasar. Tak akan terbayangkanku jika laki-laki itu menjadi suami sekaligus Dosenku.
"Ekmm... Sepertinya aku ingin pindah kampus," celetukku tanpa sadar."Buat apa? Lebih baik kamu tetap di kampus itu. Malahan kamu harusnya bahagia karena yang menjadi Dosen di fakultasmu itu Gavin!" sahut Papaku.Aku mengangkat alisku sebelah. "Harusnya bahagia? Kenapa?"Ku dengar Papa mendengus kesal. "Kalau Dosen kamu itu Gavin, otomatis nilai kamu juga bagus!""Maaf, Om!" celetuk Gavin mendadak."Prinsip itu tidak berlaku pada saya. Mahasiswa tetaplah mahasiswa dan istri tetaplah istri!" lanjutnya.Papa menatap pria yang bernama Gavin itu kagum. "Om suka model laki-laki yang seperti kamu! Profesional!""Bolehkah kita berbicara sebentar?" Pria itu menatapku dengan tatapan tajam.Aku yang tak sengaja menatap matanya juga sontak gelagapan. "I-iya bisa, silakan!""Saya maunya berbicara empat mata dengan Anda!" ucap pria itu.Tante Anggun menyenggol lengan anaknya. "Jangan terlalu kasar pada perempuan!" per
Setelah sekian lama aku berpikir, aku menghela napas kesal. Langsung mengetuk pintu itu.Tok! Tok!Walaupun sudah suami istri, setidaknya aku harus sopan pada suami kontrakku.Cklek!Pak Gavin membukakan pintu untukku. Kemudian pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Hampir jam sembilan? Kemana aja kamu?" tanyanya galak sembari mengancingkan kemejanya."Habis dari bawah, Pak!" jawabku.Pak Gavin sedikit mendekatkan wajahnya padaku, lalu memasang mimik wajah seolah tak percaya akan apa yang aku katakan barusan. "Oh ya"Aku yang sudah tak tahan akibat wajahnya terlalu dekat dengan mataku, langsung mendorong dada bidangnya secara perlahan. "Aku mau masuk, Pak!"Aku langsung masuk tanpa memedulikan Pak Gavin."Biasanya istri dulu yang mandi baru suami. Ini terpaksa suami dulu yang mandi karena istri kelayapan," protes Pak Gavin di belakangku.Aku memutar bola malas, lalu menoleh ke belakan
Jam 22:10Aku membuka knop pintu kamar secara perlahan. Ku lihat Mas Gavin sedang tidur pulas dengan membelakangiku.Aku menghela napas lega. Untung saja ia sudah tidur, kalau tidak pasti sudah kena omel lagi."Dari mana?"Aku yang sengaja berjalan dengan perlahan agar Mas Gavin tak mendengar suara derap langkah kakiku, langsung menghentikan langkahku. Tatapanku lurus menatap ke depan. Aku kira Mas Gavin sudah tidur, ternyata belum."Mau mengaduh sama Mama kamu?" Mas Gavin tersenyum sinis. "Dasar bocah!""Dengar ya, Rain! Mungkin sebelum menikah kamu bisa bermanja-manja sama orang tuamu! Tapi sekarang kamu sudah berbeda status! Kamu titipan orang tuamu untukku dan kamu gak boleh bersikap semena-mena denganku!" lanjut Mas Gavin.Aku mengentakkan kakiku, lalu berjalan ke arah sofa. Aku tidur dengan tubuh yang menghadap ke sandaran sofa. Kupingku aku timpah dengan bantalku agar tidak mendengar suara omelan Mas Gavin.Sudah beberap
"Ngomong-ngomong kalian sudah pada makan?" tanya Bunda."Ak-" Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tapi kali ini bukan Bunda yang memotongnya, melainkan Mas Gavin."Sudah kok, Bunda." Pria itu sangat tega, egois. Ia hanya mengatakan kondisi perutnya, bukan istrinya."Beneran?" Bunda memastikan.Mas Gavin tersenyum ke arah Bunda. Senyum yang tak pernah aku lihat. "Beneran, Bunda.""Bunda, kami langsung pulang, ya!" izin Mas Gavin.Bunda refleks melihat jam yang melingkar di tangannya. "Ini masih jam delapan, cepat sekali kalian pulangnya. Lagian kenapa gak barengan aja sama Bunda dan Ayah?" tanya Bunda."Maaf, Bunda. Sepertinya Gavin tidak mampir ke rumah Bunda. Gavin langsung pulang saja dengan Rain," tutur Mas Gavin."Kalau kalian langsung pulang, bagaimana dengan pakaian Inka?" tanya Bunda."Itu tak masalah, Bunda. Nanti sore Gavin bakal menemani Rain pulang mengambil pakaiannya."Sementara aku yang dari tadi hanya&nbs
"Saran Mama, coba kamu turuti apa kata Gavin, buat dia sampai luluh padamu," papar Mama. Dengan mata yang masih memerah, aku menjawab, "luluh? Mustahil baginya untuk luluh padaku." "Kenapa kamu berpikiran begitu?" "Ma, Mas Gavin itu masih berhubungan dengan mantan istrinya. Bagaimana bisa ia luluh padaku?" "Gak ada salahnya mencoba, Inka." "Kamu coba aja, ya!" bujuk Mama sembari memegang lenganku untuk meyakinkan. Aku terdiam sejenak, tak lama aku kembali berkata, "okey. Aku akan mencoba saran Mama." "Nah, gitu dong!" Setelah itu, tak ada pembicaraan di antara kami lagi. Hingga aku memanggil Mama Sekar. "Ma!" panggilku. Mama melihat ke aku. "Iya, ada apa?" "Malam ini Inka ingin tidur di sini." "Gak bisa gitu, sayang. Kamu sudah menikah, kamu sudah menjadi hak suami kamu. Lagian apa nanti kata Papa kalau kamu nginap di sini," ujar Mama. "Kenapa sih, Mama selalu takut sama Papa?"
"Saran Mama, coba kamu turuti apa kata Gavin, buat dia sampai luluh padamu," papar Mama. Dengan mata yang masih memerah, aku menjawab, "luluh? Mustahil baginya untuk luluh padaku." "Kenapa kamu berpikiran begitu?" "Ma, Mas Gavin itu masih berhubungan dengan mantan istrinya. Bagaimana bisa ia luluh padaku?" "Gak ada salahnya mencoba, Inka." "Kamu coba aja, ya!" bujuk Mama sembari memegang lenganku untuk meyakinkan. Aku terdiam sejenak, tak lama aku kembali berkata, "okey. Aku akan mencoba saran Mama." "Nah, gitu dong!" Setelah itu, tak ada pembicaraan di antara kami lagi. Hingga aku memanggil Mama Sekar. "Ma!" panggilku. Mama melihat ke aku. "Iya, ada apa?" "Malam ini Inka ingin tidur di sini." "Gak bisa gitu, sayang. Kamu sudah menikah, kamu sudah menjadi hak suami kamu. Lagian apa nanti kata Papa kalau kamu nginap di sini," ujar Mama. "Kenapa sih, Mama selalu takut sama Papa?"
"Ngomong-ngomong kalian sudah pada makan?" tanya Bunda."Ak-" Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tapi kali ini bukan Bunda yang memotongnya, melainkan Mas Gavin."Sudah kok, Bunda." Pria itu sangat tega, egois. Ia hanya mengatakan kondisi perutnya, bukan istrinya."Beneran?" Bunda memastikan.Mas Gavin tersenyum ke arah Bunda. Senyum yang tak pernah aku lihat. "Beneran, Bunda.""Bunda, kami langsung pulang, ya!" izin Mas Gavin.Bunda refleks melihat jam yang melingkar di tangannya. "Ini masih jam delapan, cepat sekali kalian pulangnya. Lagian kenapa gak barengan aja sama Bunda dan Ayah?" tanya Bunda."Maaf, Bunda. Sepertinya Gavin tidak mampir ke rumah Bunda. Gavin langsung pulang saja dengan Rain," tutur Mas Gavin."Kalau kalian langsung pulang, bagaimana dengan pakaian Inka?" tanya Bunda."Itu tak masalah, Bunda. Nanti sore Gavin bakal menemani Rain pulang mengambil pakaiannya."Sementara aku yang dari tadi hanya&nbs
Jam 22:10Aku membuka knop pintu kamar secara perlahan. Ku lihat Mas Gavin sedang tidur pulas dengan membelakangiku.Aku menghela napas lega. Untung saja ia sudah tidur, kalau tidak pasti sudah kena omel lagi."Dari mana?"Aku yang sengaja berjalan dengan perlahan agar Mas Gavin tak mendengar suara derap langkah kakiku, langsung menghentikan langkahku. Tatapanku lurus menatap ke depan. Aku kira Mas Gavin sudah tidur, ternyata belum."Mau mengaduh sama Mama kamu?" Mas Gavin tersenyum sinis. "Dasar bocah!""Dengar ya, Rain! Mungkin sebelum menikah kamu bisa bermanja-manja sama orang tuamu! Tapi sekarang kamu sudah berbeda status! Kamu titipan orang tuamu untukku dan kamu gak boleh bersikap semena-mena denganku!" lanjut Mas Gavin.Aku mengentakkan kakiku, lalu berjalan ke arah sofa. Aku tidur dengan tubuh yang menghadap ke sandaran sofa. Kupingku aku timpah dengan bantalku agar tidak mendengar suara omelan Mas Gavin.Sudah beberap
Setelah sekian lama aku berpikir, aku menghela napas kesal. Langsung mengetuk pintu itu.Tok! Tok!Walaupun sudah suami istri, setidaknya aku harus sopan pada suami kontrakku.Cklek!Pak Gavin membukakan pintu untukku. Kemudian pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Hampir jam sembilan? Kemana aja kamu?" tanyanya galak sembari mengancingkan kemejanya."Habis dari bawah, Pak!" jawabku.Pak Gavin sedikit mendekatkan wajahnya padaku, lalu memasang mimik wajah seolah tak percaya akan apa yang aku katakan barusan. "Oh ya"Aku yang sudah tak tahan akibat wajahnya terlalu dekat dengan mataku, langsung mendorong dada bidangnya secara perlahan. "Aku mau masuk, Pak!"Aku langsung masuk tanpa memedulikan Pak Gavin."Biasanya istri dulu yang mandi baru suami. Ini terpaksa suami dulu yang mandi karena istri kelayapan," protes Pak Gavin di belakangku.Aku memutar bola malas, lalu menoleh ke belakan
"Ekmm... Sepertinya aku ingin pindah kampus," celetukku tanpa sadar."Buat apa? Lebih baik kamu tetap di kampus itu. Malahan kamu harusnya bahagia karena yang menjadi Dosen di fakultasmu itu Gavin!" sahut Papaku.Aku mengangkat alisku sebelah. "Harusnya bahagia? Kenapa?"Ku dengar Papa mendengus kesal. "Kalau Dosen kamu itu Gavin, otomatis nilai kamu juga bagus!""Maaf, Om!" celetuk Gavin mendadak."Prinsip itu tidak berlaku pada saya. Mahasiswa tetaplah mahasiswa dan istri tetaplah istri!" lanjutnya.Papa menatap pria yang bernama Gavin itu kagum. "Om suka model laki-laki yang seperti kamu! Profesional!""Bolehkah kita berbicara sebentar?" Pria itu menatapku dengan tatapan tajam.Aku yang tak sengaja menatap matanya juga sontak gelagapan. "I-iya bisa, silakan!""Saya maunya berbicara empat mata dengan Anda!" ucap pria itu.Tante Anggun menyenggol lengan anaknya. "Jangan terlalu kasar pada perempuan!" per
"Pa... Inka gak mau dijodohkan," keluhku dengan menatap Papa ku yang sedang duduk di kursi makan. Di meja makan, kini sangat banyak sekali berbagai makanan. "Dari SMA sudah tiga kali Papa menyuruhmu untuk menikah dengan laki-laki pilihan Papa, tapi kamu menolak dan Papa diam dengan semua itu. Dan sekarang kamu sudah kuliah, kamu mau menolak itu lagi? Tapi maaf, tidak bisa! Keputusan Papa kali ini gak bisa dibantah!" papar Papaku, Gery. "Lagian buat apa sih, Papa menjodohkan aku?" tanyaku heran. Semenjak dari SMA, Papa selalu menyuruhku menikah dengan lelaki pilihannya. "Inka, kamu tahukan Papa sama Mama jarang di rumah? Kami sering di luar negeri. Papa hanya ingin ada yang menjaga kamu di saat kamu kuliah di sini. Setelah kamu lulus, kamu bisa melakukan sesukamu, termasuk bercerai," tutur pria setengah baya yang ada di hadapanku.