Share

Dua

Penulis: QueenSad
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-12 17:49:53

"Ekmm... Sepertinya aku ingin pindah kampus," celetukku tanpa sadar.

"Buat apa? Lebih baik kamu tetap di kampus itu. Malahan kamu harusnya bahagia karena yang menjadi Dosen di fakultasmu itu Gavin!" sahut Papaku.

Aku mengangkat alisku sebelah. "Harusnya bahagia? Kenapa?"

Ku dengar Papa mendengus kesal. "Kalau Dosen kamu itu Gavin, otomatis nilai kamu juga bagus!"

"Maaf, Om!" celetuk Gavin mendadak.

"Prinsip itu tidak berlaku pada saya. Mahasiswa tetaplah mahasiswa dan istri tetaplah istri!" lanjutnya.

Papa menatap pria yang bernama Gavin itu kagum. "Om suka model laki-laki yang seperti kamu! Profesional!"

"Bolehkah kita berbicara sebentar?" Pria itu menatapku dengan tatapan tajam.

Aku yang tak sengaja menatap matanya juga sontak gelagapan. "I-iya bisa, silakan!"

"Saya maunya berbicara empat mata dengan Anda!" ucap pria itu.

Tante Anggun menyenggol lengan anaknya. "Jangan terlalu kasar pada perempuan!" peringat Tante Anggun.

Namun pria itu hanya diam tak menggubris perkataan Bundanya.

Pria itu beranjak dari kursinya, lalu berkata, "saya tunggu di depan."

Punggung pria itu sudah tidak terlihat lagi oleh penglihatanku, namun aku masih tetap duduk diam di kursi. Jujur, aku tidak siap jika harus berbicara empat mata dengannya.

"Inka, lekas jumpai Gavin!" titah Papa yang membuatku mau tak mau harus beranjak.

Aku berjalan dengan sangat lambat untuk menemui laki-laki yang bernama Gavin itu.

Aku berdeham. "Ekhm!" Hal itu sengaja aku lakukan agar ia yang sedang melihat lurus ke depan mengetahui keberadaanku.

Namun aku salah, aku pikir laki-laki itu menoleh ternyata tetap menatap lurus ke depan. Bahkan wajahnya sangat menyeramkan.

"Ada apa, Kak?" tanyaku pelan.

Laki-laki itu mengangkat alisnya sebelah. "Kak? Kita berbeda tujuh tahun!"

"Eh iya, Mas!"

"Saya Dosenmu, bukan suamimu! Panggil saya bapak!"

Aku tercengang. Ini sangat aneh, aku dan dirinya itu di rumah ini berstatus dijodohkan bukan kuliah.

"Oke, Bapak!"

Tadinya ia duduk, tapi kini ia beranjak. Tangannya ditaruh di saku lalu pandangannya lurus ke depan. "Ingat ya! Pernikahan kita cuma empat tahun, setelahnya kita cerai! Jangan anggap aku spesial di mata kamu! Karna kamu hanyalah titipan bagiku, seperti pengasuh anak dan anak yang dijaganya!" tegas Pak Gavin galak.

"Loh, emangnya Bapak menerima perjodohan ini?" tanyaku bingung.

"Ck! Ini semua karena kamu makanya saya terpaksa menerima ini!"

Mataku melebar mendengar itu. Aku tidak terima dengan apa yang ia katakan. "Kenapa saya?"

"Kamu gak usah banyak bicara! Kepala saya sangat pusing jika mendengar beban sedang bicara!" sentaknya sembari memijit pelipis.

Aku hanya mendengus kesal. Pria ini sangat kasar. Tak bisa ku bayangkan jika ia menjadi sosok suamiku.

"Kamu mengerti enggak?"

Memang saat ini pikiranku sedang buntu. "Mengerti apanya?" tanyaku enteng.

"Kalau kelak kamu hanya titipan untukku bukan istriku!"

Aku menganggukkan kepalaku tanda paham.

Gbrakk!

"Mengerti enggak?!" senggaknya tiba-tiba dengan menggebrak meja di sampingnya yang membuatku sontak terkejut. Jantungku  berdebar sangat kencang.

"I-iya mengerti."

Lalu pria itu pergi meninggalkanku yang termenung menatap kolam dengan lantai biru yang berisi air.

Semakin lama aku termenung, cairan bening jatuh perlahan ke pipiku. Dari dulu, aku gak suka dengan pria kasar seperti Pak Gavin. Tapi entah takdir apa yang membawaku hingga aku menjadi calon istri kontraknya.

Aku mendekat ke arah kolam, lalu duduk di tepi dan merendam kakiku di sana. Saat ini ingin menyendiri untuk menjernihkan pikiranku.

Sudah satu jam aku duduk di sini tanpa kembali ke meja makan. Mungkin pun pria itu dan keluarganya sudah pulang.

Mendadak aku merasakan seperti ada yang menepuk bahuku. Aku membalik, ternyata ada Mama ku yang menatapku seolah berkata 'ada apa?'.

Aku langsung memeluk Mama dengan tangisan yang memecah.

Mama yang bingung melihatku menangis langsung mengelus rambutku. "Ada apa, Inka?"

"Ada apa, ini?" Suara itu mampu melepaskan pelukanku terhadap Mama. Suara yang sangat tegas.

Aku menatap Papaku dengan cairan bening di pipiku. "Papa, Inka gak mau dijodohkan."

"Iya, Pa. Kasihan Inka masih kecil harus nikah dengan pria Duda. Apalagi kalau nikahnya kontrak," timpal Mama membelaku.

"Waktu Inka SMA keputusan Papa kalian bantah, oke gak apa-apa. Tapi kali ini saat Inka  kuliah gak ada yang boleh ngebantah keputusan Papa. Pernikahan itu tetap dilanjutkan," tegas Papa lalu pergi meninggalkan kami.

"Mama, ini gimana? Inka gak mau menikah dengan pria tadi," ucapku dengan sesenggukan.

Mama menatapku dengan penuh kasihan. "Mau gimana lagi, Inka? Ini semua sudah keputusan Papa kamu, Mama gak bisa menolaknya. Begitu pun juga denganmu."

___

"Saya terima nikah dan kawinnya Rainka Adriana binti Gery Laksmana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Dengan tegap, sosok Pria itu menjabat tangan Papaku dan menyebut namaku.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah!"

Tak ku sangka, ternyata pernikahan ini telah terjadi. Pernikahan yang tak pernah aku dambakan. Bahkan saat aku bercermin di kamar hotel tadi, tidak ada raut bahagia di wajahku.

"Ayo Gavin tanda tangan di sini!" titah seorang saksi sembari memberikan selembar kertas. Dengan lihai, Pak Gavin menandatangani kertas itu.

Setelah selesai, Pak Gavin mengoperkannya padaku. Tak lupa ia memberiku sebuah pulpen tanpa mengucapkan sepatah dua kata.

Dari tandatangan, pemakaian cincin, hingga menyalami keluarga. Beberapa lampu flash yang ke arahku maupun Pak Gavin. Memang acara ini sangat sederhana, karena pernikahan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan teman dekatku tidak ada yang tahu jika aku sedang menikah.

Jam 20:45

"Kelly!" panggilku seraya berlari ke arah kecil yang masih berumur 3 tahun. Anak kecil itu adalah keponakan Pak Gavin. Sangat imut.

"Tantee!" balas Kelly seraya tersenyum manis.

"Dapat!" Aku langsung menggendong Kelly walaupun masih mengenakan baju pernikahan.

"Udah jam sembilan, Inka! Ganti bajumu, Gavin sudah menunggumu di kamar!" perintah Tante Anggun.

"Iya, Tante bentar lagi. Inka masih main sama Kelly," balasku.

"Apa kamu bilang? Tante? Panggil aku, Bunda!" titah Tante Anggun.

Aku hanya cengengesan lalu berkata, "Iya, Bunda!"

"Sudah kamu gak usah main sama Kelly terus! Cepat temui suamimu!" titah Bunda lagi dengan nada sedikit tekanan.

Di saat bermain dengan Kelly, aku terus tersenyum. Tapi entah mengapa, saat Bunda berkata begitu senyumku pudar. 

"Ya ampun, Inka!" Anggun mengambil Kelly dari pangkuanku. "Sana buruan ke kamar! Ganti baju, berikan aku cucu lagi!"

Aku beranjak, tapi sambil melamun. "Itu gak mungkin, Pak Gavin pasti jijik denganku," batinku.

Perlahan demi perlahan aku melangkahkan kakiku hingga sampai ke kamar yang sudah disewa untukku dan juga Pak Gavin.

Sebenarnya aku dihantui oleh perasaan ragu-ragu. Aku sangat takut mengetuk pintu yang kini berada pas di hadapanku.

Bab terkait

  • ISTRI TITIPAN   Tiga

    Setelah sekian lama aku berpikir, aku menghela napas kesal. Langsung mengetuk pintu itu.Tok! Tok!Walaupun sudah suami istri, setidaknya aku harus sopan pada suami kontrakku.Cklek!Pak Gavin membukakan pintu untukku. Kemudian pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Hampir jam sembilan? Kemana aja kamu?" tanyanya galak sembari mengancingkan kemejanya."Habis dari bawah, Pak!" jawabku.Pak Gavin sedikit mendekatkan wajahnya padaku, lalu memasang mimik wajah seolah tak percaya akan apa yang aku katakan barusan. "Oh ya"Aku yang sudah tak tahan akibat wajahnya terlalu dekat dengan mataku, langsung mendorong dada bidangnya secara perlahan. "Aku mau masuk, Pak!"Aku langsung masuk tanpa memedulikan Pak Gavin."Biasanya istri dulu yang mandi baru suami. Ini terpaksa suami dulu yang mandi karena istri kelayapan," protes Pak Gavin di belakangku.Aku memutar bola malas, lalu menoleh ke belakan

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-12
  • ISTRI TITIPAN   Empat

    Jam 22:10Aku membuka knop pintu kamar secara perlahan. Ku lihat Mas Gavin sedang tidur pulas dengan membelakangiku.Aku menghela napas lega. Untung saja ia sudah tidur, kalau tidak pasti sudah kena omel lagi."Dari mana?"Aku yang sengaja berjalan dengan perlahan agar Mas Gavin tak mendengar suara derap langkah kakiku, langsung menghentikan langkahku. Tatapanku lurus menatap ke depan. Aku kira Mas Gavin sudah tidur, ternyata belum."Mau mengaduh sama Mama kamu?" Mas Gavin tersenyum sinis. "Dasar bocah!""Dengar ya, Rain! Mungkin sebelum menikah kamu bisa bermanja-manja sama orang tuamu! Tapi sekarang kamu sudah berbeda status! Kamu titipan orang tuamu untukku dan kamu gak boleh bersikap semena-mena denganku!" lanjut Mas Gavin.Aku mengentakkan kakiku, lalu berjalan ke arah sofa. Aku tidur dengan tubuh yang menghadap ke sandaran sofa. Kupingku aku timpah dengan bantalku agar tidak mendengar suara omelan Mas Gavin.Sudah beberap

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-12
  • ISTRI TITIPAN   Lima

    "Ngomong-ngomong kalian sudah pada makan?" tanya Bunda."Ak-" Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tapi kali ini bukan Bunda yang memotongnya, melainkan Mas Gavin."Sudah kok, Bunda." Pria itu sangat tega, egois. Ia hanya mengatakan kondisi perutnya, bukan istrinya."Beneran?" Bunda memastikan.Mas Gavin tersenyum ke arah Bunda. Senyum yang tak pernah aku lihat. "Beneran, Bunda.""Bunda, kami langsung pulang, ya!" izin Mas Gavin.Bunda refleks melihat jam yang melingkar di tangannya. "Ini masih jam delapan, cepat sekali kalian pulangnya. Lagian kenapa gak barengan aja sama Bunda dan Ayah?" tanya Bunda."Maaf, Bunda. Sepertinya Gavin tidak mampir ke rumah Bunda. Gavin langsung pulang saja dengan Rain," tutur Mas Gavin."Kalau kalian langsung pulang, bagaimana dengan pakaian Inka?" tanya Bunda."Itu tak masalah, Bunda. Nanti sore Gavin bakal menemani Rain pulang mengambil pakaiannya."Sementara aku yang dari tadi hanya&nbs

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-12
  • ISTRI TITIPAN   Enam

    "Saran Mama, coba kamu turuti apa kata Gavin, buat dia sampai luluh padamu," papar Mama. Dengan mata yang masih memerah, aku menjawab, "luluh? Mustahil baginya untuk luluh padaku." "Kenapa kamu berpikiran begitu?" "Ma, Mas Gavin itu masih berhubungan dengan mantan istrinya. Bagaimana bisa ia luluh padaku?" "Gak ada salahnya mencoba, Inka." "Kamu coba aja, ya!" bujuk Mama sembari memegang lenganku untuk meyakinkan. Aku terdiam sejenak, tak lama aku kembali berkata, "okey. Aku akan mencoba saran Mama." "Nah, gitu dong!" Setelah itu, tak ada pembicaraan di antara kami lagi. Hingga aku memanggil Mama Sekar. "Ma!" panggilku. Mama melihat ke aku. "Iya, ada apa?" "Malam ini Inka ingin tidur di sini." "Gak bisa gitu, sayang. Kamu sudah menikah, kamu sudah menjadi hak suami kamu. Lagian apa nanti kata Papa kalau kamu nginap di sini," ujar Mama. "Kenapa sih, Mama selalu takut sama Papa?"

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22
  • ISTRI TITIPAN   Satu

    "Pa... Inka gak mau dijodohkan," keluhku dengan menatap Papa ku yang sedang duduk di kursi makan. Di meja makan, kini sangat banyak sekali berbagai makanan. "Dari SMA sudah tiga kali Papa menyuruhmu untuk menikah dengan laki-laki pilihan Papa, tapi kamu menolak dan Papa diam dengan semua itu. Dan sekarang kamu sudah kuliah, kamu mau menolak itu lagi? Tapi maaf, tidak bisa! Keputusan Papa kali ini gak bisa dibantah!" papar Papaku, Gery. "Lagian buat apa sih, Papa menjodohkan aku?" tanyaku heran. Semenjak dari SMA, Papa selalu menyuruhku menikah dengan lelaki pilihannya. "Inka, kamu tahukan Papa sama Mama jarang di rumah? Kami sering di luar negeri. Papa hanya ingin ada yang menjaga kamu di saat kamu kuliah di sini. Setelah kamu lulus, kamu bisa melakukan sesukamu, termasuk bercerai," tutur pria setengah baya yang ada di hadapanku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-12

Bab terbaru

  • ISTRI TITIPAN   Enam

    "Saran Mama, coba kamu turuti apa kata Gavin, buat dia sampai luluh padamu," papar Mama. Dengan mata yang masih memerah, aku menjawab, "luluh? Mustahil baginya untuk luluh padaku." "Kenapa kamu berpikiran begitu?" "Ma, Mas Gavin itu masih berhubungan dengan mantan istrinya. Bagaimana bisa ia luluh padaku?" "Gak ada salahnya mencoba, Inka." "Kamu coba aja, ya!" bujuk Mama sembari memegang lenganku untuk meyakinkan. Aku terdiam sejenak, tak lama aku kembali berkata, "okey. Aku akan mencoba saran Mama." "Nah, gitu dong!" Setelah itu, tak ada pembicaraan di antara kami lagi. Hingga aku memanggil Mama Sekar. "Ma!" panggilku. Mama melihat ke aku. "Iya, ada apa?" "Malam ini Inka ingin tidur di sini." "Gak bisa gitu, sayang. Kamu sudah menikah, kamu sudah menjadi hak suami kamu. Lagian apa nanti kata Papa kalau kamu nginap di sini," ujar Mama. "Kenapa sih, Mama selalu takut sama Papa?"

  • ISTRI TITIPAN   Lima

    "Ngomong-ngomong kalian sudah pada makan?" tanya Bunda."Ak-" Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tapi kali ini bukan Bunda yang memotongnya, melainkan Mas Gavin."Sudah kok, Bunda." Pria itu sangat tega, egois. Ia hanya mengatakan kondisi perutnya, bukan istrinya."Beneran?" Bunda memastikan.Mas Gavin tersenyum ke arah Bunda. Senyum yang tak pernah aku lihat. "Beneran, Bunda.""Bunda, kami langsung pulang, ya!" izin Mas Gavin.Bunda refleks melihat jam yang melingkar di tangannya. "Ini masih jam delapan, cepat sekali kalian pulangnya. Lagian kenapa gak barengan aja sama Bunda dan Ayah?" tanya Bunda."Maaf, Bunda. Sepertinya Gavin tidak mampir ke rumah Bunda. Gavin langsung pulang saja dengan Rain," tutur Mas Gavin."Kalau kalian langsung pulang, bagaimana dengan pakaian Inka?" tanya Bunda."Itu tak masalah, Bunda. Nanti sore Gavin bakal menemani Rain pulang mengambil pakaiannya."Sementara aku yang dari tadi hanya&nbs

  • ISTRI TITIPAN   Empat

    Jam 22:10Aku membuka knop pintu kamar secara perlahan. Ku lihat Mas Gavin sedang tidur pulas dengan membelakangiku.Aku menghela napas lega. Untung saja ia sudah tidur, kalau tidak pasti sudah kena omel lagi."Dari mana?"Aku yang sengaja berjalan dengan perlahan agar Mas Gavin tak mendengar suara derap langkah kakiku, langsung menghentikan langkahku. Tatapanku lurus menatap ke depan. Aku kira Mas Gavin sudah tidur, ternyata belum."Mau mengaduh sama Mama kamu?" Mas Gavin tersenyum sinis. "Dasar bocah!""Dengar ya, Rain! Mungkin sebelum menikah kamu bisa bermanja-manja sama orang tuamu! Tapi sekarang kamu sudah berbeda status! Kamu titipan orang tuamu untukku dan kamu gak boleh bersikap semena-mena denganku!" lanjut Mas Gavin.Aku mengentakkan kakiku, lalu berjalan ke arah sofa. Aku tidur dengan tubuh yang menghadap ke sandaran sofa. Kupingku aku timpah dengan bantalku agar tidak mendengar suara omelan Mas Gavin.Sudah beberap

  • ISTRI TITIPAN   Tiga

    Setelah sekian lama aku berpikir, aku menghela napas kesal. Langsung mengetuk pintu itu.Tok! Tok!Walaupun sudah suami istri, setidaknya aku harus sopan pada suami kontrakku.Cklek!Pak Gavin membukakan pintu untukku. Kemudian pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Hampir jam sembilan? Kemana aja kamu?" tanyanya galak sembari mengancingkan kemejanya."Habis dari bawah, Pak!" jawabku.Pak Gavin sedikit mendekatkan wajahnya padaku, lalu memasang mimik wajah seolah tak percaya akan apa yang aku katakan barusan. "Oh ya"Aku yang sudah tak tahan akibat wajahnya terlalu dekat dengan mataku, langsung mendorong dada bidangnya secara perlahan. "Aku mau masuk, Pak!"Aku langsung masuk tanpa memedulikan Pak Gavin."Biasanya istri dulu yang mandi baru suami. Ini terpaksa suami dulu yang mandi karena istri kelayapan," protes Pak Gavin di belakangku.Aku memutar bola malas, lalu menoleh ke belakan

  • ISTRI TITIPAN   Dua

    "Ekmm... Sepertinya aku ingin pindah kampus," celetukku tanpa sadar."Buat apa? Lebih baik kamu tetap di kampus itu. Malahan kamu harusnya bahagia karena yang menjadi Dosen di fakultasmu itu Gavin!" sahut Papaku.Aku mengangkat alisku sebelah. "Harusnya bahagia? Kenapa?"Ku dengar Papa mendengus kesal. "Kalau Dosen kamu itu Gavin, otomatis nilai kamu juga bagus!""Maaf, Om!" celetuk Gavin mendadak."Prinsip itu tidak berlaku pada saya. Mahasiswa tetaplah mahasiswa dan istri tetaplah istri!" lanjutnya.Papa menatap pria yang bernama Gavin itu kagum. "Om suka model laki-laki yang seperti kamu! Profesional!""Bolehkah kita berbicara sebentar?" Pria itu menatapku dengan tatapan tajam.Aku yang tak sengaja menatap matanya juga sontak gelagapan. "I-iya bisa, silakan!""Saya maunya berbicara empat mata dengan Anda!" ucap pria itu.Tante Anggun menyenggol lengan anaknya. "Jangan terlalu kasar pada perempuan!" per

  • ISTRI TITIPAN   Satu

    "Pa... Inka gak mau dijodohkan," keluhku dengan menatap Papa ku yang sedang duduk di kursi makan. Di meja makan, kini sangat banyak sekali berbagai makanan. "Dari SMA sudah tiga kali Papa menyuruhmu untuk menikah dengan laki-laki pilihan Papa, tapi kamu menolak dan Papa diam dengan semua itu. Dan sekarang kamu sudah kuliah, kamu mau menolak itu lagi? Tapi maaf, tidak bisa! Keputusan Papa kali ini gak bisa dibantah!" papar Papaku, Gery. "Lagian buat apa sih, Papa menjodohkan aku?" tanyaku heran. Semenjak dari SMA, Papa selalu menyuruhku menikah dengan lelaki pilihannya. "Inka, kamu tahukan Papa sama Mama jarang di rumah? Kami sering di luar negeri. Papa hanya ingin ada yang menjaga kamu di saat kamu kuliah di sini. Setelah kamu lulus, kamu bisa melakukan sesukamu, termasuk bercerai," tutur pria setengah baya yang ada di hadapanku.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status