"Saran Mama, coba kamu turuti apa kata Gavin, buat dia sampai luluh padamu," papar Mama.
Dengan mata yang masih memerah, aku menjawab, "luluh? Mustahil baginya untuk luluh padaku."
"Kenapa kamu berpikiran begitu?"
"Ma, Mas Gavin itu masih berhubungan dengan mantan istrinya. Bagaimana bisa ia luluh padaku?"
"Gak ada salahnya mencoba, Inka."
"Kamu coba aja, ya!" bujuk Mama sembari memegang lenganku untuk meyakinkan.
Aku terdiam sejenak, tak lama aku kembali berkata, "okey. Aku akan mencoba saran Mama."
"Nah, gitu dong!"
Setelah itu, tak ada pembicaraan di antara kami lagi. Hingga aku memanggil Mama Sekar.
"Ma!" panggilku.
Mama melihat ke aku. "Iya, ada apa?"
"Malam ini Inka ingin tidur di sini."
"Gak bisa gitu, sayang. Kamu sudah menikah, kamu sudah menjadi hak suami kamu. Lagian apa nanti kata Papa kalau kamu nginap di sini," ujar Mama.
"Kenapa sih, Mama selalu takut sama Papa?"
Senyum Mama mengerut. "Karena sudah kewajiban Mama untuk nurut sama suami. Begitu pun juga kamu, kamu harus nurut seperti Gavin. Walaupun Mama gak suka melihatnya, tapi mau bagaimana pun dia tetap suamimu."
"Kontrak," lanjutku.
"Non Inka, di luar ada Den Gavin!" Bi Inem berteriak.
Aku mengerutkan dahiku, pandanganku tak luput dari sebuah benda yang melekat elok di tanganku. Jarumnya terus bergerak. Ini masih siang, mengapa pria itu sudah di sini? Bukannya di pulang sore?
"Sana kamu hampiri Gavin, Mama mau ke kamar dulu," pamit Mama.
Saat Mama hendak melangkahkan kakinya, aku terlebih dahulu mencekal tangannya. "Ada apa?" tanya Mama.
"T-takut. Inka takut dimarah Mas Gavin," ujarku.
Mama tampak menghela napasnya, lalu mengelus pundakku seraya tersenyum. "Kamu harus biasa, Inka. Sana temuin dia! Mama ke kamar." Kemudian Mama melanjutkan langkahnya.
Aku berjalan secara perlahan ke luar rumah. Hingga aku melihat Mas Gavin yang bertengger di salah satu kursi di teras rumahku. Pandangan pria itu lurus ke depan, wajahnya sangat datar.
"A-ada apa, Mas?" tanyaku dengan gemetar dan menunduk. Karena dari awal aku yakin, jika Mas Gavin bakal memarahiku.
Mas Gavin spontan beranjak dari duduknya. "Belum ada satu jam saya tinggal, tapi kamu sudah pergi! Perempuan macam apa kamu? Sukanya kelayapan," marahnya, tak lupa dengan mengontrol suaranya. Mas Gavin tidak mau jika Mama mendengarnya.
"M-maaf, Mas." Seperti saran Mama, aku mencoba nurut padanya.
Mas Gavin menghela napasnya. "Rain, kamu sekarang sudah menjadi istri saya. Saya tidak mau kamu pergi sesukamu tanpa izin dari saya," ucapnya dengan lembut.
Aku terkejut mendengar penuturan kata itu, mengapa sangat lembut? Biasanya juga pria itu membentak.
"Yaudah, yuk kita ambil pakaian kamu, habis itu kita pulang!" titahnya sembari menungguku untuk berjalan masuk ke rumah.
"Mas, Inka ingin tidur di sini satu malam saja," ucapku.
"Gak bisa," jawabnya singkat.
"Please, Mas. Ini untuk terakhir kalinya," bujukku.
"Sekali saya bilang gak bisa ya gak bisa!" bentaknya membuatku terkejut. Tadi pria itu berbicara lembut padaku, tapi kini sudah berbanding balik.
"Loh kalian di sini?"
Pandangan kami berlalih pada Papa yang baru datang mengenakan jas hitam.
"I-iya, Pa!" jawabku gugup.
"Saya senang kalian bisa kompak begini. Gak sia-sia saya jodohkan Inka denganmu, Gavin!" ujar Papa tersenyum.
Aku menoleh ke arah Mas Gavin, ia membalas perkataan Papa dengan senyuman juga. Tak bisa ingkar, senyuman pria itu sangan manis.
"Yaudah, yuk kita masuk! Sekalian ada yang mau Papa omongin." Papa masuk terlebih dahulu, di susul aku dan Mas Gavin di belakang.
Kini aku, Mas Gavin dan Papa telah duduk di sofa ruang tamu. Di susul Mama yang membawa beberapa camilan dan minum.
"Apa yang mau Papa omongin?" Aku membuka pembicaraan.
"Mama sama Papa besok pergi ke California mau ngurus perusahaan. Papa minta sama Gavin, jaga Inka baik-baik selama kami di luar negeri," ujar Papa.
Baik aku mau pun Mama sama-sama terkejut mendengar penuturan Papa barusan.
"Kenapa mendadak?" lontar Mama terkejut.
"Papa juga dapat kabarnya mendadak Ma dari bawahan," jawab Papa.
"Yahh, padahal Papa sama Mama baru aja pulang ke Indonesia dua hari sebelum Inka dijodohkan. Sekarang sudah mau pergi lagi, kasihan kali nasib aku," keluhku.
"Ini sudah risiko pekerjaan Papa, Inka. Lagian juga sekarang sudah ada Gavin yang bakal menjadi teman hidup kamu. Kamu gak bakal kesepian lagi," terang Papa.
Aku menoleh sebentar ke arah Mas Gavin. Kalau hidupku bersamanya, bukannya ngilangin sepi malah latihan mental.
"Yasudah, tapi Inka punya permintaan terakhir. Inka mau nginap di sini malam ini aja," pintaku. Jujur, aku memang ingin sekali tidur di kamarku untuk yang terakhir kalinya.
"Papa belum bisa mengizinkannya, karena tanggung jawab kamu ada di Gavin. Minta izin padanya!" pinta Papa.
Kini padangan kami beralih pada Mas Gavin yang berwajah datar bak tembok. Kami menanti-nanti dirinya berbicara, namun pria itu tak kunjung buka suara.
"Bagaimana, Gavin?" Dan pada akhirnya Papa yang menanyainya kembali.
"Maaf Pa, Gavin gak bisa izinin Rain untuk tidur di sini malam ini. Besok pagi Gavin harus berangkat ke kantor pagi, sementara data-data Gavin berada di rumah," tolak Mas Gavin.
Aku menatapnya kesal. "Yasudah, kalau gitu Mas tidur di rumah Mas, aku tidur di rumah Mama Papa," sanggahku.
"Inka!" gertak Papa membuatku menunduk.
"Kamu harus ikutin suami kamu ke mana pun dia!" lanjut Papa tentunya dengan bentakan.
"Pa, kasihan Inka. Mungkin dia sangat ingin tidur di sini." Mama menimpal.
"Enggak bisa, Ma. Apa pun keputusan Gavin gak bisa diganggu gugat oleh Inka," sahut Papa.
"Jadi apakah bisa kami mengambil baju-baju di kamar Inka?" tanya Mas Gavin meminta izin.
"Silakan, Nak Gavin!"
Mas Gavin berdiri, lalu menatapku dan menggerakkan kepalanya ke arah atas tangga. Yang artinya, Mas Gavin mengisyaratkan agar aku terlebih dahulu berjalan ke kamarku untuk mengambil pakaian.
Aku beranjak dari dudukku, dan bergegas berjalan terlebih dahulu ke kamarku dengan Mas Gavin yang mengekoriku dari belakang.
"Sepuluh menit dari sekarang! Cepat bereskan pakaianmu!" perintah Mas Gavin mendadak.
"Ini bukan ajang perlombaan, Mas!" peringatku.
"Kenapa kamu berani membantah perkataan saya, Rain? Saya suamimu, kamu seharusnya mematuhi perintah saya!" ujar Mas Gavin tak habis pikir.
"Mematuhi perintah Mas yang konyol itu?" sahutku santai dan fokus mengambil sebuah koper di lemariku.
"Ekhm! Cepat atau saya yang akan menyusun pakaianmu! Kamu tahu 'kan bagaimana nantinya nasib pakaianmu jika saya yang menyusun baju kamu?" ujar datar Mas Gavin.
Aku mematung, dengan cepat aku menyusun baju-bajuku ke koper. Tidak terbayang jika nantinya Mas Gavin yang nyusun, bisa berantakan semua.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku siap menyusun bajuku. Aku berdiri dan meregangkan otot-otot tubuhku. Pandanganku tak luput dari Mas Gavin yang sudah tertidur pulas di atas kasurku.
Aku berjalan ke arahnya. "Mas... Bangun!" bangunkan ku dengan menepuk-nepuk badannya.
"Mas..."
Mas Gavin menggeliat dan melanjutkan tidur pulasnya lagi.
"Mas nyaman ya tidur di kamar aku. Gimana kalau nanti malam kita jadi nginap di sini?" godaku dengan cengengesan, siapa tahu Mas Gavin mau dengan tawaranku.
Mas Gavin yang tadinya tertidur pulas, kini beranjak dari kasur dengan keadaan setengah sadar. "Apanya yang nyaman? Badan saya gatal-gatal karena tidur di kasur busuk kamu itu!" paparnya dengan menggaruk-garuk tubuhnya yang sebenarnya tidak gatal.
"Pa... Inka gak mau dijodohkan," keluhku dengan menatap Papa ku yang sedang duduk di kursi makan. Di meja makan, kini sangat banyak sekali berbagai makanan. "Dari SMA sudah tiga kali Papa menyuruhmu untuk menikah dengan laki-laki pilihan Papa, tapi kamu menolak dan Papa diam dengan semua itu. Dan sekarang kamu sudah kuliah, kamu mau menolak itu lagi? Tapi maaf, tidak bisa! Keputusan Papa kali ini gak bisa dibantah!" papar Papaku, Gery. "Lagian buat apa sih, Papa menjodohkan aku?" tanyaku heran. Semenjak dari SMA, Papa selalu menyuruhku menikah dengan lelaki pilihannya. "Inka, kamu tahukan Papa sama Mama jarang di rumah? Kami sering di luar negeri. Papa hanya ingin ada yang menjaga kamu di saat kamu kuliah di sini. Setelah kamu lulus, kamu bisa melakukan sesukamu, termasuk bercerai," tutur pria setengah baya yang ada di hadapanku.
"Ekmm... Sepertinya aku ingin pindah kampus," celetukku tanpa sadar."Buat apa? Lebih baik kamu tetap di kampus itu. Malahan kamu harusnya bahagia karena yang menjadi Dosen di fakultasmu itu Gavin!" sahut Papaku.Aku mengangkat alisku sebelah. "Harusnya bahagia? Kenapa?"Ku dengar Papa mendengus kesal. "Kalau Dosen kamu itu Gavin, otomatis nilai kamu juga bagus!""Maaf, Om!" celetuk Gavin mendadak."Prinsip itu tidak berlaku pada saya. Mahasiswa tetaplah mahasiswa dan istri tetaplah istri!" lanjutnya.Papa menatap pria yang bernama Gavin itu kagum. "Om suka model laki-laki yang seperti kamu! Profesional!""Bolehkah kita berbicara sebentar?" Pria itu menatapku dengan tatapan tajam.Aku yang tak sengaja menatap matanya juga sontak gelagapan. "I-iya bisa, silakan!""Saya maunya berbicara empat mata dengan Anda!" ucap pria itu.Tante Anggun menyenggol lengan anaknya. "Jangan terlalu kasar pada perempuan!" per
Setelah sekian lama aku berpikir, aku menghela napas kesal. Langsung mengetuk pintu itu.Tok! Tok!Walaupun sudah suami istri, setidaknya aku harus sopan pada suami kontrakku.Cklek!Pak Gavin membukakan pintu untukku. Kemudian pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Hampir jam sembilan? Kemana aja kamu?" tanyanya galak sembari mengancingkan kemejanya."Habis dari bawah, Pak!" jawabku.Pak Gavin sedikit mendekatkan wajahnya padaku, lalu memasang mimik wajah seolah tak percaya akan apa yang aku katakan barusan. "Oh ya"Aku yang sudah tak tahan akibat wajahnya terlalu dekat dengan mataku, langsung mendorong dada bidangnya secara perlahan. "Aku mau masuk, Pak!"Aku langsung masuk tanpa memedulikan Pak Gavin."Biasanya istri dulu yang mandi baru suami. Ini terpaksa suami dulu yang mandi karena istri kelayapan," protes Pak Gavin di belakangku.Aku memutar bola malas, lalu menoleh ke belakan
Jam 22:10Aku membuka knop pintu kamar secara perlahan. Ku lihat Mas Gavin sedang tidur pulas dengan membelakangiku.Aku menghela napas lega. Untung saja ia sudah tidur, kalau tidak pasti sudah kena omel lagi."Dari mana?"Aku yang sengaja berjalan dengan perlahan agar Mas Gavin tak mendengar suara derap langkah kakiku, langsung menghentikan langkahku. Tatapanku lurus menatap ke depan. Aku kira Mas Gavin sudah tidur, ternyata belum."Mau mengaduh sama Mama kamu?" Mas Gavin tersenyum sinis. "Dasar bocah!""Dengar ya, Rain! Mungkin sebelum menikah kamu bisa bermanja-manja sama orang tuamu! Tapi sekarang kamu sudah berbeda status! Kamu titipan orang tuamu untukku dan kamu gak boleh bersikap semena-mena denganku!" lanjut Mas Gavin.Aku mengentakkan kakiku, lalu berjalan ke arah sofa. Aku tidur dengan tubuh yang menghadap ke sandaran sofa. Kupingku aku timpah dengan bantalku agar tidak mendengar suara omelan Mas Gavin.Sudah beberap
"Ngomong-ngomong kalian sudah pada makan?" tanya Bunda."Ak-" Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tapi kali ini bukan Bunda yang memotongnya, melainkan Mas Gavin."Sudah kok, Bunda." Pria itu sangat tega, egois. Ia hanya mengatakan kondisi perutnya, bukan istrinya."Beneran?" Bunda memastikan.Mas Gavin tersenyum ke arah Bunda. Senyum yang tak pernah aku lihat. "Beneran, Bunda.""Bunda, kami langsung pulang, ya!" izin Mas Gavin.Bunda refleks melihat jam yang melingkar di tangannya. "Ini masih jam delapan, cepat sekali kalian pulangnya. Lagian kenapa gak barengan aja sama Bunda dan Ayah?" tanya Bunda."Maaf, Bunda. Sepertinya Gavin tidak mampir ke rumah Bunda. Gavin langsung pulang saja dengan Rain," tutur Mas Gavin."Kalau kalian langsung pulang, bagaimana dengan pakaian Inka?" tanya Bunda."Itu tak masalah, Bunda. Nanti sore Gavin bakal menemani Rain pulang mengambil pakaiannya."Sementara aku yang dari tadi hanya&nbs
"Saran Mama, coba kamu turuti apa kata Gavin, buat dia sampai luluh padamu," papar Mama. Dengan mata yang masih memerah, aku menjawab, "luluh? Mustahil baginya untuk luluh padaku." "Kenapa kamu berpikiran begitu?" "Ma, Mas Gavin itu masih berhubungan dengan mantan istrinya. Bagaimana bisa ia luluh padaku?" "Gak ada salahnya mencoba, Inka." "Kamu coba aja, ya!" bujuk Mama sembari memegang lenganku untuk meyakinkan. Aku terdiam sejenak, tak lama aku kembali berkata, "okey. Aku akan mencoba saran Mama." "Nah, gitu dong!" Setelah itu, tak ada pembicaraan di antara kami lagi. Hingga aku memanggil Mama Sekar. "Ma!" panggilku. Mama melihat ke aku. "Iya, ada apa?" "Malam ini Inka ingin tidur di sini." "Gak bisa gitu, sayang. Kamu sudah menikah, kamu sudah menjadi hak suami kamu. Lagian apa nanti kata Papa kalau kamu nginap di sini," ujar Mama. "Kenapa sih, Mama selalu takut sama Papa?"
"Ngomong-ngomong kalian sudah pada makan?" tanya Bunda."Ak-" Lagi-lagi ucapanku terpotong. Tapi kali ini bukan Bunda yang memotongnya, melainkan Mas Gavin."Sudah kok, Bunda." Pria itu sangat tega, egois. Ia hanya mengatakan kondisi perutnya, bukan istrinya."Beneran?" Bunda memastikan.Mas Gavin tersenyum ke arah Bunda. Senyum yang tak pernah aku lihat. "Beneran, Bunda.""Bunda, kami langsung pulang, ya!" izin Mas Gavin.Bunda refleks melihat jam yang melingkar di tangannya. "Ini masih jam delapan, cepat sekali kalian pulangnya. Lagian kenapa gak barengan aja sama Bunda dan Ayah?" tanya Bunda."Maaf, Bunda. Sepertinya Gavin tidak mampir ke rumah Bunda. Gavin langsung pulang saja dengan Rain," tutur Mas Gavin."Kalau kalian langsung pulang, bagaimana dengan pakaian Inka?" tanya Bunda."Itu tak masalah, Bunda. Nanti sore Gavin bakal menemani Rain pulang mengambil pakaiannya."Sementara aku yang dari tadi hanya&nbs
Jam 22:10Aku membuka knop pintu kamar secara perlahan. Ku lihat Mas Gavin sedang tidur pulas dengan membelakangiku.Aku menghela napas lega. Untung saja ia sudah tidur, kalau tidak pasti sudah kena omel lagi."Dari mana?"Aku yang sengaja berjalan dengan perlahan agar Mas Gavin tak mendengar suara derap langkah kakiku, langsung menghentikan langkahku. Tatapanku lurus menatap ke depan. Aku kira Mas Gavin sudah tidur, ternyata belum."Mau mengaduh sama Mama kamu?" Mas Gavin tersenyum sinis. "Dasar bocah!""Dengar ya, Rain! Mungkin sebelum menikah kamu bisa bermanja-manja sama orang tuamu! Tapi sekarang kamu sudah berbeda status! Kamu titipan orang tuamu untukku dan kamu gak boleh bersikap semena-mena denganku!" lanjut Mas Gavin.Aku mengentakkan kakiku, lalu berjalan ke arah sofa. Aku tidur dengan tubuh yang menghadap ke sandaran sofa. Kupingku aku timpah dengan bantalku agar tidak mendengar suara omelan Mas Gavin.Sudah beberap
Setelah sekian lama aku berpikir, aku menghela napas kesal. Langsung mengetuk pintu itu.Tok! Tok!Walaupun sudah suami istri, setidaknya aku harus sopan pada suami kontrakku.Cklek!Pak Gavin membukakan pintu untukku. Kemudian pria itu melihat jam yang melingkar di tangannya. "Hampir jam sembilan? Kemana aja kamu?" tanyanya galak sembari mengancingkan kemejanya."Habis dari bawah, Pak!" jawabku.Pak Gavin sedikit mendekatkan wajahnya padaku, lalu memasang mimik wajah seolah tak percaya akan apa yang aku katakan barusan. "Oh ya"Aku yang sudah tak tahan akibat wajahnya terlalu dekat dengan mataku, langsung mendorong dada bidangnya secara perlahan. "Aku mau masuk, Pak!"Aku langsung masuk tanpa memedulikan Pak Gavin."Biasanya istri dulu yang mandi baru suami. Ini terpaksa suami dulu yang mandi karena istri kelayapan," protes Pak Gavin di belakangku.Aku memutar bola malas, lalu menoleh ke belakan
"Ekmm... Sepertinya aku ingin pindah kampus," celetukku tanpa sadar."Buat apa? Lebih baik kamu tetap di kampus itu. Malahan kamu harusnya bahagia karena yang menjadi Dosen di fakultasmu itu Gavin!" sahut Papaku.Aku mengangkat alisku sebelah. "Harusnya bahagia? Kenapa?"Ku dengar Papa mendengus kesal. "Kalau Dosen kamu itu Gavin, otomatis nilai kamu juga bagus!""Maaf, Om!" celetuk Gavin mendadak."Prinsip itu tidak berlaku pada saya. Mahasiswa tetaplah mahasiswa dan istri tetaplah istri!" lanjutnya.Papa menatap pria yang bernama Gavin itu kagum. "Om suka model laki-laki yang seperti kamu! Profesional!""Bolehkah kita berbicara sebentar?" Pria itu menatapku dengan tatapan tajam.Aku yang tak sengaja menatap matanya juga sontak gelagapan. "I-iya bisa, silakan!""Saya maunya berbicara empat mata dengan Anda!" ucap pria itu.Tante Anggun menyenggol lengan anaknya. "Jangan terlalu kasar pada perempuan!" per
"Pa... Inka gak mau dijodohkan," keluhku dengan menatap Papa ku yang sedang duduk di kursi makan. Di meja makan, kini sangat banyak sekali berbagai makanan. "Dari SMA sudah tiga kali Papa menyuruhmu untuk menikah dengan laki-laki pilihan Papa, tapi kamu menolak dan Papa diam dengan semua itu. Dan sekarang kamu sudah kuliah, kamu mau menolak itu lagi? Tapi maaf, tidak bisa! Keputusan Papa kali ini gak bisa dibantah!" papar Papaku, Gery. "Lagian buat apa sih, Papa menjodohkan aku?" tanyaku heran. Semenjak dari SMA, Papa selalu menyuruhku menikah dengan lelaki pilihannya. "Inka, kamu tahukan Papa sama Mama jarang di rumah? Kami sering di luar negeri. Papa hanya ingin ada yang menjaga kamu di saat kamu kuliah di sini. Setelah kamu lulus, kamu bisa melakukan sesukamu, termasuk bercerai," tutur pria setengah baya yang ada di hadapanku.