"Apa yang sudah Kamu lakukan Kiandra? Kenapa tidak makan makanan yang Aku siapkan dan malah pesan di luar?" tanya Alsen menuntut begitu melihat bungkus makanan cepat saji di kamar yang belum sempat dibereskan. Pria itu menghela nafas lalu memijat ringan pangkal hidungnya lantaran merasa tiba-tiba pusing mendapati sikap istrinya.
"Aku hanya tidak mau memakan apapun dari uangmu, Aku ingat Kau melarangku beberapa hari lalu," jelas Kiandra sambil membuang muka.Alsen kembali menghela nafas, Dia ingat ucapannya yang melarang Kiandra itu, namun semata-mata itu hanyalah perhitungan supaya istrinya berubah, bukannya larangan untuk selamanya. Sekarang hal itu malah menjadi masalah dan Alsen sangat keberatan dengan yang Kiandra lakukan."Aku masih suamimu Kiandra, Aku masih berkewajiban memberimu nafkah, lagi pula kejadian hari itu hanya untuk memperingatkanmu hari itu saja, bukan untuk selamanya!"Kiandra tersenyum lirih mendengar ucapan suaminya. Lalu"Periksa lebih lanjut soal laki-laki itu, awasi Dia dan jangan lewatkan apapun. Aku tak mau bajing*n itu mendekati istriku!" perintah Alsen dengan serius. "Baik Tuan Alsen," jawab Melvin dengan patuh. Setelahnya, Alsen pun berbalik dan segera pergi dari sana. Dia sudah mengetahui kebenarannya sekarang, sadar kalau selama ini dirinya sendiri sudah salah paham pada istrinya sendiri Kiandra. Namun, meskipun begitu, Alsen tetap saja tidak menyalahkan dirinya sendiri, tapi juga ikut menyalahkan orang atas kesalahannya itu. "Sial! Ini semua gara-gara laki-laki brengs*k itu. Dia sudah merusak rumah tanggaku!" geram Alsen sambil mengepalkan tangan, mendengus kasar, tapi di saat yang sama Alsen juga merasa tak sabar untuk menemui istrinya.Alsen kembali ke rumah, mengebut dengan kecepatan tinggi, dan begitu sampai Dia melangkah dengan langkah lebarnya, supaya cepat sampai di kamar. Nafasnya segera tak teratur, sedikit terengah-engah karenanya, namun hal
Alsen membuka pintu dan menemukan Kiandra menangis. Istrinya itu membulatkan matanya, mungkin terkejut dengan kehadirannya, tapi kemudian menatapnya tajam. Meski begitu Alsen tak memperdulikan tatapannya, seolah tak terganggu, Dia terus melanjutkan langkahnya masuk. "Ngapain lagi ke sini?!" bentak Kiandra marah. Alsen tak langsung menjawabnya, tapi malah menaruh nampan makannya terlebih dahulu, barulah kemudiaan menghampirinya. "Kamu belum makan malam ternyata, hm ... ini makananmu. Lana yang siapkan tadi, Aku hanya membantu membawanya.""Tidak usah. Bawa saja kembali ke dapur sana. Aku tidak lapar dan muak dengan makanan itu!" jelas Kiandra dengan ketus. Membuat Alsen mengerutkan dahinya bingung. "Tapi kenapa, bukankah makanan ini Kamu yang Pesan Kiandra? Ini juga ada rujaknya, bukankah anak Kita juga lagi kepengen itu?!" tanya Alsen serius. Kiandra memutar bola matanya jengah, lalu mengusap lelehan air matanya yang turun membasahi pipi. Sebenarnya Alsen sudah ingin melakukan itu,
"Aku ingin makan siang buatan Kamu, anterin ke kantor. Sudah lama Aku tidak makan dan merindukannya," ujar Alsen dalam telepon pada Kiandra. "Aku hina dan memuakkan, apakah Kamu tidak jijik dengan masakanku, tidak keberatan memakan makanan yang dibuat oleh manusia sampah?" jawab Kiandra ketus dan sengaja merendahkan dirinya untuk memancing Alsen. "Ki ... bisakah Kita tidak membahas itu lagi? Aku sudah tahu segalanya, dan Kamu cuma istriku bukan orang seperti yang Kamu katakan," ujar Alsen tak mau bertengkar. Kiandra mendengus kasar, lalu terkekeh lantaran tak percaya ucapan suaminya. "Kamu manis setelah puas menghinaku, puas merendahkan, mempertanyakan kehormatanku, atau bahkan mengatakan janin dalam kandunganku anak haram?!" Kiandra berkata dengan nada datar, walau perasaannya berbanding terbalik. Sebenarnya Dia juga tak mengerti dengan apa yang harus dilakukannya, Dia benci Alsen, Benci hidup dalam ketidakberdayaan dan juga ancaman. Namun di
Kiandra pulang ke apartemennya dan langsung mematikan telepon miliknya. Dia sudah tidak perduli apapun lagi, walaupun itu soal janji suaminya siang ini yang akan pergi ke dokter berdua. Dia sudah tak mood lantaran terlanjur sangat kecewa. Melemparkan diri ke tempat tidurnya dan berbaring di sana. Tak butuh waktu, air matanya segera mengalir deras. "Apa begini rasanya mencintai sebelah pihak, selalu mengemis cinta dan bahkan rela tersakiti. Hiks-hiks, Kamu sangat jahat Mas!!" histeris Kiandra menjerit dalam apartemennya. Dia tak khawatir suaranya akan terdengar keluar, sebab apartemennya itu dipasang peredaran suara. Dituduh selingkuh, diperlakukan buruk dan terakhir Alsen seperti terang-terangan mengkhianatinya. Kiandra merasa mungkin ini adalah karmanya, sebab di masa lalu sudah mengkhianati Vano, setelah memberinya harapan palsu. Meski sudah menyesal, tapi kesalahannya itu tetap saja harus membuatnya menghadapi sengsara. Dua jam berlalu dan Kiandra sudah tertidur dalam sedihnya.
Telepon masuk ke ponsel Kiandra dan juga Vela di saat yang bersamaan. Keduanya menjawab dan sama-sama mendapatkan kabar yang sama, tapi sepertinya orang yang berbeda. Itu dari staff dan pelayan Kafe. "Bagaimana ini Vela, kenapa Mas Alsen setega itu sama Aku?!" Kiandra langsung histeris dan menjatuhkan tubuhnya terduduk lemas menyandar tembok. Di Kafe terjadi kerusuhan dan suaminya terang-terangan menjadi pelaku utamanya di sana. Itu yang dilaporkan padanya barusan lewat telepon. Vela juga sama dan mengetahui yang terjadi. Gadis itu lemas sudah pasti, tapi Dia tak mungkin menunjukkan sisi itu, sementara sahabatnya butuh sandaran. Vela pun bertekad untuk kuat dan menenangkan Kiandra. "Ini bukan soal uang, atau soal perjuanganku sejak awal mendirikan kafe itu. Namun, Kamu tahu kan Vela, karyawan kafe bergantung hidup pada kafe itu. Apa yang harus Aku lakukan sekarang, hiks-hiks ...."Vela segera menepuk-nepuk bahu Kiandra untuk menenangkan wanita
Alsen tidak bisa mendesah lega, meskipun perkiraannya tidak meleset. Kandungan Kiandra memang terselamatkan, tapi kabar buruknya janis itu terlalu lemah dan berada dalam kondisi yang kurang stabil. Hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi dan kapan saja. "Kakak ini semua salahku, tolong maafkan Aku ...." ujar Shifa saat datang dan menjenguk Kiandra yang sampai sekarang tidak sadarkan diri. Alsen mengepalkan tangannya lantaran merasa kesal dan tidak mood dengan kehadiran Shifa. Namun baginya itu bukan karena Dia menyalahkan gadis itu, hanya saja Alsen ingin sendiri. "Keluarlah dan tidak usah kemari!" tegas Alsen tanpa melirik Shifa sama sekali. Mendengar itu, Shifa langsung berkaca-kaca, memperlihatkan raut wajah kesedihan lantaran kecewa dengan sikap Alsen. "Apa ini artinya Kakak tidak memaafkan Aku?" tanya Shifa dengan nada lirih. Alsen mendengus kasar, lalu menoleh dan menatap Shifa dingin. "Keluar. Apa Kau tidak mengerti ucapanku? Aku ingin hanya ingin bersama istriku, lebi
Setelah beberapa hari di rawat, akhirnya Kiandra bisa pulang dan Alsen mempersiapkan segalanya untuknya. Tak ada yang luput dari perhatian pria itu, semua hal yang berhubungan dengan kehamilan istrinya sudah diselesaikannya. Mulai dari merombak kamar supaya lebih nyaman, makanan, dan bahkan pakaian untuk Kiandra. "Aku harap Kamu suka dengan semua ini Kiandra," ujar Alsen sambil tersenyum hangat dan menyentuh puncak kepala Kiandra. Wanita itu langsung mendesis, dan dengan malas melihat sekitarnya, tapi Alsen tak sakit hati. Selama Kiandra masuk rumah sakit, Dia juga sudah belajar menerima sikap Kiandra yang begitu, karena berpikir itu adalah dampak dari kehamilannya. "Kamu tidak perlu repot-repot, Mas. Ngapain bersikap baik dan perhatian, itu cuma akan membuang waktumu!" ketus Kiandra seenaknya. "Ini tidak perlu repot dan oh, ya ... Aku punya sesuatu untukmu. Tunggu di sini," ungkap Alsen langsung beranjak setelah mengatakannya. Pria itu pergi dan setelah beberapa menit kembali den
"Mom mau kemana sih, kok beres-beres pakaian segala?" tanya Shifa dengan serius. Beberapa waktu lalu, gadis itu memang berhasil menghalau ibunya untuk tidak tinggal di rumah Alsen. Dia membawanya ke hotel, tapi karena uangnya yang tidak seberapa dan juga tidak mempunyai pekerjaan, jadi Shifa hanya menyewakan kamar hotel yang tidak mewah untuk beberapa malam. "Mommy udah nggak tahan tinggal di sini, Mommy pindah!" jelas ibunya dengan tegas. Shifa segera mengerutkan dahi dan menatap ibunya dengan serius. "Mau kemana Mom, tempatnya cuma ini?!""Ke rumah Alsen memangnya kemana lagi? Aku bosan hidup miskin seperti ini!" ungkap ibunya dengan wajah yang sangat keberatan. "Mommy nggak usah ngaco, dan berbuat yang aneh-aneh. Aku nggak mau diusir dari sana atau membuat Kak Alsen marah," jelas Shifa memperingatkan. "Kamu hidup enak di sana, sementara Aku harus menderita di sini. Apakah seperti itu sikapmu pada wanita yang sudah melahirkanmu?""Mom, ayolah ... mengerti Aku. Setidaknya bertah