"Tunggu di sini, Aku akan membuahkan susu untuk meredakan rasa pedasnya!" ungkap Alsen memberitahu setelah mengantar Shifa ke kamar tamu yang sekarang ditempati gadis itu.
Namun baru saja Dia mencapai pintu, Lana terlihat terburu-buru menghampirinya. Sontak membuat Alsen heran dan mengerutkan dahinya. "Tuan, Nyonya tidak sadarkan diri di dapur!""Apa?!" kaget Alsen langsung terlihat panik. Tanpa mengulang kalimatnya lagi, Alsen berlari ke dapur, sementara Shifa yang di kamar dan menyaksikan itu segera merasa kesal.'Sial. Jal*ng itu pandai juga berakting. Kenapa tidak mati saja?!' geram Shifa membatin.Sampai di dapur, Alsen langsung menghampiri Kiandra, menepuk beberapa kali pipinya sebelum kemudian menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa. Lana tidak ikut, sementara Shifa memutuskan untuk menyusul, meskipun sebenarnya Dia lebih suka langsung ikut. Namun keadaannya yang masih kepedasan membuat Alsen tak membiarkannya.Kiandra bersikeras untuk pulang saat itu, memaksa Alsen bicara dengan dokter sehingga mendapatkan izin. Wanita itu hampir tidak bicara apapun, begitu juga suaminya yang sama diamnya. Keheningan terjadi untuk mencegah pertengkaran diantara mereka. Barulah bicara jika ada hal penting yang perlu di sampaikan. "Tidurlah dan jangan berulah lagi!" Alsen menarik selimut untuk Kiandra. Pria itu lanjut keluar tak lupa menutup pintu. Kiandra tak tersentuh dengan perhatiannya itu, rasanya sejak di rumah sakit dan bahkan sampai sekarang mereka sudah sampai di rumah. Kiandra hanya terbayang perasaan sakitnya akan perbuatan nekat suaminya di rumah sakit. Kelopak matanya menggenang air mata dan membuatnya berkaca-kaca. "Kenapa Kamu setega ini Mas?" lirih Kiandra pilu teringat Alsen hampir saja membuatnya kehilangan kandungannya. Perasaannya jauh lebih buruk dari pada saat diusir dan dipertanyakan soal kesetiaannya. Kiandra lebih hancur saat merasakan ancaman aborsi ha
"Apa yang sudah Kamu lakukan Kiandra? Kenapa tidak makan makanan yang Aku siapkan dan malah pesan di luar?" tanya Alsen menuntut begitu melihat bungkus makanan cepat saji di kamar yang belum sempat dibereskan. Pria itu menghela nafas lalu memijat ringan pangkal hidungnya lantaran merasa tiba-tiba pusing mendapati sikap istrinya. "Aku hanya tidak mau memakan apapun dari uangmu, Aku ingat Kau melarangku beberapa hari lalu," jelas Kiandra sambil membuang muka. Alsen kembali menghela nafas, Dia ingat ucapannya yang melarang Kiandra itu, namun semata-mata itu hanyalah perhitungan supaya istrinya berubah, bukannya larangan untuk selamanya. Sekarang hal itu malah menjadi masalah dan Alsen sangat keberatan dengan yang Kiandra lakukan. "Aku masih suamimu Kiandra, Aku masih berkewajiban memberimu nafkah, lagi pula kejadian hari itu hanya untuk memperingatkanmu hari itu saja, bukan untuk selamanya!" Kiandra tersenyum lirih mendengar ucapan suaminya. Lalu
"Periksa lebih lanjut soal laki-laki itu, awasi Dia dan jangan lewatkan apapun. Aku tak mau bajing*n itu mendekati istriku!" perintah Alsen dengan serius. "Baik Tuan Alsen," jawab Melvin dengan patuh. Setelahnya, Alsen pun berbalik dan segera pergi dari sana. Dia sudah mengetahui kebenarannya sekarang, sadar kalau selama ini dirinya sendiri sudah salah paham pada istrinya sendiri Kiandra. Namun, meskipun begitu, Alsen tetap saja tidak menyalahkan dirinya sendiri, tapi juga ikut menyalahkan orang atas kesalahannya itu. "Sial! Ini semua gara-gara laki-laki brengs*k itu. Dia sudah merusak rumah tanggaku!" geram Alsen sambil mengepalkan tangan, mendengus kasar, tapi di saat yang sama Alsen juga merasa tak sabar untuk menemui istrinya.Alsen kembali ke rumah, mengebut dengan kecepatan tinggi, dan begitu sampai Dia melangkah dengan langkah lebarnya, supaya cepat sampai di kamar. Nafasnya segera tak teratur, sedikit terengah-engah karenanya, namun hal
Alsen membuka pintu dan menemukan Kiandra menangis. Istrinya itu membulatkan matanya, mungkin terkejut dengan kehadirannya, tapi kemudian menatapnya tajam. Meski begitu Alsen tak memperdulikan tatapannya, seolah tak terganggu, Dia terus melanjutkan langkahnya masuk. "Ngapain lagi ke sini?!" bentak Kiandra marah. Alsen tak langsung menjawabnya, tapi malah menaruh nampan makannya terlebih dahulu, barulah kemudiaan menghampirinya. "Kamu belum makan malam ternyata, hm ... ini makananmu. Lana yang siapkan tadi, Aku hanya membantu membawanya.""Tidak usah. Bawa saja kembali ke dapur sana. Aku tidak lapar dan muak dengan makanan itu!" jelas Kiandra dengan ketus. Membuat Alsen mengerutkan dahinya bingung. "Tapi kenapa, bukankah makanan ini Kamu yang Pesan Kiandra? Ini juga ada rujaknya, bukankah anak Kita juga lagi kepengen itu?!" tanya Alsen serius. Kiandra memutar bola matanya jengah, lalu mengusap lelehan air matanya yang turun membasahi pipi. Sebenarnya Alsen sudah ingin melakukan itu,
"Aku ingin makan siang buatan Kamu, anterin ke kantor. Sudah lama Aku tidak makan dan merindukannya," ujar Alsen dalam telepon pada Kiandra. "Aku hina dan memuakkan, apakah Kamu tidak jijik dengan masakanku, tidak keberatan memakan makanan yang dibuat oleh manusia sampah?" jawab Kiandra ketus dan sengaja merendahkan dirinya untuk memancing Alsen. "Ki ... bisakah Kita tidak membahas itu lagi? Aku sudah tahu segalanya, dan Kamu cuma istriku bukan orang seperti yang Kamu katakan," ujar Alsen tak mau bertengkar. Kiandra mendengus kasar, lalu terkekeh lantaran tak percaya ucapan suaminya. "Kamu manis setelah puas menghinaku, puas merendahkan, mempertanyakan kehormatanku, atau bahkan mengatakan janin dalam kandunganku anak haram?!" Kiandra berkata dengan nada datar, walau perasaannya berbanding terbalik. Sebenarnya Dia juga tak mengerti dengan apa yang harus dilakukannya, Dia benci Alsen, Benci hidup dalam ketidakberdayaan dan juga ancaman. Namun di
Kiandra pulang ke apartemennya dan langsung mematikan telepon miliknya. Dia sudah tidak perduli apapun lagi, walaupun itu soal janji suaminya siang ini yang akan pergi ke dokter berdua. Dia sudah tak mood lantaran terlanjur sangat kecewa. Melemparkan diri ke tempat tidurnya dan berbaring di sana. Tak butuh waktu, air matanya segera mengalir deras. "Apa begini rasanya mencintai sebelah pihak, selalu mengemis cinta dan bahkan rela tersakiti. Hiks-hiks, Kamu sangat jahat Mas!!" histeris Kiandra menjerit dalam apartemennya. Dia tak khawatir suaranya akan terdengar keluar, sebab apartemennya itu dipasang peredaran suara. Dituduh selingkuh, diperlakukan buruk dan terakhir Alsen seperti terang-terangan mengkhianatinya. Kiandra merasa mungkin ini adalah karmanya, sebab di masa lalu sudah mengkhianati Vano, setelah memberinya harapan palsu. Meski sudah menyesal, tapi kesalahannya itu tetap saja harus membuatnya menghadapi sengsara. Dua jam berlalu dan Kiandra sudah tertidur dalam sedihnya.
Telepon masuk ke ponsel Kiandra dan juga Vela di saat yang bersamaan. Keduanya menjawab dan sama-sama mendapatkan kabar yang sama, tapi sepertinya orang yang berbeda. Itu dari staff dan pelayan Kafe. "Bagaimana ini Vela, kenapa Mas Alsen setega itu sama Aku?!" Kiandra langsung histeris dan menjatuhkan tubuhnya terduduk lemas menyandar tembok. Di Kafe terjadi kerusuhan dan suaminya terang-terangan menjadi pelaku utamanya di sana. Itu yang dilaporkan padanya barusan lewat telepon. Vela juga sama dan mengetahui yang terjadi. Gadis itu lemas sudah pasti, tapi Dia tak mungkin menunjukkan sisi itu, sementara sahabatnya butuh sandaran. Vela pun bertekad untuk kuat dan menenangkan Kiandra. "Ini bukan soal uang, atau soal perjuanganku sejak awal mendirikan kafe itu. Namun, Kamu tahu kan Vela, karyawan kafe bergantung hidup pada kafe itu. Apa yang harus Aku lakukan sekarang, hiks-hiks ...."Vela segera menepuk-nepuk bahu Kiandra untuk menenangkan wanita
Alsen tidak bisa mendesah lega, meskipun perkiraannya tidak meleset. Kandungan Kiandra memang terselamatkan, tapi kabar buruknya janis itu terlalu lemah dan berada dalam kondisi yang kurang stabil. Hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi dan kapan saja. "Kakak ini semua salahku, tolong maafkan Aku ...." ujar Shifa saat datang dan menjenguk Kiandra yang sampai sekarang tidak sadarkan diri. Alsen mengepalkan tangannya lantaran merasa kesal dan tidak mood dengan kehadiran Shifa. Namun baginya itu bukan karena Dia menyalahkan gadis itu, hanya saja Alsen ingin sendiri. "Keluarlah dan tidak usah kemari!" tegas Alsen tanpa melirik Shifa sama sekali. Mendengar itu, Shifa langsung berkaca-kaca, memperlihatkan raut wajah kesedihan lantaran kecewa dengan sikap Alsen. "Apa ini artinya Kakak tidak memaafkan Aku?" tanya Shifa dengan nada lirih. Alsen mendengus kasar, lalu menoleh dan menatap Shifa dingin. "Keluar. Apa Kau tidak mengerti ucapanku? Aku ingin hanya ingin bersama istriku, lebi