"Ini, Ibu pingin ngomong," ucap Senja. Dada Lani berdetak lebih kencang dari biasanya."Assalamualaikum, Bu. Ada apa?" tanyanya cemas saat mendengar helaan lirih dari ibunya."Baru saja suamimu datang kemari, Dhuk.""Ke sana?" Tak sabar Lani bertanya." Dia menyerahkan uang yang banyak, katanya suruh kita meneruskan rumah yang baru pondasian di luar gubuk ini."Lani sejenak terkejut. Alzam tak pernah membicarakannya. Entah kenapa dia berinisiatif seperti itu, bathin Lani. Uang yang Lani berikan kapan hari memang baru cukup untuk pondasi yang di luar rumahnya yang kecil."Ghak kebesaran ini rumah nantinya, Dhuk?" Sampai ibunya bertanya seperti itu."Ya, rumah kita yang kekecilan, Bu.""Dhuk?" panggil ibunya membuyarkan lamunan Lani."Iya, Bu.""Dia ghak cerita ke kamu?""Mungkin dia ingin memberi Ibu, dan takut Lani yang melarang.""Lalu gimana ini, Dhuk? Uang ini ghak sedikit. Bisa sampai menjadi rumah bagus rumah kita nantinya dengan uang segebog itu.""Ghak apa, Bu. Pakai saja. Itu
"Kamu hati-hati ya. Jaga diri baik-baik. Jangan ngotot kalau ngerjakan sesuatu agar kamu ghak drop sewaktu aku pulang nanti.""Memangnya kenapa kalau aku drop, kamu ghak mau merawat aku lagi?""Bukannya ghak mau sih. Tapi kita kan jadi ghak bisa," Alzam mengerlingkn matanya."Pikiran kamu ngeres aja sekarang, Mas."Alza terkekeh. Sekali lagi, dipeluknya Lani. Dibenamkannya tubuh mungil Lani di dekapannya. Ciuman di kening Lani pun terasa menjadi momen haru untuk mereka."Aku akan selalu merindukanmu, Bidadari kecilku.""Mas, kenapa lebay amat? Bukannya kamu ke daerah bencana alam yang menolong orang di sana. Bukan ke daerah konflik untuk memerangi teroris kayak kapan hari?"Alzam menundukkan wajahnya dan mencium bibir Lani. "Ghak tau kenapa aku jadi berat banget ninggalin kamu.""Mas, cepat. Udah teriak-teriak temannya." Mbok Sarem dengan tergopoh ke kamar Alzam.Sekali lagi Alzam mencium kening Lani, lalu dengan cepat Alzam segera keluar dengan membiarkan Lani di dalam kamarnya. Lani
Budi menatap Lani dengan serius, menyisihkan sendok dari semangkuk mie goreng yang baru saja ia makan setengahnya. Kepulan aroma bawang goreng yang masih mengepul seolah ikut menahan napas menanti jawaban."Memangnya kenapa? Dia yang suka mengambil kerajinan di tempatku sebagai suvenir," lanjut Budi, kali ini matanya menyipit, menyelidik. Lani mengerutkan bibirnya, membuat semburat cemas itu kian jelas, meski berusaha ia tutupi."Bagaimana kamu mengenalnya?" desak Budi, masih saja tidak mengendurkan rasa penasarannya.Lani menggigit bibir. Sepasang matanya berkedip lebih cepat dari biasanya. "Aku dulu jualan gorengan di PGS," ia menjawab, suaranya pelan. "Hanya sebatas tahu saat aku jualan di tempatnya."Budi mengangguk-angguk, seakan merenungkan setiap kata yang meluncur dari mulut Lani. "Kalau gitu, biar kapan-kapan aku pertemukan dengannya," katanya dengan nada penuh semangat. "Orangnya asik, lho, kalau diajak ngobrol."Seketika, wajah Lani memucat. Ia menelan ludah, sesuatu yang a
"Kep, kenapa teriak-teriak?" tanya seseorang yang membuat Alzam terkejut di saat kebingungannya. Dengan rerfleks Alzam menoleh. Menatap sosok berwajah manis tak seberapa tinggi yang kini tengah menatapnya dengan tanda tanya. "E, kamu Dandi? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Alzam saat melihat ke belakang, di mana sahabatnya itu sudah terlihat tersenyum dan langsung duduk di sebelah Alzam yang duduk menyingkir dari tendanya. Langit terlihat terang saat bulan purnama, berarti sama saat Alzam meninggalkan Lani waktu itu."E, bukan apa-apa." "Bukan siapa-siapa juga yang Kapten panggil sayang?" Alzam terkesiap."Sejak kapan kamu menyembunyikan sesuatu dariku? Apa karena aku tak lagi datang ke rumahmu akhir-akhir ini hinggah aku tak tau banyak hal tentang kamu? Akhir-akhir ini memang banyak bencana hinggah aku jarang santai. Harus maraton mengikuti ke mana pasukan membutuhkan tenaga medis, sampai ghak sempat lagi nongkrong di rumahmu. Hanum sampai protes kalau aku tak ada waktu untuk dia
"Lani, kamu kenapa, Dhuk?" tanya Mbok Sarem ikut cemas. Dengan tergopoh dia mengejar Lani yang emuntahkan seisi perutnya. Lalu memijit tengkuknya dengan pelan."Ghak tau, Bu. Dari tadi malam, perutku mual dan ingin muntah saja.""Apa kamu masuk angin? Ibu kerokin ya? barangkali seharian kamu kemarin bolak balik ngurus apa itu, kamu jadi begini.""Ghak usah, Bu. Aku ghak biasa kerokan. Geli."" Ya udah, nanti Ibu belikan antangin ya, di warung.""Iya, Bu. Makasih.""Kalau gitu kamu istirahat di kamar saja, sementara Ibu belanja. Nanti aku belikan makanan matang saja ya?""Iya, Bu. Makasih sudah baik banget pada Lani." Lani segera beranjak ke kamarnya kembali dengan merebahkan tubuhnya. Namun hatinya begitu risau, berbagai ketakutan menghinggapi pikirannya.Mbok Sarem masih menguntitnya. Ada yang aneh yang ingin dia utarakan pada Lani. Namun dia tak berani mengatakannya."Tinggalin Lani ghak apa, Bu. Ghak usah repot-repot.""Kamu itu ngomong apa to, Dhuk? Kita sudah seperti keluarga di
"Lani, bangun, Dhuk. Kamu kenapa?"Mbok Sarem sudah kebingungan melihat lani yang terduduk lemas di depan kamar mandi kamarnya setelah berkali-kali dia panggil tak menjawab.Air mata sudah mengalir tak terbendung dari mata indahnya. Dia sudah tak dapat berfikir lagi apa yang harus dia lakukan."Kamu kenapa, dhuk?" tanya Mbok Sarem cemas dengan memegangi bahu Lani."Saya hamil, Bu," jawab Lani dengan terisak.Mbok Sarem segera memeluk Lani dengan iba. Kehamilan bagi setiap pasangan suami istri adalah kebahagian yang tak terkira. Namun tidak untuk Lani yang merasa kehamilan adalah hal buruk yang selalu datang dalam hidupnya."Mas Alzam harus tau hal ini, Dhuk. Kama harus segera telpon dia."Lani memegang tangan Mbok Sarem dengan kuat. "Tidak, Bu. Saya tak tau apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakannya." Lani lalu menatap Mbok Sarem. "Jangan pernah mengatakan semua ini padanya duluh, Bu. Saya ingin punya keberanian dan menunggu waktu yang tepat.""Kenapa begitu, Dhuk? Ini bukan kesa
"Mbak Lani yakin tidak apa-apa?" tanya Pak Sajad sambil mengamati gerak-gerik Lani dengan tatapan penuh tanda tanya. Cahaya pagi yang menembus jendela membawa sedikit kehangatan, namun tak mampu menghilangkan rasa aneh yang mulai merayap di benaknya. Lani, meskipun wajahnya tampak lebih segar setelah muntah, tetap menyisakan kesan cemas yang teramat jelas bagi siapa saja yang memperhatikannya. Sepedanya berderit ringan saat Lani menariknya dari sisi dinding, menyiapkan diri untuk pergi. Ia tampak terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mendorongnya untuk segera menjauh.Tia, dengan sorot mata khawatir, menyorongkan botol air minum. "Minum ini dulu, Mbak," ujarnya, tangannya sedikit gemetar, entah karena gugup atau memang terseret dalam ketegangan situasi yang menggantung di udara.Lani menerima botol itu dengan anggukan ringan, meneguk sedikit sebelum mengusap bibirnya yang pucat. "Terima kasih, Tia," katanya pelan, mencoba menghadirkan senyum yang sulit dipertahankan. "Titip ya, barang
"Dandi, kamu bareng saya saja. Kayaknya ada yang membutuhkanmu setelah terjadi gempa susulan di wilayah selatan," ajak Alzam dengan sudah siap dengan sepeda yang diberikan kesatuannya khusus untuk wilayah yang tidak gampang dilalui."Baik, Kep." Dandi segera siapa-siap dibonceng Alzam.Tak lama kemudian mereka sudah ada di desa tersebut. Tangis sudah memecah pendengaran. Mereka yang mulanya sudah tenang dan tak meninggalkan rumah mereka setelah terjadi gempa kapan hari, menjadi panik setelah terjadi gempa susulan yang kali ini memporakporandakan kediamannya."Kep, kita harus mengevakuasi mereka dari tempat ini." Seorang Sersan menghadap ke Alzam."Tapi warga keebratan, Kep. Bagaimana?" Kepala desa kebingungan."Kalau keberatan pindah, bagaimana nanti kalau ada apa-apa lagi. Apa tidak makin terjadi korban kembali?" Alzam mulai meninggikan suaranya. "Mereka enggan pergi karena keluarga mereka ada yang masih hilang. Terlebih untuk meninggalkan desa dan dikosongkan, rawan penjarahan," ta
Hari itu terasa berbeda bagi Lani. Matahari pagi menyinari bangunan pabrik sederhana di samping ladang ladang jeruk. Papan nama sederhana bertuliskan "Daulani Food Processing" berdiri kokoh di depan dengan masih diselimuti kain putih tebal. Tak ada kemewahan, hanya tenda kecil di halaman depan dan beberapa kursi plastik yang sudah diatur rapi, menyatu dengan gudang jeruk yang dijadikan tempat para undangan.Pekerja-pekerja baru mulai berdatangan, satu per satu. Sebagian besar mereka adalah warga sekitar yang rata-rata mereka baru lulus sekolah atau sudah lama tidak sekolah dan tidak ada pekerjaan. Hari itu, wajah mereka dipenuhi harapan baru.Lani mengenakan blouse biru tua dengan jilbab senada. Ia berdiri di depan pintu masuk pabrik bersama Laras, Tia, dan Pak Sajad—rekan-rekannya yang selama ini bekerja keras mempersiapkan segalanya."Semua sudah siap, Mbak Lani?" tanya Pak Sajad sambil mengecek daftar kehadiran pekerja."Alhamdulillah, kayaknya sudah," jawab Lani sambil tersenyum.
"Asik sekali kalian ngobrol, lalu sekarang mau janjian di mana lagi?"Plak! Alzam memegangi pipinya yang terasa panas oleh tamparan Lani. Rasa malu ditahannya saat kebetulan ada orang lewat di dekat kampus itu. Terlebih masih pagi dan banyak mahasiswa, termasuk orang pergi kerja yang lalu lalang."Kamu sudah mulai kembali meragukan karakterku, Mas!"Alzam menunduk. Lagi-lagi karena cemburu dia tak sadar berbuat kekeliruan yang makin memperparah kebencian Lani padanya."Berarti kamu melihat aku sejak datang? Kamu membuntuti aku? Kamu memata-matai aku?""Aku memang membuntutimu. Tapi bukan untuk memata-mataimu. Aku hanya khawatir kamu sakit lagi. Sedangkan kamu tidak mungkin aku ajak bareng.""Iya, aku tau itu. Bahkan sampai kapan pun, kita tak mungkin bareng ke sini, karena di sebelah sana itu kantor istrimu. Dan di sana markasmu. Kamu takut ketauhan ada hubungan denganku.""Berhenti dengan tuduhanmu itu, kamu tau kenapa alasan ini sejak awal."Lani membuang matanya sebal lalu kembali
Lani tiba di gudang dengan langkah tergesa. Suara ketukan palu dan denting logam beradu terdengar jelas, mengisi udara pagi yang penuh kesibukan. Gudang itu hampir selesai direnovasi untuk pembukaan pabrik di sebelahnya minggu nanti. Lani berhenti sejenak, memandang para pekerja yang sibuk, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana."Mabak Lani, sini sebentar," panggil Tia, salah satu pegawainya yang bertanggung jawab menangani perekrutan karyawan baru yang beberapa hari lalu telah dilatih dari orang profesional yang telah didatangkan Alzam.Lani berjalan mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya meski pikirannya masih kacau."Semua pegawai baru sudah terdaftar. Besok mereka sumua ikut dalam pembukaan." Tiyas bertanya sambil menunjukkan daftar nama di tangannya."Baiklah Tia, Atur saja sesuai keinginanmu, yang penting terlihat bagus," ujar Lani sambil melirik daftar itu."Siap, Mbak Lani," jawab Tia singkat."Bagaimana dengan stok bahan baku?" Lani beralih pada Sajad, yang berdiri d
Lani lalu mengatur napasnya yang terengah, berbaring di tempat tidur setelah pemeriksaan sederhana yang dilakukan Dandi. Cahaya dari jendela menyorot wajahnya yang tampak semakin lesu. Dandi duduk di kursi sebelahnya, menunduk seolah mencari kata-kata yang tepat."Kamu tau ini dan kamu menyembunyikannya?" ucap Dandi pelan, matanya menatap Lani dengan cemas. "Kamu hamil, Lani. dan ini bukan hal yang remeh.""Aku tau, tapi apa yang bisa aku perbuat?""Kamu harus jujur pada Alzam."Kata-kata itu menggema di kepala Lani. Sebuah gelombang emosi menerpanya, antara ketakutan, kepasrahan, dan kemarahan. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis. "Mas... jangan beri tahu Mas Alzam. Aku mohon!" Suara Lani sampai bergetar.Dandi terkejut. "Apa maksudmu, Lani? Dia berhak tahu.""Tidak, Mas, agar kekacauan tidak makin parah." Lani berusaha duduk, meskipun tubuhnya lemah. "Aku tidak mau menghancurkan pernikahannya yang sebentar lagi. Dia sudah memilih wanita itu.""Tapi dia hanya mencintaim
Lani duduk di kamarnya sendiri. Tangannya gemetar saat meraih cermin kecil di meja rias. Bayangan dirinya tampak lelah, wajah yang dipenuhi bekas air mata. "Apa yang sudah aku lakukan?" batinnya bergetar. "Kenapa semuanya terasa seperti jebakan yang tak pernah berakhir?"Dia menoleh ke jendela, berharap ada jawaban di luar sana, tetapi hanya ada kesunyian yang dingin. Setetes air mata jatuh. "Aku harus berhenti bergantung pada ilusi. Dielusnya perutnya. Demi kamu,bunda akan kuat jalani semua ini. Seolah bayi yang baru berupa benih itu mendengar apa yang diungkapkan Lani dengan bergolak. Mual pun tak lagi bisa dihindari Lani. dengan berlari Lani ke wastafel."Huek, huek!" Lani memegangi perutnya. Kepalanya pun mendadak pening.Tepat saat itu Alzam masuk. Dengan penuh cemas, dipijitnya tengkuk Lani walau berkali kali Lani mengibaskan tangannya."Jangan keras kepala Lani, aku akan memijit tengkukmu agar lebih baik." Alzam lalu berlari ke kamarnya untuk mengambil minyak kayu putih.Lani b
Agna berdiri di depan rumah Alzam, udara dingin terasa menusuk, tapi kemarahan dalam dirinya cukup membakar segalanya. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu beberapa kali dengan kekuatan penuh, membuat suara ketukan terdengar tegas dan tak terbantahkan. Tak lama, Mbok Sarem membuka pintu. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan ketegangan."Mbak Agna?""Mana Lani? Di mana wanita merebut tunangan orang itu?" tanya Agna dengan nada dingin, melangkah masuk tanpa diundang. "Aku ingin bertemu dengannya."Mbok Sarem hanya menghela napas berat. Sebelum ia bisa menjawab, Lani muncul dari ruang tengah. Dia mengenakan pakaian sederhana, tapi wajahnya menunjukkan kepanikan yang tak bisa disembunyikan. Melihat Agna, Lani berhenti di tempat, seolah beku oleh rasa bersalah dan ketakutan."Jadi, kau wanita itu," suara Agna mengalun, penuh ironi.Lani menunduk, tak bisa membalas tatapan penuh amarah itu. "Aku tidak bermaksud menyakitimu...""Jangan berbicara seolah-olah kau korban di sini," potong Agna tajam.
"Siapa wanita itu, apa aku mengenalnya" tanya Agna dengan geram."Kamu sudah mengenalnya. Dia Lani. Kami telah menikah siri beberapa bulan yang lalu.""Jadi kalian menikah? Aku dari duluh sudah merasa heran dengan sikapnya. Dan dugaanku kini terbukti, dia bukan sekedar kerja di sana.""Maaf, aku emmang jatuh cinta padanya sejak pertama menolongnya. Dan pernikahan itu bukan Lani yang mengawali. Dia hanya terpaksa karena sakit parah. Dia juga tidak mengerti kalau aku sudah bertunangan. Jadi tolong jangan menyalahkan dia.""Hm, kamu ternyata yang menyebabkan semuanya jadi rumit, Mas.""Maaf, kamu ytau sendiri pertunangan kita bukanlah kehendak kita.""Kamu sudah terang-terangan mengatakan cinta padanya, Mas." Airmata Agna sudah tak terbendung lagi."Alzam hanya menundukkan kepalanya merasa bersalah.""Kalian telah menikah dan kamu tiba tiba saja mengajakku menikah. Kalian ada masalah dan aku kamu jadikan pelarian?" analisanya lagi dengan menggertakkan giginya."Maafkan aku, Agna," ucap A
Alzam seketika berdiri, menarik tangannya dari kepala Lani. Tubuhnya seakan tak mampu menyangga berat beban yang mengimpit dada. Kata-kata Lani menggema di benaknya, setiap kalimat seperti cambuk yang mengoyak hatinya. "Ceraikan aku." Kalimat itu menghantamnya seperti badai yang tak mampu ia hindari. Ia menatap Lani, berharap ada perubahan di wajah wanita itu. Namun, yang ia lihat hanya luka yang menganga, terlalu dalam untuk disembuhkan dengan kata-kata maaf."Lani..." suara Alzam terdengar lirih, hampir seperti desahan penuh kepedihan. Tangannya gemetar saat mencoba mendekati Lani, namun jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang tak terjembatani. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Aku tahu aku sudah menghancurkanmu... tetapi aku tidak bisa melepasmu begitu saja. Kamu adalah hidupku. Aku tak bisa hidup tanpa melihatmu ada di dekatku."Lani mengalihkan pandangannya, menyembunyikan air mata yang kembali jatuh. "Kau masih belum mengerti, Mas. Semua ini
Di rumah sakit, Salma menatap wajah mungil Senja yang sedang tidur lelap di tempat tidurnya. Tangannya gemetar ketika menyentuh pipi cucunya yang lembut. Air mata mengalir di wajahnya, bercampur antara rasa haru dan rasa bersalah yang mendalam. Ia merasa waktu berhenti sejenak, seolah seluruh kesedihan dan penyesalan yang meliputi keluarganya tertumpu pada gadis kecil ini."Senja... betapa kecil dan rapuhnya kau," bisik Salma, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya beralih ke Towirah yang berdiri di sampingnya, memandang dengan sorot tajam penuh luka."Kami tahu ini tidak akan pernah cukup," ucap Salma, menoleh pada Towirah dan Wagimin. "Tapi kami benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kami ingin Senja tahu bahwa dia memiliki keluarga yang mencintainya.""Kalian tak bisa menebus semua penderitaan yang anak kami alami."Thoriq yang di sisi Salma menelan ludah, nada bicaranya penuh penyesalan. "Kami tidak bermaksud membenarkan apa yang telah terjadi. Kami datang karena kami ingin menga