"Lani, kamu kenapa, Dhuk?" tanya Mbok Sarem ikut cemas. Dengan tergopoh dia mengejar Lani yang emuntahkan seisi perutnya. Lalu memijit tengkuknya dengan pelan."Ghak tau, Bu. Dari tadi malam, perutku mual dan ingin muntah saja.""Apa kamu masuk angin? Ibu kerokin ya? barangkali seharian kamu kemarin bolak balik ngurus apa itu, kamu jadi begini.""Ghak usah, Bu. Aku ghak biasa kerokan. Geli."" Ya udah, nanti Ibu belikan antangin ya, di warung.""Iya, Bu. Makasih.""Kalau gitu kamu istirahat di kamar saja, sementara Ibu belanja. Nanti aku belikan makanan matang saja ya?""Iya, Bu. Makasih sudah baik banget pada Lani." Lani segera beranjak ke kamarnya kembali dengan merebahkan tubuhnya. Namun hatinya begitu risau, berbagai ketakutan menghinggapi pikirannya.Mbok Sarem masih menguntitnya. Ada yang aneh yang ingin dia utarakan pada Lani. Namun dia tak berani mengatakannya."Tinggalin Lani ghak apa, Bu. Ghak usah repot-repot.""Kamu itu ngomong apa to, Dhuk? Kita sudah seperti keluarga di
"Lani, bangun, Dhuk. Kamu kenapa?"Mbok Sarem sudah kebingungan melihat lani yang terduduk lemas di depan kamar mandi kamarnya setelah berkali-kali dia panggil tak menjawab.Air mata sudah mengalir tak terbendung dari mata indahnya. Dia sudah tak dapat berfikir lagi apa yang harus dia lakukan."Kamu kenapa, dhuk?" tanya Mbok Sarem cemas dengan memegangi bahu Lani."Saya hamil, Bu," jawab Lani dengan terisak.Mbok Sarem segera memeluk Lani dengan iba. Kehamilan bagi setiap pasangan suami istri adalah kebahagian yang tak terkira. Namun tidak untuk Lani yang merasa kehamilan adalah hal buruk yang selalu datang dalam hidupnya."Mas Alzam harus tau hal ini, Dhuk. Kama harus segera telpon dia."Lani memegang tangan Mbok Sarem dengan kuat. "Tidak, Bu. Saya tak tau apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakannya." Lani lalu menatap Mbok Sarem. "Jangan pernah mengatakan semua ini padanya duluh, Bu. Saya ingin punya keberanian dan menunggu waktu yang tepat.""Kenapa begitu, Dhuk? Ini bukan kesa
"Mbak Lani yakin tidak apa-apa?" tanya Pak Sajad sambil mengamati gerak-gerik Lani dengan tatapan penuh tanda tanya. Cahaya pagi yang menembus jendela membawa sedikit kehangatan, namun tak mampu menghilangkan rasa aneh yang mulai merayap di benaknya. Lani, meskipun wajahnya tampak lebih segar setelah muntah, tetap menyisakan kesan cemas yang teramat jelas bagi siapa saja yang memperhatikannya. Sepedanya berderit ringan saat Lani menariknya dari sisi dinding, menyiapkan diri untuk pergi. Ia tampak terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mendorongnya untuk segera menjauh.Tia, dengan sorot mata khawatir, menyorongkan botol air minum. "Minum ini dulu, Mbak," ujarnya, tangannya sedikit gemetar, entah karena gugup atau memang terseret dalam ketegangan situasi yang menggantung di udara.Lani menerima botol itu dengan anggukan ringan, meneguk sedikit sebelum mengusap bibirnya yang pucat. "Terima kasih, Tia," katanya pelan, mencoba menghadirkan senyum yang sulit dipertahankan. "Titip ya, barang
"Dandi, kamu bareng saya saja. Kayaknya ada yang membutuhkanmu setelah terjadi gempa susulan di wilayah selatan," ajak Alzam dengan sudah siap dengan sepeda yang diberikan kesatuannya khusus untuk wilayah yang tidak gampang dilalui."Baik, Kep." Dandi segera siapa-siap dibonceng Alzam.Tak lama kemudian mereka sudah ada di desa tersebut. Tangis sudah memecah pendengaran. Mereka yang mulanya sudah tenang dan tak meninggalkan rumah mereka setelah terjadi gempa kapan hari, menjadi panik setelah terjadi gempa susulan yang kali ini memporakporandakan kediamannya."Kep, kita harus mengevakuasi mereka dari tempat ini." Seorang Sersan menghadap ke Alzam."Tapi warga keebratan, Kep. Bagaimana?" Kepala desa kebingungan."Kalau keberatan pindah, bagaimana nanti kalau ada apa-apa lagi. Apa tidak makin terjadi korban kembali?" Alzam mulai meninggikan suaranya. "Mereka enggan pergi karena keluarga mereka ada yang masih hilang. Terlebih untuk meninggalkan desa dan dikosongkan, rawan penjarahan," ta
Sejenak Lani memandang kedua sahabatnya yang beranjak ke luar. Hati Lani berdebar. Baru kali ini dia menghadapi hal seperti ini. Entah kenapa dia malah berdebar. Entah apa karena dilihatnya orang itu kini tengah menelisiknya dengan seksama ataukah karena memang dia mengajukan hal yang menurutnya besar untuk ukuran orang seperti dia.Lani kemudian menjalani berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan usahanya."Ini usaha Anda sendiri?" tanya pegawai itu dengan melihat berkas yang dibawa Lani."Sebenarnya bukan, Bu. Saya punya majikan yang menyerahkan semua usaha ini untuk saya kelola karena dia sibuk dengan pekerjaannya.""Memang dia kerja apa?""Dia di Angkatan Darat, Bu.""Kenapa dia tidak urus sendiri pengajuan ini?""Kalau yang menggagas ide ini memang saya, Bu. Cuma awal usahanya saja dari usaha dia yang menghimpun hasil jeruk nipis di desa kami dan Alhamdulillah kini makin berkembang.""Kalau begitu, berarti hanya Anda yang harus emnjawab pertanyaan yang saya ajkan sekarang, wala
Lani melangkah ke pintu, lalu berhenti sejenak ketika melihat siapa yang berdiri di depannya. Seorang pria dengan postur tegap, wajah tegas, dan tatapan tajam yang nyaris menusuk. Lani berusaha tersenyum, meski hatinya berdebar. Pria itu jelas bukan orang sembarangan, dan caranya menatap Lani membuatnya merasa seolah sedang dihakimi.Sejenak Pria di depannya seolah terkejut, walau sebentar. Kenapa wajah ini tak asing bagiku? guman Thoriq. Dan tahilalat di bawa dagu itu, seolah aku pernah melihat ini sebelumnya. "Assalamualikum, Anda Lani, bukan?" tanyanya tanpa basa-basi setelah menyongsong Lani yang datang dan memarkir motornya.Lani menatap pria di depannya setelah melepas helmnya. Rasa berdebar melihat wajah dan sorot mata pria yang kini di depannya. Wajah yang justru tak asing bagi Lani. Bahkan melihat postur tubuh tinggi besarnya, seolah bayang orang lain walau lebih muda, berada di sana. "Iya, benar, Pak. Anda siapa?" tanya Lani berusaha lebih sopan walau nadanya sedikit bergeta
Lani yang berjalan masuk ke kamarnya, masih dalam kebingungan yang sulit diabaikan. Tubuhnya terasa berat seolah seluruh udara di sekelilingnya menekan tanpa ampun. Pertemuan dengan Thoriq barusan begitu mengganggu pikirannya. Bayangan pria itu, tatapan tajam penuh kecurigaan, dan kemiripannya dengan Madan seperti pukulan keras yang menampar kesadarannya."Bagaimana mungkin? Apa semua ini kebetulan? Atau ada yang lebih besar di baliknya?" gumam Lani seraya menghempaskan dirinya ke atas kasur. Nafasnya memburu, pikirannya berkecamuk.Lani masih mencoba memproses semuanya ketika Mbok Sarem mengetuk pintu dan masuk dengan hati-hati. Wajahnya yang tua dan penuh keriput menunjukkan kekhawatiran yang jelas. "Biasanya Bapak baik, kenapa saat melihatmu dia seperti orang yang aneh menurut Ibu?""Entahlah, Bu. Belum juga dia tau hubungan aku dan Mas Alzam, dia seolah seperti sudah memberi tembok besar."Mbok Sarem mengelus rambut hitam Lani.“Apa yang harus aku lakukan, Bu, jika mereka tidak mer
Mbok Sarem menatap Lani dengan mata penuh simpati. Perempuan tua itu tahu beban yang dirasakan Lani jauh lebih berat daripada yang bisa dilihat mata. "Kamu yang sabar, Nduk. Mas Alzam sangat mencintaimu. Dia akan berjuang untukmu." Suaranya lembut, serupa embusan angin yang mencoba menenangkan badai di hati Lani.Lani mengangguk lemah. "Aku tahu, Mbok. Aku tahu." Dengan napas tertahan, ia mengusap wajahnya yang kusut, seolah ingin menghapus kecemasan yang makin merasuk. "Tapi... bagaimana mungkin? Abinya tiba-tiba datang, membicarakan aku mengelola usaha Alzam dengan nada seolah aku tidak layak. Seolah itu hanya alasan yangsudah mencurigaiku aku ada apa-apa dengan Mas Alzam. Bagaimana mungkin dia setuju aku bersama Alzam? Tidak mungkin.""Jangan buru-buru menyimpulkan, Nduk," Mbok Sarem berkata dengan tenang, mencoba memadamkan api keraguan di dalam dada Lani. "Kalau memang ada masalah, pasti ada jalan keluarnya. Mas Alzam sangat menghormatimu selama ini."Kata-kata itu menggema di k
"Apa? Sejak kapan, Mbok? Sejak kapan Lani pergi?" tanyanya, dengan nada bergetar. "Sejak kemarin, Mas. Dia pamit, katanya mau tinggal di mess. Katanya, dia ngak mungkin tinggal di sin, sementara besuk Agna sudah di sini." Lani memang tidak pernah mendengar syarat Agna. "Mess? Kenapa Mbok nggak bilang dari tadi?"Mbok Sarem memandang Alzam penuh keraguan. "Saya pikir, Mas Alzam sudah tahu... Lani juga pesan supaya jangan bilang apa-apa ke Mas." "Dia telah mewujudkan kata-katanya dengan tinggal di sana, tidakkah dia tau aku telah menyiapkan rumah untuknya? Rumah itu memang baru selesai kemarin , Bi, jadi, aku pikir hari ini aku baru membawanya ke sana."Mbok Sarem tak menjawab. Alzam mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menahan amarah yang terus membakar dadanya. Dia segera berbalik, hendak menuju pintu."Mas Alzam," panggil Mbok Sarem. "Tolong... jangan gegabah. Kalau Mas buru-buru mendatanginya, apa kata-kata orang nanti yang belum tau hubungan Mas dengan Lani? Masalahnya bisa
"Omah sudah dipastikan tidak akan datang, Alzam," ucap Salma dengan nada pasrah. Beberapa hari yang lalu, Thoriq dan dia ke Makasar, meminta maaf dan memberitahu kalau resepsi Alzam dilaksanakan Minggu besuk. Bukan kegembiraan karena jarang bertemu yang mereka dapat, justru pertengkaran hebat yang terjadi."Azlam sendiri yang minta tolong Arhand untuk mendekati Agna. Setelah mereka dekat, dia malah mengingkari janjinya," cetus Armand dengan geramnya. "dengan seenaknya dia mengajak Agna menikah.""Lani gadis yang baik, bisa-bisanya dia harus mengalami ini," tambah Oma Evran. "Aku tidak akan menganggap Alzam cucu sampai dia bisa adil dengan apa yang dialami Lani.""Pernikahan ini memang bukan seperti rencana kita, Mi, biar saja jika Oma tak datang, toh pernikahan ini tak pernting bagi Alzam." Ucapan Alzam membuayarkan lamunan Salma."Walau bukan begitu intinya, Zam. Intinya justru perniakahanmu ini telah menghancurkan keluarga kita.""Saya memang salah, Bi, mengajak Agna menikah. Se
Thoriq dan Salma mengikuti langkah Arhand yang tergesa keluar ruangan, menyelinap di antara sisa tamu yang masih berdiri dengan berbagai ekspresi. Tatapan penuh tanya Salma mengarah pada punggung lelaki itu."Arhand, tunggu!" panggil Salma, setengah berlari untuk mengejarnya."Biarkan aku, Tante. Aku sudah cukup melihat permainan ini," jawab Arhand tanpa menoleh."Tidak bisa begini. Kamu tidak bisa pergi dengan membawa dendam. Ini keluarga kita juga yang sedang kacau. Setidaknya bicarakan ini dengan tenang," ujar Thoriq yang akhirnya berhasil menyamainya.Arhand berhenti mendadak. Tubuhnya kaku, namun kepalan tangannya terlihat bergetar. "Keluarga? Apakah keluarga membiarkan kebohongan dan pengkhianatan seperti ini terjadi?" Suaranya rendah, namun penuh tekanan.Salma melangkah maju, mencoba menyentuh lengan Arhand, tetapi dia menghindar. "Arhand, apa pun masalahnya, tidak ada gunanya kamu bertindak begini. Lagipula, kamu tahu sendiri-""Jangan harap aku, Mama, Papa, bahkan Oma Evran
Belum juga Arhand bicara lebih banyak, terlihat tamu kebesaran Alzam pamit. Agna dengan sesekali mengapit lengan Alzam mempersilahkan tamunya berpamitan. Arhand menatap semua itu dengan heran, terlebih dia menatap Lani yang tampak sedih. Inginnnya dia mendekat dan meminta penjelasan dari apa yang dilihatnya kini, namun mengingat siapa yang kini pamit dan dikawal, Arhand memilih diam dengan gemuruh di hatinya, mematung di dekat Thoriq dan Salma yang tidak mengerti apapun persoalan Alzam dan Arhand.Setelah semua terasa tenang, dan tinggal segelintir orang, Arhand mendekati alzam yang memng terlihat lebih bayak emnghindar. Ditariknya tangan Alzam dengan kasar untuk menepi. "Aku telah bersusah payah mendekati Agna seperti permintaan kamu. Bahkan kami sudah sering bertemu, lalu tiba-tiba tanpa keterangan apapun Agna memblokir kontakku, makanya aku terbang ke sini sekalian ada barang yang mau aku lihat, ternyata begini kejadiannya.""Maafkan aku Arhand. Kamu tak cerita kalau kamu sudah d
"Salamat ya, Lani, akhirnya kamu bisa mewujudkan impian banyak orang," Thoriq mendekat dan menyalami Lani. Salma bahkan merangkulnya. Lani yang merasa asing dengan perlakuan orangtua Alzam, hanya tersenyum tipis. Bagaiama mungkin, kapan lalu dua orang itu telah mengintrogasinya dengan membawa ponsel Madan, lalu terdengar dari Towirah kalau mereka sudah ke rumah sakit menjenguk Jingga. Hanya Lani masih binngung bagaimana jika nanti mereka benar ingin mengejak Jingga main ke rumahnya agar mereka bisa membuktikan perkataannya untuk memberi Jingga kasih sayang, terlebih dia satu-satunya cucunya kini.Lani masih terdiam di sebelah plakat pabrik itu dengan memandang namanya. Daulani Food Prossesing. Didampingi Mbok Sarem, Budi dan Dita. Maksud apa lagi yang mau dikatakan Mas Alzam dengan semua ini? bathinnya dengan melihat Alzam yang juga sering menatapnya di samping Agna yang menikmati makanan dengan berbincang dengan Pak Wakil Bupati juga Pak Camat dan kelompoknya yang memang sangat mengh
Alzam mematung saat melihat siapa yang kini ada di sampingnya."Acara sebesar ini, dan kamu tidak mengundangku?""Ini memang tidak ada hubungannya denganmu, Agna. Kenapa kamu menyalahkan Alzam yang tidak mengundangmu?" Salma ikut bicara."Aku akan menjadi istrinya, Tante. Itu artinya, pabrik ini juga akan menjadi bagian dari hidup kami nantinya. Apa aku salah jika aku menyalahkan dia tidak mengundangku?""Maaf, Agna, tolong jangan membuat keributan di sini," bisik Alzam dengan berusaha tersenyum menatap hadirin yang datang."Mbak, Agna? Dari tadi saya juga bertanya, kok tidak melihat Anda," sela Pak Wakil bupati dengan menyalami Agna. demikian juga dengan istrinya yang malah cipika cipiku, cium pipi kanan dan kiri."Pabrik ini memang tidak ada hubungan apa-apa dengan hubungan kami, Pak," ucap Alzam dengan tidak mengurangi rasa hormatnya. Alzam memang tau, pengaruh Agna untuk kalangan orang di pemerintahan."Maksud Anda Pak Alzam?" tanya ibu Wakil Bupati heran."Saya hanya mengarahka
Hari itu terasa berbeda bagi Lani. Matahari pagi menyinari bangunan pabrik sederhana di samping ladang ladang jeruk. Papan nama sederhana bertuliskan "Daulani Food Processing" berdiri kokoh di depan dengan masih diselimuti kain putih tebal. Tak ada kemewahan, hanya tenda kecil di halaman depan dan beberapa kursi plastik yang sudah diatur rapi, menyatu dengan gudang jeruk yang dijadikan tempat para undangan.Pekerja-pekerja baru mulai berdatangan, satu per satu. Sebagian besar mereka adalah warga sekitar yang rata-rata mereka baru lulus sekolah atau sudah lama tidak sekolah dan tidak ada pekerjaan. Hari itu, wajah mereka dipenuhi harapan baru.Lani mengenakan blouse biru tua dengan jilbab senada. Ia berdiri di depan pintu masuk pabrik bersama Laras, Tia, dan Pak Sajad—rekan-rekannya yang selama ini bekerja keras mempersiapkan segalanya."Semua sudah siap, Mbak Lani?" tanya Pak Sajad sambil mengecek daftar kehadiran pekerja."Alhamdulillah, kayaknya sudah," jawab Lani sambil tersenyum.
"Asik sekali kalian ngobrol, lalu sekarang mau janjian di mana lagi?"Plak! Alzam memegangi pipinya yang terasa panas oleh tamparan Lani. Rasa malu ditahannya saat kebetulan ada orang lewat di dekat kampus itu. Terlebih masih pagi dan banyak mahasiswa, termasuk orang pergi kerja yang lalu lalang."Kamu sudah mulai kembali meragukan karakterku, Mas!"Alzam menunduk. Lagi-lagi karena cemburu dia tak sadar berbuat kekeliruan yang makin memperparah kebencian Lani padanya."Berarti kamu melihat aku sejak datang? Kamu membuntuti aku? Kamu memata-matai aku?""Aku memang membuntutimu. Tapi bukan untuk memata-mataimu. Aku hanya khawatir kamu sakit lagi. Sedangkan kamu tidak mungkin aku ajak bareng.""Iya, aku tau itu. Bahkan sampai kapan pun, kita tak mungkin bareng ke sini, karena di sebelah sana itu kantor istrimu. Dan di sana markasmu. Kamu takut ketauhan ada hubungan denganku.""Berhenti dengan tuduhanmu itu, kamu tau kenapa alasan ini sejak awal."Lani membuang matanya sebal lalu kembali
Lani tiba di gudang dengan langkah tergesa. Suara ketukan palu dan denting logam beradu terdengar jelas, mengisi udara pagi yang penuh kesibukan. Gudang itu hampir selesai direnovasi untuk pembukaan pabrik di sebelahnya minggu nanti. Lani berhenti sejenak, memandang para pekerja yang sibuk, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana."Mabak Lani, sini sebentar," panggil Tia, salah satu pegawainya yang bertanggung jawab menangani perekrutan karyawan baru yang beberapa hari lalu telah dilatih dari orang profesional yang telah didatangkan Alzam.Lani berjalan mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya meski pikirannya masih kacau."Semua pegawai baru sudah terdaftar. Besok mereka sumua ikut dalam pembukaan." Tiyas bertanya sambil menunjukkan daftar nama di tangannya."Baiklah Tia, Atur saja sesuai keinginanmu, yang penting terlihat bagus," ujar Lani sambil melirik daftar itu."Siap, Mbak Lani," jawab Tia singkat."Bagaimana dengan stok bahan baku?" Lani beralih pada Sajad, yang berdiri d