"Kamu hati-hati ya. Jaga diri baik-baik. Jangan ngotot kalau ngerjakan sesuatu agar kamu ghak drop sewaktu aku pulang nanti.""Memangnya kenapa kalau aku drop, kamu ghak mau merawat aku lagi?""Bukannya ghak mau sih. Tapi kita kan jadi ghak bisa," Alzam mengerlingkn matanya."Pikiran kamu ngeres aja sekarang, Mas."Alza terkekeh. Sekali lagi, dipeluknya Lani. Dibenamkannya tubuh mungil Lani di dekapannya. Ciuman di kening Lani pun terasa menjadi momen haru untuk mereka."Aku akan selalu merindukanmu, Bidadari kecilku.""Mas, kenapa lebay amat? Bukannya kamu ke daerah bencana alam yang menolong orang di sana. Bukan ke daerah konflik untuk memerangi teroris kayak kapan hari?"Alzam menundukkan wajahnya dan mencium bibir Lani. "Ghak tau kenapa aku jadi berat banget ninggalin kamu.""Mas, cepat. Udah teriak-teriak temannya." Mbok Sarem dengan tergopoh ke kamar Alzam.Sekali lagi Alzam mencium kening Lani, lalu dengan cepat Alzam segera keluar dengan membiarkan Lani di dalam kamarnya. Lani
Budi menatap Lani dengan serius, menyisihkan sendok dari semangkuk mie goreng yang baru saja ia makan setengahnya. Kepulan aroma bawang goreng yang masih mengepul seolah ikut menahan napas menanti jawaban."Memangnya kenapa? Dia yang suka mengambil kerajinan di tempatku sebagai suvenir," lanjut Budi, kali ini matanya menyipit, menyelidik. Lani mengerutkan bibirnya, membuat semburat cemas itu kian jelas, meski berusaha ia tutupi."Bagaimana kamu mengenalnya?" desak Budi, masih saja tidak mengendurkan rasa penasarannya.Lani menggigit bibir. Sepasang matanya berkedip lebih cepat dari biasanya. "Aku dulu jualan gorengan di PGS," ia menjawab, suaranya pelan. "Hanya sebatas tahu saat aku jualan di tempatnya."Budi mengangguk-angguk, seakan merenungkan setiap kata yang meluncur dari mulut Lani. "Kalau gitu, biar kapan-kapan aku pertemukan dengannya," katanya dengan nada penuh semangat. "Orangnya asik, lho, kalau diajak ngobrol."Seketika, wajah Lani memucat. Ia menelan ludah, sesuatu yang a
"Kep, kenapa teriak-teriak?" tanya seseorang yang membuat Alzam terkejut di saat kebingungannya. Dengan rerfleks Alzam menoleh. Menatap sosok berwajah manis tak seberapa tinggi yang kini tengah menatapnya dengan tanda tanya. "E, kamu Dandi? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Alzam saat melihat ke belakang, di mana sahabatnya itu sudah terlihat tersenyum dan langsung duduk di sebelah Alzam yang duduk menyingkir dari tendanya. Langit terlihat terang saat bulan purnama, berarti sama saat Alzam meninggalkan Lani waktu itu."E, bukan apa-apa." "Bukan siapa-siapa juga yang Kapten panggil sayang?" Alzam terkesiap."Sejak kapan kamu menyembunyikan sesuatu dariku? Apa karena aku tak lagi datang ke rumahmu akhir-akhir ini hinggah aku tak tau banyak hal tentang kamu? Akhir-akhir ini memang banyak bencana hinggah aku jarang santai. Harus maraton mengikuti ke mana pasukan membutuhkan tenaga medis, sampai ghak sempat lagi nongkrong di rumahmu. Hanum sampai protes kalau aku tak ada waktu untuk dia
"Lani, kamu kenapa, Dhuk?" tanya Mbok Sarem ikut cemas. Dengan tergopoh dia mengejar Lani yang emuntahkan seisi perutnya. Lalu memijit tengkuknya dengan pelan."Ghak tau, Bu. Dari tadi malam, perutku mual dan ingin muntah saja.""Apa kamu masuk angin? Ibu kerokin ya? barangkali seharian kamu kemarin bolak balik ngurus apa itu, kamu jadi begini.""Ghak usah, Bu. Aku ghak biasa kerokan. Geli."" Ya udah, nanti Ibu belikan antangin ya, di warung.""Iya, Bu. Makasih.""Kalau gitu kamu istirahat di kamar saja, sementara Ibu belanja. Nanti aku belikan makanan matang saja ya?""Iya, Bu. Makasih sudah baik banget pada Lani." Lani segera beranjak ke kamarnya kembali dengan merebahkan tubuhnya. Namun hatinya begitu risau, berbagai ketakutan menghinggapi pikirannya.Mbok Sarem masih menguntitnya. Ada yang aneh yang ingin dia utarakan pada Lani. Namun dia tak berani mengatakannya."Tinggalin Lani ghak apa, Bu. Ghak usah repot-repot.""Kamu itu ngomong apa to, Dhuk? Kita sudah seperti keluarga di
"Lani, bangun, Dhuk. Kamu kenapa?"Mbok Sarem sudah kebingungan melihat lani yang terduduk lemas di depan kamar mandi kamarnya setelah berkali-kali dia panggil tak menjawab.Air mata sudah mengalir tak terbendung dari mata indahnya. Dia sudah tak dapat berfikir lagi apa yang harus dia lakukan."Kamu kenapa, dhuk?" tanya Mbok Sarem cemas dengan memegangi bahu Lani."Saya hamil, Bu," jawab Lani dengan terisak.Mbok Sarem segera memeluk Lani dengan iba. Kehamilan bagi setiap pasangan suami istri adalah kebahagian yang tak terkira. Namun tidak untuk Lani yang merasa kehamilan adalah hal buruk yang selalu datang dalam hidupnya."Mas Alzam harus tau hal ini, Dhuk. Kama harus segera telpon dia."Lani memegang tangan Mbok Sarem dengan kuat. "Tidak, Bu. Saya tak tau apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakannya." Lani lalu menatap Mbok Sarem. "Jangan pernah mengatakan semua ini padanya duluh, Bu. Saya ingin punya keberanian dan menunggu waktu yang tepat.""Kenapa begitu, Dhuk? Ini bukan kesa
"Mbak Lani yakin tidak apa-apa?" tanya Pak Sajad sambil mengamati gerak-gerik Lani dengan tatapan penuh tanda tanya. Cahaya pagi yang menembus jendela membawa sedikit kehangatan, namun tak mampu menghilangkan rasa aneh yang mulai merayap di benaknya. Lani, meskipun wajahnya tampak lebih segar setelah muntah, tetap menyisakan kesan cemas yang teramat jelas bagi siapa saja yang memperhatikannya. Sepedanya berderit ringan saat Lani menariknya dari sisi dinding, menyiapkan diri untuk pergi. Ia tampak terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mendorongnya untuk segera menjauh.Tia, dengan sorot mata khawatir, menyorongkan botol air minum. "Minum ini dulu, Mbak," ujarnya, tangannya sedikit gemetar, entah karena gugup atau memang terseret dalam ketegangan situasi yang menggantung di udara.Lani menerima botol itu dengan anggukan ringan, meneguk sedikit sebelum mengusap bibirnya yang pucat. "Terima kasih, Tia," katanya pelan, mencoba menghadirkan senyum yang sulit dipertahankan. "Titip ya, barang
"Dandi, kamu bareng saya saja. Kayaknya ada yang membutuhkanmu setelah terjadi gempa susulan di wilayah selatan," ajak Alzam dengan sudah siap dengan sepeda yang diberikan kesatuannya khusus untuk wilayah yang tidak gampang dilalui."Baik, Kep." Dandi segera siapa-siap dibonceng Alzam.Tak lama kemudian mereka sudah ada di desa tersebut. Tangis sudah memecah pendengaran. Mereka yang mulanya sudah tenang dan tak meninggalkan rumah mereka setelah terjadi gempa kapan hari, menjadi panik setelah terjadi gempa susulan yang kali ini memporakporandakan kediamannya."Kep, kita harus mengevakuasi mereka dari tempat ini." Seorang Sersan menghadap ke Alzam."Tapi warga keebratan, Kep. Bagaimana?" Kepala desa kebingungan."Kalau keberatan pindah, bagaimana nanti kalau ada apa-apa lagi. Apa tidak makin terjadi korban kembali?" Alzam mulai meninggikan suaranya. "Mereka enggan pergi karena keluarga mereka ada yang masih hilang. Terlebih untuk meninggalkan desa dan dikosongkan, rawan penjarahan," ta
Sejenak Lani memandang kedua sahabatnya yang beranjak ke luar. Hati Lani berdebar. Baru kali ini dia menghadapi hal seperti ini. Entah kenapa dia malah berdebar. Entah apa karena dilihatnya orang itu kini tengah menelisiknya dengan seksama ataukah karena memang dia mengajukan hal yang menurutnya besar untuk ukuran orang seperti dia.Lani kemudian menjalani berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan usahanya."Ini usaha Anda sendiri?" tanya pegawai itu dengan melihat berkas yang dibawa Lani."Sebenarnya bukan, Bu. Saya punya majikan yang menyerahkan semua usaha ini untuk saya kelola karena dia sibuk dengan pekerjaannya.""Memang dia kerja apa?""Dia di Angkatan Darat, Bu.""Kenapa dia tidak urus sendiri pengajuan ini?""Kalau yang menggagas ide ini memang saya, Bu. Cuma awal usahanya saja dari usaha dia yang menghimpun hasil jeruk nipis di desa kami dan Alhamdulillah kini makin berkembang.""Kalau begitu, berarti hanya Anda yang harus emnjawab pertanyaan yang saya ajkan sekarang, wala
Lani melangkah dengan Alzam di sampingnya, diikuti Rey. Tamu sudah ramai. Lampu-lampu gantung menerangi halaman rumah Dandi yang kini berubah menjadi tempat ramah tamah."Aku harus ngomong sesuatu." Rey masih berguman.Alzam menatapnya. "Apa?""Minggu aku mau temui Mira."Lani dan Alzam saling berpandangan."Jangan Minggu, Rey."Rey mengernyit. "Kenapa?"Lani menggigit bibir."Pokoknya jangan Minggu," ujar Alzam, nada suaranya lebih tegas.Rey menajamkan tatapannya. "Ada apa? Mira baik-baik saja, kan?"Sebelum ada jawaban, suara Bu Prasasti terdengar. Dia adalah istri komandan Alzam dan Dandi, Pak Bara. Wanita itu datang mengenakan sarung songket dan kebaya pres di badannya yang berisi dan tinggi. Sanggul medern melengkapi penampilan cantiknya. Begitu pantas menyandang istri dari seorang komandan angkatan darat."Jadi ini yang namanya Lani, Pi?"Pak Bara mengangguk lalu bersalaman dengan Rey dan Alzam. Demikian juga dengan Rey yang menyalami istri Pak Bara dan Alzam mengatupkan kedua
"Mas, jangan beliin aku baju lagi, ya. Baju yang kemarin aja," suara Lani terdengar lembut saat tangannya merapikan kancing kemeja Alzam.Alzam hanya tersenyum kecil, membiarkan dirinya dimanja. Dia duduk di tepi tempat tidur agar Lani yang tubuhnya jauh dari tubuhnya yang tinggi itu bisa mengancingkannya."Kamu ini, manja banget. Kancing sendiri saja nggak mau," canda Lani."Mumpung masih bisa bermanja. Sebentar lagi perhatianmu bakal terpecah buat putra kita," balas Alzam. Tangannya menyentuh perut Lani yang semakin membesar, lalu membisikkan sesuatu. "Nak, cepatlah keluar. Biar Ayah bisa rebut perhatian Bunda lagi."Lani terkekeh, tapi tubuhnya menegang saat merasakan gerakan dari dalam. Bayinya merespons suara ayahnya.Alzam tersenyum puas, tangannya masih di perut Lani. Seakan itu cara mereka berkomunikasi.Selesai mengancing kemeja suaminya, Lani tak sempat menghindar saat Alzam merengkuhnya. Bibir pria itu mengecup pelan pipinya."Aku sebenarnya mau ambil baju yang kapan hari a
"Mira,.." Rey masih menatap ke arah pintu.Mira baru saja pergi.Suaranya masih terngiang di telinga—langkah tergesa-gesa, suara napas tertahan, dan sorot mata yang sulit dijelaskan.Di satu sisi, nalurinya ingin mengejar. Tapi di sisi lain, Agna masih duduk di hadapannya. Perempuan itu baru saja menyingkap sesuatu yang cukup mengejutkan.“Aku mau melepas Alzam…”Rey menoleh. “Maksudnya?”Agna menatap ke luar jendela, mengamati lampu-lampu jalan yang berpendar di trotoar basah. Kopi di depan Rey sudah kosong, hanya saja pikirannya yang justru penuh dengan bayangan Mira dan hatinya yang tak mau diam setelah menatap kembali wanita itu. Bahkan dia seperti tak fokus dengan apa yang dikatakan Agna."Aku udah mutusin sesuatu," kata Agna akhirnya.Rey mendongak, berusaha mencerna apa yang dikatakan Agna walau dari tadi dia tak fokus."Aku bakal pisah dari Alzam," lanjutnya. "Tapi setelah dia resmi menikah sama Lani."Rey terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi beban di dalamnya begitu besar.A
Mira melirik layar ponselnya, keningnya mengernyit. Sudah hampir ia tekan tombol panggil untuk menghubungi Rey, tapi tiba-tiba nama lain muncul di sana. Jantungnya berdegup cepat. Entah kenapa hanya dengan melihat namanya dia masih merasakan berdebar itu, walau sejak melihat semua yang terjadi di pernikahan Dita dan Budi, dia merasakan sakit setiap mengingatnya.Kenapa tiba-tiba sekarang dia menelpon?Waktu itu di resepsi, pria itu seolah tidak begitu mengenalnya. Duduk di samping Diandra dan Vero dengan senyum penuh, seolah mereka sebuah keluarga yang tampak sempurna di mata semua orang. Mira sering menatapnya, tapi Damar seolah sibuk menjaga keluarganya.Sedetik ragu, tapi akhirnya Mira mengangkat panggilan itu.“Sayang… bagaimana keadaanmu?” Suara Damar terdengar pelan, nyaris berbisik. “Aku ingin menelponmu sejak resepsi itu, tapi aku selalu ragu.”Mira diam. Panggilan itu seharusnya terasa hangat, tapi malah membuat dadanya sesak.Damar melanjutkan, suaranya sedikit berubah, seo
Yasmin melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan. Rasa letih menjalar dari ujung kaki hingga kepala, seolah pikirannya yang penuh berjejal menjadi beban di setiap langkahnya. Udara dalam rumah terasa lebih hangat dibanding udara malam di luar, tapi itu tidak menghilangkan kegelisahan yang sejak tadi mengendap di hatinya.Sebelum sempat mencapai kamarnya, suara ibunya menyapanya.“Yasmin, dari mana saja?”Nada suara Jamilah terdengar lembut, tapi tetap menyiratkan ketegasan seorang ibu. Yasmin tahu, pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi. Ada sesuatu di baliknya.Yasmin menelan ludah. “Baru jalan sebentar, Ummi. Udara malam lumayan sejuk.”Jamilah menyipitkan mata. “Kenapa tadi tidak pamit dulu ke Ummi?”Sejenak Yasmin mengalihkan pandangannya, menatap lantai yang berkeramik putih. “Maaf, Ummi. Aku hanya ingin menyegarkan pikiran. Tidak terlalu jauh, kok.” Yasmin dan Sandi sejak duluh selalu ketemuan di cafe yang tak jauh dari rumahnya . Cafe itu sudah menjadi langganan mereka mele
Mira menatap layar ponselnya, jari-jarinya ragu menyentuh kontak panggilan. Nomor Rey sudah ada di sana, hasil permintaan setengah memaksa pada Lani tadi sore."Tolong pertimbangkan dia, Mbak," suara Lani masih terngiang. "Dia memang salah, tapi dia nggak sadar waktu itu. Dia terlalu sayang sama kamu."Mira menggigit bibir, menahan perasaan yang bergejolak. Lani benar. Rey salah. Tapi yang dia lakukan setelah itu…Mira meraba bibirnya, seakan masih bisa merasakan ciuman singkat yang mendarat begitu saja di sana.Sial.Waktu itu, setelah sesi foto, dia berniat memarahi Rey. Tangannya bahkan sudah terangkat, siap mendorong pria itu menjauh. Tapi tatapan Rey—tajam, dalam, penuh sesuatu yang tak bisa Mira baca—membuatnya terhenti.Dan lalu…Bibinya menghangat, pipinya memerah hanya dengan mengingatnya.Tanpa aba-aba, Rey membungkuk, bibirnya menyapu bibir Mira sekilas.Itu spontan. Tidak direncanakan. Tapi cukup untuk membuat Mira terdorong panik, hingga tanpa sadar dia mendorong Rey kera
Langkah Yasmin terhenti begitu melihat sosok yang berdiri tak jauh. Napasnya tercekat. Ada sesuatu yang meremas jantungnya.“Sandi?” Dia menatap pria itu dengan menata degup jantungnya.Pria itu tersenyum. Wajahnya tampak sedikit berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Lebih matang. Lebih… berwibawa.Sandi Lim adalah pria keturunan Tionghoa dengan perawakan tinggi dan atletis. Kulitnya putih terang khas oriental, dengan rahang tegas dan hidung yang sedikit mancung. Rambutnya hitam pekat lurus, ditata rapi dengan gaya yang terlihat profesional namun tetap santai. Matanya sipit namun tajam, menyiratkan kecerdasan dan determinasi. Gaya berpakaiannya selalu rapi dan berkelas, mencerminkan kesuksesannya dalam dunia bisnis. Namun di balik sikap tenangnya, ada keteguhan hati yang sulit dibaca oleh orang lain. Yaitu rasa cintanya pada yasmin yang tak pernah luntur dan membuatnya mau belajar apa yang diinginkan keluarga Yasmin tanpa menelannya mentah-mentah. Walu itu tak pernah dia ungkapka
Mira menatap lurus ke depan, tapi matanya kosong. Dada terasa sesak, seakan ada tangan tak terlihat yang meremasnya dari dalam.Sial. Kenapa harus begini?Di sisinya, Rey diam. Tapi Mira tahu pria itu sedang mengamati wajahnya, membaca tiap ekspresi yang coba dia sembunyikan.“Mir…” Suara Rey nyaris seperti bisikan. Badannya merapat. Tanpa sadar, Mira mengeratkan tangannya di lengan Rey. Sejenak Mira menelan ludah. Dia tidak ingin terlihat lemah. Tidak di depan Rey. Tidak di depan Damar yang sekarang duduk bersama Vero dan putrinya.Tapi sialnya, matanya tetap menangkap sosok Damar. Laki-laki itu terlihat canggung, tapi tetap di sana. Bersama keluarganya. Bersama perempuan yang seharusnya tidak ada. Damar sendiri bingung bersikap. Di satu sisi perasaannya pada Mira. Di sisi lain, dia tak ingin anaknya melihat orangtuanya tak bahagia bersamanya.Mira ingin tertawa. Ironi macam apa ini?Tapi yang keluar dari bibirnya justru kalimat penuh amarah.“Kamu cari kesempatan di tengah penderit
Alzam melirik Lani yang berdiri di meja makanan. Matanya berbinar saat melihat deretan es buah wana warni di mangkuk kaca besar. Tangannya sudah terulur, siap meraih gelas berisi es yang menggoda itu. Tapi sebelum jemarinya menyentuh gelas, suara berat Alzam menghentikannya."Jangan."Lani mengerjapkan mata. "Hanya kali ini."Alzam menatapnya serius. "Nggak baik buat bayi kita, Sayang."Lani menghela napas panjang. "Udah lama nggak minum es, lho."Alzam tetap menggeleng. "Tahan, ya?"Lani mengerucutkan bibir. "Udah lima bulan, sayang. Masa nggak boleh sekali aja?"Tatapan Alzam melunak. Tangannya terulur, menyentuh jemari Lani yang masih ragu-ragu. Dia lalu mengambil sedikit."Lagi ghak boleh?""Lani,..."Lani menatap suaminya dengan wajah merajuk. Tapi akhirnya dia menyingkir dari meja es buah, memilih kembali ke samping Alzam.Tapi belum sempat dia menarik napas lega, Alzam sudah menatap tajam ke arah piringnya."Kambing guling juga?"Lani mengangguk. "Iya, dong. Favorit aku."Alzam