Budi menatap Lani dengan serius, menyisihkan sendok dari semangkuk mie goreng yang baru saja ia makan setengahnya. Kepulan aroma bawang goreng yang masih mengepul seolah ikut menahan napas menanti jawaban."Memangnya kenapa? Dia yang suka mengambil kerajinan di tempatku sebagai suvenir," lanjut Budi, kali ini matanya menyipit, menyelidik. Lani mengerutkan bibirnya, membuat semburat cemas itu kian jelas, meski berusaha ia tutupi."Bagaimana kamu mengenalnya?" desak Budi, masih saja tidak mengendurkan rasa penasarannya.Lani menggigit bibir. Sepasang matanya berkedip lebih cepat dari biasanya. "Aku dulu jualan gorengan di PGS," ia menjawab, suaranya pelan. "Hanya sebatas tahu saat aku jualan di tempatnya."Budi mengangguk-angguk, seakan merenungkan setiap kata yang meluncur dari mulut Lani. "Kalau gitu, biar kapan-kapan aku pertemukan dengannya," katanya dengan nada penuh semangat. "Orangnya asik, lho, kalau diajak ngobrol."Seketika, wajah Lani memucat. Ia menelan ludah, sesuatu yang a
"Kep, kenapa teriak-teriak?" tanya seseorang yang membuat Alzam terkejut di saat kebingungannya. Dengan rerfleks Alzam menoleh. Menatap sosok berwajah manis tak seberapa tinggi yang kini tengah menatapnya dengan tanda tanya. "E, kamu Dandi? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Alzam saat melihat ke belakang, di mana sahabatnya itu sudah terlihat tersenyum dan langsung duduk di sebelah Alzam yang duduk menyingkir dari tendanya. Langit terlihat terang saat bulan purnama, berarti sama saat Alzam meninggalkan Lani waktu itu."E, bukan apa-apa." "Bukan siapa-siapa juga yang Kapten panggil sayang?" Alzam terkesiap."Sejak kapan kamu menyembunyikan sesuatu dariku? Apa karena aku tak lagi datang ke rumahmu akhir-akhir ini hinggah aku tak tau banyak hal tentang kamu? Akhir-akhir ini memang banyak bencana hinggah aku jarang santai. Harus maraton mengikuti ke mana pasukan membutuhkan tenaga medis, sampai ghak sempat lagi nongkrong di rumahmu. Hanum sampai protes kalau aku tak ada waktu untuk dia
"Lani, kamu kenapa, Dhuk?" tanya Mbok Sarem ikut cemas. Dengan tergopoh dia mengejar Lani yang emuntahkan seisi perutnya. Lalu memijit tengkuknya dengan pelan."Ghak tau, Bu. Dari tadi malam, perutku mual dan ingin muntah saja.""Apa kamu masuk angin? Ibu kerokin ya? barangkali seharian kamu kemarin bolak balik ngurus apa itu, kamu jadi begini.""Ghak usah, Bu. Aku ghak biasa kerokan. Geli."" Ya udah, nanti Ibu belikan antangin ya, di warung.""Iya, Bu. Makasih.""Kalau gitu kamu istirahat di kamar saja, sementara Ibu belanja. Nanti aku belikan makanan matang saja ya?""Iya, Bu. Makasih sudah baik banget pada Lani." Lani segera beranjak ke kamarnya kembali dengan merebahkan tubuhnya. Namun hatinya begitu risau, berbagai ketakutan menghinggapi pikirannya.Mbok Sarem masih menguntitnya. Ada yang aneh yang ingin dia utarakan pada Lani. Namun dia tak berani mengatakannya."Tinggalin Lani ghak apa, Bu. Ghak usah repot-repot.""Kamu itu ngomong apa to, Dhuk? Kita sudah seperti keluarga di
"Lani, bangun, Dhuk. Kamu kenapa?"Mbok Sarem sudah kebingungan melihat lani yang terduduk lemas di depan kamar mandi kamarnya setelah berkali-kali dia panggil tak menjawab.Air mata sudah mengalir tak terbendung dari mata indahnya. Dia sudah tak dapat berfikir lagi apa yang harus dia lakukan."Kamu kenapa, dhuk?" tanya Mbok Sarem cemas dengan memegangi bahu Lani."Saya hamil, Bu," jawab Lani dengan terisak.Mbok Sarem segera memeluk Lani dengan iba. Kehamilan bagi setiap pasangan suami istri adalah kebahagian yang tak terkira. Namun tidak untuk Lani yang merasa kehamilan adalah hal buruk yang selalu datang dalam hidupnya."Mas Alzam harus tau hal ini, Dhuk. Kama harus segera telpon dia."Lani memegang tangan Mbok Sarem dengan kuat. "Tidak, Bu. Saya tak tau apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakannya." Lani lalu menatap Mbok Sarem. "Jangan pernah mengatakan semua ini padanya duluh, Bu. Saya ingin punya keberanian dan menunggu waktu yang tepat.""Kenapa begitu, Dhuk? Ini bukan kesa
"Mbak Lani yakin tidak apa-apa?" tanya Pak Sajad sambil mengamati gerak-gerik Lani dengan tatapan penuh tanda tanya. Cahaya pagi yang menembus jendela membawa sedikit kehangatan, namun tak mampu menghilangkan rasa aneh yang mulai merayap di benaknya. Lani, meskipun wajahnya tampak lebih segar setelah muntah, tetap menyisakan kesan cemas yang teramat jelas bagi siapa saja yang memperhatikannya. Sepedanya berderit ringan saat Lani menariknya dari sisi dinding, menyiapkan diri untuk pergi. Ia tampak terburu-buru, seolah ada sesuatu yang mendorongnya untuk segera menjauh.Tia, dengan sorot mata khawatir, menyorongkan botol air minum. "Minum ini dulu, Mbak," ujarnya, tangannya sedikit gemetar, entah karena gugup atau memang terseret dalam ketegangan situasi yang menggantung di udara.Lani menerima botol itu dengan anggukan ringan, meneguk sedikit sebelum mengusap bibirnya yang pucat. "Terima kasih, Tia," katanya pelan, mencoba menghadirkan senyum yang sulit dipertahankan. "Titip ya, barang
"Dandi, kamu bareng saya saja. Kayaknya ada yang membutuhkanmu setelah terjadi gempa susulan di wilayah selatan," ajak Alzam dengan sudah siap dengan sepeda yang diberikan kesatuannya khusus untuk wilayah yang tidak gampang dilalui."Baik, Kep." Dandi segera siapa-siap dibonceng Alzam.Tak lama kemudian mereka sudah ada di desa tersebut. Tangis sudah memecah pendengaran. Mereka yang mulanya sudah tenang dan tak meninggalkan rumah mereka setelah terjadi gempa kapan hari, menjadi panik setelah terjadi gempa susulan yang kali ini memporakporandakan kediamannya."Kep, kita harus mengevakuasi mereka dari tempat ini." Seorang Sersan menghadap ke Alzam."Tapi warga keebratan, Kep. Bagaimana?" Kepala desa kebingungan."Kalau keberatan pindah, bagaimana nanti kalau ada apa-apa lagi. Apa tidak makin terjadi korban kembali?" Alzam mulai meninggikan suaranya. "Mereka enggan pergi karena keluarga mereka ada yang masih hilang. Terlebih untuk meninggalkan desa dan dikosongkan, rawan penjarahan," ta
Sejenak Lani memandang kedua sahabatnya yang beranjak ke luar. Hati Lani berdebar. Baru kali ini dia menghadapi hal seperti ini. Entah kenapa dia malah berdebar. Entah apa karena dilihatnya orang itu kini tengah menelisiknya dengan seksama ataukah karena memang dia mengajukan hal yang menurutnya besar untuk ukuran orang seperti dia.Lani kemudian menjalani berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan usahanya."Ini usaha Anda sendiri?" tanya pegawai itu dengan melihat berkas yang dibawa Lani."Sebenarnya bukan, Bu. Saya punya majikan yang menyerahkan semua usaha ini untuk saya kelola karena dia sibuk dengan pekerjaannya.""Memang dia kerja apa?""Dia di Angkatan Darat, Bu.""Kenapa dia tidak urus sendiri pengajuan ini?""Kalau yang menggagas ide ini memang saya, Bu. Cuma awal usahanya saja dari usaha dia yang menghimpun hasil jeruk nipis di desa kami dan Alhamdulillah kini makin berkembang.""Kalau begitu, berarti hanya Anda yang harus emnjawab pertanyaan yang saya ajkan sekarang, wala
Lani melangkah ke pintu, lalu berhenti sejenak ketika melihat siapa yang berdiri di depannya. Seorang pria dengan postur tegap, wajah tegas, dan tatapan tajam yang nyaris menusuk. Lani berusaha tersenyum, meski hatinya berdebar. Pria itu jelas bukan orang sembarangan, dan caranya menatap Lani membuatnya merasa seolah sedang dihakimi.Sejenak Pria di depannya seolah terkejut, walau sebentar. Kenapa wajah ini tak asing bagiku? guman Thoriq. Dan tahilalat di bawa dagu itu, seolah aku pernah melihat ini sebelumnya. "Assalamualikum, Anda Lani, bukan?" tanyanya tanpa basa-basi setelah menyongsong Lani yang datang dan memarkir motornya.Lani menatap pria di depannya setelah melepas helmnya. Rasa berdebar melihat wajah dan sorot mata pria yang kini di depannya. Wajah yang justru tak asing bagi Lani. Bahkan melihat postur tubuh tinggi besarnya, seolah bayang orang lain walau lebih muda, berada di sana. "Iya, benar, Pak. Anda siapa?" tanya Lani berusaha lebih sopan walau nadanya sedikit bergeta
"Kamu mau ke mana, Dhuk? " tanya Wagimin yang telah mendapati Mira datang dan terlihat rapi."Saya mau pulang Paklik. Tapi, entahlah. Rasanya... ada yang mengganjal."Wagimin mengernyit, melipat tangan di depan dada. "Apa yang mengganjal? Ceritakan. Jangan dipendam saja."Mira menunduk. "Bukan apa-apa, Paklik. Hanya perasaan aneh."Towirah, istrinya Wagimin, yang duduk di sudut ruang, ikut menimpali. "Perasaan aneh? Ah, biasanya itu tanda ada sesuatu yang besar. Apa jangan-jangan soal hati?"Mira tertegun. Ia melirik ke arah Towirah dan Wagimin yang kini menatapnya dengan penuh selidik. "Paklik, Buklik... sebenarnya aku ingin bercerita. Tapi takutnya malah jadi rumit.""Coba ceritakan dulu, Dhuk," bujuk Wagimin. "Kami di sini buat mendengarkan."Setelah ragu sejenak, Mira akhirnya menghela napas panjang. "Aku jatuh cinta, Paklik, Bulek. Tapi... aku takut."Towirah menyandarkan tubuh ke kursi, alisnya terangkat. "Takut kenapa? Jatuh cinta itu kan wajar.""Bukan cinta biasa, Bulek. Lela
Lani berdiri mematung di tengah gudang. Senyumnya mengembang, namun matanya berkaca-kaca. Di hadapannya, Alzam berdiri tegak, dikelilingi oleh pekerja gudang dan petani jeruk yang sebagian besar adalah pelanggan setia yang menyetorkan hasil panennya ke gudang milik Alzam. Suasana ruangan terasa penuh, tapi dalam pandangan Lani, hanya ada Alzam. Demikian juga dengan yang dirasakan Alzam.Lani dan Alzam saling menatap, seolah waktu berhenti. Alzam, dengan langkah tegas, mendekati Lani. Tanpa ragu, ia meraih bahunya dan memeluknya erat. Sebuah ciuman lembut ia daratkan di kening Lani.Desas-desus segera memenuhi ruangan. Bisikan kecil di antara kerumunan terdengar seperti suara lebah yang berdengung."Benar, kan? Selama ini mereka ada hubungan," ujar seorang ibu paruh baya di sudut. "Aku sudah melihatnya sejak mereka bersama di sini.Mereka sudah salin mencintai.""Mbak Agna yang menuntut Mas Alzam menikahinya karena dia memang tunangannya. Apa salah?" Sahut ibu-ibu yang lain. Mereka bahk
Ruangan besar di pabrik terasa sibuk dengan hiruk-pikuk aktivitas. Tumpukan karung berisi kulit jeruk tertata rapi, siap untuk dikirim. Lani berdiri di depan, mengenakan blouse sederhana yang lebih longgar untuk menutupi kehamilannya agar tak menjadi fitnah di kalangan masyarakat sana yang kini kadang terdengar ada dasas desus tentang dirinya dan Alzam. Sekuat apapun mereka menutupi, ternyata orang malah curiga ada sesuatu diantara mereka, terlebih saat orang tau Lani tinggal di sebelah rumah Alzam. Ada yang sinis, ada yang berbisik kenapa? Apalagi saat melihat orangtua Lani yang terasa akrab dengan orangtua Alzam. Bahkan seorang anak kecil yang kemarin mereka telah tau kalau itu anak Lani."Ternyata Mbak Lani tak sebaik yang kita kira, ya? Anak itu siapa bapaknya juga masih ghak jelas," guman salah seorang diantara mereka kapan hari. Untunglah Lani tak mendengar semua itu walau dia juga kadang risih dengan tatapan orang yang kebetulan bersimpangan dengannya."Untung dia pemilik pabri
Agna duduk di kursi kayu di sudut ruang makan, menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pagi itu terasa hampa. Langit mulai cerah, tapi suasana hatinya penuh awan gelap. Jam dinding berdentang, pukul sembilan lewat lima belas. Ia baru saja hendak menyendokkan satu sendok nasi goreng ke mulutnya ketika ponselnya bergetar."Ini pasti dia," gumamnya, setengah berharap, setengah cemas. Pagi ini saat dia bangun, Alzam sudah pergi. Menurut yang dia dengar dari ibunya, Alzam pamit karena ada yang harus dikerjakan."Halo, Mas," ucap Agna tanpa melihat siapa yang menelpon."Pagi, Bu Agna. Saya Tono. Maaf mengganggu, tapi saya punya informasi penting soal Pak Alzam, sesuai permintaan Anda."Agna terdiam sejenak. "Ya, lanjutkan.""Beliau diskors selama seminggu, Bu. Ada masalah... urusan pribadi, poligami, ketahuan komandannya."Agna meremas gagang ponsel lebih erat. "Diskors karena poligami?" ulangnya lirih. Hatinya seperti ditusuk jarum tajam."Benar, Bu. Sepertinya masalah ini juga men
Lani duduk di ruang tengah, matanya menatap kosong ke arah jendela. Tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin, namun ia bahkan tak menyadarinya. Di sebelahnya, Towirah mencoba memulai percakapan."Lani, jangan begini terus. Kamu harus kuat, Nak," ucap Towirah dengan suara lembut.Wagimin mendekat, membawa sebuah baki berisi pisang goreng hangat. "Ayo makan dulu. Pikiran berat nggak akan hilang kalau perut kosong," katanya sambil tersenyum tipis.Namun, Lani tetap diam. Hanya sekelumit air mata yang tergantung di sudut matanya. Mbok Sarem, yang duduk di sebelahnya, memandang Lani dengan prihatin."Apa Mas Alzam nggak pamit baik-baik sama kamu, Lani?" tanya Mbok Sarem pelan, mencoba menguatkan Lani.Lani menoleh, suaranya serak ketika menjawab. "Dia pamit, Mbok. Tapi rasanya seperti dia pergi untuk selamanya.""Dia pamit, Lani. Dan aku rasa dia juga berat saat pergi sampai dia kembali lagi kan? Jadi jangan berfikir negatif duluh. Dia orang yang bertanggungjawab. Tidak akan mungki
Alzam muncul dari belakang Lani. Ia melirik ke arah ibunya, lalu mengangguk. "Ayo, Mi.""Kamu ghak ngomong sama Lani duluh?""Ngomong apa, Mi?""Mereka sebenarnya menjemput Agna bersamamu. Kakak Agna datang dan ingin berkumpul dengan kalian.""Maksudnya ke rumah orangtua Agna?""Iya, begitulah.""Bagaimana ya, Mi, ini kan masih waktunya Alzam bersama dengan Lani. Kalau ke sana,..""Mas, ghak apa-apa. Pergilah," ucap Lani dengan menahan sesak di hatinya.Salma memandangi putranya dan Lani bergantian dengan perasaan campur aduk. Dalam hatinya, ia mengulang-ulang doa yang sama: "Tuhan, lindungi mereka dari segala kesulitan."Saat Alzam melangkah keluar rumah, Salma menoleh sekali lagi ke arah Lani dan Senja yang berdiri di ambang pintu. Bayangan mereka tersenyum, membuat Salma tak mampu menahan air mata yang menggenang. Ia berjalan menjauh tanpa berkata apa-apa, namun hatinya terus berdoa. Do'a yang tidak sama dengan yang diucapkan Lani yang segera beranjak ke kamarnya dengan menyuruh Se
"Nyonya! Kejutan kok mampir ke sini," ucap pembantu Agna saat melihat dua orang di depan pintu. Kedua orang itu pun tersenyum sambil melangkah masuk.Salma dan Thoriq yang sedang minum teh sambil nonton TV di ruang tengah,segera bangkit dan menyalami mereka berdua. Lalu mempersilahkan duduk.Baskara, ayah Agna, menyisipkan percakapan dengan nada lebih ringan. "Bagaimana kabar semua di sini? Lama tidak mampir.""Baik, Pak Baskara," jawab Thoriq datar, meski ada sedikit ketegangan di nadanya. "Tapi saya heran, tumben sore begini datang? Ada keperluan khusus?"Sandra terkekeh kecil. "Bukan keperluan, Pak. Cuma mau ajak Agna sebentar. Kakaknya sudah lama ingin ketemu. Dia baru datang kemarin bersama istrinya, makanya kami ke sini sekalian mampir jemput Agna. Mereka ingin berkumpul lagi seperti duluh saat masih di rumah bersama.""Hanya itu?" Salma akhirnya membuka suara, memandang Sandra dengan sorot mata yang penuh tanya.Sandra mengangguk sambil tersenyum. "Hanya itu. Oh, dan sekalian i
Langkah Agna perlahan memasuki rumah besar itu. Wajahnya sedikit muram. Di ruang tamu, Salma sedang duduk bersama suaminya, Thoriq. Suasana terlihat tegang, dengan percakapan yang setengah terhenti saat Agna muncul."Agna," sapa Salma, tersenyum kecil meski matanya menyimpan kelelahan. "Kamu naik apa tadi?""Taxi," jawab Agna singkat sambil melepas sepatunya. Ia merasa suasana rumah ini tidak seperti biasanya. Walau dia juga merasa kegerahan dengan keluarga Alzam yang tinggal di sana. Entah sampai kapan mereka betah di sini, bathinnya. Llau menatap Salma. "Di mana Mas Alzam, Ummi? Apa dia sudah pulang?"Salma sekejab merasa bersalah dengan kelakuan anaknya. "Iya, tadi pulang dengan tergesa, sampai lupa kalau kamu masih di kantor."Thoriq yang sejak tadi hanya duduk dengan raut serius akhirnya menyahut. "Biar untuk pembelajaran bagi Agna, Mi. Bukannya setelah ini dia harus belajar sendiri?"Agna mengerutkan kening, bingung. "Maksud Abi apa?"Sebelum Thoriq menjawab, Elmi, adik ipar Ag
Langkah Wagimin terasa mantap memasuki rumah besar itu, diiringi Towirah dan Senja yang berada di belakangnya. Mereka nampak bercanda, tertawa kecil mencandai Senja. Rumah tampak lengang, hanya suara tangis lirih dari ruang keluarga yang menarik perhatian mereka. Wagimin mempercepat langkahnya, masuk tanpa permisi.Lani tampak duduk di sofa dengan wajah merah dan mata sembap. Ia memeluk Alzam erat, seakan mencoba menenangkan kegundahan lelaki itu. Alzam sendiri hanya diam, wajahnya tertunduk, tampak berat menahan beban."Ada apa ini?" suara Wagimin memecah keheningan. Lani menoleh, napasnya terisak."Mas diberi waktu seminggu..." suara Lani gemetar, "...untuk merenungkan pernikahan kami. Dan meluruskan pernikahan resminya dengan Agna."Towirah memandang Lani dengan tatapan tajam, sementara Senja yang masih bocah hanya berdiri kikuk di belakang Towirah, lalu pergi ke belakang rumah. Wagimin mendekat, wajahnya memerah menahan amarah."Alzam, apa maksudnya ini?" tanyanya lantang. "Dulu,