Deretan mobil hitam berhenti di halaman rumah megah dengan desain minimalis modern. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh dengan dinding -dinding kaca. Lampu-lampu taman menyala redup, memberikan kesan elegan dan hangat.Pintu besar terbuka. Seorang pria berbaju batik dengan janggut rapi melangkah keluar. Wibawa terpancar dari tatapan teduhnya."Selamat datang," ucapnya dengan suara dalam.Al-Ayyubi, sosok yang dikenal luas karena keilmuannya. lelaki tinggi besar keturunan Arab itu, tersenyum.Evran, Manda, Armand, dan Arhand turun dari mobil. Mereka memberi salam dengan hormat."Syukran, Abi," Evran menjawab dengan nada penuh penghormatan meamnggil nama panggilan Al Ayyubi.Di belakangnya, Arhand menyesap napas panjang. Matanya menyapu halaman rumah. Berbeda dari ingar-bingar kota, suasana ini menenangkan. Namun, jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergejolak.Mereka dipersilakan masuk ke dalam.Ruang tamu luas dengan ornamen khas Makassar. Ukiran kayu jati menghiasi langit-langit. Ka
"Kenapa dadaku berdebar seperti ini?" Lani menatap bayangannya di cermin. Gaun sederhana berwarna biru tua, membalut tubuhnya, riasan tipis mempermanis wajahnya. Tangannya merapikan jilbab yang membingkai muka. Jilbab panjang di dada dan di belakang, namun masih terlihat modis dengan cara Lani memakainya.Alzam sudah menunggu di ambang pintu. Begitu pintu dibuka, tatapan Alzam tak berkedip memandang Lani."Sepertinya kamu baru saja bertemu dengan anak Bapak." Sentuhan lembut di bahu Alzam membuatnya tersentak kaget dan langsung menunduk karena malu.Towirah yang juga di belakangnya bahkan terkekeh sambil menutup mulutnya dengan tangan. Wajah tandas Wagimin dengan ketampanan yang masih terukir jelas di wajah tuanya yang terpanggang matahari di kulit hitamnya memang ada di wajah Lani. Namun kulit kuning langsat dengan pipi kemerahan Lani berasal dari Towirah yang walau sering terkena matahari jika menjadi buruh pemetik jeruk, tapi dia masih terihat bersih."Kamu siap?" tanya Alzam beru
Agna menghela napas panjang, lalu menggerutu sambil menatap kap mesin mobil yang berasap. Tangannya mencengkeram ponsel, siap mengetuk layanan taksi online."Sial! Mobil ini benar-benar menyebalkan! Seperti hidupku saja! Macet, mogok, dan dipenuhi kejutan tak mengenakkan!"Ia memukul setir dengan kesal, lalu mencoba lagi aplikasi di ponselnya. Tak ada taksi yang tersedia dalam waktu dekat."Apes! Lengkap sudah hari ini!"Tiba-tiba, suara berat menyapanya."Butuh bantuan?"Agna sontak menoleh. Seorang pria berseragam militer berdiri santai dengan tangan terselip di saku celana. Mayor muda dengan tubuh tinngi besar, tatapan tajam, dan senyum yang entah kenapa terasa menenangkan."Reynaldi?" Mata Agna melebar. "Astaga, aku pikir siapa tadi. Kamu kok tau aku lagi dlaam kesulitan. pa ini kebetulan ataukah takdir? Kanapa tiap aku tidak nyaman kamu selalu datang."Rey tersenyum ngakak. "Mungkin takdir kita bertemu. Kamu sih, mudah dikenali. Apalagi dengan ekspresi cemberut seperti tadi."Ag
Mereka tiba di rumah menjelang sore. Begitu masuk, suara Ibunya, Towirah, langsung terdengar."Lani! Alzam!"Lani mendekat, mencium tangan ibunya. "Ibu..."Wagimin keluar dari dalam rumah. "Jadi, bagaimana hasilnya?"Lani menatap Alzam. Senyum kebahagiaan terpancar dari tatapan mata mereka.Alzam tersenyum tipis. "Kami sudah diizinkan menikah resmi."Sejenak, hening.Lalu Towirah mengangkat tangan ke langit. "Alhamdulillah! Akhirnya!"Wagimin menepuk pundak Alzam. "Bagus. Sudah saatnya semuanya kembali ke jalurnya.""Bagaimana dengan Agna?" tanya Towirah pelan.Lani menunduk."Setelah bukti perselingkuhan itu ada, saya akan menggugat cerai, Bu," ujar Alzam."Kalau gitu segera daftar ke Pak Modin. Biar segera diurus rencana nikah kalian.""Baik, Pak. Nanti malam saya ke sana.""Rasanya Bapak tak sabar putri bapak menikah. Di rumah ini kita belum pernah mengadakan hajatan. Sampai semua orang merasa tak enak hati kalau aku pergi bawa amplop ke mereka, katanya kita tak pernah ambil buwuan
"Sebentar, Bi," Alzam minta izin abinya untuk masuk membuntuti Lani.Alzam memandang Lani yang sejak tadi diam. Raut wajahnya tak bisa dibaca. Matanya tak lagi berbinar seperti biasa."Kamu kenapa, Sayang?" suaranya pelan, mencoba mencairkan suasana.Lani mendongak sebentar, lalu kembali menunduk, memainkan ujung jarinya di tempat tidurnya. Ada bara yang sejak tadi ia tahan."Ada apa denganmu?" Alzam mengulang, kali ini tangannya berusaha menggenggam jemari Lani. Namun malah dikibaskan oleh Lani. Seketika Alzam tersentak. Lani menghela napas. Hatinya bergemuruh. Kata-kata yang seharusnya tak diungkit lagi, kini muncul. Bagaimanapun, kenangan itu masih terasa menyesakkan."Kalau saja kamu tak melakukan itu..." Lani akhirnya berbicara, suaranya terdengar serak.Alzam mengernyit. "Melakukan apa?"Lani mendongak kembali, matanya tajam menusuk. "Mengajak Agna menikah waktu itu."Hening sejenak. Perasaan di antara mereka terasa berat. Satu kesalahan dalam hidup Alzam yang tidak pernah dapa
"Tolong panggil Mira, Pak," ucap Agna pada satpam pabrik dengan nada sedikit terburu-buru. Baru saja dia datang dari kantornya dan pergi ke pabrik, memeriksa keuangan dan segala sesuatu tentang pabrik. Dia tau, Mira yang memegang segala sesuatunya soal pabrik itu.Satpam itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Mira tadi pamit Pergi istirahat makan siang dan katanya tidak kembali."Agna sontak mengernyit. "Apa? Dia nggak bilang ke saya?"Satpam itu mengangkat bahu. "Katanya nggak tahu nomor telepon Bu Agna, jadi nggak bisa kasih kabar langsung. Dia menyuruh saya minta izin Bu Agna."Agna menghembuskan napas kasar. Rasanya ingin mengumpat. Hari ini sudah cukup buruk tanpa tambahan drama ini. Pagi-pagi buta, Alzam tiba-tiba muncul dan melabraknya dengan tuduhan konyol. Sekarang, Mira malah pergi tanpa pamit.Dia merogoh tasnya dengan gerakan kasar, mencari ponselnya. Hendak menanyakan ke Lani nomer handphone Mira. Namun sebelum sempat menghubungi Mira, ponselnya bergetar lebih dulu. Na
Suasana begitu ramai ketika Mira bersandar di pagar pusat grosir yang berdiri megah di tengah kota. Lampu-lampu menyala kerlap kerlip di toko penjual lampu, memantulkan cahaya di permukaan pertokoan yang mulai ramai oleh pengunjung yang selain mencari makan karena watunya isrtirahat makan siang, juga pembeli dari luar kota yang mencari dagangan.Mira menghembuskan napas berat. Tatapannya kosong menatap lalu-lalang orang. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh juga."Kenapa aku sebodoh ini..." gumamnya.Sebuah sapu tangan berwarna biru tua tiba-tiba terulur ke hadapannya. "Habus air matamu."Mira menoleh. Seorang pria tinggi besar berdiri di sampingnya, tampak santai dengan tangan satu di saku celana seragam lorerngnya, sementara tangan satunya masih terulur."Kenapa menangis? Tak seharusnya kamu menangisi orang seperti itu. Dirimu teramat berharga untuk menangisi seseorang."Mira mendongak. Sorot matanya penuh kejengkelan. "Siapa kamu? Berani sekali berkata seperti itu padaku?
.Lani berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Matanya tak lepas dari jam dinding. Sudah hampir malam, tapi Alzam tak juga pulang. Dari sudut ruangan, Towirah menghela napas pelan. "Duduk dulu, Nduk. Jangan terlalu dipikirkan."Lani mengeryit. Iya juga. Ini bukan pertama kalinya Alzam melakukan ini. tiap dicueki Lani, dia selalu pergi begitu saja tanpa pamit, pikir Lani. Apa mungkin dia ada tugas mendadak seperti duluh?Wagimin, yang duduk bersila di tikar, ikut menimpali, "Bisa jadi dia ada urusan mendadak. Kalau sesuatu terjadi, pasti sudah menghubungi." Ternyata bapaknya mengataan apa yang di hati Lani.Lani berhenti. Ia menatap mereka dengan sorot sedikit tenang. "Tapi sejak kemarin aku marah padanya. Apa dia sengaja pergi karena itu?"Towirah menepuk-nepuk sisi kursi, menyuruh Lani duduk. "Lelaki itu tidak sependendam itu, Nduk. Kalau pergi jauh, pasti ada alasan kuat."Lani duduk, tapi pikirannya kadang gelisah. Ia menatap ponsel yang sejak tadi diam di meja. Tak ada pesan, tak
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad