Mereka tiba di rumah menjelang sore. Begitu masuk, suara Ibunya, Towirah, langsung terdengar."Lani! Alzam!"Lani mendekat, mencium tangan ibunya. "Ibu..."Wagimin keluar dari dalam rumah. "Jadi, bagaimana hasilnya?"Lani menatap Alzam. Senyum kebahagiaan terpancar dari tatapan mata mereka.Alzam tersenyum tipis. "Kami sudah diizinkan menikah resmi."Sejenak, hening.Lalu Towirah mengangkat tangan ke langit. "Alhamdulillah! Akhirnya!"Wagimin menepuk pundak Alzam. "Bagus. Sudah saatnya semuanya kembali ke jalurnya.""Bagaimana dengan Agna?" tanya Towirah pelan.Lani menunduk."Setelah bukti perselingkuhan itu ada, saya akan menggugat cerai, Bu," ujar Alzam."Kalau gitu segera daftar ke Pak Modin. Biar segera diurus rencana nikah kalian.""Baik, Pak. Nanti malam saya ke sana.""Rasanya Bapak tak sabar putri bapak menikah. Di rumah ini kita belum pernah mengadakan hajatan. Sampai semua orang merasa tak enak hati kalau aku pergi bawa amplop ke mereka, katanya kita tak pernah ambil buwuan
"Sebentar, Bi," Alzam minta izin abinya untuk masuk membuntuti Lani.Alzam memandang Lani yang sejak tadi diam. Raut wajahnya tak bisa dibaca. Matanya tak lagi berbinar seperti biasa."Kamu kenapa, Sayang?" suaranya pelan, mencoba mencairkan suasana.Lani mendongak sebentar, lalu kembali menunduk, memainkan ujung jarinya di tempat tidurnya. Ada bara yang sejak tadi ia tahan."Ada apa denganmu?" Alzam mengulang, kali ini tangannya berusaha menggenggam jemari Lani. Namun malah dikibaskan oleh Lani. Seketika Alzam tersentak. Lani menghela napas. Hatinya bergemuruh. Kata-kata yang seharusnya tak diungkit lagi, kini muncul. Bagaimanapun, kenangan itu masih terasa menyesakkan."Kalau saja kamu tak melakukan itu..." Lani akhirnya berbicara, suaranya terdengar serak.Alzam mengernyit. "Melakukan apa?"Lani mendongak kembali, matanya tajam menusuk. "Mengajak Agna menikah waktu itu."Hening sejenak. Perasaan di antara mereka terasa berat. Satu kesalahan dalam hidup Alzam yang tidak pernah dapa
"Tolong panggil Mira, Pak," ucap Agna pada satpam pabrik dengan nada sedikit terburu-buru. Baru saja dia datang dari kantornya dan pergi ke pabrik, memeriksa keuangan dan segala sesuatu tentang pabrik. Dia tau, Mira yang memegang segala sesuatunya soal pabrik itu.Satpam itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Mira tadi pamit Pergi istirahat makan siang dan katanya tidak kembali."Agna sontak mengernyit. "Apa? Dia nggak bilang ke saya?"Satpam itu mengangkat bahu. "Katanya nggak tahu nomor telepon Bu Agna, jadi nggak bisa kasih kabar langsung. Dia menyuruh saya minta izin Bu Agna."Agna menghembuskan napas kasar. Rasanya ingin mengumpat. Hari ini sudah cukup buruk tanpa tambahan drama ini. Pagi-pagi buta, Alzam tiba-tiba muncul dan melabraknya dengan tuduhan konyol. Sekarang, Mira malah pergi tanpa pamit.Dia merogoh tasnya dengan gerakan kasar, mencari ponselnya. Hendak menanyakan ke Lani nomer handphone Mira. Namun sebelum sempat menghubungi Mira, ponselnya bergetar lebih dulu. Na
Suasana begitu ramai ketika Mira bersandar di pagar pusat grosir yang berdiri megah di tengah kota. Lampu-lampu menyala kerlap kerlip di toko penjual lampu, memantulkan cahaya di permukaan pertokoan yang mulai ramai oleh pengunjung yang selain mencari makan karena watunya isrtirahat makan siang, juga pembeli dari luar kota yang mencari dagangan.Mira menghembuskan napas berat. Tatapannya kosong menatap lalu-lalang orang. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh juga."Kenapa aku sebodoh ini..." gumamnya.Sebuah sapu tangan berwarna biru tua tiba-tiba terulur ke hadapannya. "Habus air matamu."Mira menoleh. Seorang pria tinggi besar berdiri di sampingnya, tampak santai dengan tangan satu di saku celana seragam lorerngnya, sementara tangan satunya masih terulur."Kenapa menangis? Tak seharusnya kamu menangisi orang seperti itu. Dirimu teramat berharga untuk menangisi seseorang."Mira mendongak. Sorot matanya penuh kejengkelan. "Siapa kamu? Berani sekali berkata seperti itu padaku?
.Lani berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Matanya tak lepas dari jam dinding. Sudah hampir malam, tapi Alzam tak juga pulang. Dari sudut ruangan, Towirah menghela napas pelan. "Duduk dulu, Nduk. Jangan terlalu dipikirkan."Lani mengeryit. Iya juga. Ini bukan pertama kalinya Alzam melakukan ini. tiap dicueki Lani, dia selalu pergi begitu saja tanpa pamit, pikir Lani. Apa mungkin dia ada tugas mendadak seperti duluh?Wagimin, yang duduk bersila di tikar, ikut menimpali, "Bisa jadi dia ada urusan mendadak. Kalau sesuatu terjadi, pasti sudah menghubungi." Ternyata bapaknya mengataan apa yang di hati Lani.Lani berhenti. Ia menatap mereka dengan sorot sedikit tenang. "Tapi sejak kemarin aku marah padanya. Apa dia sengaja pergi karena itu?"Towirah menepuk-nepuk sisi kursi, menyuruh Lani duduk. "Lelaki itu tidak sependendam itu, Nduk. Kalau pergi jauh, pasti ada alasan kuat."Lani duduk, tapi pikirannya kadang gelisah. Ia menatap ponsel yang sejak tadi diam di meja. Tak ada pesan, tak
Langkah Alzam mantap melewati ruang rumah besar itu. Sekali lagi dia melirik jam di pergelangan tangan. Sudah jam 20.30. Tiket penerbangan terakhir menuju Surabaya sudah dia pesan dengan mengambil penerbangan tersakhir jam 21.45. Waktu terus berjalan, tapi jawaban yang dia cari belum didapatkan. Orang yang ditunggu tak jua nampak pulang."Ayo makan duluh sama Oma," ajak Evran. Alzam pun mengangguk dan mengikuti langkah neneknya yang jalannya tak bisa cepat itu.Evran menatap cucunya dengan sorot mata sendu. "Jadi, bagaimana dengan pernikahan kamu?" suaranya lirih, tetapi menyimpan ketegasan. "Apa Oma harus membayangkan kamu tinggal bertiga dengan Lani? Atau..."Alzam menghentikan suapannya. Sudut bibirnya mengeras. Tidak ingin membahas hal itu, apalagi ketika ada Manda yang jelas-jelas memandangnya seolah dia penyakit yang harus dijauhi. Wanita itu bahkan tak sudi duduk satu meja makan dengannya. Hanya mengambil makanan, lalu pergi ke kamarnya tanpa sepatah kata pun."Pernikahan kam
Suasana masih gelap saat Lani membuka mata. Tubuhnya terasa lebih segar meskipun tidur semalam penuh kegelisahan. Saat menoleh ke samping, Alzam masih terlelap. Napasnya teratur, wajahnya terlihat lelah, tapi ada ketenangan yang jarang terlihat sebelumnya. Dia seolah kedinginan dengan meringkuk, tak berani memeluk Lani setelah memanggilnya semalam dan Lani tak menghiraukannya.Berdiri, Lani melangkah ke dapur setelah menyelesaikan sholat Subuh. Bau kopi hitam menyeruak. Towirah sudah duduk di kursi kayu, meniup cangkirnya."Bangun pagi sekali," komentar ibunya.Lani menarik kursi, duduk di seberangnya. "Aku sulit tidur, Bu.""Bukannya Alzam sudah pulang. Apa lagi yang kamu pikirkan? Jangan banyak murung, Dhuk. Kamu harus bahagia demi bayimu." Towirah mengusap punggung tangan Lani. "Ajak Alzam sana, katanya pingin makan sayur alur."Lani terdiam. Mulutnya sudah siap menjawab, tapi suara langkah di belakang membuatnya menoleh. Alzam berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kaus tipis
"Kamu?"Mata Mira melebar saat melihat Reynaldi berdiri di belakang rumahnya yang dipenuhi tanaman jeruk manis. Suara terkejutnya membuat Alzam dan Lani menoleh dengan rasa penasaran.Rey malah terkekeh santai, melipat tangan di depan dada. "Wah, berjodoh kita ini, Mbak. Tiap ketemu selalu mendadak begini."Lani mengernyit. "Lho, kalian sudah saling kenal?"Mira mendengus, jelas tidak nyaman dengan keakraban yang Rey paksakan. "Ketemu sekali doang, sok akrab banget." Tatapannya kesal."Serius? Kapan ketemu?" tanya Alzam, kini ikut penasaran.Mira melipat tangan di depan dada. "Di pusat grosir."Lani menatap Mira penuh selidik, lalu mendekatinya dengan penuh curiga.. "Mbak ke pusat grosir? Ngapain ke pusat grosir, Mbak Mira? Mbak mencari Damar?" tebaknya dengan berbisik.Mira langsung salah tingkah. Dia tidak mungkin jujur kalau ke pusat grosir untuk mencari Damar. Lebih-lebih, kenyataan pahit yang dia dapatkan di sana—melihat Vero, mantan istri Damar.Mira mencoba menghindari tatapan
Langit masih gelap ketika Alzam menggoyang pelan bahu Senja. "Ayo bangun, nanti keburu sholat Subuh datang," suaranya lembut, tapi cukup tegas.Senja menggeliat pelan di atas sofa kecil yang disediakan di kamar rumah sakit. Kelopak matanya masih berat, tapi suara Alzam membuatnya berusaha sadar sepenuhnya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia mendengus kecil."Lima menit lagi..." gumamnya sambil menarik selimut.Alzam tersenyum kecil, lalu menepuk bahu anak tiri sekaligus keponakannya itu, sekali lagi. "Nanti kesiangan. Kakak mau belikan buat sahur. Kamu mau apa? "Senja yang tadinya malas-malasan langsung membuka mata. "Bubur ayam, tapi jangan pakai seledri!" katanya cepat."Oke, nanti Kakak carikan. Tapi sekarang, ayo bangun."Dengan sedikit ogah-ogahan, Senja akhirnya bangkit. Setelah wudhu, dia sholat tahajut di sebelah Alzam. Suasana di kamar rumah sakit masih sepi. Hanya terdengar suara lembut lantunan doa dari bibir mereka. "Jangan tidur lagi, sebentar lagi Kakak be
"Adik, jangan lama-lama, ya," suara suster terdengar lembut namun tegas.Senja tersentak, menoleh ke arah suster yang berdiri di dekat pintu. Tatapan wanita paruh baya itu ramah, tapi tetap mengandung peringatan.Ia menatap lagi ke inkubator, ke bayi mungil yang masih tertidur nyenyak, lalu mengangguk kecil. "Iya, Suster."Tangannya yang semula menempel di kaca perlahan turun. Ia beranjak pergi, tapi langkahnya tak menuju ruang perawatan Lani. Ia berjalan lurus melewati lorong rumah sakit yang terasa sepi, lalu ke arah taman kecil di belakang gedung.Duduk di bangku kayu, Senja menghela napas panjang. Kepalanya terasa penuh.Kenapa semuanya tiba-tiba jadi begini?Beberapa bulan terakhir, ia tinggal di rumah Thoriq, kakeknya, dan sudah merasa nyaman. Elmi, adik Alzam, memperlakukannya seperti anak sendiri. Kemana-mana mereka selalu berdua. Bahkan Aksa, suami Elmi, juga seperti sosok ayah baginya.Tapi di sisi lain, Lani.Ibunya.Mereka sering menghabiskan waktu berdua hanya untuk ngobr
Kinan masih berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Agna yang berdiri dengan wajah tanpa ekspresi."Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan?" suara Kinan rendah, tapi tajam.Agna menarik napas, berusaha tenang. "Aku nggak ngerti maksudmu.""Jangan pura-pura bodoh," Kinan melangkah lebih dekat. "Selama ini kamu selalu bersembunyi di balik topeng baik-baik, tapi kenyataannya? Kamu selingkuh di belakang suamimu. Untung juga Alzam nggak cinta sama kamu. Kalau cinta, bisa hancur rumah tangga."Pak Bara menghela napas, tak tahu harus bagaimana menghentikan Kinan. "Aku nggak pernah bermaksud menyakiti siapa pun," Agna akhirnya bicara. "Justru karena dia nggak cinta sama aku, hinggah aku,.."Kinan tertawa sinis. "Itu bukan alasan untuk orang selingkuh."Agna menegang."Semua ini memang salahku. Aku yang menyebabkan Agna melakukan semua itu. Jadi tolong, berhentilah menghinanya." Akhirnya Arhand angkat bicara.Air mata sudah menggenang di pip Agna.Pak Bara akhirnya melangkah men
Langkah Arhand melambat saat mendekati mobil. Agna, yang berada di sisinya, juga ikut berhenti. Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya menoleh ke belakang."Mami, Papi duluan aja. Kita masih mau mampir ke ruangan Alzam," ujar Agna, suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan di sana. Merela tau, Sandra tidak akan tinggal diam dengan pemitan mereka.Benar saja, Sandra mendengus, seolah tidak senang dengan keputusan itu. "Buat apa? Mereka pasti sibuk sama bayinya. Ngapain juga kalian ke sana? Merepotkan diri saja," gerutunya."Kita cuma mau pamit," Arhand menimpali. "Sebentar aja."Arya, yang berdiri di sisi Sandra, hanya melirik sekilas. "Iya, Hand, dia saudaramu. Sudah sewajarnya kamu harus pamit padanya. Cepatlah kalau memang itu maumu. Kami bisa duluan pulang."Tanpa menunggu lebih lama, Arhand menggenggam tangan Agna, membawanya melangkah menuju ruang perawatan Lani. Namun, saat mereka tiba di sana, tempat itu kosong. Tidak ada Lani, tidak ada Alzam.Agna mengerutkan kenin
Di ruang tunggu rumah sakit, Agna bersandar pada kursi dengan wajah yang sulit suram. Sesekali, kakinya bergerak gelisah, sementara matanya melirik ke arah pintu, menunggu orang yang kini ke ruang administrasi. Arhand masih di dalam, mengurus segala urusan sebelum mereka bisa pulang.Di sebelahnya, Sandra tak henti-henti berbicara."Jadi, Lani akhirnya nggak dapat donor dari Arhand?"Nada suaranya penuh dengan penekanan, seolah ingin memastikan semua orang tahu betapa anehnya keputusan itu.Agna mendengus pelan. Ia melirik Sandra, lalu menoleh ke Arya yang duduk di seberangnya. Dari tadi tingkah maminya begitu membuatnya sebal."Mi, ini sudah bolak-balik dibahas," ucap Agna akhirnya, mencoba menahan kesal."Tapi aneh, kan?" Sandra masih bersikeras. "Masak Arhand, yang katanya peduli, nggak jadi donor? Ada apa sebenarnya? Atau jangan-jangan—""Mi. Sudah ada temannya Mas Alzam yang tiba lebih duluh."Arya memotong cepat. Wajahnya tetap tenang, tapi intonasi suaranya sedikit menekan."K
Rey dan Mira duduk di taman rumah sakit, memperhatikan orang-orang yang berjalan menuju ruang bayi yang tak jauh dari pandangannya, walau di sebrang mereka duduk. Mira ikut menatap ke arah yang sama, tangannya masih menggenggam botol air mineral yang tadi ia beli di kantin rumah sakit."Kita kok belum lihat ke sana. Masih di sini saja?""Jangan ke sana.""Memang kenapa? Aku kan juga pingin lihat gimana rupa bayinya Lani sama Alzam itu," guman Mira."Ntar kamu jadi segera pingin punya anak, padahal kita kan belum waktunya itu,..." Rey terkekeh."Ih, pikiran kamu ngeres." Mira bahkan sempat bergidik saat selintas terbayang Rey sebesar itu mendekatinya."Tuh kan, bayangin aku," gurau Rey.Lagi-lagi Mira bergidik. "Amit-amit deh bayangin kamu, Rey. Yang ada malah aku sawanan. Kamu sebesar itu."Rey terkekeh. Namun dia kemudian terdiam."Lihat, siapa yang datang," gumam Rey pelan.Mira mengernyit. "Siapa?"Sebelum Rey menjawab, seorang lelaki melangkah pelan menuju tempat wudhu di musholla
Rey menatap Mira yang masih menunduk, pipinya bersemu merah. Jarinya hampir saja menyelipkan anak rambut yang jatuh menutupi wajah Mira ketika sebuah suara menggelegar dari belakang."Rey!"Tangan Rey terhenti di udara. Kepalanya menoleh cepat. Mira juga tersentak.Tukiran berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut. Matanya tajam, mengawasi mereka berdua.Rey cepat-cepat menarik tangannya. Mira mundur selangkah. Jantungnya masih berdetak cepat, bukan karena Rey, tetapi karena ketahuan."Kalian belum buka puasa, kan?" Tukiran melanjutkan, nada suaranya sedikit lebih lembut. "Ini tadi ibumu beli nasi. Makanlah."Rey menghela napas lega, lalu tersenyum canggung. "Terima kasih, Pak."Perutnya memang sudah keroncongan. Tadi dia hanya sempat makan kurma dan minum air putih yang diberikan suster sebelum donor darah.Mira melirik ke arah Tukiran, mencoba menetralkan wajahnya. "Yang lain sudah makan?""Kayaknya baru makan setelah tahu Lani sadar," jawab Marni, yang tiba-tiba ikut berdiri di
Arhand berdiri di depan ruang perawatan. Agna yang masih tampak lemah, menggenggam tangannya erat."Kamu yakin kuat?" bisik Arhand.Agna mengangguk. "Anggap saja ini penebusan dosaku untuk Lani dan Alzam.Arhand menarik napas panjang. "Kalau begitu, jalan pelan, ya. Atau aku minta kursi roda?""Nggak usah. Sekalian biar aku sehat. Beberapa hari di sini dan hanya tiduran, aku bosan.""Agna, kamu baru saja lepas infus. Istirahat dulu," bujuk Sandra.Agna menggeleng. "Aku ingin melihatnya, Mi. Sekalian aku mau minta maaf.Arhand menggandeng Agna pelan. Keduanya berjalan menuju ruang perawatan. Langkah Agna masih tertatih, tapi dia bersikeras.***Lani akhirnya membuka mata perlahan. Cahaya lampu membuat pandangannya masih kabur. Suara alat medis berdenging samar.Seseorang menggenggam tangannya. Hangat. "Sayang,...." Alzam hampir meneteskan air mata saat melihat Lani mengerjab. Betapapun sakit hatinya karena Lani mencari Rey di saat sadar, dia berusaha meredam perasaannya.Lani berus
"Ada apa, Arhand?" Sandra yang habis mengerjakan sholat Isya', bangkit menghampiri Arhand yang memegang tangan Agna.Arhand dan Agna menoleh ke Sandra."Arhand melihat Alzam dan keluarganya sedang menunggu Lani operasi melahirkan."Memangnya kenapa kalau melahirkan? Biar komplit kebahagiaan mereka. Biar makin besar kepala itu Alzam." Sandra masih tak dapat terima dengan masih membenci Alzam."Mami, kok ngomongnya gitu?""Aku sebel aja. Sementara kamu keadaannya begini, mereka senang-senang.""Bukan senang, MI. Tapi mereka lagi ada masalah.""Maslah apa juga. Biar tau rasa sekalian. Orang yang bikin orang lain menderita, pasti ada karmanya.""Mami,..""Sini, mana makanan Mami, Hand. Ini nungu Papi juga kelaparan aku. Tapi buka puasa cuma roti aja.""Sudahlah, kamu makan cepat. Biar nanti kuat. Kita ke sana bareng.""Yakin kamu ikut?"Agna mengangguk.****Mira berdiri kaku, jantungnya berpacu cepat. Rey di sebelahnya mengepalkan tangan. Towirah hanya terus berzikir direngkuh Salma. Sem