"Sayang, bangun, Subuhnya sudah lewat. Hampir jam lima."Suara lembut Alzam menyentuh gendang telinga Lani, membuat kelopak matanya terbuka sedikit. Mata berat, tubuh masih enggan beranjak. Helaan napas terdengar dari samping. Tangan hangat mengusap lengan, pelan-pelan membangunkan."Masih ngantuk," gumamnya, menarik selimut.Alzam terkekeh, menyingkap kain yang menutupi wajah istrinya. "Tadi siapa yang minta dipeluk sampai ketiduran? Sekarang nggak mau bangun?"Lani mengerjap. Suaminya menatap dengan senyum menggoda. "Minum dulu," Alzam menyodorkan gelas. Lani menerima, meneguk air dingin yang langsung menyegarkan kerongkongan.Begitu gelas diletakkan, Alzam menunduk, mencium keningnya. "Bangun, mandi bareng, biar nggak molor lagi."Tatapan mengantuknya beralih tajam. "Mandi bareng?"Alzam sudah berdiri, mengulurkan tangan. "Mumpung ada air hangat di ensuite baru kita."Lani mengernyit. "Ensuite?""Kamar mandi dalam, dong. Masa kita masih ke luar lagi?"Mata Lani melirik pintu kamar
Alzam berdiri tegap, napas memburu. Tatapannya tajam menusuk ke arah dua wanita paruh baya yang sejak tadi melontarkan tuduhan seenaknya."Maaf, ibu-ibu. Kalian tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, jadi jangan asal bicara," suaranya rendah, tapi sarat amarah. "Saya tidak terima istri saya kalian katakan selingkuhan. Saya bukan orang seperti itu! Terlebih, itu menghina wanita yang saya cintai."Salah satu wanita itu melengos, melempar lirikan pada temannya sebelum berujar lirih."Nyata-nyata selingkuh kok gak terima."Lani menggenggam lengan Alzam, berusaha menyalurkan ketenangan lewat sentuhan. Tapi pria itu tak bisa tinggal diam. Matanya berkilat marah."Kalian bahkan tidak mengerti arti kata selingkuh." Rahangnya mengeras. "Dia tidak pernah merebut saya dari siapa pun!"Tangan Lani semakin mengerat. Namun, dua wanita itu masih bersikukuh. Bisik-bisik mereka terdengar makin tajam, menusuk telinga Alzam."Mana ada sih orang selingkuh yang mau ngaku? Ya, jelas-jelas tidak mengakui k
Lani menekan tombol panggil, menempelkan ponselnya ke telinga. Suara Mira terdengar ceria di seberang."Mbak, bagaimana keadaan pabrik?""Harga jeruk mulai anjlok, Lami. Kemarin Agna aku lihat bersitegang dengan Pak Sajad.""Kenapa bisa seperti itu?""Agna ingin membeli jeruk sesuai dengan penurunan yang terjadi di pasar. Sedangkan waktu kamu duluh, walau turun kan masih kamu beri harga yang lebih tinggi dari pasar, jadi petani kerasan.""Waduh, gimana, dong. kasihan mereka. Nanti imbasnya juga akan ke gudang, karena pabrik lain juga begitu, ghak akan mau harga yang lebih tinggi dari pasar. Padahal harga jual sirup tetap sama, mau naik, mau turun harga bakunya.""Aku sendiri bingung, Lani. Ini Mas Budi juga mengeluh dengan harga kulit jeruk yang dinaikkan. Katanya murah banget, bisa dijadikan sovenir mahal, kok bahan bakunya cuma segitu."Lani terdiam sesaat. Dia baru ingat saat Mira mengatakan tentang Budi. "Mbak, kamu dapat undangan dari Budi sama Dita. Undangannya di rumahmu ya.""
"Siapa yang menikah?" tanya Rey, suaranya terdengar santai tapi matanya sedikit menyipit, menatap selembar kartu undangan berwarna pastel yang terlihat mahal itu."Dita dan Budi," sahut Lani."Kamu ghak kenal. Pergi aja, kita mau pergi," ucap Mira sengol."Ghak gitu-gitu amat dong, ntar cantik kamu ilang.""Dasar gombal!"Rey terkekeh, lalu melirik dirinya sendiri. Kaos, celana jeans. Dia menghela napas pelan. "Nikahnya di gedung?" tanyanya lagi.Alzam, yang sejak tadi berdiri di samping Lani, mengangguk. "Iya, resepsi gedung. Kenapa?"Rey tertawa hambar, menyeringai kecil. "Ya udah, selamat bersenang-senang. Gue nggak bakal nyusahin kalian dengan penampilan gue yang kayak gembel gini."Lani terkikik, menutup mulutnya dengan tangan."Kenapa nggak ikut aja?" Alzam menatap Rey dengan sorot serius. Sementara Mira melotot.Rey menghela napas berat, mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Gini doang? Masa gue masuk ke acara formal dengan kaos sama jeans?"Alzam menepuk bahu Rey, seak
Alzam melirik Lani yang berdiri di meja makanan. Matanya berbinar saat melihat deretan es buah wana warni di mangkuk kaca besar. Tangannya sudah terulur, siap meraih gelas berisi es yang menggoda itu. Tapi sebelum jemarinya menyentuh gelas, suara berat Alzam menghentikannya."Jangan."Lani mengerjapkan mata. "Hanya kali ini."Alzam menatapnya serius. "Nggak baik buat bayi kita, Sayang."Lani menghela napas panjang. "Udah lama nggak minum es, lho."Alzam tetap menggeleng. "Tahan, ya?"Lani mengerucutkan bibir. "Udah lima bulan, sayang. Masa nggak boleh sekali aja?"Tatapan Alzam melunak. Tangannya terulur, menyentuh jemari Lani yang masih ragu-ragu. Dia lalu mengambil sedikit."Lagi ghak boleh?""Lani,..."Lani menatap suaminya dengan wajah merajuk. Tapi akhirnya dia menyingkir dari meja es buah, memilih kembali ke samping Alzam.Tapi belum sempat dia menarik napas lega, Alzam sudah menatap tajam ke arah piringnya."Kambing guling juga?"Lani mengangguk. "Iya, dong. Favorit aku."Alzam
Mira menatap lurus ke depan, tapi matanya kosong. Dada terasa sesak, seakan ada tangan tak terlihat yang meremasnya dari dalam.Sial. Kenapa harus begini?Di sisinya, Rey diam. Tapi Mira tahu pria itu sedang mengamati wajahnya, membaca tiap ekspresi yang coba dia sembunyikan.“Mir…” Suara Rey nyaris seperti bisikan. Badannya merapat. Tanpa sadar, Mira mengeratkan tangannya di lengan Rey. Sejenak Mira menelan ludah. Dia tidak ingin terlihat lemah. Tidak di depan Rey. Tidak di depan Damar yang sekarang duduk bersama Vero dan putrinya.Tapi sialnya, matanya tetap menangkap sosok Damar. Laki-laki itu terlihat canggung, tapi tetap di sana. Bersama keluarganya. Bersama perempuan yang seharusnya tidak ada. Damar sendiri bingung bersikap. Di satu sisi perasaannya pada Mira. Di sisi lain, dia tak ingin anaknya melihat orangtuanya tak bahagia bersamanya.Mira ingin tertawa. Ironi macam apa ini?Tapi yang keluar dari bibirnya justru kalimat penuh amarah.“Kamu cari kesempatan di tengah penderit
Langkah Yasmin terhenti begitu melihat sosok yang berdiri tak jauh. Napasnya tercekat. Ada sesuatu yang meremas jantungnya.“Sandi?” Dia menatap pria itu dengan menata degup jantungnya.Pria itu tersenyum. Wajahnya tampak sedikit berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Lebih matang. Lebih… berwibawa.Sandi Lim adalah pria keturunan Tionghoa dengan perawakan tinggi dan atletis. Kulitnya putih terang khas oriental, dengan rahang tegas dan hidung yang sedikit mancung. Rambutnya hitam pekat lurus, ditata rapi dengan gaya yang terlihat profesional namun tetap santai. Matanya sipit namun tajam, menyiratkan kecerdasan dan determinasi. Gaya berpakaiannya selalu rapi dan berkelas, mencerminkan kesuksesannya dalam dunia bisnis. Namun di balik sikap tenangnya, ada keteguhan hati yang sulit dibaca oleh orang lain. Yaitu rasa cintanya pada yasmin yang tak pernah luntur dan membuatnya mau belajar apa yang diinginkan keluarga Yasmin tanpa menelannya mentah-mentah. Walu itu tak pernah dia ungkapka
Mira menatap layar ponselnya, jari-jarinya ragu menyentuh kontak panggilan. Nomor Rey sudah ada di sana, hasil permintaan setengah memaksa pada Lani tadi sore."Tolong pertimbangkan dia, Mbak," suara Lani masih terngiang. "Dia memang salah, tapi dia nggak sadar waktu itu. Dia terlalu sayang sama kamu."Mira menggigit bibir, menahan perasaan yang bergejolak. Lani benar. Rey salah. Tapi yang dia lakukan setelah itu…Mira meraba bibirnya, seakan masih bisa merasakan ciuman singkat yang mendarat begitu saja di sana.Sial.Waktu itu, setelah sesi foto, dia berniat memarahi Rey. Tangannya bahkan sudah terangkat, siap mendorong pria itu menjauh. Tapi tatapan Rey—tajam, dalam, penuh sesuatu yang tak bisa Mira baca—membuatnya terhenti.Dan lalu…Bibinya menghangat, pipinya memerah hanya dengan mengingatnya.Tanpa aba-aba, Rey membungkuk, bibirnya menyapu bibir Mira sekilas.Itu spontan. Tidak direncanakan. Tapi cukup untuk membuat Mira terdorong panik, hingga tanpa sadar dia mendorong Rey kera
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad