"Senja, mas mau bicara."Tidak biasanya pagi ini Rey masih berada di rumah. Biasanya di pagi buta, dia sudah pergi untuk menjemput Gia. Seperti seorang lelaki yang menjemput istri atau pacarnya.Senja yang sudah selesai mematut dirinya, segera membalikkan badannya."Ada apa mas? Kok tumben belum pergi? Emang Gia sudah bisa pergi sendiri?" tanya balik Senja.Bahkan dia sudah berada sangat dekat dengan Rey. ke sepuluh jari lentiknya membenarkan dasi Rey yang sedikit berantakan.Rey menatap mata Senja dalam, sebelum dia mengangkat suara. "Seminggu ini dia mengambil cuti. Katanya, mamanya sakit. Mungkin dia akan membawa mamanya pindah kemari," jawab Rey.Ada perasaan tidak enak yang menyerbu Senja secara berutal. Dia merasa ada sesuatu yang diinginkan Rey lagi darinya. Tidak tahu apa itu. Tapi firasatnya tidak mungkin salah."Kenapa mas? Mas bisakan nyelesai semua di kantor? Apa perlu aku ambil cuti sama teman mas itu?" tanya Senja lagi.Rey menggelenglan kepalanya. "Bukan itu. Kasian Gia,
Senja terus saja memalingkan wajahnya. Dia tidak mau tatapannya dengan Langit bertemu. Bibirnya juga sudah sengaja dia kunci rapat, tanpa ada celah renggang untuk menjawab lirih.Lirikan mata Langit berulang kali, membuat dia harus membuang napas panjang. Dia tahu, dia salah. Harusnya dia tidak berkata demikian semalam. Tapi ada rasa berkhianat menyergapnya. Membuat dia spontan mengatakan demikian. Hatinya masih tidak bisa terbuka untuk wanita lain.Melihat Senja yang sejak tadi memilih diam. Menjadikan Langit serba salah. Niat awalnya datang ingin meminta maaf. Tapi kenapa gengsinya terlalu tinggi hanya untuk mengatakan dua hal itu. Padahal dia sudah bersusah payah menyusun rangkaian cerita, agar terlihat natural datang ke rumah Rey.Kebingungan melanda Langit. Harus cara apa lagi untuk membuat Senja bicara?Langit yang dasarnya tidak bisa membujuk wanita. Akhirnya membiarkan Senja yang memilih diam. Kesunyian tanpa ada peneman obrolan membuat suasana terasa agak memanas.Blam!!Senj
Tidak terasa seminggu dengan cepat berlalu. Senja dan Langit masih melakukan perang dingin. Bukan Senja saja yang ternyata bisa diam. Langit juga sangat jago menutup mulutnya. "Saya pulang," ketus Senja.Dia terpaksa berbicara, karena hari ini mau lebih awal kembali. Rey tadi malam sudah cerita jika hari ini Gia, anaknya, dan juga mamanya akan tinggal di rumah mereka Langit tidak menjawab, bahkan dia masih sibuk berkutat dengan berkasnya dan tidak memperdulikan Senja."Tuan Langit. Saya mau pulang. Ada tamu yang mau datang ke rumah saya," terang Senja.Senja jadi merasa geram sendiri dengan Langit, awalnya kan dia yang marah. Langit yang salah, kenapa sekarang seolah dia yang salah?Apa karena masalah kopi seminggu yang lalu? Senja sudah capek dengan Langit yang mengerjainya hari itu. Hingga dengan sengaja Senja menggantikan gula dengan campuran garam.Senja masih mengingat jelas, saat Langit menyemburkan seisi kopi dalam dalam mulutnya, sampai lantai yang tadi berkilau bening, terke
Raina belum membuka suaranya, disaat Gia mengamuk di kamar yang di berikan Senja untuk mereka. Belum lagi Laura yang menangis karena menginginkan kamarnya sendiri."Senja sudah merendahkan kita ma. Andai dia tahu jika rumah ini milik papa. Tidak mungkin kita hanya mendapat kamar seperti ini. Aku lelah berpura-pura,"Raina menarik napasnya panjang. Dia juga sangat tidak sabar. Tapi mereka tidak memiliki hak apapun sama sekali. Hubungan gelapnya bersama Wira, menghasilkan anak yang tidak memiliki status apapun di mata hukum."Harusnya mama jangan biarkan dia mati dahulu kemarin, sebelum menandatangani semua surat kuasa agar berpindah pada kita. Kayak gini jadinya kan?" kesal Gia."Sabarlah Tania. Kita juga kesini untuk melancarkan misi kita kan? Jangan semua gagal karena emosimu yang tidak bisa dikendalikan itu. Jangan suka menghasut Laura. Lihat anakmu, dia sampai ketiduran karena menangis," terang Raina."Berhenti manggil nama kecilku ma. Jangan sampai Senja curiga," peringat Gia.Ked
prank!!Semua yang berada di meja makan kaget dengan suara hentakan kasar sendok di atas meja makan."Bumi gak mau makan. Bumi mau sekolah sekarang," emosi Bumi.Bumi sangat tidak suka dengan kehadiran orang lain di rumahnya. Apalagi semalam dia sudah berusaha untuk mogok tidak keluar kamar. Tapi ternyata mereka tetap berdiam di rumahnya "Bumi, jaga sopan santunmu. Mereka juga keluarga kita sekarang," tegas Rey.Bumi sempat mencuri lirik ke arah Laura yang tersenyum mengejek ke arahnya, membuat Bumi semakin memanas.Dalam meja makan, keduanya tanpa terlihat sudah mengibarkan bendera perang."Saya bukan anak kecil yang mudah anda atur. Sejak kapan ada orang lain dianggap keluarga, sedangkan seseorang yang sangat dekat dianggap orang lain," lawan Bumi.Senja melihat Rey akan mengangkat tangannya untuk memukul Bumi. Dia tidak akan tinggal diam begitu saja."Mas, kenapa marah sama Bumi? Bagaimana pun dia saudaramu, tidak seperti mereka yang ada disini. Wajar dia marah. Harusnya mas bicar
Baru sehari Gia berada di rumahnya. Tapi Senja sudah merasakan kepalanya memberat. Hidupnya sekarang terlalu banyak drama, sepertinya sudah cocok jika dibuatkan film sinetron.Saking pikirannya ada di rumah, Senja tidak memperhatikan sekitarnya. Dia terlalu sibuk dengan lamunannya sendiri."Baca ini.." Langit menghempaskan sebuah berkas ke meja kerja Senja. Perlakuan Langit yang tiba-tiba itu, membuat Senjak tersentak kaget.Senja masih kebingungan melihat berkas yang sudah tergeletak di meja kerjanya. Apakah dia sudah diberikan kepercayaan untuk mengerjakan tugas? Dengan ragu Senja membuka berkas yang di berikan Langit padanya. Kening Senja seketika berkerut. Berkas ini bukan berisi tentang perusahaan, tapi tentang seseorang yang sangat dia kenal."Gia? Ada apa dengan Gia. Apa ini?" tanya Senja menyelidik."Baca saja," paksa Langit.Senja menuruti apa kemauan Langit. Walau dia sedikit bingung. Karena apa yang patut dia ketahui tentang Gia? Senja sudah sangat mengenal sosok itu. Le
Semenjak tahu siapa dirinya. Senja lebih berhati-hati lagi. Jujur, dia sangat ingin tahu apa penyebab papa dan mamanya meninggal dunia. Perasaab Senja menjurus jika memang semua sudah terencana untuk merebut warisan papanya.Sudah dua hari Senja memantau keadaan rumah dari jarak jauh, tidak ada yang tahu jika dia sudah menyelipkan beberapa cctv di tempat yang strategis."Mau kemana mereka?" Langit sampai menghentikan pekerjaannya. Saat mendengar gumaman Senja. "Kenapa?" tanya Langit."Tante Raina keluar rumah. Sepertinya dia mau ke suatu tempat," jawab Senja. Matanya tidak lepas dari layar monitor komputer di meja kerjanya.Langit yang penasaran pun mendekati Senja. Disaat dia sudah bisa melihat jelas layar monitor, Raina sudah menjauh dengan taksi onlinenya."Kapan kamu mau bertemu dengan papi? Saya yakin dia akan mau membantumu,"Senja kembali berpikir. Dia tidak tahu mau menolak atau menyetujui Langit. Dia juga tidak menyangka jika nama Awan bisa ditulis oleh ibu asuhnya. Rasanya
Langit dan Senja ternyata masih tepat menjemput Bumi di sekolahnya. Padahal Bus sekolah yang selalu mengantar jemput Bumi sudah siap untuk berjalan."Kita mau ke rumah kakek, ya ma?" Bumi sepertinya dalam otak kecilnya hanya menginginkan bertemu dengan Awan."Ya," jawab Singkat Senja.Hanya dengan 2 huruf saja, Bumi sudah berjingkrak senang di dalam mobil. Sudah seperti mendapat harta karun tersembunyi.Langit yang melihat reaksi Bumi merasakan hatinya menghangat. Ada rasa kebapakan menyeruak keluar. Tapi dia harus bisa mengendalikannya. Dia harus bersabar. Tidak mau semuanya kacau hanya karena luapan perasaannya sendiri.Perjalanan yang membawa kegirangan hati, membuat perjalan tidak terasa begitu cepat sampai disana.Mobil yang terparkir di restoran tadi, kini sudah terparkir di garasi mobil.Bumi seperti biasa, sudah menyelonong keliar duluan. Rumah Awan sudah seperti rumah kedua untuknya."Papi.."Langit cukup terkejut melihat Awan sudah duduk di ruang tamu, seperti sudah menduga
Senja menghirup udara segar di daerah perkampungan. Biasa yang terpandang matanya adalah bangunan yang tinggi menjulang. Kini sepanjang mata yang memandang hanya hamparan hijau dari kebun dan juga sawah. Sungguj sangat menyegarkan matanya."Ma, mana permainannya. Kata mama disini ada permainan? Lihat ini," keluh Bumi. Dia menyodorkan gawainya yang sinyalnya sering hilang dan timbul, hingga dia tidak bisa bermain game yang ada di gawainya. "Bumi mau balik ke rumah ma," sungut Bumi. Terbiasa di kota, membuatnya sangat asing dengan daerah yang dia datangi, belum lagi orang-orang disekitarnya terlihat aneh baginya. Bagaimana tidak aneh, mereka semua memandang ke arah Bumi dengan mata yang tidak berkedip."Ma, Laura cantikkan? Kata nenek, dulu gadis cantik disinu, rambutnya di kepang dua," ucap Laura. Sangat berbeda dengan abangnya. Dia sangat semangat berada di kampung. Apalagi banyak tumbuhan bunga cantik disekitar rumah yang sangat jarang terlihat di kota."Sabar. Baru juga semalam. Kem
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bumi. Dia membantu mamanya meletakkan pakaiannya ke dalam koper."Kita akan berlibur. Kalian kan sedang liburan sekolah. Jadi kita akan ke kampung neneknya Laura. Sejak kamu lahir, belum pernah mama ajak ke daerah perkampungan," jelas Senja.Pagi ini, setelah suaminya berangkat kerja. Senja mengajak Bumi untuk berkemas. Dia tidak berniat meminta izin pada Langit. Karena sudah lama juga mereka berdua menjadi orang asing, seperti tidak saling mengenal. Bukan itu saja, bahkan suaminya memilih tidur di kamar yang lain, tidak seranjang bersamanya."Apa disana banyak permainan?" tanya Langit. Dia hanya tahu liburan selalu berhubungan dengan permainan."Ya, banyak. Disana banyak permainan yang tidak akan kamu temukan di kota," jelas Senja.Bola mata Bumi berbinar cerah. Dia jadi penasaran permainan seperti apa yang ada disana.Setelah memastikan barang yang akan dibawa sudah terkemas dengan baik. Senja mendatangi kamar Laura Dimana ada Ririn dan juga Laura di dal
"Dari mana kamu Senja?" tanya Ririn. Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Tapi tidak menemukan Senja berada di atas ranjangnya. Dia sempat panik, tapi seketika hilang disaat melihat Senja sudah mulai masuk ke dalam kamar kembali."Hanya menghirup angin malam sebentar bu. Bosan rasanya di aras ranjang. Kebanyakan tidur, membuat Senja tidak bisa tidur kembali. Maaf sudah membuat ibu khawatir," jelas Senja. Dia berusaha tersenyum selebar mungkin, untuk menutupi hatinya yang sedang porak poranda.Balasan senyum diberikan Ririn. Walau wajah Senja tersenyum, dia bisa melihat mata Senja yang sendu. Seberapa banyak anaknya itu menutupi kesedihannya sendiri. Ingin Ririn medengar semua beban yang membuat sedih anak dari majikannya dulu itu."Besok sepertinya kita sudah bisa kembali bu. Senja sekalian mau ambil cuti. Rasanya ingin kembali merasakan suasana hijau, pasti tenang ya bu," celetuk Senja lagi. Dia sudah berjalan dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Merasa Senja mengajaknya
Lenguhan keluar dari bibir Senja. Pandangan Senja langsung bergerak liar untuk meraba area sekitarnya saat ini. Dia masih ingat, jika tadi dia masih berada di tamab rumah sakit, dia juga masih sadar, saat dirinya akan kehilangan kesadarannya."Kamu sudah sadar nak? Kenapa sampai bisa pingsan? Untung saja janinmu baik-baik saja," seru Ririn. Saat melihat Senja mulai membuka mata, dan seperti kencari sesuatu yang berada di dalam kamar inap yang mereka tempati.Tatapan Senja menyiratkan kekecewaannya. Tidak ada lagi rona warna bahagia terpantuk disana, hanya tinggal warna hitam dan putih saja. Di ruangan yang besar, ada satu tempat tidur untuknya. Tapi tidak ada suaminya disana. Dimana Langit? Apakah dia sesibuk itu dengan Aurora sekarang ini? Hingga tidak tahu keberadaan dan keadaan dia sekarang? Hati Senja merasa tusukan-tusukan duri tajam yang terus menusuk tanpa ampun."Kenapa? Cerita sama ibu, jangan pendam masalahmu sendiri. Apa kamu mencari suamimu? Apa perlu ibu memanggilnya, agar
Sudah beberapa hari berjalan, Senja dan Langit melakukan perang dingin. Langit dengan ego besarnya, selalu pergi bekerja terlebih dahulu, membiarkan Senja berangkat bersama supir mereka."Ma, papa kenapa?" tanya Bumi.Ternyata anak-anaknya juga sampai merasakan perbedaan yang terjadi diantara mereka."Papa sedang sangat sibuk. Jadi terburu-buru dan duluan pergi. Kalau mama kan sdang hamil," alasan Senja.Bumi menatap curiga pada mamanya. Tentu tatapan Langit langsung membuat mamanya salah tingkah, dan tidak berani membalas tatapan matanya."Laura, gimana sekolahnya. Teman barumu, masih mau terus dekat-dekat abang?" tanya Senja. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan."Masih ma. Katanya dia mau ketemu dan berkenalan dengan calon mertuanya. Siapa sih ma, calon mertua itu? Sampai abang makin marah da mengusir kami," tanya Laura penasaran.Senja tersenyum tipis. Dia jadi penasaran dengan teman Laura. Kenapa bisa berpikir sedewasa itu. "Calon mertua itu, sebutan untuk mama, dan papa untuk pasa
"Kamu dari mana?" tanya Langit. Saat Senja kembali ke kantor. Langit sudah berada di ruangan mereka.Sebelum menjawab. Senja tersenyum pada suaminya. Menyiratkan jika dia baik-baik saja. "Mas pasti tahu, aku dari mana," jawab Senja.Helaan napas panjang keluar dari bibir Langit. Dia tahu, dia sempat menguntit istrinya tadi, dan dia juga terkejut dengan kondisi Aurora. Ada rasa bersalah dan ingin melindungi wanita yang dulu pernah mengisi hatinya."Jangan kesana lagi. Dia hanya masa lalu mas. Mas tidak mau kamu terluka," sahut Langit.Senyum Senja semakin melengkung. Kalimat Langit sudah memberitahukan jika suaminya tahu, jika di rumah sakit itu ada masa lalunya yang sedang terbaring lemah."Jangan marahi Maira. Dia hanya meminta tolong padaku. Aku sudah berjanji akan membantu biaya rumah sakit dan juga operasi temannya," jelas Senja. Lidahnya tidak bisa menyebut nama Aurora di depan suaminya."Terserahmu," jawab singkat Langit. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya, daripada mengajak Se
Pagi ini Senja datang ke kantor dengan menunjukkan kemesraan yang tidak biasanya. Dia menggelayut manja di lengan Langit. Seakan ingin menunjukkan ke semuanya, jika Langit hanyalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang bisa berbagi dengannya.Tidak urung tingkah yang di lakukan Senja juga menjadi perhatian Maira. Kedongkolan semakin menghantam dadanya dengan palu godam. Padahal dia sudah mengatakan semuanya. Tapi dia merasa, Senja menjadi wanita yang tidak tahu diri."Kamu masuk duluan ya. Ada yang mas diskusikan sebentar dengan Maira," ucap Langit.Senja memgangguk setuju. Dia tidak perlu cemburu, karena dia tahu jika Maira tidak ada maksud lain, selain menginginkan Langit kembali pada Aurora.Suasana antara Langit dan Maira, sejenak hening. Hingga Senja sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, baru lah Langit membuka suaranya. "Apa yang kamu lakukan kemarin dengan istri saya? Jangan pikir saya tidak tahu apapun. Saya ingatkan padamu, untuk pertama dan terakhir kali. Jangan pernah membawa
Senja sangat ingin menutup wajah amarahnya. Tapi tetap saja, emosinya yang tergambar, tidak bisa menutup rasa amarahnya.Dia meminta supir yang bersamanya untuk mengantarkannya menepi ke sebuah taman. Dia harus bisa mendinginkan kepalanya sebelum kembali ke rumah.Matanya masih melihat ke gawai yang menampilkan nama suaminya. "Maafkan aku mas," seru Senja. Dia mematikan gawainya sejenak. Tidak ingin panggilan dari Langit mengganggu kesendiriannya."Kenapa takdir pernikahanku selalu saja harus ada wanita lain disana?" monolog Senja sendiri.Dia masih mengingat jelas semua apa yang dikatakan Maira tadi.[Dia sakit. Dia lebih membutuhkan tuan, daripada anda bu Senja. Sejak awal tuan juga milik Aurora. Bukan milik anda. Harusnya anda mundur, disaat tahu seseorang yang dicintai tuan kembali. Apa anda tega memisahkan keduanya? Disaat salah satu sedang tidak berdaya dengan sakitnya?]Senja menangis terisak. Dia bisa saja membenarkan aoa yang dikatakan Maira. Tapi dia juga bisa menyalahkan Mai
Senja sempat bergidik ngeri melihat aura yang keluar dari Maira. Sejak pulang bersama suaminya beberapa waktu yang lalu, tatapannya menyiratkan kebencian dan ketidaksukaan pada Senja. Senja sendiri tidak mengerti dengan sikap acuh Maira. Apa ini juga ada hubungannya dengan sikap Langit yang lalu juga? Apa yang terjadi pada keduanya?Terbesit pikiran buruk di otak Senja. Tapi segera dia tepis. Tidak mungkin suaminya berani berkhianat dan bermain belakang dengan sekertarisnya itu.Sebagai wanita yang sudah menikah dua kali. Senja tidak mau kejadian yang lalu terulang kembali. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat."Maira, nanti bisa temani saya keluar sebentar? Saya mau berbelanja, tapi tidak ada yang menemani," ucap Senja saat dia kembali melewati meja sekertarisnya itu.Wajah Maira di pandangan Senja berubah datar. Tapi Senja yakin dia tidak akan berani menolak keinginan Senja."Baik bu. Saya akan temani ibu nanti," sahut Maira. Dia merasa Senja hanyalah wanita tidak tahu malu