Baru sehari Gia berada di rumahnya. Tapi Senja sudah merasakan kepalanya memberat. Hidupnya sekarang terlalu banyak drama, sepertinya sudah cocok jika dibuatkan film sinetron.Saking pikirannya ada di rumah, Senja tidak memperhatikan sekitarnya. Dia terlalu sibuk dengan lamunannya sendiri."Baca ini.." Langit menghempaskan sebuah berkas ke meja kerja Senja. Perlakuan Langit yang tiba-tiba itu, membuat Senjak tersentak kaget.Senja masih kebingungan melihat berkas yang sudah tergeletak di meja kerjanya. Apakah dia sudah diberikan kepercayaan untuk mengerjakan tugas? Dengan ragu Senja membuka berkas yang di berikan Langit padanya. Kening Senja seketika berkerut. Berkas ini bukan berisi tentang perusahaan, tapi tentang seseorang yang sangat dia kenal."Gia? Ada apa dengan Gia. Apa ini?" tanya Senja menyelidik."Baca saja," paksa Langit.Senja menuruti apa kemauan Langit. Walau dia sedikit bingung. Karena apa yang patut dia ketahui tentang Gia? Senja sudah sangat mengenal sosok itu. Le
Semenjak tahu siapa dirinya. Senja lebih berhati-hati lagi. Jujur, dia sangat ingin tahu apa penyebab papa dan mamanya meninggal dunia. Perasaab Senja menjurus jika memang semua sudah terencana untuk merebut warisan papanya.Sudah dua hari Senja memantau keadaan rumah dari jarak jauh, tidak ada yang tahu jika dia sudah menyelipkan beberapa cctv di tempat yang strategis."Mau kemana mereka?" Langit sampai menghentikan pekerjaannya. Saat mendengar gumaman Senja. "Kenapa?" tanya Langit."Tante Raina keluar rumah. Sepertinya dia mau ke suatu tempat," jawab Senja. Matanya tidak lepas dari layar monitor komputer di meja kerjanya.Langit yang penasaran pun mendekati Senja. Disaat dia sudah bisa melihat jelas layar monitor, Raina sudah menjauh dengan taksi onlinenya."Kapan kamu mau bertemu dengan papi? Saya yakin dia akan mau membantumu,"Senja kembali berpikir. Dia tidak tahu mau menolak atau menyetujui Langit. Dia juga tidak menyangka jika nama Awan bisa ditulis oleh ibu asuhnya. Rasanya
Langit dan Senja ternyata masih tepat menjemput Bumi di sekolahnya. Padahal Bus sekolah yang selalu mengantar jemput Bumi sudah siap untuk berjalan."Kita mau ke rumah kakek, ya ma?" Bumi sepertinya dalam otak kecilnya hanya menginginkan bertemu dengan Awan."Ya," jawab Singkat Senja.Hanya dengan 2 huruf saja, Bumi sudah berjingkrak senang di dalam mobil. Sudah seperti mendapat harta karun tersembunyi.Langit yang melihat reaksi Bumi merasakan hatinya menghangat. Ada rasa kebapakan menyeruak keluar. Tapi dia harus bisa mengendalikannya. Dia harus bersabar. Tidak mau semuanya kacau hanya karena luapan perasaannya sendiri.Perjalanan yang membawa kegirangan hati, membuat perjalan tidak terasa begitu cepat sampai disana.Mobil yang terparkir di restoran tadi, kini sudah terparkir di garasi mobil.Bumi seperti biasa, sudah menyelonong keliar duluan. Rumah Awan sudah seperti rumah kedua untuknya."Papi.."Langit cukup terkejut melihat Awan sudah duduk di ruang tamu, seperti sudah menduga
Saat ini Leo sedang menahan tawanya. Pagi-pagi masuk kantor, dia di pertunjukkan dengan Senja yang sedang mengobati wajah lebam Langit yang hampir memenuhi wajahnya. Leo jadi bertanya siapa pelaku yang berani memukul Langit babak belur seperti itu?"Kalau mau ketawa, ketawa saja. Jangan di tahan," sewot Langit.Terlepaslah tawa Leo. Perutnya sampai kram karena terlalu lama menahan tawa.Senja yang mendengar tawa Leo menggelengkan kepalanya. Leo terlalu menunjukkan bahagianya melihat wajah Langit. Memang lucu jika dilihat. Dia saja sampai bingung, kenapa semalam keluar dari ruangan Awan. Langit menjadi bantal samsak Awan. Senja yang merasa orang luar, tidak berani menanyakan apapun. Walau sampai saat ini dia sangat penasaran."Selesai."Senja menarik napas lega. Pinggangnya terasa kaku karena terlalu lama membungkuk. Sungguh aneh untuk seorang pria kaya seperti Langit. Harusnya dia bisa mengobati lukanya ke dokter. Bukan membawa kotak P3K dan menyuruh dia yang mengobatinya.Langit hany
Suara decitan dari roda brankar rumah sakit terdorong sangat cepat. Tampak dua suster dan satu dokter pria mengiring setiap lengan brankar dengan berlari kecil."Bumi, sadarlah nak. Mama disini sayang. Bangun kamu nak?!" jerit tangis Senja.Persetan dengan sandiwara yang dia buat selama ini. Baginya keselamatan Bumi adalah yang terpenting untuknya sekarang. Sejak tadi kata ini yang sulit keluar dari bibirnya. Akhirnya bisa terlontar olehnya juga.Rey yang mendengar Senja memanggil dirinya mama, langsung menarik lengan Senja dengan kasar. Hingga mereka tertinggal dengan brankar yang terus berjalan."Kau sudah ingat semua, Kau menipuku?" hardik Rey.Senja menatap tajam dengan sorot mata kebencian yang berselimut dendam. "Aku memang tidak pernah lupa ingatan! Kau sudah keterlaluan. Aku sangat membencimu. Aku akan membalas semua perbuatanmu, Rey!"Senja melepas kasar tangan yang mencengkram kuat lengannya. Dia tidak peduli Rey tidak bersamanya lagi menyusul Bumi. Senja mulai berlari me
"Apa yang harus kita lakukan sekarang Rey?! Kau sudah banyak membuat kekacauan. Kebodohanmu selalu membuat kita kejebak dalam masalah!" emosi Gia.Kepulangan Rey membawa hati yang tadi tenang harus meradang."Apa?! Kau bilang aku bodoh! Kau yang lebih bodoh. Bukankah kau selalu setuju dengan apa yang aku lakukan?! Kau juga suka bertindak sesuka hatimu?!" sela Rey. Dia tidak mau hanya dia yang disalahkan. Semua dia lakukan juga karena untuk membela anaknya.Rey yang tadi masih di rumah sakit, terpaksa berputar arah kembali ke rumah. Dia tidak menyangka jika Awan dan Langit akan datang kesana. Rey merasakan hal buruk akan menimpa mereka.Raina masih termenung sendiri. Kakinya seakan sudah tidak bisa menginjak di bumi. Firasatnya mengatakan jika separuh dari rahasia yang dia simpan sudah terbuka. Termasuk jika Senja adalah Cahaya.Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menyerah tidak akan pernah keluar dari bibirnya. Sudah lama penantian dia akan seluruh warisan Wira. Raina tidak akan mung
Senja berulang kali mengucapkan rasa syukur, disaat Bumi sudah sadarkan diri dan memanggil dirinya lagi."Akhirnya kamu bangun juga sayang. Dimana yang sakit? Kasih tahu mama," pinta Senja.Senyum Bumi yang masih tidak bisa semengembang saat dia sehat, membuat hatinya Senja berdenyut nyeri."Kita tidak akan kembali ke rumah itu lagi. Kita akan tinggal berdua. Mama tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi. Tidak ada drama-drama lagi. Kamu berhak kapan pun memanggil mama dimana saja," ujar Senja lagi.Bukannya menjawab pertanyaan Senja. Bumi memalingkan wajahnya saat mendengar suara banyak pasang kaki masuk ke dalam ruangan."Kakek! Om Langit!" teriak girang Bumi.Jika tadi di depan Senja di terlihat lemas, kedatangan Kedua orang yang tidak disangkanya. Membuat Bumi seperti tidak mengalami sakit.Senja sampai melongok sendiri. Apa Bumi tadi sedang bersandiwara dengannya? Dia sampai mendumel di dalam hatinya. Padahal dia sudah sangat sedih dengan kondisi lemah Bumi tadi."Hei boy. Su
Tidak terasa kesembuhan Bumi sangat cepat. Hari-hari yang dia lalui sangat bahagian walau di dalam rumah sakit. Itu karena Awan yang telah menjadi kakeknya selalu hadir di kamarnya setiap hari."Hari ini kamu kan pulang. Jadi bujuk mamamu. Biar tinggal sama kakek. Oke," bisik Awan saat Senja sedang berada di dalam toilet.Bumi dengan semangat menunjukkan kedua jari jempolnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan untuk tinggal disana. Belum lagi tadi Awan bercerita, jika Awan sudah membuatkan halaman bermain untuknya. Ditambah di dalam kamarnya sudah ada game dan komputer terbaru. Iming-iming yang membuat jiwa anak kecilnya bergejolak.Awan mengubah posisi duduknya saat Senja sudah keluar dari toilet. Dia tidak mau jika sampai Senja tahu jika dia sudah menghasut Bumi."Ma, kita pulang ke rumah kakek kan. Kakek bilang Bumi harus bujuk mama biar tinggal bersamanya. Kakek sudah membelikan game, komputer, dan juga taman bermain untuk Bumi," polos Bumi.Awan jadi gelagapan sendiri. Hingga dia hany