Tidak terasa kesembuhan Bumi sangat cepat. Hari-hari yang dia lalui sangat bahagian walau di dalam rumah sakit. Itu karena Awan yang telah menjadi kakeknya selalu hadir di kamarnya setiap hari."Hari ini kamu kan pulang. Jadi bujuk mamamu. Biar tinggal sama kakek. Oke," bisik Awan saat Senja sedang berada di dalam toilet.Bumi dengan semangat menunjukkan kedua jari jempolnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan untuk tinggal disana. Belum lagi tadi Awan bercerita, jika Awan sudah membuatkan halaman bermain untuknya. Ditambah di dalam kamarnya sudah ada game dan komputer terbaru. Iming-iming yang membuat jiwa anak kecilnya bergejolak.Awan mengubah posisi duduknya saat Senja sudah keluar dari toilet. Dia tidak mau jika sampai Senja tahu jika dia sudah menghasut Bumi."Ma, kita pulang ke rumah kakek kan. Kakek bilang Bumi harus bujuk mama biar tinggal bersamanya. Kakek sudah membelikan game, komputer, dan juga taman bermain untuk Bumi," polos Bumi.Awan jadi gelagapan sendiri. Hingga dia hany
Matahari masih malu-malu untuk menyapa. Senja sudah membuka matanya lebar. Walau tempat tidurnya lebih empuk dari kamarnya dahulu. Dia tidak bisa memejamkan matanya dengan nyenyak. Padahal beberapa hari di rumah sakit, membuat tidurnya tidak nyaman dan juga tenang. Mungkin karena disebabkan tubuhnya masih terasa asing dengan kamar yang dia tempati saat ini.Senja merasa dirinya harus sadar diri. Tinggal di rumah orang, tidak membuat dia harus bermalas-malasan. Pertama yang dilakukan Senja adalah membersihkan dirinya dan berganti pakaian. Dia sudah merencanakan akan ikut pergi kerja hari ini."Pagi bi," sapa Senja."Pagi nyonya.." Senja seketika menggelengkan kepalanya. Dia bukan nyonya di rumah ini. Tidak pantas dirinya yang hanya seorang tamu mendapat panggilan istimewa itu. Lagian siapa dia untuk seorang Langit?"Panggil saja Senja, bi. Nama bibi siapa?" tanya Senja.Sudah lama Senja tidak berinteraksi dengan pekerja rumah. Jika dulu Rey selalu memberikan waktu tertentu untuk para
Rey termangu di meja kerjanya saat Senja datang ke ruangannya dan melemparkan selembar amplop berwarna coklat."Apa ini?" tanya Rey."Surat cerai. Aku sudah mengurus perceraian kita, dan sekarang kau tinggal menandatanganinya saja," jelas Senja.Tidak ada lagi kelembutan yang dia tunjukkan pada Rey. Tidak ada lagi kata 'Mas" yang biasa mendawai di pendengaran Rey.Rey tersenyum sinis. "Yakin mau cerai denganku? Jika bercerai, kau akan kehilangan semua saham yang aku berikan padamu," sahut Rey.Senja mengerutkan dahinya. Apa maksud ucapan Rey? Jangan-jangan..."Kau terlalu bodoh. Terlalu bahagia tanpa mengecek keseluruhan isi perjanjian."Sepertinya Rey sudah siap dengan Senja yang akan menggugatnya di pengadilan. Dia mengambil lembaran foto copy yang sudah dia letakkan di dalam laci dan memberikannya pada Senja.Dengan tidak sabaran Senja mengambil kertas-kertas tersebut. Hingga kegeramannya mampu membuat kertas yang tadi masih lurus tegak, kini menjadi bola kertas yang menggumpal kus
Langit menatap lurus ke arah depan. Tidak sedikit pun dia mengajak Senja bicara atau sekedar melirik. Tanpa perlu melihat ke Senja, Langit sangat yakin jika Senja sedang kalut dan bimbang dalam keputusannya. Begitu juga dengan Langit. Semua karena Senja tadi menyulutkan harga dirinya. Hingga Langit menyambut permintaan Senja seperti sebuah tantangan.Selama ban mobil terus bergulir. Bayang-bayang Aurora sangat jelas di pelupuk matanya. Belum juga memulai, dirinya sudah seperti di hakimi sebagai pengkhianat. Ada desakan dalam diri Langit akan suatu hal, mengingat Bumi adalah anaknya. Tapi pengharapannya yang masih besar pada Aurora membuat dia tidak yakin sekedar untuk memulai walau tanpa perasaan."Maaf, saya tidak bisa. Saya tidak bisa melakukannya sekarang. Mungkin suatu saat nanti jika saya berubah pikiran. Saya tidak bisa mengkhianatinya. Saya tidak sanggup jika dia kembali, dia akan kecewa dengan apa yang saya lakukan," jujur Langit.Langit sengaja menepi di sebuah taman. Akhirny
"Pi, papi bukan anak kecil lagi. Jadi berhentilah merengek," jengah Langit.Tidak ada dia menolak Awan untuk tidur di rumahnya. Tapi papinya itu sudah mengabaikan purusahaannya seminggu, dengan alasan menemani Bumi di rumah."Papi gak mau tahu. Pokoknya papi tinggal disini. Harusnya sebagai anak kamu pengertian. Lihatlah papimu sudah tua ini. Kesehatannya juga sudah menurun. Bukannya membantu papi. Kamu sibuk dengan perusahaanmu sendiri," keluh Awan.Pagi-pagi papinya sudah membuat Langit ingin membuat dia menghantukkan kepalanya."Pi, perusahaan papi itu sangat besar. Langit belum sanggup untuk mengambil alihnya. Masih banyak yang harus Langit pelajari," jelas Langit dengan mulut Awan yang ikut meniru gaya bicara Langit.Sudah berulang kali Langit memberikan alasan tidak siap. Entah sampai kapan alasan itu bertahan tanpa ada kepastian.Langit menarik napas kesabaran. Dia belum ada niatan menggantikan Awan. Tapi sepertinya semenjak Awan tahu tentang Bumi. Dia mulai keras kepala dengan
"Kau harus bertanggung jawab Rey. Bagaimana bisa kita jadi di bagian gudang? Kenapa tidak ada yang berani memberontak? Senjak kapan Senja bisa menjadi Ceo disini? Harusnya aku yang disana, bukan dia. Semua disini milikku," cerocos Gia.Sudah dua hari ini, Gia selalu mengajak Rey untuk beradu mulut. Dia tidak bisa menerima hasil yang diputuskan Langit secara mendadak itu. Apalagi sekarang, Senja menunjukkan kemenangannya."Sampai kapan kita harus bertengkar terus. Kau pikir aku mau disini? Ini juga diluar kuasaku," kesal Rey.Suasana gudang yang bising, sampai menembus dinding-dinding ruang kerjanya sekarang. Belum lagi bau pengap yang bercampur keringat, saat dia keluar dari ruangannya. Membuat suasana hati Rey dan juga Gia mudah terombang ambing emosi.Perdebatan kemarin, tidak membuahkan apapun untuk Rey. Langit sudah menentukan keputusannya. Tapi bukan jabatannya saja yang menjadi pikirannya. Bagaimaba bisa Langit memberikan Senja kekuasaan untuk menjadi Ceo. Apa yang sudah dilaku
"Ahh!!" teriak Gia sambil melempar asal high heels yang dia kenakan.Hari ini dia habis-habisan dikerjai oleh Kaora sekertaris baru Senja. Kakinya yang sudah kelihatan bengkak karena hamil, semakin bengkak. Bisa-bisanya kaira menyuruhnya membawa berkas bolak balik dari gudang ke mejanya. Sekertaris baru tapi sangat sombong dan angkuh. Membuat Gia tadi sangat ingin melemparkan seluruh berkas yang dia bawa ke wajah sok cantik itu."Kenapa sih kamu nak? tanya Raina. "Gak kamu, gak Laura. Hari ini pulang kerja berwajah cemberut. Dimana Rey?" lanjut Raina bertanya."Sudah mati," ketus Gia.Bukan saja Gia kesal dengan Kaira, tapi dia juga kesal dengan Rey yang lebih mementingkan tugas yang baru diantarkan Kaira. Padahal masih ada waktu besok, teganya Rey menyuruh Gia pulang sendiri."Kamu kok ngomong gitu. Kan dulu juga, kamu yang mau nikah sama dia kan? Sampai minta cara bagaimana menjeratnya? Padahal dulu jika kamu tidak mau dengannya. Mama sudah menjadikannya kambing hitam dan membunuh a
"Kau yakin, Kaira? Dia di rumah sakit, kenapa bisa?" tanya Senja bingung. Pagi buta, Senja sudah mendapatkan kabar tidak mengenakkan hatinya."Siapa yang di rumah sakit?" tanya Langit.Senja memalingkan wajahnya ke asal suara. Langit berbalik di kantornya kembali. Padahal tadi baru saja mengantarkannya ke kantor."Gia. Katanya dia masuk rumah sakit," jawab Senja. Kakinya sudan merasa menjadi jelly saat ini. "Kemarin malam saya hanya mau mengerjainya untuk mengambil berkas di kantor. Tapi taksi yang membawa Gia mengalami kecelakaan," jelas Kaira. Dia juga tidak menduga hal itu bisa terjadi.Senja memang ingin sekali balas dendam pada Gia, tapi kecelakaan itu bukan lah rencananya. Dia tidak sekejam itu untuk melukai."Apa kita kesana? Dimana Rey?" tanya Langit."Dia sudah di rumah sakit," jelas Kaira lagi.Langit mendekati Senja. Dari jarak pandangnya, Langit meyakinkan jika Senja tidak sedang baik-baik saja."Ini bukan salahmu. Ini sudah takdirnya. Lebih baik kita kesana sekarang. Mel