Suara decitan dari roda brankar rumah sakit terdorong sangat cepat. Tampak dua suster dan satu dokter pria mengiring setiap lengan brankar dengan berlari kecil."Bumi, sadarlah nak. Mama disini sayang. Bangun kamu nak?!" jerit tangis Senja.Persetan dengan sandiwara yang dia buat selama ini. Baginya keselamatan Bumi adalah yang terpenting untuknya sekarang. Sejak tadi kata ini yang sulit keluar dari bibirnya. Akhirnya bisa terlontar olehnya juga.Rey yang mendengar Senja memanggil dirinya mama, langsung menarik lengan Senja dengan kasar. Hingga mereka tertinggal dengan brankar yang terus berjalan."Kau sudah ingat semua, Kau menipuku?" hardik Rey.Senja menatap tajam dengan sorot mata kebencian yang berselimut dendam. "Aku memang tidak pernah lupa ingatan! Kau sudah keterlaluan. Aku sangat membencimu. Aku akan membalas semua perbuatanmu, Rey!"Senja melepas kasar tangan yang mencengkram kuat lengannya. Dia tidak peduli Rey tidak bersamanya lagi menyusul Bumi. Senja mulai berlari me
"Apa yang harus kita lakukan sekarang Rey?! Kau sudah banyak membuat kekacauan. Kebodohanmu selalu membuat kita kejebak dalam masalah!" emosi Gia.Kepulangan Rey membawa hati yang tadi tenang harus meradang."Apa?! Kau bilang aku bodoh! Kau yang lebih bodoh. Bukankah kau selalu setuju dengan apa yang aku lakukan?! Kau juga suka bertindak sesuka hatimu?!" sela Rey. Dia tidak mau hanya dia yang disalahkan. Semua dia lakukan juga karena untuk membela anaknya.Rey yang tadi masih di rumah sakit, terpaksa berputar arah kembali ke rumah. Dia tidak menyangka jika Awan dan Langit akan datang kesana. Rey merasakan hal buruk akan menimpa mereka.Raina masih termenung sendiri. Kakinya seakan sudah tidak bisa menginjak di bumi. Firasatnya mengatakan jika separuh dari rahasia yang dia simpan sudah terbuka. Termasuk jika Senja adalah Cahaya.Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menyerah tidak akan pernah keluar dari bibirnya. Sudah lama penantian dia akan seluruh warisan Wira. Raina tidak akan mung
Senja berulang kali mengucapkan rasa syukur, disaat Bumi sudah sadarkan diri dan memanggil dirinya lagi."Akhirnya kamu bangun juga sayang. Dimana yang sakit? Kasih tahu mama," pinta Senja.Senyum Bumi yang masih tidak bisa semengembang saat dia sehat, membuat hatinya Senja berdenyut nyeri."Kita tidak akan kembali ke rumah itu lagi. Kita akan tinggal berdua. Mama tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi. Tidak ada drama-drama lagi. Kamu berhak kapan pun memanggil mama dimana saja," ujar Senja lagi.Bukannya menjawab pertanyaan Senja. Bumi memalingkan wajahnya saat mendengar suara banyak pasang kaki masuk ke dalam ruangan."Kakek! Om Langit!" teriak girang Bumi.Jika tadi di depan Senja di terlihat lemas, kedatangan Kedua orang yang tidak disangkanya. Membuat Bumi seperti tidak mengalami sakit.Senja sampai melongok sendiri. Apa Bumi tadi sedang bersandiwara dengannya? Dia sampai mendumel di dalam hatinya. Padahal dia sudah sangat sedih dengan kondisi lemah Bumi tadi."Hei boy. Su
Tidak terasa kesembuhan Bumi sangat cepat. Hari-hari yang dia lalui sangat bahagian walau di dalam rumah sakit. Itu karena Awan yang telah menjadi kakeknya selalu hadir di kamarnya setiap hari."Hari ini kamu kan pulang. Jadi bujuk mamamu. Biar tinggal sama kakek. Oke," bisik Awan saat Senja sedang berada di dalam toilet.Bumi dengan semangat menunjukkan kedua jari jempolnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan untuk tinggal disana. Belum lagi tadi Awan bercerita, jika Awan sudah membuatkan halaman bermain untuknya. Ditambah di dalam kamarnya sudah ada game dan komputer terbaru. Iming-iming yang membuat jiwa anak kecilnya bergejolak.Awan mengubah posisi duduknya saat Senja sudah keluar dari toilet. Dia tidak mau jika sampai Senja tahu jika dia sudah menghasut Bumi."Ma, kita pulang ke rumah kakek kan. Kakek bilang Bumi harus bujuk mama biar tinggal bersamanya. Kakek sudah membelikan game, komputer, dan juga taman bermain untuk Bumi," polos Bumi.Awan jadi gelagapan sendiri. Hingga dia hany
Matahari masih malu-malu untuk menyapa. Senja sudah membuka matanya lebar. Walau tempat tidurnya lebih empuk dari kamarnya dahulu. Dia tidak bisa memejamkan matanya dengan nyenyak. Padahal beberapa hari di rumah sakit, membuat tidurnya tidak nyaman dan juga tenang. Mungkin karena disebabkan tubuhnya masih terasa asing dengan kamar yang dia tempati saat ini.Senja merasa dirinya harus sadar diri. Tinggal di rumah orang, tidak membuat dia harus bermalas-malasan. Pertama yang dilakukan Senja adalah membersihkan dirinya dan berganti pakaian. Dia sudah merencanakan akan ikut pergi kerja hari ini."Pagi bi," sapa Senja."Pagi nyonya.." Senja seketika menggelengkan kepalanya. Dia bukan nyonya di rumah ini. Tidak pantas dirinya yang hanya seorang tamu mendapat panggilan istimewa itu. Lagian siapa dia untuk seorang Langit?"Panggil saja Senja, bi. Nama bibi siapa?" tanya Senja.Sudah lama Senja tidak berinteraksi dengan pekerja rumah. Jika dulu Rey selalu memberikan waktu tertentu untuk para
Rey termangu di meja kerjanya saat Senja datang ke ruangannya dan melemparkan selembar amplop berwarna coklat."Apa ini?" tanya Rey."Surat cerai. Aku sudah mengurus perceraian kita, dan sekarang kau tinggal menandatanganinya saja," jelas Senja.Tidak ada lagi kelembutan yang dia tunjukkan pada Rey. Tidak ada lagi kata 'Mas" yang biasa mendawai di pendengaran Rey.Rey tersenyum sinis. "Yakin mau cerai denganku? Jika bercerai, kau akan kehilangan semua saham yang aku berikan padamu," sahut Rey.Senja mengerutkan dahinya. Apa maksud ucapan Rey? Jangan-jangan..."Kau terlalu bodoh. Terlalu bahagia tanpa mengecek keseluruhan isi perjanjian."Sepertinya Rey sudah siap dengan Senja yang akan menggugatnya di pengadilan. Dia mengambil lembaran foto copy yang sudah dia letakkan di dalam laci dan memberikannya pada Senja.Dengan tidak sabaran Senja mengambil kertas-kertas tersebut. Hingga kegeramannya mampu membuat kertas yang tadi masih lurus tegak, kini menjadi bola kertas yang menggumpal kus
Langit menatap lurus ke arah depan. Tidak sedikit pun dia mengajak Senja bicara atau sekedar melirik. Tanpa perlu melihat ke Senja, Langit sangat yakin jika Senja sedang kalut dan bimbang dalam keputusannya. Begitu juga dengan Langit. Semua karena Senja tadi menyulutkan harga dirinya. Hingga Langit menyambut permintaan Senja seperti sebuah tantangan.Selama ban mobil terus bergulir. Bayang-bayang Aurora sangat jelas di pelupuk matanya. Belum juga memulai, dirinya sudah seperti di hakimi sebagai pengkhianat. Ada desakan dalam diri Langit akan suatu hal, mengingat Bumi adalah anaknya. Tapi pengharapannya yang masih besar pada Aurora membuat dia tidak yakin sekedar untuk memulai walau tanpa perasaan."Maaf, saya tidak bisa. Saya tidak bisa melakukannya sekarang. Mungkin suatu saat nanti jika saya berubah pikiran. Saya tidak bisa mengkhianatinya. Saya tidak sanggup jika dia kembali, dia akan kecewa dengan apa yang saya lakukan," jujur Langit.Langit sengaja menepi di sebuah taman. Akhirny
"Pi, papi bukan anak kecil lagi. Jadi berhentilah merengek," jengah Langit.Tidak ada dia menolak Awan untuk tidur di rumahnya. Tapi papinya itu sudah mengabaikan purusahaannya seminggu, dengan alasan menemani Bumi di rumah."Papi gak mau tahu. Pokoknya papi tinggal disini. Harusnya sebagai anak kamu pengertian. Lihatlah papimu sudah tua ini. Kesehatannya juga sudah menurun. Bukannya membantu papi. Kamu sibuk dengan perusahaanmu sendiri," keluh Awan.Pagi-pagi papinya sudah membuat Langit ingin membuat dia menghantukkan kepalanya."Pi, perusahaan papi itu sangat besar. Langit belum sanggup untuk mengambil alihnya. Masih banyak yang harus Langit pelajari," jelas Langit dengan mulut Awan yang ikut meniru gaya bicara Langit.Sudah berulang kali Langit memberikan alasan tidak siap. Entah sampai kapan alasan itu bertahan tanpa ada kepastian.Langit menarik napas kesabaran. Dia belum ada niatan menggantikan Awan. Tapi sepertinya semenjak Awan tahu tentang Bumi. Dia mulai keras kepala dengan