"Kau gila Tania, kenapa kau mengirimkan pesan pada Senja? Jika dia curiga, dan mencari tahu semuanya bagaimana?" gelisah Rey.Tania memdengus kesal, hatinya sejak tadi malam sudah terbakar, dan gosong sampai pagi ini."Kau yang gila Rey. Aku gak habis pikir. Bagaimana kau bisa memberikan saham padanya, dan menggagalkan semua rencana kita tadi malam? Atau kau sudah terpesona dengannya? Kau sudah tidak jijik dengan wanita yang sudah banyak dirasakan laki-laki itu?" geram Tania."Aku tidak rela Rey. Aku mau kau segera kembali mengambil saham itu, dan memberikannya padaku! Aku istrimu juga!" berang Tania.Rey menyugar rambutnya. Dari semalam dia sudah berusaha menjelaskan, tapi Tania tidak mau mengerti. Padahal dia yang menyuruhnya berpura-pura, kalau dia menolak apa yang diinginkan Senja, sudah pasti Senja akan curiga."Terserah kau mau memikirkan apa. Harusnya aku tidak menyetujui kau kembali kesini. Semuanya kacau semenjak kau kembali karena kecemburuanmu. Masalah saham itu, aku tidak b
Kini Senja berdua dengan Bumi, mereka saling menatap tanpa ada yang berkedip."Baiklah, mama kalah," pasrah Senja. Ternyata dia tidak tahan beradu mata dengan anaknya. Apalagi tatapan Bumi yang memelas. "Tapi, lain kali bilang ke mama, jika ada yang menjemputmu. Kalau benar penculik bagaimana? Kamu nyawa mama sayang. Mama bisa mati jika gak ada kamu," tutur Senja.Tidak ada Rey di rumah, membuatnya leluasa melepas sandiwaranya."Baik ma. Bumi janji gak gitu lagi. Bumi juga janji gak bakal bohong lagi," sesal Bumi.Bumi sempat berbohong dengan wali kelasnya. Dia mengatakan jika yang menjemputnya adalah pamannya. Saat Bumi tahu dari sambungan video call, jika kakek yang dia kenal dalam waktu sehari, menanti bertemu dengannya.Senja mengeluarkan jari kelingking kanannya, meminta Bumi menyambut kelingkingnya.Bumi tanpa pikir panjang menautkan kedua kelingking mereka. Ini pertanda dia tidak akan mengingkari janjinya.Senja membawa Bumi kepelukannya, dia sangat tidak mau sampai kehilangan
"Perkenalkan, nama saya Senja."Senja mengulurkan tangannya pada Langit. Langit sampai harus memicingkan sebelah matanya. Dia merasa aneh dengan Senja. Bukankah mereka sudah saling mengenal? Lal, kenapa sekarang seperti orang asing yang tidak pernah bertemu.Langit menyambut hangat uluran tangan Senja. Dia kembali memperkenalkan dirinya, walau terasa aneh untuknya. Dia merasa harus tetap mengikuti alur yang sekarang terpampang di depannya."Bagaimana Langit? Sudah bisa aku tinggalkan?" tanya Rey.Sejak tadi Rey sedang tidak fokus, ponselnya terus saja berdering tanpa jeda."Mau kemana? Kenapa telponnya tidak diangkat?" tanya Senja."Aku harus keluar sebentar. Mas malas mengangkatnya. Nomornya tidak Mas kenal," jawab Rey. Lalu dia menunjukkan ke Senja jika nomor yang tadi memanggilnya sudah dia blokir.Senja mengangguk percaya, walau dalam hatinya kepercayaan itu sudah tidak ada. Senja menebak jika yang menelpon Rey adalah selingkuhannya, makanya Rey sangat sibuk ingin segera berpisah d
Senja sudah tidak berkutik lagi, dia harus pasrah jika kebohongannya harus terbongkar sekarang hanya karena seorang lelaki yang tidam memiliki perasaan.Jujur, Senja tidak berani mengangkat wajahnya, dia hanya bisa menangis. Dirinya sangat takut saat nanti Langit mulai membuka kebohongannya pada Rey. Senja tidak akan bisa membela dirinya sendiri, apalagi lelaki yang congkak di hadapannya itu, seperti memiliki dendam pribadi padanya."Aku ingin mengatakan jika Senja....""Stop!!" teriak Senja.Suara Senja sampai menjadi pusat perhatian orang-orang yang masih menikmati makanan di restoran tersebut."Gadis..." panggil Leo.Senja segera menolehkan wajahnya, ternyata yang datang bukanlah Rey tapi Leo. Bagaimana bisa? Kenapa Leo bisa disini? Ada hubungan apa antara Leo dan juga Langit? Banyak pertanyaan yang mengerubuni otak Senja saat ini.Langit hanya bisa menggelengkan kepalanya, sekarang banyak mata menuju kepada mereka disana."Duduklah Senja. Kamu sudah membuat saya malu," terang Lang
Myhusb : Mas, dimana kamu? Aku sudah di rumah.Senja mengirimkan pesan singkat pada Rey. Rey sekali lagi tidak kembali ke rumah. Entah kemana dia, ponselnya juga tidak aktif.Malam yang kian larut tidak serta merta membuat Senja ingin memejamkan matanya. Bukan karena dia memikirkan Rey, baginha sudah biasa malam tanpa suaminya. Malah lebih menenangkan tanpa ada Rey disana. Tapi Senja memikirkan perkataan Langit tadi saat mereke bertemu. "Mas Rey yang menjualku? Membuatku kehilangan kesucianku? Tapi kenapa?" lirih Senja.Senja ingin tidak percaya, tapi ada desakan logikanya yang meminta Senja untuk membenarkannya. Dia mulai mengulik semuanya dari awal. Senja memaksa untuk membuka buku kelamnya yang sudah dia sembunyikan si bagian ingatannya yang terdalam."Senja maafkan aku, aku ingin mengakui jika aku lah yang salah. Aku yang sudah menjebakmu. Aku butuh uang untuk ibuku, maafkan aku," Leo mendatangi Senja di rumah sakit, dimana Senja sudah seperti mayat hidup. Air mata terus mengalir
Matahari sudah menggelitik Senja pagi ini dari balik tirai jendela.Raganya terasa memberat sehingga dia mencari apa yang menimpa tubuhnya. "Mas Rey?" lirih Senja.Dia tertidur lelap, sampai tidak tahu jam berapa Rey kembali.Dengan berlahan, Senja mencoba bangkit dari tidurnya. Agar tidak mengganggu Rey yang sedang tidur."Jangan bergerak, sebentar saja seperti ini. Mas baru saja tidur, tidak masalah sesekali telat," gumam Rey.Senja kembali membenarkan posisi tidurnya. Rasa tubuhnya seperti memiliki medan magnet yang sama kutub, berusaha ingin menolak pelukan Rey, tapi Rey semakin kuat memeluknya."Mas tahu kamu marah.Tapi pertemuan semalam tidak bisa ditunda, sangat penting. Mas sampai harus menemaninya disana, mengajaknya untuk mengenal kota kita malam hari. Ponsel mas juga lawbat, sampai tidak bisa membaca pesanmu," gumam Rey lagi. Matanya tetap saja terpejam, dia sangat ngantuk berat.Bibir Senja masih terkatup rapat, hanya telinganya yang terbuka lebar untuk mendengarkan.Sudah
Senja tidak bisa bekerja dengan tenang. Beberapa kali dia melakukan kesalahan hingga harus mengulang pekerjaannya kembali. Semua yang ingin dia tahu, datang dengan cepat di depan matanya. Semakin kenyataan itu terlihat, masa lalunya semakin menggerogoti dirinya.Senja menangis dalam diamnya, wajahnya hanya bisa berpangku pada ujung meja. Kenapa dunia sekejam itu padanya, sudah hidupnya di takdir tidak memiliki siapapun, kini orang-orang yang dia percaya dan sayang, mulai membuka segala topeng kebusukannya. "Aku membenci kalian semua," gumam Senja.Tidak ada lagi minat untuk menyentuh pekerjaannya, Senja berdiri dari duduknya. Sebelum melangkah, Senja membenarkan wajah kusutnya terlebih dahulu. "Mas, Aku mau keluar sebentar," izin Senja.Rey yang sedang memeriksa berkas, menelisik pada Senja. Tidak biasa dia keluar disaat masih jam kerja. "Mau kemana?" tanya Rey."Aku hanya ingin berbelanja, sudah lama tidak keluar untuk sekedar membeli sesuatu," ungkap Senja.Apa yang dikatakannya a
Ketakutan Senja semakin mencekiknya dengan erat. Dua lelaki dengan badan berotot berdiri tegap, wajahnya terlihat sangar, dan juga bengis. Seluruh tubuhnya kini bergetar, menyulitkannya untuk bergerak dalam ruang yang sempit, begitu juga napasnya yang mulai menyesak karena rasa paniknya. Rasa takut kini merajai Senja, membawanya untuk kembali mengingat satu kejadian. Dimana dia di perkosa oleh dua lelaki di hotel secara brutal dan tidak berperasaan."Siapa kalian?! Pergi dari sini!" teriak Senja. Dia sudah menangis tergugu, pakaiannya juga sudah basah bermandi keringat.Kedua pria itu memberikan tatapan yang mengerikannya. Mereka tidak memperdulikan apa yang dikatakan Senja. Karena itu membuat Senja semakin marasakan ada bahaya untuk dirinya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Senja tidak mau kejadian lalu terulang kembali. Senja masih mengingat ponsel yang dia genggam, hanya menggunakan instingnya, Senja mengacak-ngacaknya untuk mencari panggilan telpon. Senja tidak peduli akan