Lea mendengus geram melihat siapa pemilik mobil yang baru dia tubruk, hingga baret lumayan dalam dan panjang. Lebih kesal lagi ketika dia terpaksa menurut saat Agra mengobati lukanya.Lututnya yang sudah berapa kali luka kini cidera lagi. Agaknya bagian itu senang sekali minta diperhatikan."Pelan-pelan, woi. Kagak ada lembut-lembutnya jadi cowok," Lea protes kala Agra menekan lukanya lumayan kuat."Mana ada kuat. Situ aja yang lembek. Begitu doang teriak-teriak!" Entah sejak kapan keduanya jadi lebih akrab hingga tak menggunakan bahasa formal saat bicara satu sama lain."Sudah, ayok ke bengkel. Biar kamu tahu harus bayar berapa.""Gak ah, kamu kirim aja tagihannya ke aku. Aku mau ke toko. Sudah telat ini," tolak Lea.Perempuan itu berdiri, sudah mau naik ke sepeda yang untungnya tidak apa-apa. Ketika Agra mengulurkan tangannya. "Apa?""Nomor telepon, katanya suruh kirim tagihannya."Lea mendesah malas dengan dia balik mengulurkan tangan. "Hape!"Agra buru-buru mengambil ponsel dari
Lea serasa tak punya muka saat dia melangkah memasuki The Mirror. Namun dia juga tidak mau kalah dengan Nancy. Lea yakin kalau Nancy pasti ada hubungannya dengan kejadian kumatnya alergi Arch.Istri Zio sengaja melewati ruang makan, tidak ingin bertemu siapapun. Namun kakinya baru menginjak ruang tamu ketika suara Arch menyapanya."Aunty pergi kenapa tidak bilang." Bocah itu berada dalam gendongan papanya. Baru saja menuruni tangga sepertinya."Aunty takut Arch marah."Bukannya menjawab, tangan Arch justru terulur minta gendong. "Aunty yang masakin Arch ya?""Emm itu.""Rasanya sama kayak masakan mama. Arch jadi merasa kalau mama masih hidup."Lea terkesiap, bocah sekecil itu sudah tahu makna hidup dan mati. Istri Zio diam tanpa menjawab. Dia hanya mencium pipi Arch yang langsung mengulas senyum."Aunty ke toko kembang?"Lea mengangguk sambil membawa Arch ke sofa. Nancy yang melihatnya tidak suka."Arch, Tante bawakan makanan buat kamu, tenang ini aman dari kacang," ucap Nancy, jelas
Sejak perdebatan malam itu, Lea lebih banyak diam. Ah, tapi Lea memang tidak banyak bicara dari dulu. Jadi tidak terlalu terasa perbedaannya. Zio yang memang keras kepala memang tidak berpikir kalau larangannya berteman dengan Agra akan berdampak begitu besar pada sikap sang istri.Mereka yang baru melangkah menuju sebuah hubungan yang lebih serius agaknya harus menghadapi cobaan lebih dulu.Zio suka Lea yang cerewet, yang memberontak kalau dia tidak suka akan suatu hal bukan yang menurut macam boneka. Lama-lama didiamkan, Zio akhirnya kesal sendiri."Lea," panggil Zio suatu pagi.Lea yang pagi itu baru saja gelut dengan Nancy perihal hal sepele yang tidak jelas, hanya menjawab sekenanya. Dia tidak tahu Zio sudah mulai menunjukkan amarahnya."Lea," panggil Zio lagi."Iya, sebentar."Sebentar, dan Lea langsung dibuat jantungan ketika Zio sudah berdiri di belakangnya yang sedang memilih baju."Gak dengar?"Lea menegang mendengar Zio berbisik di telinganya. Terhitung tiga hari Lea lebih
Zio sampai ke kantor dengan wajah sumringah. Semua tentu heran dengan perubahan sikap sang big bos. Biasanya mereka akan mendapati paras dingin membekukan. Kutub utara serasa pindah kata Revo.Namun hari ini meski aura kutub itu tetap ada tapi hawa yang terasa adalah hangat. Seolah kebekuan itu mencair meski hanya tersirat. Nancy yang melihat perubahan sikap Zio makin meradang marah. Dia yakin sedikit banyak pasti ada peran Lea di dalamnya.Nancy tidak bisa berbuat apa-apa jika Zio tetap menjaga jarak darinya. Meski rumor yang menyebut Nancy adalah istri Zio masih kuat merebak. Dan keasingan mereka saat di kantor hanyalah kamuflase agar hubungan mereka tak terendus publik.Tak sedikit yang percaya gosip itu tapi banyak juga yang menganggap itu hanya hasil halu Nancy belaka."Sumringah amat lu, baru dapat jatah?"Zio mengeplak lengan Revo yang dengan enteng menyebut hubungan seks tanpa basa basi di kantor. "Kalaupun gue dapat jatah, elu mau apa? Gue punya istri. Gak kayak elu. Jomblo."
Lea seketika memandang ke arah Rina dan Aldo yang berdiri di depannya. "Mantan kakak ipar? Kamu pernah menganggapku kakak ipar? Dan tadi apa katamu? Liar? Liar yang bagimana?"Balasan dari Lea telak membungkam Rina. Sementara Agra tampak memicing mengamati Rina. Adik Rian Mahendra rupanya. Agra menarik sudut bibirnya. "Tuan, apa Anda tahu kalau perempuan ini sangat suka menggoda lelaki, pacarnya banyak," cetus Rina tiba-tiba."Benarkah? Tapi kenapa aku susah sekali membawanya keluar. Untuk sekedar makan siang saja, aku harus putar otak untuk membujuknya," balas Agra yang seketika membuat Lea melotot.Ternyata pria ini pun sama saja, kesal Lea dalam hati. "Pergilah, aku dan kamu tidak punya urusan lagi. Kalian kalau mau kencan jauh-jauh sana. Ganggu saja!"Rina mengepalkan tangan, jengkel sekali pada Lea yang kini dia anggap sombong. "Awas saja, akan kuberitahu Mas Rian kelakuanmu yang murahan ini!"Rina berlalu pergi sambil menggandeng paksa Aldo yang sepertinya enggan beranjak dar
"Aduh, Ma. Sakit. Aduuhh!"Dari rengekan manja, teriakan Zico berubah jadi jerit maskulin saat Lea menoyor kepala sang adik ipar, yang makin menjadi memanggilnya mama."Kapan hamilnya, anaknya sudah bisa jadi pacar berondong gitu." Agni menggelengkan kepala melihat interaksi Lea dan Zico yang kelewat harmonis untuk ukuran kakak dan adik ipar."Awas kalau manggil mama lagi!" Ancam Lea dengan tatapan sadis dan keji."Dia yang mulai kenapa yang aku disalahkan. Gentle kakak, ni muka aku asuransikan," oceh Zio asal."Serius, Dek?" Serobot Puspa yang baru keluar dari pintu toko."Ya gaklah, Kak. Bercanda. Peace." Zico nyengir lebar sambil mengangkat dua jari membentuk kode damai."Kalian lihat, perlu sabar setebal dompetnya buat ngadepin dia.""Sa ae, Kakak," komen Zio manis.Lea kembali mengompres memar di wajah Zio. Setidaknya sampai bisa dia tutupi dengan foundy atau bedak. Cara yang sama digunakan Edo dan teman-temannya untuk memojokkan Zico. Untungnya Lea cermat mengamati hingga dia t
"Jika mereka pasangan kekasih, berarti Zio merebut Nika. Begitu?" gumam Lea lirih.Seharusnya dia tidak ikut campur masa lalu Zio, Agra dan Nika. Namun sudah jadi kodrat manusia untuk kepo dengan urusan orang lain. Dan Lea mengalaminya.Lea harusnya tutup mata, tutup telinga. Toh, yang mereka perebutkan sudah meninggal, tidak bisa ditanyai lagi kebenarannya. Fokus ke masa depan adalah hal yang sepatutnya Lea lakukan.Tapi semakin dia memikirkannya semakin dia ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi."Melamun?" Tubuh Lea seketika terbaring ke sofa kala Zio muncul lantas mendorongnya. Pria itu tanpa aba-aba langsung melumat bibir sang istri.Perlu beberapa waktu bagi Lea bisa meminta jeda. Zio seolah ingin menelannya hidup-hidup tiap kali mereka beradu bibir."Belum mandi," kata Lea sambil menahan dada bidang Zio yang kembali ingin menindihnya."Kamu wangi, rasamu selalu manis. Aku menyukainya." Tubuh Lea melenting cantik saat Zio menyentuh puncak dada di balik kaos yang Lea kenakan.
"Inez Alkanders sudah tahu soal status Ibu Lea yang seorang janda."Pesan terkirim. Tak berapa lama balasan pun datang."Bagus, lanjutkan tugasmu. Jangan sampai ada orang yang tahu atau ayahmu akan segera menjadi mayat."Si penerima pesan langsung mengepalkan tangan, jelas sekali beban yang sedang dia tanggung.Perlahan sosok itu menutup pintu yang menjadi partisi antara balkon dan tangga. Pelan dia menyeret langkahnya menjauh dari tempat itu. Sempat dia mendengar suara tamparan. Diam-diam dia menarik sudut bibirnya, agaknya dia sangat puas saat tahu Inez menampar Lea.Sementara di balkon lantai dua.Janda? Jadi status ini yang dipermasalahkan oleh Inez. Zio tentu tak memberitahu sang mama soal Lea. Pria itu langsung membawa Lea pulang begitu mereka menikah.Asal usul Lea pun Inez tak diberitahu. Wajar saja jika perempuan itu langsung meledak waktu tahu status Lea adalah janda. Lea hanya diam waktu Inez menamparnya. Apa yang salah dengan status janda? Apakah hina dengan menyandang ge