Tidak! Tidak! Nancy perlahan turun dari kasur, sangat pelan berharap si pria yang setelah ditelisik ternyata punya rupa tampan dengan tubuh kekar, atletis. Oh, apa semalam mereka melakukan hal panas itu. Nancy menggigit bibir sambil memakai pakaiannya. Dia tidak ingat sama sekali. Sekarang saja kepalanya pusing tujuh keliling.Dia menenteng heels juga tasnya. Sampai di luar kamar dia sempat memindai ruangan yang kali sungguh menunjukkan seberapa mahal harga yang harus dibayar untuk memiliki tempat ini."Dia siapa?" gumam Nancy sebelum memutuskan pergi dari sana. Pada akhirnya Nancy hanya bisa menghela napas. Siapapun dia, Nancy tidak punya urusan. Dia hanya mau Zio, tidak mau yang lain. Anggap saja kejadian tadi adalah kesalahan.Sepeninggal Nancy, sang pria terbangun. Dia tersenyum melihat partner gelutnya sudah pergi. "Seksi dan hot. Aku menyukainya." Seringai tercetak di bibir tipis sang pria. Saat itulah ponselnya berdering. Satu nama tertera di layar ponselnya. "Apa?""Eh, mot
"Kok begitu?" Nancy protes ketika dia ditinggal begitu."Kau baru pulang, dan lihatlah dirimu. Bau alkohol!" Desis Zio sebelum masuk ke dalam mobil. Pria itu menyetir sendiri dengan Zico duduk di sampingnya.Arch sejak tadi menempel pada Lea dan Inez yang sesekali mengulas senyum tipis, nyaris tak terlihat, melihat interaksi keduanya.Perjalanan tak berlangsung lama. Mereka tiba di sebuah restoran dengan konsep prasmanan dan semi outdoor. Ini adalah momen pertama kali Lea mengikuti acara semacam ini. Dulu dia tidak tahu sama sekali tentang hal berbau pesta. Dia hanya akan mengurung diri di dalam kamar jika ada kemeriahan di rumah Rian. Namun kali ini, Zio dengan berani mengajaknya keluar. Meski hanya mau disebut sebagai pengasuh Arch. Namun hal ini, satu hal yang tidak pernah Rian lakukan.Awalnya Zico ingin menggendong Arch tapi bocah itu tidak mau, dia mau digandeng Lea. Sebuah kejadian yang tak luput dari perhatian Inez. Saat bersama Nancy, Arch lebih suka bersama Zico."Wah, Nyon
Revo terus memandang Zio yang sejak tadi hanya diam, mengawasi sang putra bermain, ditemani Lea. Wanita itu masih sesekali meringis tapi dia tetap ikut aktif mengikuti Arch yang lincah ke mana saja."Aku tidak tahu kalau kau sudah menikah lagi," komen Revo pada akhirnya.Zio kembali tak merespon. Matanya sesekali mengarahkan pandangannya ke arah Inez yang masih dikerubuti ibu-ibu rempong yang ujung-ujungnya bakal berimbas padanya dan Zico. Maklum saja, pernikahannya belum terpublikasikan secara resmi. Selentingan kabar dia punya istri memang sudah beredar tapi dia sama sekali belum mengkonfirmasinya. Jadi selama Zio belum bicara, kebanyakan orang akan menganggap dirinya duda, belum menikah lagi. Satu scene yang membuat Zio tidak suka adalah Dita yang sejak tadi terus menempel pada ibunya. Wanita itu juga sesekali melempar pandang tidak suka pada Lea.Lea sendiri awalnya terkejut saat tahu keluarga Rian ada di sini. Namun sejak tadi dia tidak berinteraksi dengan tamu undangan lain,
"Kamu kenal dengan keluarga Mahendra?" Revo bertanya seraya mengiringi langkah Lea meninggalkan Vika dan Rian yang sepertinya bakal ribut besar."Dia mantan suamiku," balas Lea tanpa ingin menutupi apapun dari Revo. Baginya masa lalu tetap tidak akan berubah, walau dia menutupinya sekuat tenaga. Jadi lebih baik jujur saja dari pada pusing memikirkan cara untuk menyembunyikannya."Ha? Serius? Setahuku perempuan tadi sudah jadi pacarnya sejak lama. Atau ... dia selingkuh selama kalian berumah tangga. Upss, sorry. Kepo." Revo nyengir penuh rasa bersalah melihat mimik wajah Lea berubah.Setelahnya keduanya berjalan tanpa bicara kembali ke tempat Arch dan yang lainnya. Membiarkan Rian dan Vika meneruskan pertengkaran mereka. "Jadi benar kamu sekarang ingin kembali sama dia?" Vika bertanya dengan wajah merah padam menahan amarah."Aku hanya ingin minta maaf, tidak lebih." Rian menjawab lirih. Tidak mungkin dia meladeni kemarahan Vika di tempat ini.Maka setelahnya Rian menarik tangan Vika
Lea menyelesaikan dua putaran mengelilingi The Mirror dengan cepat pagi itu. Ada banyak hal yang harus dia lakukan setelah ini. Untungnya dia bisa melepaskan diri dari Zio pagi tadi. Kalau tidak bisa kacau semua jadwalnya.Zio juga tidak protes ketika dia dorong sampai jatuh kembali ke kasur. Setelahnya Lea kabur ke kamar mandi, mencuci muka lalu bersiap untuk joging.Saat dia ingin masuk ke rumah, dia tidak sengaja melihat bayangan Nancy di balik pintu sepertinya perempuan itu ingin mengerjainya lagi. Lea berjalan pelan, lalu sengaja berteriak keras hingga balik Nancy yang terkejut. Air yang ingin dia gunakan untuk menyiram Lea malah mengguyurnya sendiri. Lea tersenyum mengejek melihat Nancy basah kuyup. Perempuan itu menggeram marah. Dia ingin mengejar Lea, membalas perempuan tersebut, tapi Nancy justru tergelincir karena lantai licin.Suara berdebam terdengar seiring sumpah serapah Nancy mengudara. Sementara Lea tampak tak peduli. Dia melenggang pergi tanpa ingin membantu Nancy."
"Zi! Zio! Aku bisa jelaskan!"Zio langsung menatap nyalang pada Lea yang seketika diam. Dia salah panggil."Katakan lagi!" Zio memiringkan kepala. Dia menyudutkan Lea di dinding di balik pintu kamarnya."Tu-Tuan, aku bisa jelaskan." Lea memejamkan mata saat Zio meninju tembok di sebelah telinga Lea."Panggil yang benar, lalu jelaskan. Lakukan sebelum aku habis kesabaran!"Lea menciut di bawah tatapan tajam Zio. Perempuan itu menelan ludah susah payah. Sulit sekali melawan aura kemarahan Zio."Tu-tu ...."Lea berhenti bicara saat Zio menggeram kesal."Zi-Zio."Kali ini seluruh atensi Zio terpusat pada Lea."Jelaskan!" titah sang suami."Aku menyiapkan sarapan untuk Arch. Aku sendiri yang membuat sandwich itu, tapi sungguh aku tidak menambahkan selai kacang di dalamnya."Lea berkaca-kaca saat menjelaskan. "Kamu tahu dia alergi kacang dan segala produk turunannya?"Lea mengangguk sebagai jawaban. "Zico memberitahu."Zio terdiam saat menyadari kenapa chef dan staf dapur hanya diam saat t
Lea mendengus geram melihat siapa pemilik mobil yang baru dia tubruk, hingga baret lumayan dalam dan panjang. Lebih kesal lagi ketika dia terpaksa menurut saat Agra mengobati lukanya.Lututnya yang sudah berapa kali luka kini cidera lagi. Agaknya bagian itu senang sekali minta diperhatikan."Pelan-pelan, woi. Kagak ada lembut-lembutnya jadi cowok," Lea protes kala Agra menekan lukanya lumayan kuat."Mana ada kuat. Situ aja yang lembek. Begitu doang teriak-teriak!" Entah sejak kapan keduanya jadi lebih akrab hingga tak menggunakan bahasa formal saat bicara satu sama lain."Sudah, ayok ke bengkel. Biar kamu tahu harus bayar berapa.""Gak ah, kamu kirim aja tagihannya ke aku. Aku mau ke toko. Sudah telat ini," tolak Lea.Perempuan itu berdiri, sudah mau naik ke sepeda yang untungnya tidak apa-apa. Ketika Agra mengulurkan tangannya. "Apa?""Nomor telepon, katanya suruh kirim tagihannya."Lea mendesah malas dengan dia balik mengulurkan tangan. "Hape!"Agra buru-buru mengambil ponsel dari
Lea serasa tak punya muka saat dia melangkah memasuki The Mirror. Namun dia juga tidak mau kalah dengan Nancy. Lea yakin kalau Nancy pasti ada hubungannya dengan kejadian kumatnya alergi Arch.Istri Zio sengaja melewati ruang makan, tidak ingin bertemu siapapun. Namun kakinya baru menginjak ruang tamu ketika suara Arch menyapanya."Aunty pergi kenapa tidak bilang." Bocah itu berada dalam gendongan papanya. Baru saja menuruni tangga sepertinya."Aunty takut Arch marah."Bukannya menjawab, tangan Arch justru terulur minta gendong. "Aunty yang masakin Arch ya?""Emm itu.""Rasanya sama kayak masakan mama. Arch jadi merasa kalau mama masih hidup."Lea terkesiap, bocah sekecil itu sudah tahu makna hidup dan mati. Istri Zio diam tanpa menjawab. Dia hanya mencium pipi Arch yang langsung mengulas senyum."Aunty ke toko kembang?"Lea mengangguk sambil membawa Arch ke sofa. Nancy yang melihatnya tidak suka."Arch, Tante bawakan makanan buat kamu, tenang ini aman dari kacang," ucap Nancy, jelas
"Aku tidak mau dipenjara!" Teriak Rina seketika. Dia sudah dengar cerita Vika mengenai horornya hidup di penjara. Lihat saja Vika yang biasa tampil cetar membahana, kini tampilannya berubah total, belum ada setengah tahun menghuni tempat itu."Oh, kalian salah sasaran rupanya. Dia sangat takut masuk penjara, dari pada dighibahin seantero negeri," cibir Lawrence pada Abian.Sahabat Zico merengut mendengar ledekan sang pengacara. Rina sendiri sudah kembali berada dalam cekalan Lawrence. Pria itu mengikat tangan Rina dengan dasi. Mencegah putri Dani Mahendra macam-macam.Bersamaan dengan itu pintu ruangan Lea terbuka, Zico dan Kelvin masuk dengan raut wajah penuh emosi."Dia berulah lagi?" Rina melotot melihat Kelvin, berondong yang dia ingat jelas datang bersama Abian. "Kalian menjebakku! Kurang ajar! Brengsek! Argghh!"Dari teriakan suara Rina berubah jadi jerit kesakitan ketika Zico menginjak pergelangan kaki Rina tanpa ampun."Zico! Hentikan!" Lea memperingatkan dengan tangan menek
"Eh pengacara Lawrence, ada perlu apa?""Zico, kamu mau ke mana? Masih pakai baju pasien malah keluyuran."Lawrence bukannya menjawab pertanyaan Zico, tapi malam menegur kelakuan sang remaja setengah matang bersama gengnya."Bosen Om, di kamar. Pengen ngupi sama cari udara segar. Pengap di kamar terus," kilah Zico memberi alasan."Berarti kamu sudah oke ya. Kakakmu bagaimana?" Lawrence beralih bertanya pasal Lea."Mau jenguk kak Lea, ayuk tak anter," sambar Abian. Kini dia punya alasan untuk balik ke kamar Lea. Tak masalah jika Lawrence ikut serta. Toh Abian sudah puas bisa memandangi paras ayu kakak ipar Zio.Abian benar-benar setengah tidak waras. Dia sungguh menyukai Lea. Tak peduli kalau perempuan itu sudah bersuami.Kelvin langsung menyenggol lengan Zico. Dia menggelengkan kepala melihat kegilaan Abian."Iya, mau jenguk Nyonya Alkanders, mumpung ada urusan di sekitar sini. Jadi sekalian." Lawrence mengiyakan pertanyaan Abian."Ayo, aku antar." Abian menggulung senyum sambil mela
Begitu nama Raisa disebut, kepala Zico berdenyut nyeri. Rasanya sakit seakan mau pecah. Pria itu bahkan nyaris menangis menahan serbuan nyut-nyutan yang mendadak menyerangnya.Hal itu membuat Kelvin dan Abian panik. Pun dengan Lea yang keheranan melihat kesakitan yang Zico tanggung."Kelvin panggil dokter, itu tombol merah. Tekan aja."Kelvin lekas melakukan perintah Lea. Tak sampai lima menit, seorang dokter datang. Dengan sigap dia langsung memeriksa Zico yang perlahan tenang setelah pain killer diberikan.Napas pria itu masih tersengal, bahkan setelah sepuluh menit obat bereaksi. Peluh membasahi sekujur tubuh Zico, cukup untuk menggambarkan seberapa besar sakit yang menderanya."Boleh tahu penyebabnya?" Sang dokter mulai bertanya."Kami menyebut nama Raisa, Dok. Dia bilang tidak ingat nama itu. Lalu ya gitu deh. Dia terus kesakitan," jelas Abian singkat. Dari tempatnya, Lea hanya diam menyimak interaksi Zico dan dokter. Zico terus mengatakan kalau dia tidak ingat apapun soal nama
"Pengacara Lawrence."Sebut Rina dalam hati. Di depannya berdiri pria dengan kemeja hitam juga celana senada. Lelaki itu tampaknya sudah berada di luar situasi formal melihat bagaimana Lawrence menggulung kemeja sampai siku, terlihat lebih santai."Malah bengong! Jawab, ngapain kamu di sini? Arah sana kan tempat penjara wanita," berondong Lawrence.Sejak melihat sendiri bagaimana brutalnya Rina waktu menyerang Lea. Pria itu telah menempatkan Rina dalam daftar figur yang harus diwaspadai. Apalagi jika ada Lea di sekitarnya."Bukan urusan situ!" Balas Rina tak kalah lantang.Lawrence memindai ekspresi Rina. Sebagai pengacara, dia tentu pandai membaca mimik wajah lawan bicaranya. Banyak orang bisa bersandiwara di depannya, tanpa tahu Lawrence bisa menebak isi kepala mereka."Tentu saja akan jadi urusan saya, kalau kamu punya niat buruk. Ingat, saya adalah saksi hidup yang melihat langsung kamu menyerang Lea Alkanders. Jangan-jangan kamu juga yang menabrak Lea Alkanders semalam?"Tudingan
"Tapi kenapa saya dipecat? Rekaman itu bisa saja editan. Saya tidak melakukannya. Saya ...."Rina berhenti bicara ketika Zio mengangkat tangan. Sorot mata pria itu makin tak ramah dalam pandangan Rina. Zio memang tak pernah welcome padanya. Namun kali ini binar benci dan tidak suka turut terlihat di sana. "Kamu pikir saya tidak menyelidikinya lebih dulu. Rekaman itu asli. Bukan editan. Keputusan saya final. Kamu diberhentikan, saya tidak mau mempertaruhkan reputasi perusahaan, karena ulahmu. Sekarang pergi, saya tidak mau melihatmu lagi." Zio secara nyata mengusir Rina. Sudah cukup baginya memberi Rina toleransi, bukannya sadar, Rina malah makin menjadi. Cidera Lea dan Zico jadi warning keras untuk Zio kalau dia harus lebih waspada pada orang yang jelas menjadi ancaman bagi keluarganya. Menyingkirkan mereka adalah solusi terbaik."Tapi kinerja saya baik selama ini," Rina coba bertahan."Sayangnya kinerja bagus saja tidak cukup jika tak dibarengi dengan attitude yang baik. Tak akan
Tangis haru lekas terdengar ketika Zico memanggil Inez, untuk pertama kalinya setelah sadar dari pingsannya."Sebentar, Co. Kakakmu sedang panggil dokter," Inez membantu Zico setengah duduk dengan menaikkan tempat tidurnya."Sakit kepalaku," keluh Zico langsung."Iya, sebentar ya. Biar diperiksa dulu. Zico mau minum?"Zico mengangguk, baru menyadari kalau tenggorokannya kering. Tak berapa lama, tim dokter datang. Mereka sigap memeriksa Zico untuk beberapa waktu.Keterangan yang diberikan dokter, sedikit banyak membuat Inez dan Zio merasa lega. Sejauh ini tidak ada hal buruk mengancam Zico. Walau begitu, remaja setengah matang itu akan terus dipantau. Sampai keadaan Zico benar-benar tidak mengkhawatirkan."Kak Lea bagaimana?" Zico akhirnya ingat Lea. Zio menyibak tirai disebelahnya, hingga penampakan Lea yang tengah terlelap tampak oleh Zico. Lelaki itu menghembuskan napas kasar."Patah tulang, gegar otak. Tidak terlalu parah," jelas Zio."Tetap saja pelakunya harus dibalas. Balas dit
Hampir tengah malam ketika tim dokter memberitahu Zio kalau Lea telah siuman. Perempuan itu sesaat blank, tidak ingat apa yang terjadi. Sampai perlahan kepingan tabrakan kembali tersusun dalam memorinya.Zio fokus pada Lea, sementara Inez menunggu Zico yang masih belum bangun. Inez secara mengejutkan mampu meredam emosinya hingga ketika Sari memberitahu pasal kejadian ini, wanita tersebut hanya terkejut. Tidak sampai mempengaruhi tensi dan jantungnya."Mana yang sakit?" Zio bertanya dengan wajah sendu. Lagi-lagi Lea terbaring jadi pasien di rumah sakit. Sekarang dengan kondisi lumayan parah. Wajah Lea memar di beberapa bagian. Pun dengan anggota tubuh lain.Ditambah patah di tulang lengan atas Lea baru saja menjalani prosedur bedah. Bisa dipastikan jika rasa tubuh sang istri tidak karuan."Sakit semua," keluh Lea tak bisa pura-pura kuat di depan Zio."Maafkan aku, aku tidak becus menjagamu." Zio mendekat untuk kemudian mencium puncak kepala sang istri."Bukan salahmu. Aku yang tidak
"Sengaja jadikan Lea target?"Kalimat berapi-api dari Abian terus terngiang di telinga Zio. Bahkan ketika keheningan kembali membalut ruang tunggu selama beberapa waktu.Tak ada yang beranjak pergi. Semua seolah tidak ingin meninggalkan tempat itu sebelum mengetahui keadaan pasti Lea dan Zico.Sang dokter tadi memang menambahkan, hal-hal tak terduga bisa saja terjadi pada pasien dengan cidera karena benturan di kepala.Arch sudah tidur dalam pelukan Sari, tapi perempuan itu tak jua beringsut dari tempat duduknya. Sampai Zio memberi titah berbarengan dengan Han yang datang bersama Revo.Kedatangan dua orang itu jelas memberi petunjuk soal siapa orang sinting yang berani menyentuh Lea."Angel kamu bisa bawa mobil? Pulanglah, antarkan dulu Sari dan Arch ke rumah."Sari dan Angel saling pandang untuk kemudian sang gadis mengangguk patuh. Apalagi yang bisa dia lakukan di sini. Zico dan Lea sudah mendapat perawatan yang dipastikan terbaik.Gadis itu menerima kunci mobil Abian lalu melangkah
Dua brankar didorong masuk dengan cepat ke sebuah instalasi gawat darurat rumah sakit terdekat. Tubuh dua pasien tidak bergerak dengan darah membasahi bed tempat mereka dibaringkan.Di belakang brankar ada Arch, Sari dan Angel yang mengekor dengan wajah panik luar biasa. Serta air mata berlinang di wajah masing-masing.Ketiganya berhenti tepat di depan pintu ketika seorang perawat mencegah mereka ikut masuk."Mbak Sari, Mama ... Om Zico." Tangis Arch kembali tumpah. Kali ini dengan ledakan yang lebih kuat Sari sampai kewalahan membujuknya. Dia tidak bisa tenang waktu membujuk Arch. Bagaimana Sari bisa tenang waktu melihat dua majikannya dalam keadaan mengerikan seperti tadi."Mbak Angel tolong hubungi Tuan Alkanders. Cari saja kontaknya dengan nama itu."Angel ragu waktu menerima ponsel yang Sari ulurkan. Berhadapan dengan Zio membuat Angel gemetar duluan. Namun saat ini, mereka tidak punya pilihan. Zio harus tahu.Maka setengah jam kemudian, suasana yang sudah mencekam tambah parah.