"Siapa kekasihmu?" Inez bertanya antusias ketika mereka tinggal berdua.Zico berhasil mengusir emak-emak soksialita yang datang bersama anak gadis mereka. Siapa yang bakal menolak undangan makan siang dari seorang Inez Alkanders. Apalagi berhembus kabar kalau nyonya besar sedang ingin mencarikan kekasih untuk putra bungsu yang tidak kalah tampan dan tajir dari kakaknya.Tentu saja mereka dandan all out untuk hari ini. Semua berlomba tampil cetar membahana, guna menarik perhatian seorang Zico Alkanders. Namun harapan mereka pupus ketika dengan tegas Zico menolak semua jenis perjodohan yang ditujukan padanya.Alasannya cukup membuat semua yang hadir tercengang. Seorang Zico Alkanders punya kekasih, siapakah gerangan yang mampu memikat pria tampan berbibir sensual itu."Bukan urusan Mama," Zico berkelit cepat."Ya, jelas jadi urusan mama, kalau mereka tanya lagi bagaimana?" Inez dan Zico mulai dekat layaknya ibu dan anak pada umumnya semenjak kejadian pemuda itu ditabrak Rina. Inez suk
Bola mata Agra melebar mendengar tawaran dari Irene. "Kamu gak keracunan kuah neraka kemarin kan?" Irene reflek mengeplak lengan Agra, enteng sekali dia mengungkit kuah neraka alias seblak level delapan yang membuat Irene berakhir di IGD. "Kan kemarin sudah!" Perut Irene rupanya tidak kuat menahan pedasnya makanan berbahan dasar krupuk tersebut. Selama tiga jam berada di IGD, Agra tak meninggalkannya barang sejengkal. Pria itu selalu berada di dekatnya. Suka rela jadi korban cubitan kala sakit datang mendera perut Irene. Pria itu juga diam saja ketika Irene terus mengumpat nama Aldo sebagai biang kerok dia masuk rumah sakit. Dari sanalah, Irene menyimpulkan kalau Agra sejatinya pria baik. Mungkin saja dia terus mengejar atasannya karena belum punya menemukan yang setipe dengan Lea. Katakanlah pacar. Maka dari itu, Irene memutuskan untuk mencoba peruntungannya. Siapa tahu dia bisa mengalihkan fokus Agra dari sang atasan. Ditambah sejak kemarin Aldo terus menerornya. Lelaki itu
"Eh enggak ngapa-ngapain, Mbak Sari. Sstt, jangan bilang-bilang ya, saya kepo sama rasanya. Teh sultan kaya apa enaknya. Tapi gak jadi kok.""Itu karena kamu ketahuan sama saya."Yang bernama Ratih nyengir, lantas menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Akting yang sempurna untuk menutupi kelakuannya."Ambil saja kalau cuma mau testing. Tapi jangan keseringan nyolong.""Enggak jadi aja, Mbak Sari.""Gak saya laporin sama nyonya deh."Sudah gak pengen lagi. Saya balik kamar dulu. Mbak Sari mau ngapain?""Ambil minum aja. Lupa gak bawa minum."Ratih berlalu pergi diikuti tatapan penuh kecurigaan dari Sari. Belajar dari Desi yang mengaku pernah jadi mata-mata Agra. Sari kini lebih waspada. Dia tidak mau kejadian lama terulang kembali.Sampai tragedi berlaku lagi. Sari tak ingin keluarga ini mengalami kesedihan berulang. Karena itu Sari diam-diam memeriksa botol tempat teh yang biasa Lea minum.Sari hirup aromanya. Keningnya mengkerut. Aroma teh biasa, dia lantas melirik ke arah kamar Ratih
"Revo kamu lagi ngapain?" Suara Nancy membuat Revo mengalihkan perhatiannya dari laptop. Semenjak berada dalam pengawasan Revo, Nancy sama sekali tidak berulah. Boleh dikatakan perempuan itu berubah lebih baik, lebih tepatnya dibimbing Revo jadi lebih baik. "Nyari jejak kakakmu," balas Revo terus terang. "Orang mati nyari jejaknya di mana? Kamu touring ke alam baka?" "Doain aku mati biar kamu bisa ugal-ugalan lagi?" Netra Revo memicing tajam. "Gaklah, hampir kapok." "Baru hampir ya, belum total." Nancy nyengir mendengar ledekan Revo. Lelaki di hadapan Nancy membuat perempuan itu membuka mata, bahwa ada banyak hal menarik dibanding mengemis perhatian Zio yang sudah pasti tidak akan menggubrisnya. Dari Revo juga Nancy belajar untuk berbesar hati menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Lelaki itu berujar kalau tidak semua hal dan benda bisa kita dapatkan. Tuhan pasti berikan yang terbaik buat kita. Karena itu jika apa yang kita mau tidak jadi milik kita, itu m
"Berhenti! Aku ingin bicara sebentar." Lea langsung mencegat Agra yang dia lihat di lobi kantor Dreamcatcher. Lea tahu Agra datang untuk menjemput Irene. Lea juga mengetahui jika Irene dan Agra sedang menjalin hubungan."Ada apa?" Senyum Agra melebar memandang Lea yang selalu cantik di matanya."Aku peringatkan kau, jangan permainkan Irene," kata Lea tanpa basa basi."Permainkan seperti apa? Apa kamu tahu kalau aku sedang melindunginya. Aldo mengincarnya. Kamu tahu sendiri seperti apa brengseknya Aldo."Lea berdecih pelan, "Itu cuma modusmu saja. Sekali lagi aku peringatkan, jangan permainkan Irene atau aku tak segan menghajarmu."Lea beranjak pergi, tapi tangannya dengan segera ditahan Agra. Mau tak mau Lea menghentikan langkah. Dia lekas menepis cekalan tangan Agra. Membuat lelaki itu segera mengangkat tangan."Kalau kamu begitu cemas padanya kenapa tidak kau gantikan tempatnya," Agra tersenyum miring pada Lea."Jangan gila kamu!" Satu tawa lirih terdengar dari arah Agra. "Kamu ta
Lea langsung meledakkan amarah begitu dia mendengar apa yang Desi dan Sari katakan. Ditambah sebuah info terbaru dari Heri turut membuat emosi Lea mencapai puncaknya."Dia? Si brengsek itu pelakunya?" Lea menggeram marah."Kak, ini si Ratih sudah ngaku." Zico turut andil dalam menekan Ratih supaya mengaku soal siapa yang menyuruhnya mencampur teh Lea dengan pil kontrasepsi yang sudah dihaluskan."Ampun, Tuan. Saya diancam, bapak saya sakit. Saya perlu duit.""Kamu perlu duit? Kami gudangnya duit, kenapa gak bilang. Kamu gak belajar dari kesalahannya Desi."Lea mendorong napasnya kasar, tanpa banyak bicara dia langsung mencari biang kerok dari semua masalah ini. Lea tak mengindahkan peringatan Heri untuk menunggu Zio yang masih dalam perjalanan dari luar kota. Satu jam lagi sampai.Sementaa Zico masih asyik dengan aksinya membalas perbuatan Ratih. "Orang yang membayari cuci darah emaknya Desi adalah Agra Atharva. Sorry, baru kemarin aku dapat infonya, dan Desi baru mau mengakuinya tad
"Bagaimana?" Heri bertanya pada Sari dan Desi. Dua perempuan itu menggeleng. "Gak ada di kantor." Sari menjawab. "Gak ada di rumah." Desi menyusul. Heri menggeram, kalau sampai Lea kenapa-kenapa dia akan merasa sangat bersalah. "Hubungi tuan muda kalian," pinta Heri. Dia baru menghubungi Zio dan pria itu sedang mengusahakan sampai secepat yang dia bisa. "Tuan muda sedang ke sini. Nah itu dia." Sari menunjuk Zico yang langkah lebarnya tampak seperti berlari. "Di mana kak Lea?" Zico paham benar kalau kakak iparnya punya mode nekad dalam dalam dirinya. Melihat Heri, Sari dan Desi saling pandang, bisa disimpulkan kalau ketiganya tidak tahu di mana perempuan itu. "Haishh! Kenapa dibiarkan pergi sendirian! Pinjam laptop!" Kata pinjam tapi terdengar seperti merampok. Tapi mereka bisa apa ketika Zico yang memberi perintah. Mereka tahu telah salah bertindak. Harusnya mereka tidak memberi tahu Lea via telepon. Mestinya mereka kasih tahu Lea kalau sudah saling jumpa. Tapi informasi d
Habis sudah kesempatan Lea guna menyelamatkan diri, begitu yang otak Lea gaungkan berulang kali. Tak ada yang tahu di mana dia sekarang.Tidak ada yang bisa ia mintai tolong. Putus asa merayap, menggulung, menutup pikiran Lea. Hingga Lea tak lagi mampu memikirkan solusi untuk bisa lari dari Agra selain mati.Dalam hati sibuk minta maaf sekaligus meratapi tindakan konyolnya dengan mendatangi Agra seorang diri.Hingga kini Lea terpojok dengan sebilah pisau ia arahkan ke lehernya sendiri. Pilihan terakhir andai semua harus berakhir.Namun semua tak berjalan seperti yang Lea angankan. Ketika dirinya hilang fokus untuk beberapa detik, Lea mendapati Agra telah berada tepat di hadapannya."Pergi! Menjauh dariku!" Teriak Lea ketakutan."Gak! Lepaskan ini dulu!" Agra menahan tangan Lea yang menggenggam pisau.Pelan tapi pasti lelaki tersebut berusaha menjauhkan benda tajam berkilat tadi dari leher Lea. Dan berhasil. Bermodal kekuatannya sebagai pria, jelas saja Lea kalah tenaga.Sekali hentak,
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch." Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya. Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun. Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu. "Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?" "Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini." Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing. Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut