“Sayang.”Bara masuk ke dalam kamar, tetapi seseorang yang dicari ternyata sudah terlelap. Pria itu melihat ke arah jam dinding, pukul 11 malam. “Pantas aja dia udah tidur,” gumamnya.Kakinya lalu melangkah ke kamar mandi dengan satu setelan piyama di tangan. Badannya sudah menjerit minta direbahkan. Setelah cuci muka, gosok gigi, dan ganti baju, Bara ikut masuk ke dalam selimut yang sama dengan sang istri.“Good night, Baby!” Dikecupnya kening sang istri, lalu ikut terpejam dengan tangan memeluk erat tubuh Tisa.Keesokan paginya, Bara terbangun dengan sisi ranjang yang kosong. Matanya sibuk mencari keberadaan Tisa. Dia pun bangun sambil mengucek mata yang terasa panas. “Baby,” panggil Bara, “kamu di mana?”Hening.Tidak ada sahutan dari seseorang yang dicarinya membuat Bara memutuskan untuk berjalan menuju kamar mandi. Entah kenapa, semenjak hidup bersama dengan sang istri, kini ketika bangun tidur yang selalu dicari bukanlah ponsel atau tab, melainkan Tisa Ratu Ayu.Gadis berusia 1
“Aku?” Bara mengulang ucapan Tisa yang belum usai.Tisa melirik canggung ke arah Bara, si mertua, lalu adik iparnya. Sambil memainkan jari tangannya di bawah meja, gadis itu pun menjawab, “Tisa mau fokus buat kuliah dulu, Mas.”Bara menepuk jidatnya. “Astaga, bagaimana bisa aku lupa, kalau kamu harus kuliah, Baby?” Pria itu lalu menarik tangan sang istri dan memeluk pinggang Tisa yang sedang berdiri. “Maaf, Sayang. Aku hampir melupakan itu.”Tisa melirik malu melihat sikap manja Bara. Dia tersenyum sungkan pada mertua dan adik iparnya. “Gak apa-apa , Mas. Lagian, Tisa juga memang kemarin belum ngasih kepastian sama Mas Bara.”“Jadi, kamu setuju?” Tisa mengangguk yakin dibalas senyuman lebar sang suami. “Makasih, Baby.”“Uhuk-uhuk!” Andra dengan sengaja batuk hingga membuat pasangan suami-istri itu menoleh padanya. “Tolong dikondisikan ya, Bang, dan kakak ipar,” sindirnya.Bara justru makin mengeratkan pelukannya di tubuh Tisa. “Kondisi kami masih wajar, Ndra. Mungkin, hati kamunya a
“Lepas!”“Kamu kenapa, sih?” Cantika mulai kesal karena terus diabaikan. “Bukannya aku tadi udah bilang, kalau aku pengen sarapan bareng sama kamu!”Bara menatap datar wanita di depannya. “Dan saya tidak mau menemani Anda untuk sarapan bersama. Lagipula, saya sudah sarapan bersama istri dan keluarga saya. Permisi!” “Bara! Yakh!” Cantika berteriak. “Aish, kok gue malah ditinggalin gini, sih!” Kakinya dihentakkan, lalu setelah itu berlalu pergi dari lobi kantor Angkasa Group. “Jika bukan karena gue mau meeting sama klien, udah gue paksa itu Bara buat nemenin gue makan!”Sementara itu, Bara pergi menuju lift yang akan membawa ke ruangannya. Jujur, dia mulai terganggu dengan kehadiran Cantika. Jika boleh meminta, dia tidak ingin bertemu lagi dengan wanita tersebut. Bukan karena dia takut akan kembali jatuh hati dengan wanita tersebut, melainkan perasaan Tisa harus diperhatikan.Cantikalah yang membuat Bara menjadi sosok dingin, kejam seperti sekarang. Namun, itu dulu. Kini, sejak kehadir
Kejadian itu terjadi ketika Tisa masih duduk di bangku sekolah. Dia yang baru selesai pulang sekolah diajak oleh temannya–Nur– untuk ke taman. Tidak disangka jika ternyata di tempat tersebut sudah ada dua orang pemuda yang menunggu, mereka adalah Adi dan Wendy.Tisa yang memang tidak mengenal mereka bertanya pada Nur. “Kita ngapain ke sini, Nur? Dan, mereka itu siapa?” Gadis itu takut.“Udah kamu tenang aja. Mereka baik, kok.” Itu kata Nur.Mendengar itu membuat kekhawatiran Tisa berkurang. Gadis berusia 17 tahun itu pun segera berjalan beriringan dengan si teman. Ketika mereka sudah berdiri di depan dua pemuda itu, Nur pun menyenggol bahunya.“Kenapa, Nur?” tanya Tisa bingung.“Gak, Tis. Itu Adi katanya mau ada yang diomongin sama kamu.” Nur menunjuk ke arah pemuda yang memakai jaket berwarna hitam.“Oh.” Tisa pun mengangguk. Dia yang memang tidak mengetahui maksud dari Nur dan Adi, bertanya dengan santai. “Ada apa, yah, ini?”“Ha–i, Tisa.” Adi menyapa dengan salah tingkah. Pemuda it
Tisa langsung melengos dan berpura-pura melihat ke arah lain. “Gak ada apa-apa, kok.” Dia melihat ke arah temannya. Niatannya untuk ke toilet, justru membuat gadis tersebut diurungkan. “Guys, gue pulang dulu, yah. Maaf, gak bisa ikut ngerjain tugas sekarang. Tapi, gue bakalan bantu besok, kok!”“Tapi, Tis–”“Udah, Chi. Biarin Tisa dulu!”Tisa dengar, tetapi memilih untuk tak menggubris. Dia menaruh uang dua lembar merah ke baki si pelayan, kemudian berlalu pergi tanpa melihat ke arah si pemilik sepatu pantofel. Entah kenapa, air matanya menetes begitu saja.Kini, dirinya sudah berada di halte dan hendak naik bis menuju rumahnya. Kenapa tidak taksi, atau membawa kendaraan pribadi? Alasannya, gadis itu tidak mau membuat kehebohan di kampus. Cukup, dirinya saja yang tahu jika suaminya peduli tidak dengan orang lain. “Bodoh! Bagaimana bisa aku menjadi cengeng seperti ini?” Tisa mendongak sambil mengipasi diri sendiri karena merasa wajahnya memanas. Dia mencoba untuk menarik napas, lalu m
“Ah, maaf, Tuan Andra. Saya tidak bermaksud kurang sopan pada Anda. Tapi, tadi saya hanya kaget saja sehingga berbicara seperti itu.” Tisa membungkukkan badan ketika tahu orang yang ada di belakang adalah adik iparnya. Akan tetapi, dia masih segan pada adik iparnya. Tisa melihat ke arah Bara yang kini sedang berjalan di lorong menuju ke arahnya. “Mas,” panggilnya.“Kamu ngapain di sini?” Suara Bara terdengar tidak suka, bahkan kini pinggang Tisa sudah dipeluk posesif oleh pria tersebut. Menegaskan jika gadis itu adalah milik Bara Langit Sanjaya.Tisa sendiri hanya menurut. Toh, dia juga tidak keberatan dengan tangan sang suami. Gadis itu justru merasa aman dan senang. Andra terlihat terkekeh dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana, sedangkan satunya lagi digunakan untuk menepuk bahu Bara. “Santai aja, Bang. Aku gak akan ngerebut istri kamu, kok. Tapi, kalau istri kamu mau sama aku … why not?”“Bajingan!” Bara menepis tangan Andra, lalu memelintir tangan sang adik ke belak
Kak Zaki: Tis, besok di kampus ada bazar. Kamu mau gak temenin aku buat ketemu sama panitianya? Soalnya, mereka bilang pengin ada yang diomongin. “Cih! Modus banget Lo jadi laki!” cibir Bara setelah melihat isi chat dari Zaki. Tisa meringis melihat bagaimana suaminya cemburu. Jelas terlihat, tetapi dia juga tidak tahu harus bagaimana menenangkan hati si cowok. “Apa dia begitu tampan?” tanya Bara. Kini, dia sudah berada di belakang bahu istrinya dengan tangan memeluk perut rata sang istri, dan dagu diletakkan di bahu. “Hem, jujur atau bohong?” Suara Tisa terdengar gugup.“Kamu tau aku gak suka dibohongi, kan, Beb?” tanya balik Bara. Tisa mengangguk. Jujur, dia mulai gerah, apalagi tangan Bara yang sudah mulai ke mana-mana. Membuat dia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara yang dapat memancing libido suaminya.“Sayang,” panggil Bara sekali lagi, “apa kau tak mendengarkanku?”Tisa menggeleng, lalu mengangguk. Dia kebingungan sendiri. Bara pun menyingkirkan tangannya yang sed
Tisa diajak Zaki untuk mengobrol berdua di halaman belakang kampus. Gadis itu sedikit horor sebenarnya karena tempat tersebut jarang dilewati oleh mahasiswa lain. Jika nanti dirinya diapa-apakan? Tisa bergidik ngeri sendiri memikirkannya. Lagian, tidak mungkin orang sepintar dan setampan Abdulah Zaki melakukan hal tak berperikemanusiaan. Tisa yang sudah bosan segera menghela napas. “Jadi, apa yang sebenarnya Kakak mau tanyakan pada Tisa?” “Sa, apa benar kamu sudah menikah?” “Eh? Oh, itu.” Tisa sempat terdiam untuk beberapa saat, tetapi setelah itu tersenyum. Dia menjadi teringat bagaimana posesifnya Bara semalam hingga mengirimkan sebuah kata-kata yang akan memukul mundur si rival. Kelakuan suaminya memang kadang tidak ingat umur. Sudah tua, tetapi kadang masih cemburuan seperti ABG labil.“Jika Tisa bilang iya, apa Kak Zaki akan mundur?” Akhirnya, dia memilih jujur. Toh, Bara juga sudah mengungkap statusnya pada kakak seniornya. Jadi, berbohong pun terasa percuma.“Jadi benar,
“Bagaimana ini?” Pada saat Tisa kebingungan, dia lalu menemukan pengawal pribadinya. Dia pun melambaikan tangannya ke arah Ricky.Tanpa disuruh dia kali, pemuda yang bernama Ricky itu berjalan ke arahnya dan menunduk hormat. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?”“Bisa tolong kamu bawa Basta dulu? Saya ada urusan,” beritahunya.Ricky yang memang mengenal jelas siapa pria yang kini tengah memeluk kaki Nona Mudanya mengangguk patuh. “Baik, Nona.” Setelah Basta dibawa pergi oleh Ricky, Tisa pun memegang bahu yang ternyata bergetar milik suaminya. Dia yang sudah sangat merindukan suaminya tentu merasa bersedih dan tidak tega. “Bangunlah, Mas, sebaiknya kita cari tempat untuk bicara!” putus Tisa kemudian. Tisa kurang nyaman jika harus menjadi perhatian banyak orang. Bara mengangguk, lalu berdiri. Dia langsung membawa tangan mereka dalam satu tautan hangat yang sudah sekian lama tak dia daoatkan. “Biarkan begini ya, Sayang?” tanyanya den
“Arghh!” Tiba-tiba, Bara merasa sakit di bagian perut. Dia meringis sambil meremas baju bagian bawah dengan badan membungkuk. “Yah, ndak papa?” Panggilan cadel dan sedikit tak jelas, serta usapan di bagian punggung membuat Bara menengadahkan wajahnya sambil menahan sakit. Dengan terengah, ia memaksakan bibirnya tersenyum ketika menemukan ekspresi cemas di wajah batita tersebut. “Makasih, Sayang. Karena kamu, Om sudah jauh lebih baik,” kilahnya tak ingin membuat khawatir. Dia lalu menegakkan badan kemudian mengusap puncak kepala Basta. Biarlah dia yang sakit, tanpa perlu ada yang tahu sebenarnya.“Ndak!” Basta menggelengnkeras kepala. “Yah, Atit?” Wajah anak kecil masih saja khawatir. “Acuk, yu, Yah … alem!” ajaknya kemudian.Bara sempat tidak mengerti maksud ucapan Basta. Namun, dia sadar ketika tangannya terus ditarik oleh anak kecil tersebut. “Apa kamu mengajak Om masuk ke dalam?” tanyanya bodoh.“Hem! Cuk, yuk, Ya
“Jika boleh meminta, Bara ingin mengejarnya. Tapi, Bara juga gak mau egois, Yah!” Pria itu tampak merenung.“Ckckck! Pantas saja menantuku milih kabur daripada tetap bertahan denganmu,” cibir Sanjaya pada anaknya.“Yah!” Bara terlihat merengek.Sanjaya menghela napas, lalu menepuk bahu sang anak. “Apa kau tahu jika Tisa itu sangat mencintaimu?”Bara mengangguk ragu. “Entahlah, Yah.”Sanjaya yang gemas pada Bara lalu menempeleng kepala putranya. “Badan besar, umur tua, emang gak menjamin,” cibirnya pedas, “intinya, kamu itu terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Sampai kau melupakan hal yang sesungguhnya, Nak!”“Jadi, maksud Ayah, prasangka Bara selama ini salah?”“Hem. Jadi, kau akan tetapi diam saja? Atau, kamu emang gak mau kembali pada menantuku?” Sanjaya menatap putranya dengan serius.Bara menggeleng. Tekadnya sekarang makin kuat untuk tetap mendapatkan kata maaf dari Tisa. “Bara akan mel
“Sayang, kamu di mana? Aku kangen sama kamu!” Bara menatap pigura foto pernikahan mereka dengan tatapan merindu. Badannya juga tak sesegar dulu, bahkan dia menjadi malas hanya sekedar memotong jambang. Semenjak empat tahun lalu, tepatnya ketika sang istri kabur dari rumah Dia memutuskan untuk tinggal di apartemen, sendirian. Semua dilakukan untuk ketenangan hati serta batinnya. Jika di rumah, kepalanya penuh.“Pulanglah, Baby! Aku minta maaf karena sudah bodoh melukai gadis yang benar-benar tulus mencintaiku. Mungkin jika saat itu aku tidak termakan kecemburuanku, mendengarkan dulu penjelasan mu, kamu pasti masih berada di sisiku,” gumamnya seorang diri.Kini, dia menyesal, sangat-sangat menyesal. Andai bisa memutar waktu, Bara tidak ingin gegabah dan mencari tahu dulu tentang mereka berdua. Bukan malah main tuduh dan mabuk hingga melampiaskan kekesalannya pada hal yang salah.Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Sanjaya bahkan sampai menghajar
Tisa merasa gelisah di tempat tidurnya. Berkali-kali dia berusaha untuk memejamkan mata, tetapi selalu tidak bisa. Akhirnya, dia menyerah dan menatap jam dinding di mana sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Namun, sisi ranjang di sampingnya belum juga terisi.“Sebenarnya kamu ke mana, sih, Mas? Kenapa kamu belum pulang juga? Apa karena kamu masih kesal kepadaku?” Wajahnya berubah sendu dan tidak bersemangat. Dalam kegelisahannya, dia duduk sambil bersandar. Tisa ingin menyusul sang suami, tetapi dia tidak tahu keberadaan Bara. Telepon pun sedari tadi tidak diangkat. Membuat hatinya semakin was-was, takut terjadi apa-apa dengan sang suami. “Tapi, aku juga nggak bisa hanya berdiam diri seperti ini terus,” katanya sambil berpikir keras. “Iya, aku harus cari Mas Bara kemanapun dia berada!” Tekadnya kuat. Gadis itu pun bangun dari ranjang untuk mengganti piyamanya dengan celana jeans, serta kaos pendek yang dilapisi dengan jaket. Dia bukan gadi
“Apa-apaan bocah itu?” Bara hendak turun, tetapi tangannya langsung mengepal karena melihat si pemuda dengan sekonyong-konyong menarik tubuh Tisa ke dalam pelukan. “Bajigur!”Wajah Bara langsung melengos dan tidak mau menatap ke arah dua muda-mudi itu. Dia mengepalkan tangan karena kecewa pada sang istri. Tidak semestinya Tisa bermesraan dengan orang lain. Apalagi, ada dirinya sekarang.“Tuan, Nona sedang ke sini,” beritahu si supir.“Hem.”Badan memilih diam saja ketika pintu geser terbuka bahkan suara pekikan dari sang istri pun tidak diindahkan. Bayangan ketika sang istri berpelukan dengan pria lain membuat emosinya mendidih. “Mas Bara beneran jemput Tisa?” Suara bernada riang itu langsung menembus gendang telinga Bara. “Makasih, Mas,” sambungnya sambil memeluknya. Akan tetapi, Bara tidak membalas pelukan sang istri. Dia justru terlihat cuek dan lebih memilih untuk melihat tabnya. “Aku kan emang udah janji untuk menjemputmu. Jadi, aku pasti datang,” jawabnya sambil lalu.Sepertin
“Maaf,” jeda Bara dengan tatapan bersalah. “Tadi pagi begitu buru-buru karena ada panggilan urgent. Jadi, aku gak bisa nganter kamu. Masalah telpon dan chat kamu, ponselku tertinggal di dalam mobil, sedangkan aku sibuk meeting dengan klien jadi gak tahu kamu menghubungiku,” jelasnya satu persatu.“Dan kamu itu berharga, Sayang, lebih dari yang kamu kira. Justru, aku yang merasa denial di sisimu.” Kepala pria itu tertunduk. “Kamu cantik, pintar, dan masih muda, sedangkan aku?” “Mas, kenapa bicara seperti itu?” Tisa merangsek ke dalam pelukan suaminya. “Justru, kamu itu adalah suami idaman banget. Kamu kaya, tampan, mapan, dan aku hanyalah seorang gadis biasa yang tidak memiliki kelebihan apa pun. Lagi pula ….”“Lagipula kenapa, Baby?” Tangan Bara menarik dagu istrinya hingga mereka saling bertatapan. “Katakan!”Tisa menghela napas tentang pemikirannya beberapa hari ini. Dia begitu terganggu dengan ketidakhadiran sang suami di dekatnya, juga termasuk masalah status mereka. Anggap saja
“Ratna?” “Iya, ini aku Ratna. Saudara kamu.”Tisa menatap anak dari paman dan bibinya dengan raut senang. Mereka pun berpelukan saking bahagianya. Namun, mereka tahu jika tempat yang sedang mereka kunjungi tidak boleh berisik. Alhasil, dia mengajak Ratna untuk duduk di rooftop mall.Mereka berdua tampak begitu senang satu sama lain. Walaupun paman dan bibinya suka menindas ya, tetapi bagi Tisa, Ratna adalah saudara sekaligus teman yang baik. Huhungan dua gadis muda itu juga tidak ada masalah, kecuali waktu kabur itu.“Gimana kabar kamu, Rat? Kita udah lama banget, loh, gak ketemu,” celetuk Tisa sambil melihat wajah Ratan yang kini terlihat kurus. “Apa mereka masih senang memaksakan kehendaknya?”“Ya, gini, deh.” Ratna menjawab ambigu. Tisa tahu bagaimana orang tua Ratna membesarkan sang anak. Mereka yang terobsesi memiliki anak yang pintar dan mendapatkan jodoh orang kaya, menuntut si anak untuk belajar dan belajar. Tidak heran jika dulu Ratna memilih kabur ketika akan dijodohkan d
Tisa diajak Zaki untuk mengobrol berdua di halaman belakang kampus. Gadis itu sedikit horor sebenarnya karena tempat tersebut jarang dilewati oleh mahasiswa lain. Jika nanti dirinya diapa-apakan? Tisa bergidik ngeri sendiri memikirkannya. Lagian, tidak mungkin orang sepintar dan setampan Abdulah Zaki melakukan hal tak berperikemanusiaan. Tisa yang sudah bosan segera menghela napas. “Jadi, apa yang sebenarnya Kakak mau tanyakan pada Tisa?” “Sa, apa benar kamu sudah menikah?” “Eh? Oh, itu.” Tisa sempat terdiam untuk beberapa saat, tetapi setelah itu tersenyum. Dia menjadi teringat bagaimana posesifnya Bara semalam hingga mengirimkan sebuah kata-kata yang akan memukul mundur si rival. Kelakuan suaminya memang kadang tidak ingat umur. Sudah tua, tetapi kadang masih cemburuan seperti ABG labil.“Jika Tisa bilang iya, apa Kak Zaki akan mundur?” Akhirnya, dia memilih jujur. Toh, Bara juga sudah mengungkap statusnya pada kakak seniornya. Jadi, berbohong pun terasa percuma.“Jadi benar,