“Lepas!”“Kamu kenapa, sih?” Cantika mulai kesal karena terus diabaikan. “Bukannya aku tadi udah bilang, kalau aku pengen sarapan bareng sama kamu!”Bara menatap datar wanita di depannya. “Dan saya tidak mau menemani Anda untuk sarapan bersama. Lagipula, saya sudah sarapan bersama istri dan keluarga saya. Permisi!” “Bara! Yakh!” Cantika berteriak. “Aish, kok gue malah ditinggalin gini, sih!” Kakinya dihentakkan, lalu setelah itu berlalu pergi dari lobi kantor Angkasa Group. “Jika bukan karena gue mau meeting sama klien, udah gue paksa itu Bara buat nemenin gue makan!”Sementara itu, Bara pergi menuju lift yang akan membawa ke ruangannya. Jujur, dia mulai terganggu dengan kehadiran Cantika. Jika boleh meminta, dia tidak ingin bertemu lagi dengan wanita tersebut. Bukan karena dia takut akan kembali jatuh hati dengan wanita tersebut, melainkan perasaan Tisa harus diperhatikan.Cantikalah yang membuat Bara menjadi sosok dingin, kejam seperti sekarang. Namun, itu dulu. Kini, sejak kehadir
Kejadian itu terjadi ketika Tisa masih duduk di bangku sekolah. Dia yang baru selesai pulang sekolah diajak oleh temannya–Nur– untuk ke taman. Tidak disangka jika ternyata di tempat tersebut sudah ada dua orang pemuda yang menunggu, mereka adalah Adi dan Wendy.Tisa yang memang tidak mengenal mereka bertanya pada Nur. “Kita ngapain ke sini, Nur? Dan, mereka itu siapa?” Gadis itu takut.“Udah kamu tenang aja. Mereka baik, kok.” Itu kata Nur.Mendengar itu membuat kekhawatiran Tisa berkurang. Gadis berusia 17 tahun itu pun segera berjalan beriringan dengan si teman. Ketika mereka sudah berdiri di depan dua pemuda itu, Nur pun menyenggol bahunya.“Kenapa, Nur?” tanya Tisa bingung.“Gak, Tis. Itu Adi katanya mau ada yang diomongin sama kamu.” Nur menunjuk ke arah pemuda yang memakai jaket berwarna hitam.“Oh.” Tisa pun mengangguk. Dia yang memang tidak mengetahui maksud dari Nur dan Adi, bertanya dengan santai. “Ada apa, yah, ini?”“Ha–i, Tisa.” Adi menyapa dengan salah tingkah. Pemuda it
Tisa langsung melengos dan berpura-pura melihat ke arah lain. “Gak ada apa-apa, kok.” Dia melihat ke arah temannya. Niatannya untuk ke toilet, justru membuat gadis tersebut diurungkan. “Guys, gue pulang dulu, yah. Maaf, gak bisa ikut ngerjain tugas sekarang. Tapi, gue bakalan bantu besok, kok!”“Tapi, Tis–”“Udah, Chi. Biarin Tisa dulu!”Tisa dengar, tetapi memilih untuk tak menggubris. Dia menaruh uang dua lembar merah ke baki si pelayan, kemudian berlalu pergi tanpa melihat ke arah si pemilik sepatu pantofel. Entah kenapa, air matanya menetes begitu saja.Kini, dirinya sudah berada di halte dan hendak naik bis menuju rumahnya. Kenapa tidak taksi, atau membawa kendaraan pribadi? Alasannya, gadis itu tidak mau membuat kehebohan di kampus. Cukup, dirinya saja yang tahu jika suaminya peduli tidak dengan orang lain. “Bodoh! Bagaimana bisa aku menjadi cengeng seperti ini?” Tisa mendongak sambil mengipasi diri sendiri karena merasa wajahnya memanas. Dia mencoba untuk menarik napas, lalu m
“Ah, maaf, Tuan Andra. Saya tidak bermaksud kurang sopan pada Anda. Tapi, tadi saya hanya kaget saja sehingga berbicara seperti itu.” Tisa membungkukkan badan ketika tahu orang yang ada di belakang adalah adik iparnya. Akan tetapi, dia masih segan pada adik iparnya. Tisa melihat ke arah Bara yang kini sedang berjalan di lorong menuju ke arahnya. “Mas,” panggilnya.“Kamu ngapain di sini?” Suara Bara terdengar tidak suka, bahkan kini pinggang Tisa sudah dipeluk posesif oleh pria tersebut. Menegaskan jika gadis itu adalah milik Bara Langit Sanjaya.Tisa sendiri hanya menurut. Toh, dia juga tidak keberatan dengan tangan sang suami. Gadis itu justru merasa aman dan senang. Andra terlihat terkekeh dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana, sedangkan satunya lagi digunakan untuk menepuk bahu Bara. “Santai aja, Bang. Aku gak akan ngerebut istri kamu, kok. Tapi, kalau istri kamu mau sama aku … why not?”“Bajingan!” Bara menepis tangan Andra, lalu memelintir tangan sang adik ke belak
Kak Zaki: Tis, besok di kampus ada bazar. Kamu mau gak temenin aku buat ketemu sama panitianya? Soalnya, mereka bilang pengin ada yang diomongin. “Cih! Modus banget Lo jadi laki!” cibir Bara setelah melihat isi chat dari Zaki. Tisa meringis melihat bagaimana suaminya cemburu. Jelas terlihat, tetapi dia juga tidak tahu harus bagaimana menenangkan hati si cowok. “Apa dia begitu tampan?” tanya Bara. Kini, dia sudah berada di belakang bahu istrinya dengan tangan memeluk perut rata sang istri, dan dagu diletakkan di bahu. “Hem, jujur atau bohong?” Suara Tisa terdengar gugup.“Kamu tau aku gak suka dibohongi, kan, Beb?” tanya balik Bara. Tisa mengangguk. Jujur, dia mulai gerah, apalagi tangan Bara yang sudah mulai ke mana-mana. Membuat dia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara yang dapat memancing libido suaminya.“Sayang,” panggil Bara sekali lagi, “apa kau tak mendengarkanku?”Tisa menggeleng, lalu mengangguk. Dia kebingungan sendiri. Bara pun menyingkirkan tangannya yang sed
Tisa diajak Zaki untuk mengobrol berdua di halaman belakang kampus. Gadis itu sedikit horor sebenarnya karena tempat tersebut jarang dilewati oleh mahasiswa lain. Jika nanti dirinya diapa-apakan? Tisa bergidik ngeri sendiri memikirkannya. Lagian, tidak mungkin orang sepintar dan setampan Abdulah Zaki melakukan hal tak berperikemanusiaan. Tisa yang sudah bosan segera menghela napas. “Jadi, apa yang sebenarnya Kakak mau tanyakan pada Tisa?” “Sa, apa benar kamu sudah menikah?” “Eh? Oh, itu.” Tisa sempat terdiam untuk beberapa saat, tetapi setelah itu tersenyum. Dia menjadi teringat bagaimana posesifnya Bara semalam hingga mengirimkan sebuah kata-kata yang akan memukul mundur si rival. Kelakuan suaminya memang kadang tidak ingat umur. Sudah tua, tetapi kadang masih cemburuan seperti ABG labil.“Jika Tisa bilang iya, apa Kak Zaki akan mundur?” Akhirnya, dia memilih jujur. Toh, Bara juga sudah mengungkap statusnya pada kakak seniornya. Jadi, berbohong pun terasa percuma.“Jadi benar,
“Ratna?” “Iya, ini aku Ratna. Saudara kamu.”Tisa menatap anak dari paman dan bibinya dengan raut senang. Mereka pun berpelukan saking bahagianya. Namun, mereka tahu jika tempat yang sedang mereka kunjungi tidak boleh berisik. Alhasil, dia mengajak Ratna untuk duduk di rooftop mall.Mereka berdua tampak begitu senang satu sama lain. Walaupun paman dan bibinya suka menindas ya, tetapi bagi Tisa, Ratna adalah saudara sekaligus teman yang baik. Huhungan dua gadis muda itu juga tidak ada masalah, kecuali waktu kabur itu.“Gimana kabar kamu, Rat? Kita udah lama banget, loh, gak ketemu,” celetuk Tisa sambil melihat wajah Ratan yang kini terlihat kurus. “Apa mereka masih senang memaksakan kehendaknya?”“Ya, gini, deh.” Ratna menjawab ambigu. Tisa tahu bagaimana orang tua Ratna membesarkan sang anak. Mereka yang terobsesi memiliki anak yang pintar dan mendapatkan jodoh orang kaya, menuntut si anak untuk belajar dan belajar. Tidak heran jika dulu Ratna memilih kabur ketika akan dijodohkan d
“Maaf,” jeda Bara dengan tatapan bersalah. “Tadi pagi begitu buru-buru karena ada panggilan urgent. Jadi, aku gak bisa nganter kamu. Masalah telpon dan chat kamu, ponselku tertinggal di dalam mobil, sedangkan aku sibuk meeting dengan klien jadi gak tahu kamu menghubungiku,” jelasnya satu persatu.“Dan kamu itu berharga, Sayang, lebih dari yang kamu kira. Justru, aku yang merasa denial di sisimu.” Kepala pria itu tertunduk. “Kamu cantik, pintar, dan masih muda, sedangkan aku?” “Mas, kenapa bicara seperti itu?” Tisa merangsek ke dalam pelukan suaminya. “Justru, kamu itu adalah suami idaman banget. Kamu kaya, tampan, mapan, dan aku hanyalah seorang gadis biasa yang tidak memiliki kelebihan apa pun. Lagi pula ….”“Lagipula kenapa, Baby?” Tangan Bara menarik dagu istrinya hingga mereka saling bertatapan. “Katakan!”Tisa menghela napas tentang pemikirannya beberapa hari ini. Dia begitu terganggu dengan ketidakhadiran sang suami di dekatnya, juga termasuk masalah status mereka. Anggap saja