“Ah, maaf, Tuan Andra. Saya tidak bermaksud kurang sopan pada Anda. Tapi, tadi saya hanya kaget saja sehingga berbicara seperti itu.” Tisa membungkukkan badan ketika tahu orang yang ada di belakang adalah adik iparnya. Akan tetapi, dia masih segan pada adik iparnya. Tisa melihat ke arah Bara yang kini sedang berjalan di lorong menuju ke arahnya. “Mas,” panggilnya.“Kamu ngapain di sini?” Suara Bara terdengar tidak suka, bahkan kini pinggang Tisa sudah dipeluk posesif oleh pria tersebut. Menegaskan jika gadis itu adalah milik Bara Langit Sanjaya.Tisa sendiri hanya menurut. Toh, dia juga tidak keberatan dengan tangan sang suami. Gadis itu justru merasa aman dan senang. Andra terlihat terkekeh dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana, sedangkan satunya lagi digunakan untuk menepuk bahu Bara. “Santai aja, Bang. Aku gak akan ngerebut istri kamu, kok. Tapi, kalau istri kamu mau sama aku … why not?”“Bajingan!” Bara menepis tangan Andra, lalu memelintir tangan sang adik ke belak
Kak Zaki: Tis, besok di kampus ada bazar. Kamu mau gak temenin aku buat ketemu sama panitianya? Soalnya, mereka bilang pengin ada yang diomongin. “Cih! Modus banget Lo jadi laki!” cibir Bara setelah melihat isi chat dari Zaki. Tisa meringis melihat bagaimana suaminya cemburu. Jelas terlihat, tetapi dia juga tidak tahu harus bagaimana menenangkan hati si cowok. “Apa dia begitu tampan?” tanya Bara. Kini, dia sudah berada di belakang bahu istrinya dengan tangan memeluk perut rata sang istri, dan dagu diletakkan di bahu. “Hem, jujur atau bohong?” Suara Tisa terdengar gugup.“Kamu tau aku gak suka dibohongi, kan, Beb?” tanya balik Bara. Tisa mengangguk. Jujur, dia mulai gerah, apalagi tangan Bara yang sudah mulai ke mana-mana. Membuat dia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara yang dapat memancing libido suaminya.“Sayang,” panggil Bara sekali lagi, “apa kau tak mendengarkanku?”Tisa menggeleng, lalu mengangguk. Dia kebingungan sendiri. Bara pun menyingkirkan tangannya yang sed
Tisa diajak Zaki untuk mengobrol berdua di halaman belakang kampus. Gadis itu sedikit horor sebenarnya karena tempat tersebut jarang dilewati oleh mahasiswa lain. Jika nanti dirinya diapa-apakan? Tisa bergidik ngeri sendiri memikirkannya. Lagian, tidak mungkin orang sepintar dan setampan Abdulah Zaki melakukan hal tak berperikemanusiaan. Tisa yang sudah bosan segera menghela napas. “Jadi, apa yang sebenarnya Kakak mau tanyakan pada Tisa?” “Sa, apa benar kamu sudah menikah?” “Eh? Oh, itu.” Tisa sempat terdiam untuk beberapa saat, tetapi setelah itu tersenyum. Dia menjadi teringat bagaimana posesifnya Bara semalam hingga mengirimkan sebuah kata-kata yang akan memukul mundur si rival. Kelakuan suaminya memang kadang tidak ingat umur. Sudah tua, tetapi kadang masih cemburuan seperti ABG labil.“Jika Tisa bilang iya, apa Kak Zaki akan mundur?” Akhirnya, dia memilih jujur. Toh, Bara juga sudah mengungkap statusnya pada kakak seniornya. Jadi, berbohong pun terasa percuma.“Jadi benar,
“Ratna?” “Iya, ini aku Ratna. Saudara kamu.”Tisa menatap anak dari paman dan bibinya dengan raut senang. Mereka pun berpelukan saking bahagianya. Namun, mereka tahu jika tempat yang sedang mereka kunjungi tidak boleh berisik. Alhasil, dia mengajak Ratna untuk duduk di rooftop mall.Mereka berdua tampak begitu senang satu sama lain. Walaupun paman dan bibinya suka menindas ya, tetapi bagi Tisa, Ratna adalah saudara sekaligus teman yang baik. Huhungan dua gadis muda itu juga tidak ada masalah, kecuali waktu kabur itu.“Gimana kabar kamu, Rat? Kita udah lama banget, loh, gak ketemu,” celetuk Tisa sambil melihat wajah Ratan yang kini terlihat kurus. “Apa mereka masih senang memaksakan kehendaknya?”“Ya, gini, deh.” Ratna menjawab ambigu. Tisa tahu bagaimana orang tua Ratna membesarkan sang anak. Mereka yang terobsesi memiliki anak yang pintar dan mendapatkan jodoh orang kaya, menuntut si anak untuk belajar dan belajar. Tidak heran jika dulu Ratna memilih kabur ketika akan dijodohkan d
“Maaf,” jeda Bara dengan tatapan bersalah. “Tadi pagi begitu buru-buru karena ada panggilan urgent. Jadi, aku gak bisa nganter kamu. Masalah telpon dan chat kamu, ponselku tertinggal di dalam mobil, sedangkan aku sibuk meeting dengan klien jadi gak tahu kamu menghubungiku,” jelasnya satu persatu.“Dan kamu itu berharga, Sayang, lebih dari yang kamu kira. Justru, aku yang merasa denial di sisimu.” Kepala pria itu tertunduk. “Kamu cantik, pintar, dan masih muda, sedangkan aku?” “Mas, kenapa bicara seperti itu?” Tisa merangsek ke dalam pelukan suaminya. “Justru, kamu itu adalah suami idaman banget. Kamu kaya, tampan, mapan, dan aku hanyalah seorang gadis biasa yang tidak memiliki kelebihan apa pun. Lagi pula ….”“Lagipula kenapa, Baby?” Tangan Bara menarik dagu istrinya hingga mereka saling bertatapan. “Katakan!”Tisa menghela napas tentang pemikirannya beberapa hari ini. Dia begitu terganggu dengan ketidakhadiran sang suami di dekatnya, juga termasuk masalah status mereka. Anggap saja
“Apa-apaan bocah itu?” Bara hendak turun, tetapi tangannya langsung mengepal karena melihat si pemuda dengan sekonyong-konyong menarik tubuh Tisa ke dalam pelukan. “Bajigur!”Wajah Bara langsung melengos dan tidak mau menatap ke arah dua muda-mudi itu. Dia mengepalkan tangan karena kecewa pada sang istri. Tidak semestinya Tisa bermesraan dengan orang lain. Apalagi, ada dirinya sekarang.“Tuan, Nona sedang ke sini,” beritahu si supir.“Hem.”Badan memilih diam saja ketika pintu geser terbuka bahkan suara pekikan dari sang istri pun tidak diindahkan. Bayangan ketika sang istri berpelukan dengan pria lain membuat emosinya mendidih. “Mas Bara beneran jemput Tisa?” Suara bernada riang itu langsung menembus gendang telinga Bara. “Makasih, Mas,” sambungnya sambil memeluknya. Akan tetapi, Bara tidak membalas pelukan sang istri. Dia justru terlihat cuek dan lebih memilih untuk melihat tabnya. “Aku kan emang udah janji untuk menjemputmu. Jadi, aku pasti datang,” jawabnya sambil lalu.Sepertin
Tisa merasa gelisah di tempat tidurnya. Berkali-kali dia berusaha untuk memejamkan mata, tetapi selalu tidak bisa. Akhirnya, dia menyerah dan menatap jam dinding di mana sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Namun, sisi ranjang di sampingnya belum juga terisi.“Sebenarnya kamu ke mana, sih, Mas? Kenapa kamu belum pulang juga? Apa karena kamu masih kesal kepadaku?” Wajahnya berubah sendu dan tidak bersemangat. Dalam kegelisahannya, dia duduk sambil bersandar. Tisa ingin menyusul sang suami, tetapi dia tidak tahu keberadaan Bara. Telepon pun sedari tadi tidak diangkat. Membuat hatinya semakin was-was, takut terjadi apa-apa dengan sang suami. “Tapi, aku juga nggak bisa hanya berdiam diri seperti ini terus,” katanya sambil berpikir keras. “Iya, aku harus cari Mas Bara kemanapun dia berada!” Tekadnya kuat. Gadis itu pun bangun dari ranjang untuk mengganti piyamanya dengan celana jeans, serta kaos pendek yang dilapisi dengan jaket. Dia bukan gadi
“Sayang, kamu di mana? Aku kangen sama kamu!” Bara menatap pigura foto pernikahan mereka dengan tatapan merindu. Badannya juga tak sesegar dulu, bahkan dia menjadi malas hanya sekedar memotong jambang. Semenjak empat tahun lalu, tepatnya ketika sang istri kabur dari rumah Dia memutuskan untuk tinggal di apartemen, sendirian. Semua dilakukan untuk ketenangan hati serta batinnya. Jika di rumah, kepalanya penuh.“Pulanglah, Baby! Aku minta maaf karena sudah bodoh melukai gadis yang benar-benar tulus mencintaiku. Mungkin jika saat itu aku tidak termakan kecemburuanku, mendengarkan dulu penjelasan mu, kamu pasti masih berada di sisiku,” gumamnya seorang diri.Kini, dia menyesal, sangat-sangat menyesal. Andai bisa memutar waktu, Bara tidak ingin gegabah dan mencari tahu dulu tentang mereka berdua. Bukan malah main tuduh dan mabuk hingga melampiaskan kekesalannya pada hal yang salah.Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Sanjaya bahkan sampai menghajar