Tisa memukul bahu suaminya pelan dengan wajah yang merona malu. Dia bukan tidak mau melayani suaminya sekarang, tetapi ada tamu bulanan yang menghadang. “Maaf, Mas. Tapi, Tisa lagi tanggal merah,” ujarnya dengan senyum bersalah.“Hah? Benarkah? Aish, kenapa kamu tidak bilang, Sayang?” Bara menguyel-nguyel pipi Tisa karena gemas. “Jadi, libur, nih?”Tisa mengangguk bersalah. “Maaf.”Bara tersenyum, lalu menepuk puncak kepala istrinya. “It's ok, Baby. Kalau gitu, kamu bersihkan diri dulu sebelum tidur.”“Mas mau ke mana?” Tisa yang melihat suaminya hendak pergi segera menahan lengan Bara.Bara kembali berdiri di depan istrinya yang masih betah duduk di ranjang. Ia menunduk untuk mengusap pipi si istri. “Mas harus bertemu ayah sebentar. Soalnya masih ada urusan. Kamu gak apa, kan, Mas tinggal?”Tisa mengangguk. “Tapi, jangan lama-lama, ya, Mas.” Dia menggoyangkan tautan tangan mereka.Bara yang gemas melihat tingkat Tisa tidak bisa untuk tergoda. Apalagi, gadis di depannya sudah dari ta
“Sayang.”Bara masuk ke dalam kamar, tetapi seseorang yang dicari ternyata sudah terlelap. Pria itu melihat ke arah jam dinding, pukul 11 malam. “Pantas aja dia udah tidur,” gumamnya.Kakinya lalu melangkah ke kamar mandi dengan satu setelan piyama di tangan. Badannya sudah menjerit minta direbahkan. Setelah cuci muka, gosok gigi, dan ganti baju, Bara ikut masuk ke dalam selimut yang sama dengan sang istri.“Good night, Baby!” Dikecupnya kening sang istri, lalu ikut terpejam dengan tangan memeluk erat tubuh Tisa.Keesokan paginya, Bara terbangun dengan sisi ranjang yang kosong. Matanya sibuk mencari keberadaan Tisa. Dia pun bangun sambil mengucek mata yang terasa panas. “Baby,” panggil Bara, “kamu di mana?”Hening.Tidak ada sahutan dari seseorang yang dicarinya membuat Bara memutuskan untuk berjalan menuju kamar mandi. Entah kenapa, semenjak hidup bersama dengan sang istri, kini ketika bangun tidur yang selalu dicari bukanlah ponsel atau tab, melainkan Tisa Ratu Ayu.Gadis berusia 1
“Aku?” Bara mengulang ucapan Tisa yang belum usai.Tisa melirik canggung ke arah Bara, si mertua, lalu adik iparnya. Sambil memainkan jari tangannya di bawah meja, gadis itu pun menjawab, “Tisa mau fokus buat kuliah dulu, Mas.”Bara menepuk jidatnya. “Astaga, bagaimana bisa aku lupa, kalau kamu harus kuliah, Baby?” Pria itu lalu menarik tangan sang istri dan memeluk pinggang Tisa yang sedang berdiri. “Maaf, Sayang. Aku hampir melupakan itu.”Tisa melirik malu melihat sikap manja Bara. Dia tersenyum sungkan pada mertua dan adik iparnya. “Gak apa-apa , Mas. Lagian, Tisa juga memang kemarin belum ngasih kepastian sama Mas Bara.”“Jadi, kamu setuju?” Tisa mengangguk yakin dibalas senyuman lebar sang suami. “Makasih, Baby.”“Uhuk-uhuk!” Andra dengan sengaja batuk hingga membuat pasangan suami-istri itu menoleh padanya. “Tolong dikondisikan ya, Bang, dan kakak ipar,” sindirnya.Bara justru makin mengeratkan pelukannya di tubuh Tisa. “Kondisi kami masih wajar, Ndra. Mungkin, hati kamunya a
“Lepas!”“Kamu kenapa, sih?” Cantika mulai kesal karena terus diabaikan. “Bukannya aku tadi udah bilang, kalau aku pengen sarapan bareng sama kamu!”Bara menatap datar wanita di depannya. “Dan saya tidak mau menemani Anda untuk sarapan bersama. Lagipula, saya sudah sarapan bersama istri dan keluarga saya. Permisi!” “Bara! Yakh!” Cantika berteriak. “Aish, kok gue malah ditinggalin gini, sih!” Kakinya dihentakkan, lalu setelah itu berlalu pergi dari lobi kantor Angkasa Group. “Jika bukan karena gue mau meeting sama klien, udah gue paksa itu Bara buat nemenin gue makan!”Sementara itu, Bara pergi menuju lift yang akan membawa ke ruangannya. Jujur, dia mulai terganggu dengan kehadiran Cantika. Jika boleh meminta, dia tidak ingin bertemu lagi dengan wanita tersebut. Bukan karena dia takut akan kembali jatuh hati dengan wanita tersebut, melainkan perasaan Tisa harus diperhatikan.Cantikalah yang membuat Bara menjadi sosok dingin, kejam seperti sekarang. Namun, itu dulu. Kini, sejak kehadir
Kejadian itu terjadi ketika Tisa masih duduk di bangku sekolah. Dia yang baru selesai pulang sekolah diajak oleh temannya–Nur– untuk ke taman. Tidak disangka jika ternyata di tempat tersebut sudah ada dua orang pemuda yang menunggu, mereka adalah Adi dan Wendy.Tisa yang memang tidak mengenal mereka bertanya pada Nur. “Kita ngapain ke sini, Nur? Dan, mereka itu siapa?” Gadis itu takut.“Udah kamu tenang aja. Mereka baik, kok.” Itu kata Nur.Mendengar itu membuat kekhawatiran Tisa berkurang. Gadis berusia 17 tahun itu pun segera berjalan beriringan dengan si teman. Ketika mereka sudah berdiri di depan dua pemuda itu, Nur pun menyenggol bahunya.“Kenapa, Nur?” tanya Tisa bingung.“Gak, Tis. Itu Adi katanya mau ada yang diomongin sama kamu.” Nur menunjuk ke arah pemuda yang memakai jaket berwarna hitam.“Oh.” Tisa pun mengangguk. Dia yang memang tidak mengetahui maksud dari Nur dan Adi, bertanya dengan santai. “Ada apa, yah, ini?”“Ha–i, Tisa.” Adi menyapa dengan salah tingkah. Pemuda it
Tisa langsung melengos dan berpura-pura melihat ke arah lain. “Gak ada apa-apa, kok.” Dia melihat ke arah temannya. Niatannya untuk ke toilet, justru membuat gadis tersebut diurungkan. “Guys, gue pulang dulu, yah. Maaf, gak bisa ikut ngerjain tugas sekarang. Tapi, gue bakalan bantu besok, kok!”“Tapi, Tis–”“Udah, Chi. Biarin Tisa dulu!”Tisa dengar, tetapi memilih untuk tak menggubris. Dia menaruh uang dua lembar merah ke baki si pelayan, kemudian berlalu pergi tanpa melihat ke arah si pemilik sepatu pantofel. Entah kenapa, air matanya menetes begitu saja.Kini, dirinya sudah berada di halte dan hendak naik bis menuju rumahnya. Kenapa tidak taksi, atau membawa kendaraan pribadi? Alasannya, gadis itu tidak mau membuat kehebohan di kampus. Cukup, dirinya saja yang tahu jika suaminya peduli tidak dengan orang lain. “Bodoh! Bagaimana bisa aku menjadi cengeng seperti ini?” Tisa mendongak sambil mengipasi diri sendiri karena merasa wajahnya memanas. Dia mencoba untuk menarik napas, lalu m
“Ah, maaf, Tuan Andra. Saya tidak bermaksud kurang sopan pada Anda. Tapi, tadi saya hanya kaget saja sehingga berbicara seperti itu.” Tisa membungkukkan badan ketika tahu orang yang ada di belakang adalah adik iparnya. Akan tetapi, dia masih segan pada adik iparnya. Tisa melihat ke arah Bara yang kini sedang berjalan di lorong menuju ke arahnya. “Mas,” panggilnya.“Kamu ngapain di sini?” Suara Bara terdengar tidak suka, bahkan kini pinggang Tisa sudah dipeluk posesif oleh pria tersebut. Menegaskan jika gadis itu adalah milik Bara Langit Sanjaya.Tisa sendiri hanya menurut. Toh, dia juga tidak keberatan dengan tangan sang suami. Gadis itu justru merasa aman dan senang. Andra terlihat terkekeh dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana, sedangkan satunya lagi digunakan untuk menepuk bahu Bara. “Santai aja, Bang. Aku gak akan ngerebut istri kamu, kok. Tapi, kalau istri kamu mau sama aku … why not?”“Bajingan!” Bara menepis tangan Andra, lalu memelintir tangan sang adik ke belak
Kak Zaki: Tis, besok di kampus ada bazar. Kamu mau gak temenin aku buat ketemu sama panitianya? Soalnya, mereka bilang pengin ada yang diomongin. “Cih! Modus banget Lo jadi laki!” cibir Bara setelah melihat isi chat dari Zaki. Tisa meringis melihat bagaimana suaminya cemburu. Jelas terlihat, tetapi dia juga tidak tahu harus bagaimana menenangkan hati si cowok. “Apa dia begitu tampan?” tanya Bara. Kini, dia sudah berada di belakang bahu istrinya dengan tangan memeluk perut rata sang istri, dan dagu diletakkan di bahu. “Hem, jujur atau bohong?” Suara Tisa terdengar gugup.“Kamu tau aku gak suka dibohongi, kan, Beb?” tanya balik Bara. Tisa mengangguk. Jujur, dia mulai gerah, apalagi tangan Bara yang sudah mulai ke mana-mana. Membuat dia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara yang dapat memancing libido suaminya.“Sayang,” panggil Bara sekali lagi, “apa kau tak mendengarkanku?”Tisa menggeleng, lalu mengangguk. Dia kebingungan sendiri. Bara pun menyingkirkan tangannya yang sed