'Plakk'
Pukulan kuat mendarat sempurna di kepala Gofar yang dilayangkan oleh Garren akibat kesal padanya. Dengan wajah tak berdosa, Gofar mengelus kepalanya yang sakit dan berkerut kening tak merasa ada salah dengan ucapannya.
"Kenapa jadi mukul, sih? Gue tanya betulan juga!" cicit Gofar menggerutu.
"Lagian otak lo gak jauh-jauh dari onderdil wanita terus. Heran banget dengan isi kepala lo!" geram Garren menatap kesal pada Gofar yang cekikikan.
"Ya iyalah, Reng. Secara si Bangsat lagi malam pertama, dia pasti lagi party di kamar berdua sama Carin. Pastilah semvak atau kutangnya kabur ke mana-mana akibat dijambret si Bangsat. Iyakan?" ucap Gofar masih pada keyakinannya.
"Harusnya begitu, tapi yang kabur di sini Carin. Carin kabur meninggalkan Satria yang seharusnya lagi wikwik dia sampai pagi, begok!" ujar Garren menjelaskan dengan suara lambat agar dicerna dengan baik oleh otak satu ons milik Gofar.
Terlihat kening Gofar semakin mengkerut akan ucapan Garren barusan. Melihat Gofar seperti itu, Garren memutar bola matanya malas dan membiarkannya mencerna lebih baik apa yang tengah terjadi.
"Jadi maksudnya, Carin kabur gitu ninggalin Satria?" tanya Gofar sudah mengerti.
"Hmm."
"Kapan?"
"Semalam setelah pesta usai," sahut Garren datar menatap Gofar yang melotot.
'Brakk'
Terdengar bunyi meja yang dipukul oleh Gofar cukup kuat dan membuat sebuah kaleng minuman kosong jatuh dari meja.
"Kurang ajar si Bangsat sudah buat Carin kabur. Apa-apaan dia jadi laki sampai buat seorang istri kabur. Jangan bilang sudah main kasar dengan Carin!" oceh Gofar dengan tangan mengepal seolah siap memukul.
"Satria tak main kasar, Kong," kata Garren pelan.
"Hah?"
"Justru yang main kasar Carin."
"Maksudnya?" lanjut Gofar penasaran.
"Carin yang nendang burung Satria ketika baru menyentuh bahunya. Kedebag kedebug … Ciaaaaat!" lanjut Garren diakhiri teriakan orang mengeluarkan jurus. Gofar tercengang. Matanya mengedip lambat melihat apa yang dilakukan Garren begitu memukau dengan beberapa jurusnya.
"Ini beneran atau guyonan, Reng?" tanya Gofar yang justru bingung.
"Ah, kancut lo! Gue sudah mendalami karakter menirukan tendangan Carin malah tak percaya. Sia-sia gue unjuk gigi barusan!" kata Garren kecewa karena Gofar yang masih ragu.
"Carin kabur kenapa? Beri gue alasan!" kata Gofar lagi.
"Meneketempreng, Kong. Gue baru saja dikabari Satria kalau Carin kabur semalam. Gue juga kaget sama macam lo!" oceh Garren yang bangun menuju kulkas dan meraih sekaleng softdrink.
"Aduh, apes banget Satria ditinggal kabur istri pas malam pertama. Kok bisa begitu, ya?" gumam Gofar yang merasa heran sambil menunjukkan muka seriusnya kali ini.
"Gue pun bingung, tapi merasa wajar juga, sih!" timpal Garren.
"Wajar gimana?" tanya Gofar.
"Satria semak begitu wajahnya. Mungkin Carin menyesal sudah menikah dengannya dan memilih kabur," ucap Garren menyimpulkan.
"Bisa jadi dugaan lo. Terus sekarang ada kabar?" lanjut Gofar.
"Om Gavin sudah perintahkan orang mencari Carin dan masih nihil. Satria sudah mulai mencari juga dan menuju ke kantor polisi," terang Garren.
"Oh, begitu. Ya sudah, ayo kita susul Satria!" ajak Gofar dengan semangat.
Keduanya yang sudah rapi bergegas menuju mobil yang terparkir di basement. Mereka berdua belum kembali ke rumah karena menginap di hotel tempat pesta diselenggarakan bersama beberapa tamu undangan.
****
Di rumah sakit, Carin sudah sadar dan merasakan sakit pada kepala serta luka di beberapa bagian tubuhnya. Terdapat perban di kepalanya yang terasa sakit ketika dia sadarkan diri. Baju pengantin yang membalut tubuhnya telah berganti dengan pakaian rumah sakit dan terkejut ketika mendapati dua orang asing yang ada bersamanya.
"Ka-kalian siapa?" tanya Carin lirih. Keduanya tersenyum dan merasa lega karena Carin sudah sadarkan diri. Wanita itu mendekat dan berdiri di samping ranjang seraya menatap Carin yang kebingungan.
"Kami yang menabrakmu semalam, Nak. Kami membawamu ke rumah sakit. Saya Emira dan ini suami saya, Gaston," kata wanita itu lembut. Mata Carin yang nampak lemah menatap Gaston dan perlahan dia mendekat untuk berdiri di samping Emira.
"Maafkan saya karena sudah menabrak dan membahayakan nyawamu, Nak. Maafkan atas keteledoran saya semalam dan membuatmu harus terbaring di sini," ucap Gaston dengan ucapan tulusnya membalas tatapan Carin yang sayu.
Carin menggeleng dan senyum tipis terbit di bibirnya yang pucat. Nampak Carin ingin bangun dari tidurnya dan dengan cepat Emira membantunya bersandar di kepala ranjang dengan meletakkan sebuah bantal sebagai sandaran.
"Tak apa, Pak. Semua hanya kecelakaan. Maafkan saya juga sudah menghalangi jalan," sahut Carin pelan.
Gaston mungulum senyum. Dia tak menyangka jika gadis muda yang dia tabrak justru meminta maaf padanya dan bukan marah-marah atau menuntut. Emira menoleh pada suaminya dengan senyum yang terukir. Dia tahu betul jika Emira menyukai gadis yang baru mereka temui tersebut.
"Namamu siapa, Nak?" tanya Emira lembut.
"Saya Carina, Bu. Panggil saja Carin," jawabnya cepat.
"Kamu tinggal di mana? Kami tak tahu ke mana mengabarkan tentang keadaanmu. Apa kauingat orang yang bisa untuk dihubungi?" lanjut Emira lagi.
Carin terdiam. Dia menggenggam selimut putih dengan motif salur berwarna biru yang menyelimuti tubuhnya hingga pinggang. Carin kembali teringat dengan kejadian semalam di mana dia kabur dari villa meninggalkan pria yang sudah menjadi suaminya begitu saja setelah menendangnya.
"Kak Riri," kata hati Carin menyebut nama Satria dengan sebutannya sendiri.
Mereka yang mendapati Carin bergeming saling bertukar pandang. Sebagai orang dewasa, tentu mereka paham jika telah terjadi sesuatu pada Carin dan mungkin begitu berat serta enggan dia ceritakan, terlebih pada orang asing.
Mata Carin menatap cincin indah masih melingkar di jari manisnya yang disematkan oleh Satria dan belum genap 24 jam berada di sana. Nafas Carin terasa sesak dan dia sadar jika perbuatannya adalah kesalahan. Mengingat dia telah menyakiti Satria dan kedua orang tua yang sudah menjadi mertuanya, Carin merasa sedih, dan mendadak kepalanya sakit.
"Akh!" rintih Carin sambil memegang kepalanya.
"Nak, kamu baik-baik saja?" ucap Emira yang panik dan menyentuh tubuh Carin yang menegang karena menahan sakit di kepalanya.
"Sakit, Bu!" jawabnya lirih.
"Pa!"
"Papa panggil dokter," ucap Gaston yang beranjak keluar ruangan.
Tak berapa lama, seorang dokter dan perawat datang. Emira yang panik terpaksa menyingkir sebentar agar tak menggaanggu tugas mereka. Dia dan Gaston melihat pertolongan yang dilakukan pada Carin serta memberi obat penenang, hingga tak lama berselang, Carin kembali tidur.
"Ada apa, Dok?" tanya Gaston cemas.
"Benturan di kepalanya membuat rasa sakit timbul. Untuk sementara waktu, jangan ajak dia berpikir terlalu keras," terang dokter wanita itu cukup jelas.
"Baik, Dok."
"Saya permisi dulu," pamit dokter itu meninggalkan ruangan. Gaston mendekat di mana Emira sudah duduk di samping ranjang sambil mengelus kepala Carin yang tengah tertidur. Setetes air mata jatuh di pipi Emira dan entah apa sebabnya.
"Mama merasa dekat dengannya, Pa," ucap Emira parau di sela kecemasannya.
Gaston bergeming. Dia memandang wajah Carin dengan saksama. Setiap garis wajahnya begitu mirip seseorang di keluarganya dan entah mengapa, dia pun merasakan sayang pada Carin yang belum ada sehari dia temui.
"Siapa kamu sebenarnya, Nak?"
Satria sudah mendatangi kantor polisi setempat ditemani oleh Faro. Selama satu jam, Satria memberi keterangan secara rinci mengenai kaburnya Carin dari villa serta menyerahkan sebuah foto di mana dia dan Carin masih mengenakan gaun pengantin. Saat ini, Satria dan Faro sedang menuju tempat di mana dia mendengar kabar jika Carin sering datang ke taman setiap minggu untuk berjualan kue yang dia buat. Namun, tak ada sosok Carin di sana. Di panti juga tak ada tanda-tanda dia datang ke sana karena semua penghuni panti ada di villa dan menyisakan Pak Komar yang berjaga."Pergi ke mana gadis itu?" gerutu Satria memijat pelipisnya.Faro menatap Satria yang kebingungan. Dia tentu mengerti apa yang tengah dirasakan Satria saat ini, meskipun dia tak kenal dengan Carin yang telah sah menjadi istrinya."Gue yakin, dia belum pergi jauh. Pasti dia sedang sembunyi dan sedang menertawakan lo karena pusing mencarinya," ucap Faro berujung candaan."Setan lo! Bisa-bisanya ber
Seorang wanita muda tengah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras belakang rumah dengan design minimalis. Tangannya sedang memegang sebuah koran yang menampilkan artikel tentang lowongan pekerjaan."Kenapa syaratnya sarjana semua, sih! Belum coba sudah patah duluan. Lama-lama aku ganti nama juga, nih, jadi Sarjana, biar bisa diterima kerja kalau begini," ocehnya sambil membolak-balik koran di tangan.Tak berapa lama, seorang pria menghampiri dan tersenyum mendengar ucapannya barusan. Tak sadar akan kedatangannya, pria itu langsung duduk di depannya dan membuat dia terhenyak."Pak!""Lagi baca apa, sih? Kok ngomel-ngomel sendiri?" tanya Gaston menatap lembut padanya."Carin kesel lihat lowongan kerja di koran. Semua syarat harus sarjana, tak ada yang lulusan SMA," sahutnya dengan bibir mengerucut. Gaston tersenyum melihat Carin yang sedang marah pada koran."Kamu ingin kerja, Nak?" tanya Gaston memastikan."Iya, Pak. Aku ingin ca
'Bugh bugh bugh'Suara pukulan bertubi terdengar dari ruangan Satria. Dua pria yang baru saja sampai di depan pintu dengan cepat masuk dan terkejut saat melihat Satria sedang memukul seorang pria yang tak lain adalah Faro dengan bantal sofa, lalu menarik kerah bajunya sambil melotot."Carin masih hidup. Jangan bicara sembarangan, anjing!" kata Satria dengan suara menggeram tak terima dengan ucapan Faro."Woy woy woy … ada apa ini buset?" cicit Gofar sambil berjalan cepat menghampiri mereka."Lepasin, Sat. Faro mati gak lucu!" kata Garren merayu Satria dan meraih tangannya agar melepas cekalan pada kerah baju Faro.'Uhuk uhuk uhuk'Terdengar suara batuk dari Faro yang langsung duduk di sofa sambil meregangkan dasi yang mencekik lehernya. Gofar datang membawa dua botol air mineral dan memberikan sebotol untuk Faro yang langsung diraihnya. Sedangkan Garren membawa Satria duduk ke sofa dan berseberangan dengan Faro yang
Carin tengah memotong sayuran di dapur sambil bernyanyi pelan. Emira yang sedang menumis nampak tersenyum melihat Carin yang amat riang seolah tak ada beban. Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore dan sebentar lagi Gaston akan pulang dari kantornya."Eh, kayaknya itu mobil Bapak, deh!" ucap Carin yang menghentikan nyanyian tak jelasnya."Siapa lagi yang datang kalau bukan juragan di rumah ini yang cepat pulang karena tak sabar ingin makan masakan kamu, Nak!" sahut Emira mengulas senyum dengan tangan yang sedang mengaduk tumisan yang hampir matang."Ah, Ibu. Bisa saja goda Carin!" cicitnya malu karena tahu jika Gaston sangat suka masakannya.Emira hanya tertawa melihat rona merah di pipi Carin yang tak suka memakai make up. Dengan cepat Carin mempercepat pekerjaannya dan tak melanjutkan nyanyiannya. Sedangkan Emira menuju pintu depan untuk menyambut Gaston."Mana Carin, Ma?" tanya Gaston yang belum mendapati keberadaan Carin."Ada sedang masak," jawabnya cep
Sebut saja nama dia Satria, nama lengkapnya Satria Fernandez. Usianya sudah menginjak 30 tahun, tepatnya dua bulan lagi dari sekarang. Tinggi badan 185 cm dengan berat ideal tentunya. Memiliki paras bule dan tubuh ideal tak selalu membanggakan. Bahkan, Satria tak pernah diteriaki oleh para wanita karena wajahnya justru terlihat menyeramkan akibat ditumbuhi bulu lebat yang menyatu dari ujung ke ujung. Hal itu membuat dia aman dari gangguan makhluk Tuhan yang bernama wanita.Saat ini, dia disibukkan dengan perusahaan keluarga yang diwariskan turun temurun dari kakeknya yang berdarah Italia. Satria dikenal sebagai pengusaha jenius dan ramah, tapi di balik keramahannya tersimpan karakter lain yang menjunjung tinggi slogan "Disenggol Bacok" dan sudah dipahami oleh keluarga serta orang-orang yang berhubungan dengannya. Selain itu, dia masih saja enggan menikah dan tak ada pula wanita yang minat dengan dia karena parasnya tersebut.Suatu hari, ibunda tercinta tiba-tiba jatuh
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA, CARINA EBRAHIM BINTI FULAN DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI."Sebuah untaian kata sakral yang berisi janji seorang pria di depan penghulu, wali nikah, dan saksi serta diridhoi Tuhan menggema begitu jelas di sebuah ruangan besar yang dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan serta didominasi warna putih. Tak lama berselang setelah kalimat itu terucap, diikuti suara tegas yang membuat semua orang merasa kelegaan sejak beberapa saat lalu nampak tegang, terutama wajah seorang wanita dan pria baya yang duduk tak jauh dari kedua mempelai."SAH!"Sebuah suara yang mengucapkan satu kata terdengar diikuti untaian doa pengantin cukup panjang dan diaminkan oleh semua yang hadir. Setelah doa selesai, wajah sang pengantin pria menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya dan menunduk. Mendapati gadis yang telah dia nikahi tak menatapnya, pria itu menarik nafas berat dan berpaling pada dua orang tua yang tengah menatapnya ta
"Den, Mamang pergi dulu, ya. Selamat atas pernikahannya dan selamat berwikwik ria. Semoga gawangnya bisa ditembus dalam sekali tendangan pinalti, ya, hehehe …," ucap Salim gamblang diiringi kekehen genit. Satria menatap tajam dan hanya mampu menghela nafas berat. Ingin sekali dia menendang bokong Salim, tapi diurungkan karena dia lebih tua dan harus menghormatinya."Doakan saja semoga tak meleset, Mang!" sahut Satria memutar bola matanya malas. Terdengar kekehan Salim kembali mendengar jawaban yang Satria berikan. Bukannya segera melajukan mobil, justru dia kembali berucap."Biar gak meleset, pakai senter, Den, supaya gawangnya kelihatan," kata Salim berkata dengan suara dipelankan dan membuat Satria melotot."Mending cepat pergi, deh, Mang, sebelum aku tendang beneran bokong montok Mamang itu!" sahut Satria yang sudah tak tahan akan ocehan Salim yang sudah melenceng ke mana-mana.Dengan senyum masih terukir, Salim melajukan mobil perlahan meningga
"APA? CARIN KABUR?"Satria memejamkan mata akibat teriakan Cynthia yang tengah berdiri dari duduknya setelah dia mengatakan apa yang terjadi. Matanya yang memiliki kelopak besar semakin membulat dan tajam menatap Satria yang duduk lesu di sofa. Cynthia berkacah pinggang menatap tak percaya apa yang baru didengarnya."Apa yang kamu lakukan sampai Carin kabur, huh?" tanya Cynthia dengan suara kencangnya."Satria tak lakukan apa pun, Ma. Tepatnya belum mau ngapa-ngapain!" sahut Satria jujur menatap Cynthia yang masih berdiri berkacah pinggang."Mana mungkin belum kamu apa-apain. Dia sudah jadi istrimu. Oh, jangan-jangan kamu main kasar, ya? Ayo ngaku!" oceh Cynthia menyudutkan Satria yang melotot."Astaga, Ma. Satria belum keluarin jurus apa pun. Gimana mau main kasar, colek sedikit saja belum. Yang ada dia sudah main kasar dengan Satria!" kata Satria membela diri."Maksudnya?" tanya Cynthia cepat dan penasaran. Satria menatap bergantian orang
Carin tengah memotong sayuran di dapur sambil bernyanyi pelan. Emira yang sedang menumis nampak tersenyum melihat Carin yang amat riang seolah tak ada beban. Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore dan sebentar lagi Gaston akan pulang dari kantornya."Eh, kayaknya itu mobil Bapak, deh!" ucap Carin yang menghentikan nyanyian tak jelasnya."Siapa lagi yang datang kalau bukan juragan di rumah ini yang cepat pulang karena tak sabar ingin makan masakan kamu, Nak!" sahut Emira mengulas senyum dengan tangan yang sedang mengaduk tumisan yang hampir matang."Ah, Ibu. Bisa saja goda Carin!" cicitnya malu karena tahu jika Gaston sangat suka masakannya.Emira hanya tertawa melihat rona merah di pipi Carin yang tak suka memakai make up. Dengan cepat Carin mempercepat pekerjaannya dan tak melanjutkan nyanyiannya. Sedangkan Emira menuju pintu depan untuk menyambut Gaston."Mana Carin, Ma?" tanya Gaston yang belum mendapati keberadaan Carin."Ada sedang masak," jawabnya cep
'Bugh bugh bugh'Suara pukulan bertubi terdengar dari ruangan Satria. Dua pria yang baru saja sampai di depan pintu dengan cepat masuk dan terkejut saat melihat Satria sedang memukul seorang pria yang tak lain adalah Faro dengan bantal sofa, lalu menarik kerah bajunya sambil melotot."Carin masih hidup. Jangan bicara sembarangan, anjing!" kata Satria dengan suara menggeram tak terima dengan ucapan Faro."Woy woy woy … ada apa ini buset?" cicit Gofar sambil berjalan cepat menghampiri mereka."Lepasin, Sat. Faro mati gak lucu!" kata Garren merayu Satria dan meraih tangannya agar melepas cekalan pada kerah baju Faro.'Uhuk uhuk uhuk'Terdengar suara batuk dari Faro yang langsung duduk di sofa sambil meregangkan dasi yang mencekik lehernya. Gofar datang membawa dua botol air mineral dan memberikan sebotol untuk Faro yang langsung diraihnya. Sedangkan Garren membawa Satria duduk ke sofa dan berseberangan dengan Faro yang
Seorang wanita muda tengah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras belakang rumah dengan design minimalis. Tangannya sedang memegang sebuah koran yang menampilkan artikel tentang lowongan pekerjaan."Kenapa syaratnya sarjana semua, sih! Belum coba sudah patah duluan. Lama-lama aku ganti nama juga, nih, jadi Sarjana, biar bisa diterima kerja kalau begini," ocehnya sambil membolak-balik koran di tangan.Tak berapa lama, seorang pria menghampiri dan tersenyum mendengar ucapannya barusan. Tak sadar akan kedatangannya, pria itu langsung duduk di depannya dan membuat dia terhenyak."Pak!""Lagi baca apa, sih? Kok ngomel-ngomel sendiri?" tanya Gaston menatap lembut padanya."Carin kesel lihat lowongan kerja di koran. Semua syarat harus sarjana, tak ada yang lulusan SMA," sahutnya dengan bibir mengerucut. Gaston tersenyum melihat Carin yang sedang marah pada koran."Kamu ingin kerja, Nak?" tanya Gaston memastikan."Iya, Pak. Aku ingin ca
Satria sudah mendatangi kantor polisi setempat ditemani oleh Faro. Selama satu jam, Satria memberi keterangan secara rinci mengenai kaburnya Carin dari villa serta menyerahkan sebuah foto di mana dia dan Carin masih mengenakan gaun pengantin. Saat ini, Satria dan Faro sedang menuju tempat di mana dia mendengar kabar jika Carin sering datang ke taman setiap minggu untuk berjualan kue yang dia buat. Namun, tak ada sosok Carin di sana. Di panti juga tak ada tanda-tanda dia datang ke sana karena semua penghuni panti ada di villa dan menyisakan Pak Komar yang berjaga."Pergi ke mana gadis itu?" gerutu Satria memijat pelipisnya.Faro menatap Satria yang kebingungan. Dia tentu mengerti apa yang tengah dirasakan Satria saat ini, meskipun dia tak kenal dengan Carin yang telah sah menjadi istrinya."Gue yakin, dia belum pergi jauh. Pasti dia sedang sembunyi dan sedang menertawakan lo karena pusing mencarinya," ucap Faro berujung candaan."Setan lo! Bisa-bisanya ber
'Plakk'Pukulan kuat mendarat sempurna di kepala Gofar yang dilayangkan oleh Garren akibat kesal padanya. Dengan wajah tak berdosa, Gofar mengelus kepalanya yang sakit dan berkerut kening tak merasa ada salah dengan ucapannya."Kenapa jadi mukul, sih? Gue tanya betulan juga!" cicit Gofar menggerutu."Lagian otak lo gak jauh-jauh dari onderdil wanita terus. Heran banget dengan isi kepala lo!" geram Garren menatap kesal pada Gofar yang cekikikan."Ya iyalah, Reng. Secara si Bangsat lagi malam pertama, dia pasti lagi party di kamar berdua sama Carin. Pastilah semvak atau kutangnya kabur ke mana-mana akibat dijambret si Bangsat. Iyakan?" ucap Gofar masih pada keyakinannya."Harusnya begitu, tapi yang kabur di sini Carin. Carin kabur meninggalkan Satria yang seharusnya lagi wikwik dia sampai pagi, begok!" ujar Garren menjelaskan dengan suara lambat agar dicerna dengan baik oleh otak satu ons milik Gofar.Terlihat kening Gofar se
Malam hujan telah berganti pagi. Seorang pria tengah terlentang di sofa panjang dengan kaki menggantung karena panjang sofa tak mencukupi panjang tubuhnya. Matanya terbuka dan mengedip lambat menatap langit-langit ruangan tersebut. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dan terkejut dengan apa yang dia lihat."Loh, kamu sudah bangun?" tanya Cynthia yang masih mengenakan piyama panjang."Satria belum tidur dan tak bisa tidur. Matanya melotot terus macam ada tusuk gigi menancap," jawabnya pelan."Mama pikir kamu kembali ke villa dan malah tidur di sini!" oceh Cynthia yang duduk di sofa."Malas sendirian di sana, Ma," sahutnya pelan. Cynthia menghela nafas dan bangun dari duduknya memandang Satria yang kembali menatap langit-langit."Mending masuk kamar sana dan istirahat, atau mau Mama buatkan kopi?" tawar Cynthia padanya."Kopi saja, Ma."Cynthia beranjak menuju dapur membuat tiga cangkir kopi. Tak butuh waktu lama, aroma kopi me
"APA? CARIN KABUR?"Satria memejamkan mata akibat teriakan Cynthia yang tengah berdiri dari duduknya setelah dia mengatakan apa yang terjadi. Matanya yang memiliki kelopak besar semakin membulat dan tajam menatap Satria yang duduk lesu di sofa. Cynthia berkacah pinggang menatap tak percaya apa yang baru didengarnya."Apa yang kamu lakukan sampai Carin kabur, huh?" tanya Cynthia dengan suara kencangnya."Satria tak lakukan apa pun, Ma. Tepatnya belum mau ngapa-ngapain!" sahut Satria jujur menatap Cynthia yang masih berdiri berkacah pinggang."Mana mungkin belum kamu apa-apain. Dia sudah jadi istrimu. Oh, jangan-jangan kamu main kasar, ya? Ayo ngaku!" oceh Cynthia menyudutkan Satria yang melotot."Astaga, Ma. Satria belum keluarin jurus apa pun. Gimana mau main kasar, colek sedikit saja belum. Yang ada dia sudah main kasar dengan Satria!" kata Satria membela diri."Maksudnya?" tanya Cynthia cepat dan penasaran. Satria menatap bergantian orang
"Den, Mamang pergi dulu, ya. Selamat atas pernikahannya dan selamat berwikwik ria. Semoga gawangnya bisa ditembus dalam sekali tendangan pinalti, ya, hehehe …," ucap Salim gamblang diiringi kekehen genit. Satria menatap tajam dan hanya mampu menghela nafas berat. Ingin sekali dia menendang bokong Salim, tapi diurungkan karena dia lebih tua dan harus menghormatinya."Doakan saja semoga tak meleset, Mang!" sahut Satria memutar bola matanya malas. Terdengar kekehan Salim kembali mendengar jawaban yang Satria berikan. Bukannya segera melajukan mobil, justru dia kembali berucap."Biar gak meleset, pakai senter, Den, supaya gawangnya kelihatan," kata Salim berkata dengan suara dipelankan dan membuat Satria melotot."Mending cepat pergi, deh, Mang, sebelum aku tendang beneran bokong montok Mamang itu!" sahut Satria yang sudah tak tahan akan ocehan Salim yang sudah melenceng ke mana-mana.Dengan senyum masih terukir, Salim melajukan mobil perlahan meningga
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA, CARINA EBRAHIM BINTI FULAN DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI."Sebuah untaian kata sakral yang berisi janji seorang pria di depan penghulu, wali nikah, dan saksi serta diridhoi Tuhan menggema begitu jelas di sebuah ruangan besar yang dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan serta didominasi warna putih. Tak lama berselang setelah kalimat itu terucap, diikuti suara tegas yang membuat semua orang merasa kelegaan sejak beberapa saat lalu nampak tegang, terutama wajah seorang wanita dan pria baya yang duduk tak jauh dari kedua mempelai."SAH!"Sebuah suara yang mengucapkan satu kata terdengar diikuti untaian doa pengantin cukup panjang dan diaminkan oleh semua yang hadir. Setelah doa selesai, wajah sang pengantin pria menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya dan menunduk. Mendapati gadis yang telah dia nikahi tak menatapnya, pria itu menarik nafas berat dan berpaling pada dua orang tua yang tengah menatapnya ta