"Den, Mamang pergi dulu, ya. Selamat atas pernikahannya dan selamat berwikwik ria. Semoga gawangnya bisa ditembus dalam sekali tendangan pinalti, ya, hehehe …," ucap Salim gamblang diiringi kekehen genit. Satria menatap tajam dan hanya mampu menghela nafas berat. Ingin sekali dia menendang bokong Salim, tapi diurungkan karena dia lebih tua dan harus menghormatinya.
"Doakan saja semoga tak meleset, Mang!" sahut Satria memutar bola matanya malas. Terdengar kekehan Salim kembali mendengar jawaban yang Satria berikan. Bukannya segera melajukan mobil, justru dia kembali berucap.
"Biar gak meleset, pakai senter, Den, supaya gawangnya kelihatan," kata Salim berkata dengan suara dipelankan dan membuat Satria melotot.
"Mending cepat pergi, deh, Mang, sebelum aku tendang beneran bokong montok Mamang itu!" sahut Satria yang sudah tak tahan akan ocehan Salim yang sudah melenceng ke mana-mana.
Dengan senyum masih terukir, Salim melajukan mobil perlahan meninggalkan Satria yang menatap kepergiannya, dan masuk ke rumah serta menutup pintu. Di dalam kamar, Carin tengah berdiri di dekat jendela. Dia menatap kepergian mobil yang dibawa Salim hingga keluar pintu gerbang yang ditutup kembali oleh penjaga keamanan. Dia menghela nafas panjang. Hatinya sedang cemas karena berada di villa bersama pria yang telah menjadi suaminya.
"Aku harus cari cara untuk kabur dari sini," ucap Carin pelan memperhatikan pintu gerbang di mana seorang satpam tengah duduk berjaga.
Di tengah pikirannya yang sedang mencari cara untuk kabur, tiba-tiba pintu dibuka oleh seseorang dan tentu bisa ditebak siapa orang yang datang. seketika jantung Carin berdebar kencang. Tangannya mulai dingin dan tak tahu harus berbuat apa. Di tengah kebingungannya, Satria melangkahkan kaki lebarnya dan berdiri menjulang di hadapannya kini yang terpaksa mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka lumayan cukup jauh.
"Cantik juga bocah ini!" kata Satria dalam hati yang baru bisa melihat wajah Carin dengan jelas.
Carin menatap takut pada Satria yang memandangnya dengan sorot mata tajam. Tak ada keramahan di sana dan justru paras menakutkan yang Carin rasakan. Dia menelan salivanya berkali-kali karena rasa takut dan gugup yang menjadi satu. Kedua tangannya menggenggam sisi gaun pengantinnya dengan erat bersama setetes keringat yang jatuh di pelipisnya.
"Ya Allah, kenapa makin malam semakin menyeramkan wajahnya," oceh Carin memejamkan mata sesaat menahan jantungnya yang kian berdebar.
'Tap tap tap'
Terdengar selangkah Satria semakin dekat dengannya, hingga matanya terbuka, dan melotot menatap Satria yang memandangnya tak berkedip.
"Apa yang kaupikirkan, huh?" tanya Satria dengan suara baritonnya.
'Glekk'
Carin menelan salivanya kasar. Mata dia berkedip cepat menatap Satria yang sangat menyeramkan baginya. Kumis dan jenggotnya menjadi satu, bahkan bisa Carin kepang jenggotnya serta diikat dengan karet jepang jika dibolehkan.
"Ti-tidak a-ada!" sahut Carin terbatah.
Satria mengangguk dan menelisik tubuh Carin dari kepala hingga ujung kaki dan diulangi beberapa kali. Carin yang mendapat tatapan seperti itu merasa risih dan seolah ditelanjangi. Bersama dengan jantung yang kian memburu, Carin sudah bertekad untuk kabur ketika matanya mendapati pintu kamar yang tak ditutup oleh Satria. Namun, ketika tangan kanan Satria terangkat ingin menyentuh bahunya, tanpa aba-aba Carin menendang salak kembar milik Satria dengan kuat.
'Bugh'
"Akh!" teriak Satria sambil memegang area intimnya yang terasa sakit akibat tendangan Carin.
"Maafkan aku. Aku harus pergi!" ucap Carin sambil lari terbirit menuju pintu tak perduli pada Satria yang duduk di lantai mengaduh kesakitan.
"Salak … salak …," rintih Satria menyebut miliknya berulang-ulang. Matanya menatap pintu yang terbuka lebar di mana Carin telah hilang dari pandangannya.
"Akh … salak gue!" rintih Satria menyentuh area antara kedua pangkal pahanya.
"Dasar istri durhaka. Awas kalau ketemu, akan kuperkosa siang malam sampai tak bisa jalan!" ancam Satria geram dan masih memegang asetnya yang terasa sangat sakit.
Merasa sedikit lebih baik, dia memberanikan diri melihat kondisi salak kembarnya guna memastikan terjadi cidera atau tidak. Matanya menyipit karena cemas, hingga terdengar helaan lega.
"Alhamdulillah tidak pecah," ucapnya lega.
Dia bangun dari duduknya di lantai dan bersusah payah menuju ranjang besar yang seharusnya menjadi saksi di mana dia melakukan ritual malam pertama bersama istrinya dan menjadi kenangan tak terlupakan. Mengingat kalimat itu, Satria berdecih.
"Tentu saja kenangan tak terlupakan. Gue gak akan lupa kalau sudah memiliki istri durhaka dan berani-beraninya menendang salak kembar gue yang berharga. Belum tahu saja kalau ini salak bisa bikin mata dia merem-melek!" ucap Satria kesal diiringi ringisan karena sakit yang masih terasa.
"Tunggu saja hari pembalasan nanti. Akan gue beri pelajaran karena sudah berani main-main. Gue bikin dia ketagihan sama ini salak yang sudah dia tendang!” ancam Satria dan seketika langit bergemuruh diiringi kilat serta disusul suara hujan yang mulai turun.
****
Di sisi lain, Carin dengan mudah melewati pintu gerbang karena penjaga di pos tengah ke toilet. Tanpa ragu, Carin keluar pagar dan lari secepat mungkin bersama gaun pengantin yang membalut tubuh kecilnya. Rambut panjangnya tergerai dengan kedua tangan mengangkat gaun itu agar tak terinjak. Sementara kakinya tak memakai alas. Nafasnya terengah dengan kecepatan lari yang mulai melambat dan berhenti untuk menghirup oksigen. Namun, tiba-tiba muncul sebuah mobil yang melaju cepat di jalan setelah melewati tikungan dan menabrak Carin seketika. Tubuhnya terpental beberapa meter dengan luka di kepala hingga tak sadarkan diri. Pengemudi yang menabrak Carin turun dari mobil dan terlihat panik diikuti seorang wanita yang ikut melihat sambil menutup mulutnya.
"Ya ampun, Pa. Kita nabrak orang!" kata wanita itu kaget.
"Papa pikir kuntilanak, Ma. Ya sudah, ayo kita bawa ke rumah sakit!" jawab pria itu sesaat hilang akal. Mereka membopong tubuh Carin masuk ke mobil dan menuju rumah sakit bersama hujan yang turun begitu lebat.
"Ngebut, Pa. Dia banyak mengeluarkan darah!" ucap wanita itu yang duduk di kursi belakang memangku Carin tak sadarkan diri.
"Iya, Ma. Papa sudah ngebut, tapi harus hati-hati karena hujan lebat atau kita bisa celaka," sahut pria yang sedang fokus mengemudi.
Sekitar 30 menit, akhirnya mereka tiba di rumah sakit terdekat. Carin langsung dibawa ke UGD, sedangkan kedua orang itu menunggu di ruang tunggu dengan perasaan cemas.
"Dok, bagaimana keadaannya?" tanya pria itu panik setelah melihat seorang dokter keluar dari ruangan.
"Luka di kepalanya sudah kami tangani serta lecet di beberapa bagian tubuh lainnya, dan akan dipindahkan ke ruang rawat. Ada pun efek benturan pada kepalanya belum bisa dipastikan dan menunggu pasien siuman," kata dokter itu cukup jelas.
"Terima kasih, Dok," ucap pria itu dan dokter pun berlalu meninggalkan raut sedikit kelegaan di wajah mereka.
"Setidaknya dia tidak meninggal," kata pria itu pelan.
"Papa benar."
Tak lama menunggu, Carin yang tak sadarkan diri dibawa ke ruang rawat yang sudah disediakan. Mereka membawanya ke ruang VIP dan di sanalah kedua orang yang menabrak Carin dengan jelas bisa melihat wajahnya.
"Pa, dia cantik," ucap wanita itu parau dan menatap sendu suaminya.
"Iya. Dia seperti sedang tidur dan terlihat begitu tenang," timpalnya mengamati wajah Carin. Keduanya bergeming. Tangan wanita itu bergerak meraih tangan Carin di mana jarum infus menancap di sana.
"Apa yang terjadi denganmu, Nak. Kamu memakai gaun pengantin, tapi ada di jalan saat tengah malam. Apa kamu kabur dari suamimu?" kata wanita itu menduga-duga.
Tak ada jawaban karena Carin tak mendengarnya. Pria itu menarik nafas panjang. Tak dapat dia pungkiri ada rasa cemas yang begitu dalam di hatinya karena telah melukai seorang gadis asing yang tengah terbaring di hadapannya kini. Namun, seketika juga kening dia berkerut melihat sesuatu yang membuat dia tertarik dengan Carin dan berujar pelan.
"Wajahnya mirip almarhum Ibu, ya?"
"APA? CARIN KABUR?"Satria memejamkan mata akibat teriakan Cynthia yang tengah berdiri dari duduknya setelah dia mengatakan apa yang terjadi. Matanya yang memiliki kelopak besar semakin membulat dan tajam menatap Satria yang duduk lesu di sofa. Cynthia berkacah pinggang menatap tak percaya apa yang baru didengarnya."Apa yang kamu lakukan sampai Carin kabur, huh?" tanya Cynthia dengan suara kencangnya."Satria tak lakukan apa pun, Ma. Tepatnya belum mau ngapa-ngapain!" sahut Satria jujur menatap Cynthia yang masih berdiri berkacah pinggang."Mana mungkin belum kamu apa-apain. Dia sudah jadi istrimu. Oh, jangan-jangan kamu main kasar, ya? Ayo ngaku!" oceh Cynthia menyudutkan Satria yang melotot."Astaga, Ma. Satria belum keluarin jurus apa pun. Gimana mau main kasar, colek sedikit saja belum. Yang ada dia sudah main kasar dengan Satria!" kata Satria membela diri."Maksudnya?" tanya Cynthia cepat dan penasaran. Satria menatap bergantian orang
Malam hujan telah berganti pagi. Seorang pria tengah terlentang di sofa panjang dengan kaki menggantung karena panjang sofa tak mencukupi panjang tubuhnya. Matanya terbuka dan mengedip lambat menatap langit-langit ruangan tersebut. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dan terkejut dengan apa yang dia lihat."Loh, kamu sudah bangun?" tanya Cynthia yang masih mengenakan piyama panjang."Satria belum tidur dan tak bisa tidur. Matanya melotot terus macam ada tusuk gigi menancap," jawabnya pelan."Mama pikir kamu kembali ke villa dan malah tidur di sini!" oceh Cynthia yang duduk di sofa."Malas sendirian di sana, Ma," sahutnya pelan. Cynthia menghela nafas dan bangun dari duduknya memandang Satria yang kembali menatap langit-langit."Mending masuk kamar sana dan istirahat, atau mau Mama buatkan kopi?" tawar Cynthia padanya."Kopi saja, Ma."Cynthia beranjak menuju dapur membuat tiga cangkir kopi. Tak butuh waktu lama, aroma kopi me
'Plakk'Pukulan kuat mendarat sempurna di kepala Gofar yang dilayangkan oleh Garren akibat kesal padanya. Dengan wajah tak berdosa, Gofar mengelus kepalanya yang sakit dan berkerut kening tak merasa ada salah dengan ucapannya."Kenapa jadi mukul, sih? Gue tanya betulan juga!" cicit Gofar menggerutu."Lagian otak lo gak jauh-jauh dari onderdil wanita terus. Heran banget dengan isi kepala lo!" geram Garren menatap kesal pada Gofar yang cekikikan."Ya iyalah, Reng. Secara si Bangsat lagi malam pertama, dia pasti lagi party di kamar berdua sama Carin. Pastilah semvak atau kutangnya kabur ke mana-mana akibat dijambret si Bangsat. Iyakan?" ucap Gofar masih pada keyakinannya."Harusnya begitu, tapi yang kabur di sini Carin. Carin kabur meninggalkan Satria yang seharusnya lagi wikwik dia sampai pagi, begok!" ujar Garren menjelaskan dengan suara lambat agar dicerna dengan baik oleh otak satu ons milik Gofar.Terlihat kening Gofar se
Satria sudah mendatangi kantor polisi setempat ditemani oleh Faro. Selama satu jam, Satria memberi keterangan secara rinci mengenai kaburnya Carin dari villa serta menyerahkan sebuah foto di mana dia dan Carin masih mengenakan gaun pengantin. Saat ini, Satria dan Faro sedang menuju tempat di mana dia mendengar kabar jika Carin sering datang ke taman setiap minggu untuk berjualan kue yang dia buat. Namun, tak ada sosok Carin di sana. Di panti juga tak ada tanda-tanda dia datang ke sana karena semua penghuni panti ada di villa dan menyisakan Pak Komar yang berjaga."Pergi ke mana gadis itu?" gerutu Satria memijat pelipisnya.Faro menatap Satria yang kebingungan. Dia tentu mengerti apa yang tengah dirasakan Satria saat ini, meskipun dia tak kenal dengan Carin yang telah sah menjadi istrinya."Gue yakin, dia belum pergi jauh. Pasti dia sedang sembunyi dan sedang menertawakan lo karena pusing mencarinya," ucap Faro berujung candaan."Setan lo! Bisa-bisanya ber
Seorang wanita muda tengah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras belakang rumah dengan design minimalis. Tangannya sedang memegang sebuah koran yang menampilkan artikel tentang lowongan pekerjaan."Kenapa syaratnya sarjana semua, sih! Belum coba sudah patah duluan. Lama-lama aku ganti nama juga, nih, jadi Sarjana, biar bisa diterima kerja kalau begini," ocehnya sambil membolak-balik koran di tangan.Tak berapa lama, seorang pria menghampiri dan tersenyum mendengar ucapannya barusan. Tak sadar akan kedatangannya, pria itu langsung duduk di depannya dan membuat dia terhenyak."Pak!""Lagi baca apa, sih? Kok ngomel-ngomel sendiri?" tanya Gaston menatap lembut padanya."Carin kesel lihat lowongan kerja di koran. Semua syarat harus sarjana, tak ada yang lulusan SMA," sahutnya dengan bibir mengerucut. Gaston tersenyum melihat Carin yang sedang marah pada koran."Kamu ingin kerja, Nak?" tanya Gaston memastikan."Iya, Pak. Aku ingin ca
'Bugh bugh bugh'Suara pukulan bertubi terdengar dari ruangan Satria. Dua pria yang baru saja sampai di depan pintu dengan cepat masuk dan terkejut saat melihat Satria sedang memukul seorang pria yang tak lain adalah Faro dengan bantal sofa, lalu menarik kerah bajunya sambil melotot."Carin masih hidup. Jangan bicara sembarangan, anjing!" kata Satria dengan suara menggeram tak terima dengan ucapan Faro."Woy woy woy … ada apa ini buset?" cicit Gofar sambil berjalan cepat menghampiri mereka."Lepasin, Sat. Faro mati gak lucu!" kata Garren merayu Satria dan meraih tangannya agar melepas cekalan pada kerah baju Faro.'Uhuk uhuk uhuk'Terdengar suara batuk dari Faro yang langsung duduk di sofa sambil meregangkan dasi yang mencekik lehernya. Gofar datang membawa dua botol air mineral dan memberikan sebotol untuk Faro yang langsung diraihnya. Sedangkan Garren membawa Satria duduk ke sofa dan berseberangan dengan Faro yang
Carin tengah memotong sayuran di dapur sambil bernyanyi pelan. Emira yang sedang menumis nampak tersenyum melihat Carin yang amat riang seolah tak ada beban. Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore dan sebentar lagi Gaston akan pulang dari kantornya."Eh, kayaknya itu mobil Bapak, deh!" ucap Carin yang menghentikan nyanyian tak jelasnya."Siapa lagi yang datang kalau bukan juragan di rumah ini yang cepat pulang karena tak sabar ingin makan masakan kamu, Nak!" sahut Emira mengulas senyum dengan tangan yang sedang mengaduk tumisan yang hampir matang."Ah, Ibu. Bisa saja goda Carin!" cicitnya malu karena tahu jika Gaston sangat suka masakannya.Emira hanya tertawa melihat rona merah di pipi Carin yang tak suka memakai make up. Dengan cepat Carin mempercepat pekerjaannya dan tak melanjutkan nyanyiannya. Sedangkan Emira menuju pintu depan untuk menyambut Gaston."Mana Carin, Ma?" tanya Gaston yang belum mendapati keberadaan Carin."Ada sedang masak," jawabnya cep
Sebut saja nama dia Satria, nama lengkapnya Satria Fernandez. Usianya sudah menginjak 30 tahun, tepatnya dua bulan lagi dari sekarang. Tinggi badan 185 cm dengan berat ideal tentunya. Memiliki paras bule dan tubuh ideal tak selalu membanggakan. Bahkan, Satria tak pernah diteriaki oleh para wanita karena wajahnya justru terlihat menyeramkan akibat ditumbuhi bulu lebat yang menyatu dari ujung ke ujung. Hal itu membuat dia aman dari gangguan makhluk Tuhan yang bernama wanita.Saat ini, dia disibukkan dengan perusahaan keluarga yang diwariskan turun temurun dari kakeknya yang berdarah Italia. Satria dikenal sebagai pengusaha jenius dan ramah, tapi di balik keramahannya tersimpan karakter lain yang menjunjung tinggi slogan "Disenggol Bacok" dan sudah dipahami oleh keluarga serta orang-orang yang berhubungan dengannya. Selain itu, dia masih saja enggan menikah dan tak ada pula wanita yang minat dengan dia karena parasnya tersebut.Suatu hari, ibunda tercinta tiba-tiba jatuh
Carin tengah memotong sayuran di dapur sambil bernyanyi pelan. Emira yang sedang menumis nampak tersenyum melihat Carin yang amat riang seolah tak ada beban. Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore dan sebentar lagi Gaston akan pulang dari kantornya."Eh, kayaknya itu mobil Bapak, deh!" ucap Carin yang menghentikan nyanyian tak jelasnya."Siapa lagi yang datang kalau bukan juragan di rumah ini yang cepat pulang karena tak sabar ingin makan masakan kamu, Nak!" sahut Emira mengulas senyum dengan tangan yang sedang mengaduk tumisan yang hampir matang."Ah, Ibu. Bisa saja goda Carin!" cicitnya malu karena tahu jika Gaston sangat suka masakannya.Emira hanya tertawa melihat rona merah di pipi Carin yang tak suka memakai make up. Dengan cepat Carin mempercepat pekerjaannya dan tak melanjutkan nyanyiannya. Sedangkan Emira menuju pintu depan untuk menyambut Gaston."Mana Carin, Ma?" tanya Gaston yang belum mendapati keberadaan Carin."Ada sedang masak," jawabnya cep
'Bugh bugh bugh'Suara pukulan bertubi terdengar dari ruangan Satria. Dua pria yang baru saja sampai di depan pintu dengan cepat masuk dan terkejut saat melihat Satria sedang memukul seorang pria yang tak lain adalah Faro dengan bantal sofa, lalu menarik kerah bajunya sambil melotot."Carin masih hidup. Jangan bicara sembarangan, anjing!" kata Satria dengan suara menggeram tak terima dengan ucapan Faro."Woy woy woy … ada apa ini buset?" cicit Gofar sambil berjalan cepat menghampiri mereka."Lepasin, Sat. Faro mati gak lucu!" kata Garren merayu Satria dan meraih tangannya agar melepas cekalan pada kerah baju Faro.'Uhuk uhuk uhuk'Terdengar suara batuk dari Faro yang langsung duduk di sofa sambil meregangkan dasi yang mencekik lehernya. Gofar datang membawa dua botol air mineral dan memberikan sebotol untuk Faro yang langsung diraihnya. Sedangkan Garren membawa Satria duduk ke sofa dan berseberangan dengan Faro yang
Seorang wanita muda tengah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras belakang rumah dengan design minimalis. Tangannya sedang memegang sebuah koran yang menampilkan artikel tentang lowongan pekerjaan."Kenapa syaratnya sarjana semua, sih! Belum coba sudah patah duluan. Lama-lama aku ganti nama juga, nih, jadi Sarjana, biar bisa diterima kerja kalau begini," ocehnya sambil membolak-balik koran di tangan.Tak berapa lama, seorang pria menghampiri dan tersenyum mendengar ucapannya barusan. Tak sadar akan kedatangannya, pria itu langsung duduk di depannya dan membuat dia terhenyak."Pak!""Lagi baca apa, sih? Kok ngomel-ngomel sendiri?" tanya Gaston menatap lembut padanya."Carin kesel lihat lowongan kerja di koran. Semua syarat harus sarjana, tak ada yang lulusan SMA," sahutnya dengan bibir mengerucut. Gaston tersenyum melihat Carin yang sedang marah pada koran."Kamu ingin kerja, Nak?" tanya Gaston memastikan."Iya, Pak. Aku ingin ca
Satria sudah mendatangi kantor polisi setempat ditemani oleh Faro. Selama satu jam, Satria memberi keterangan secara rinci mengenai kaburnya Carin dari villa serta menyerahkan sebuah foto di mana dia dan Carin masih mengenakan gaun pengantin. Saat ini, Satria dan Faro sedang menuju tempat di mana dia mendengar kabar jika Carin sering datang ke taman setiap minggu untuk berjualan kue yang dia buat. Namun, tak ada sosok Carin di sana. Di panti juga tak ada tanda-tanda dia datang ke sana karena semua penghuni panti ada di villa dan menyisakan Pak Komar yang berjaga."Pergi ke mana gadis itu?" gerutu Satria memijat pelipisnya.Faro menatap Satria yang kebingungan. Dia tentu mengerti apa yang tengah dirasakan Satria saat ini, meskipun dia tak kenal dengan Carin yang telah sah menjadi istrinya."Gue yakin, dia belum pergi jauh. Pasti dia sedang sembunyi dan sedang menertawakan lo karena pusing mencarinya," ucap Faro berujung candaan."Setan lo! Bisa-bisanya ber
'Plakk'Pukulan kuat mendarat sempurna di kepala Gofar yang dilayangkan oleh Garren akibat kesal padanya. Dengan wajah tak berdosa, Gofar mengelus kepalanya yang sakit dan berkerut kening tak merasa ada salah dengan ucapannya."Kenapa jadi mukul, sih? Gue tanya betulan juga!" cicit Gofar menggerutu."Lagian otak lo gak jauh-jauh dari onderdil wanita terus. Heran banget dengan isi kepala lo!" geram Garren menatap kesal pada Gofar yang cekikikan."Ya iyalah, Reng. Secara si Bangsat lagi malam pertama, dia pasti lagi party di kamar berdua sama Carin. Pastilah semvak atau kutangnya kabur ke mana-mana akibat dijambret si Bangsat. Iyakan?" ucap Gofar masih pada keyakinannya."Harusnya begitu, tapi yang kabur di sini Carin. Carin kabur meninggalkan Satria yang seharusnya lagi wikwik dia sampai pagi, begok!" ujar Garren menjelaskan dengan suara lambat agar dicerna dengan baik oleh otak satu ons milik Gofar.Terlihat kening Gofar se
Malam hujan telah berganti pagi. Seorang pria tengah terlentang di sofa panjang dengan kaki menggantung karena panjang sofa tak mencukupi panjang tubuhnya. Matanya terbuka dan mengedip lambat menatap langit-langit ruangan tersebut. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dan terkejut dengan apa yang dia lihat."Loh, kamu sudah bangun?" tanya Cynthia yang masih mengenakan piyama panjang."Satria belum tidur dan tak bisa tidur. Matanya melotot terus macam ada tusuk gigi menancap," jawabnya pelan."Mama pikir kamu kembali ke villa dan malah tidur di sini!" oceh Cynthia yang duduk di sofa."Malas sendirian di sana, Ma," sahutnya pelan. Cynthia menghela nafas dan bangun dari duduknya memandang Satria yang kembali menatap langit-langit."Mending masuk kamar sana dan istirahat, atau mau Mama buatkan kopi?" tawar Cynthia padanya."Kopi saja, Ma."Cynthia beranjak menuju dapur membuat tiga cangkir kopi. Tak butuh waktu lama, aroma kopi me
"APA? CARIN KABUR?"Satria memejamkan mata akibat teriakan Cynthia yang tengah berdiri dari duduknya setelah dia mengatakan apa yang terjadi. Matanya yang memiliki kelopak besar semakin membulat dan tajam menatap Satria yang duduk lesu di sofa. Cynthia berkacah pinggang menatap tak percaya apa yang baru didengarnya."Apa yang kamu lakukan sampai Carin kabur, huh?" tanya Cynthia dengan suara kencangnya."Satria tak lakukan apa pun, Ma. Tepatnya belum mau ngapa-ngapain!" sahut Satria jujur menatap Cynthia yang masih berdiri berkacah pinggang."Mana mungkin belum kamu apa-apain. Dia sudah jadi istrimu. Oh, jangan-jangan kamu main kasar, ya? Ayo ngaku!" oceh Cynthia menyudutkan Satria yang melotot."Astaga, Ma. Satria belum keluarin jurus apa pun. Gimana mau main kasar, colek sedikit saja belum. Yang ada dia sudah main kasar dengan Satria!" kata Satria membela diri."Maksudnya?" tanya Cynthia cepat dan penasaran. Satria menatap bergantian orang
"Den, Mamang pergi dulu, ya. Selamat atas pernikahannya dan selamat berwikwik ria. Semoga gawangnya bisa ditembus dalam sekali tendangan pinalti, ya, hehehe …," ucap Salim gamblang diiringi kekehen genit. Satria menatap tajam dan hanya mampu menghela nafas berat. Ingin sekali dia menendang bokong Salim, tapi diurungkan karena dia lebih tua dan harus menghormatinya."Doakan saja semoga tak meleset, Mang!" sahut Satria memutar bola matanya malas. Terdengar kekehan Salim kembali mendengar jawaban yang Satria berikan. Bukannya segera melajukan mobil, justru dia kembali berucap."Biar gak meleset, pakai senter, Den, supaya gawangnya kelihatan," kata Salim berkata dengan suara dipelankan dan membuat Satria melotot."Mending cepat pergi, deh, Mang, sebelum aku tendang beneran bokong montok Mamang itu!" sahut Satria yang sudah tak tahan akan ocehan Salim yang sudah melenceng ke mana-mana.Dengan senyum masih terukir, Salim melajukan mobil perlahan meningga
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA, CARINA EBRAHIM BINTI FULAN DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI."Sebuah untaian kata sakral yang berisi janji seorang pria di depan penghulu, wali nikah, dan saksi serta diridhoi Tuhan menggema begitu jelas di sebuah ruangan besar yang dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan serta didominasi warna putih. Tak lama berselang setelah kalimat itu terucap, diikuti suara tegas yang membuat semua orang merasa kelegaan sejak beberapa saat lalu nampak tegang, terutama wajah seorang wanita dan pria baya yang duduk tak jauh dari kedua mempelai."SAH!"Sebuah suara yang mengucapkan satu kata terdengar diikuti untaian doa pengantin cukup panjang dan diaminkan oleh semua yang hadir. Setelah doa selesai, wajah sang pengantin pria menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya dan menunduk. Mendapati gadis yang telah dia nikahi tak menatapnya, pria itu menarik nafas berat dan berpaling pada dua orang tua yang tengah menatapnya ta