Malam hujan telah berganti pagi. Seorang pria tengah terlentang di sofa panjang dengan kaki menggantung karena panjang sofa tak mencukupi panjang tubuhnya. Matanya terbuka dan mengedip lambat menatap langit-langit ruangan tersebut. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dan terkejut dengan apa yang dia lihat.
"Loh, kamu sudah bangun?" tanya Cynthia yang masih mengenakan piyama panjang.
"Satria belum tidur dan tak bisa tidur. Matanya melotot terus macam ada tusuk gigi menancap," jawabnya pelan.
"Mama pikir kamu kembali ke villa dan malah tidur di sini!" oceh Cynthia yang duduk di sofa.
"Malas sendirian di sana, Ma," sahutnya pelan. Cynthia menghela nafas dan bangun dari duduknya memandang Satria yang kembali menatap langit-langit.
"Mending masuk kamar sana dan istirahat, atau mau Mama buatkan kopi?" tawar Cynthia padanya.
"Kopi saja, Ma."
Cynthia beranjak menuju dapur membuat tiga cangkir kopi. Tak butuh waktu lama, aroma kopi menyeruak ke ruangan di mana Satria sudah duduk berdua dengan Gavin bersama TV yang menyala. Diletakkannya kopi ke meja dan langsung diraih Satria. Gavin menatap wajah Satria yang terlihat kurang tidur dilihat dari matanya yang sedikit merah.
"Sebaiknya kamu tidur dulu, setelah itu baru mencari Carin. Papa sudah suruh orang untuk mencarinya dan yang pasti, Carin tak ada di panti asuhan," terang Gavin dengan suara dan raut wajah seriusnya. Cynthia yang baru akan duduk, tiba-tiba tak jadi dan melotot menatap Gavin yang justru terlihat santai sambil meraih cangkir kopi, lalu meneguknya pelan.
"Papa yakin?" tanya Cynthia panik.
"Iya. Tak ada jejak Carin datang ke panti," lanjut Gavin setelah meneguk kopinya.
"Ya Allah, Pa. Carin pergi ke mana?" ucap Cynthia yang baru mendengar kabar itu.
"Papa sudah tahu sejak semalam dan sengaja tak mengatakannya pada Mama. Semoga Carin baik-baik saja karena dia gadis yang kuat," ujar Gavin menenangkan hati Cynthia, meskipun hatinya tak tenang sejak semalam dan tak bisa tidur karena menunggu kabar dari orang suruhan yang sudah dia sebar untuk mencari Carin.
"Satria akan mencarinya!" kata Satria yang langsung bangun dari duduknya. Gavin dan Cynthia menatap tajam pada Satria. Bisa dilihat dengan jelas jika sudut mata Cynthia mulai berkabut karena cemas akan keberadaan Carin yang entah ada di mana.
"Mama ikut!" seru Cynthia yakin.
"Tidurlah sebentar sebelum kaumencari Carin. Tak lucu jika kau justru sakit karena kurang tidur akibat ditinggal kabur saat malam pertama oleh pengantinmu," beber Gavin menyurutkan sedikit semangatnya untuk mencari Carin. Satria terdiam dan duduk kembali akan ucapan Gavin yang ada benarnya.
"Kita diam bukan tak mencari. Papa juga sangat cemas dengannya jika terjadi sesuatu. Namun, kita harus berpikir positif kalau Carin baik-baik saja. Lebih baik cepat tidur. Sebelum mencari Carin, kau harus ke salon untuk merubah penampilanmu atau dia akan kabur lagi karena sadar telah dinikahi seorang Genderuwo!" tutur Gavin pajang lebar dan menusuk tajam ke hati Satria yang sedang bimbang serta semakin galau.
"Baik, Pa!" jawab Satria lemas.
Cynthia bergeming dan justru sibuk dengan air mata yang mulai menetes karena memikirkan Carin entah di mana. Melihat ibunya menangis, hati Satria semakin terenyuh dan membulatkan tekad untuk menemukan Carin. Dia tak mengenal Carin, tapi status suami yang telah dia sandang harus dipertanggungjawabkan.
****
Di lain tempat, seorang pria sedang sibuk menerima panggilan telephone dengan wajah seriusnya. Kabar yang dia dengar membuat dia melotot karena tak percaya. Tak berapa lama, sambungan terputus bersama seorang pria yang menghampirinya sambil bersiul.
"Eh, kutil. Senang banget lo pagi-pagi sudah bersiul kayak burung dapat jatah malam jumat!" seru pria dengan celana kolor tanpa baju yang baru saja menerima panggilan telephone.
"Mana ada kutil burung seksi kayak gue, Gareng!" sahutnya acuh dan duduk di sofa dengan kaki terulur ke atas meja sambil terus bersiul.
"Nama gue Garren, bukan Gareng, anjay!" tolak Garren yang selalu diplesetkan namanya oleh Gofar.
"Bodo. Mulut-mulut gue, jadi suka-suka!" sahut Gofar lagi sambil cekikikan.
"Sialan lo, Gokong!" balas Garren kesal sambil melempar sebuah bantal tepat ke wajah Gofar
Mereka adalah Duo G, beranggotakan Garren Firmin dan Gofar Emran. Mereka adalah sahabat Satria dan kenal sejak masih dalam kandungan. Bahkan, ketika lahir mereka bersamaan serta bersebelahan ruang rawat. Parahnya, ruang bayi sengaja diisi oleh mereka bertiga saja dan hal tersebut mudah dilakukan karena pemiliknya adalah keluarga Fernandez di mana orang tua ketiga bayi itu merupakan sahabat, terutama Garren dan Gofar.
"Eh, ada kabar panas yang baru gue terima," ucap Garren serius dan menghentikan siulan Gofar. Gofar menurunkan kedua kaki panjangnya dari meja. Dia langsung memasang raut menyimak dan siap mendengar berita yang akan dibeberkan oleh Garren.
"Asik, pagi-pagi sudah dapat berita panas. Bacot, deh, cepat!" timpal Gofar tak sabar kalau urusan gosip.
"Carin …,"
"Anjay. Carin pasti gak bisa jalan, ya, habis digempur Satria? Hahaha … gue sudah bilangkan. Dingin-dingin begitu, Satria berjenggot itu ahli tendang pinalti. Gue gak bisa bayangkan apa yang terjadi dengan gawang Carin harus terima tendangan pinalti sampai pagi. Hadeuuuuu … si bangsat menang banyak!" cerocos Gofar menebak sesuka hati dan menurut versinya tanpa mendengar secara lengkap apa yang ingin Garren sampaikan.
Terlihat Garren menghela nafas. Dia sudah tahu kalau Gofar punya kebiasaan memotong ucapannya jika membahas gosip macam cenayang. Meskipun sering meleset, tapi tak jarang juga yang tepat sasaran.
"Aduh, semvak gue mendadak ketat. Latah pengin pinalti!" sambung Gofar sambil duduk tak nyaman.
"Bisa gak dengar gue bicara sampai kelar? Bisa gak duduk yang tenang, anying?" oceh Garren gemas ingin melempar Gofar dari balkon.
"Bentar, Reng. Semvak gue nyelip soalnya lagi pakai model G-string dan ujungnya berkantung!" sahutnya tak ada urat malu dan membuat Garren tepok jidat.
"Geli, sompret!" maki Garren yang bergidig dengan kelakuan abnormal Gofar yang suka bertingkah konyol.
"Hahaha … ya sudah, ayo kelarin ceritanya!" sahut Gofar sudah sedikit lebih tenang.
"Terawanganmu kali ini meleset, Kong!" kata Garren menatap Gofar yang nampak berkerut kening.
"Maksudnya?" jawab dia bingung.
"Carin bukan gak bisa jalan, tapi jago tendang!" lanjut Garren. Kerut di kening Gofar semakin banyak. Otak semvaknya mendadak lemot untuk mencerna dan menebak maksud Garren kali ini.
"Ah, elah. Kalau bicara jangan setengah-setengah. Nancep setengah saja tak enak. Cepat tancap semuanya!" jawab Gofar dengan kata-kata yang memancing pikiran negatif bagi orang berpikiran sempit, tapi tidak dengan Garren yang sudah paham maksudnya.
"Carin kabur!" ucap Garren cepat.
"WHATTT?" kaget Gofar dengan mata melotot. "Kabur gimana maksudnya? Kabur kutangnya atau semvaknya, Reng?"
'Plakk'Pukulan kuat mendarat sempurna di kepala Gofar yang dilayangkan oleh Garren akibat kesal padanya. Dengan wajah tak berdosa, Gofar mengelus kepalanya yang sakit dan berkerut kening tak merasa ada salah dengan ucapannya."Kenapa jadi mukul, sih? Gue tanya betulan juga!" cicit Gofar menggerutu."Lagian otak lo gak jauh-jauh dari onderdil wanita terus. Heran banget dengan isi kepala lo!" geram Garren menatap kesal pada Gofar yang cekikikan."Ya iyalah, Reng. Secara si Bangsat lagi malam pertama, dia pasti lagi party di kamar berdua sama Carin. Pastilah semvak atau kutangnya kabur ke mana-mana akibat dijambret si Bangsat. Iyakan?" ucap Gofar masih pada keyakinannya."Harusnya begitu, tapi yang kabur di sini Carin. Carin kabur meninggalkan Satria yang seharusnya lagi wikwik dia sampai pagi, begok!" ujar Garren menjelaskan dengan suara lambat agar dicerna dengan baik oleh otak satu ons milik Gofar.Terlihat kening Gofar se
Satria sudah mendatangi kantor polisi setempat ditemani oleh Faro. Selama satu jam, Satria memberi keterangan secara rinci mengenai kaburnya Carin dari villa serta menyerahkan sebuah foto di mana dia dan Carin masih mengenakan gaun pengantin. Saat ini, Satria dan Faro sedang menuju tempat di mana dia mendengar kabar jika Carin sering datang ke taman setiap minggu untuk berjualan kue yang dia buat. Namun, tak ada sosok Carin di sana. Di panti juga tak ada tanda-tanda dia datang ke sana karena semua penghuni panti ada di villa dan menyisakan Pak Komar yang berjaga."Pergi ke mana gadis itu?" gerutu Satria memijat pelipisnya.Faro menatap Satria yang kebingungan. Dia tentu mengerti apa yang tengah dirasakan Satria saat ini, meskipun dia tak kenal dengan Carin yang telah sah menjadi istrinya."Gue yakin, dia belum pergi jauh. Pasti dia sedang sembunyi dan sedang menertawakan lo karena pusing mencarinya," ucap Faro berujung candaan."Setan lo! Bisa-bisanya ber
Seorang wanita muda tengah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras belakang rumah dengan design minimalis. Tangannya sedang memegang sebuah koran yang menampilkan artikel tentang lowongan pekerjaan."Kenapa syaratnya sarjana semua, sih! Belum coba sudah patah duluan. Lama-lama aku ganti nama juga, nih, jadi Sarjana, biar bisa diterima kerja kalau begini," ocehnya sambil membolak-balik koran di tangan.Tak berapa lama, seorang pria menghampiri dan tersenyum mendengar ucapannya barusan. Tak sadar akan kedatangannya, pria itu langsung duduk di depannya dan membuat dia terhenyak."Pak!""Lagi baca apa, sih? Kok ngomel-ngomel sendiri?" tanya Gaston menatap lembut padanya."Carin kesel lihat lowongan kerja di koran. Semua syarat harus sarjana, tak ada yang lulusan SMA," sahutnya dengan bibir mengerucut. Gaston tersenyum melihat Carin yang sedang marah pada koran."Kamu ingin kerja, Nak?" tanya Gaston memastikan."Iya, Pak. Aku ingin ca
'Bugh bugh bugh'Suara pukulan bertubi terdengar dari ruangan Satria. Dua pria yang baru saja sampai di depan pintu dengan cepat masuk dan terkejut saat melihat Satria sedang memukul seorang pria yang tak lain adalah Faro dengan bantal sofa, lalu menarik kerah bajunya sambil melotot."Carin masih hidup. Jangan bicara sembarangan, anjing!" kata Satria dengan suara menggeram tak terima dengan ucapan Faro."Woy woy woy … ada apa ini buset?" cicit Gofar sambil berjalan cepat menghampiri mereka."Lepasin, Sat. Faro mati gak lucu!" kata Garren merayu Satria dan meraih tangannya agar melepas cekalan pada kerah baju Faro.'Uhuk uhuk uhuk'Terdengar suara batuk dari Faro yang langsung duduk di sofa sambil meregangkan dasi yang mencekik lehernya. Gofar datang membawa dua botol air mineral dan memberikan sebotol untuk Faro yang langsung diraihnya. Sedangkan Garren membawa Satria duduk ke sofa dan berseberangan dengan Faro yang
Carin tengah memotong sayuran di dapur sambil bernyanyi pelan. Emira yang sedang menumis nampak tersenyum melihat Carin yang amat riang seolah tak ada beban. Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore dan sebentar lagi Gaston akan pulang dari kantornya."Eh, kayaknya itu mobil Bapak, deh!" ucap Carin yang menghentikan nyanyian tak jelasnya."Siapa lagi yang datang kalau bukan juragan di rumah ini yang cepat pulang karena tak sabar ingin makan masakan kamu, Nak!" sahut Emira mengulas senyum dengan tangan yang sedang mengaduk tumisan yang hampir matang."Ah, Ibu. Bisa saja goda Carin!" cicitnya malu karena tahu jika Gaston sangat suka masakannya.Emira hanya tertawa melihat rona merah di pipi Carin yang tak suka memakai make up. Dengan cepat Carin mempercepat pekerjaannya dan tak melanjutkan nyanyiannya. Sedangkan Emira menuju pintu depan untuk menyambut Gaston."Mana Carin, Ma?" tanya Gaston yang belum mendapati keberadaan Carin."Ada sedang masak," jawabnya cep
Sebut saja nama dia Satria, nama lengkapnya Satria Fernandez. Usianya sudah menginjak 30 tahun, tepatnya dua bulan lagi dari sekarang. Tinggi badan 185 cm dengan berat ideal tentunya. Memiliki paras bule dan tubuh ideal tak selalu membanggakan. Bahkan, Satria tak pernah diteriaki oleh para wanita karena wajahnya justru terlihat menyeramkan akibat ditumbuhi bulu lebat yang menyatu dari ujung ke ujung. Hal itu membuat dia aman dari gangguan makhluk Tuhan yang bernama wanita.Saat ini, dia disibukkan dengan perusahaan keluarga yang diwariskan turun temurun dari kakeknya yang berdarah Italia. Satria dikenal sebagai pengusaha jenius dan ramah, tapi di balik keramahannya tersimpan karakter lain yang menjunjung tinggi slogan "Disenggol Bacok" dan sudah dipahami oleh keluarga serta orang-orang yang berhubungan dengannya. Selain itu, dia masih saja enggan menikah dan tak ada pula wanita yang minat dengan dia karena parasnya tersebut.Suatu hari, ibunda tercinta tiba-tiba jatuh
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA, CARINA EBRAHIM BINTI FULAN DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI."Sebuah untaian kata sakral yang berisi janji seorang pria di depan penghulu, wali nikah, dan saksi serta diridhoi Tuhan menggema begitu jelas di sebuah ruangan besar yang dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan serta didominasi warna putih. Tak lama berselang setelah kalimat itu terucap, diikuti suara tegas yang membuat semua orang merasa kelegaan sejak beberapa saat lalu nampak tegang, terutama wajah seorang wanita dan pria baya yang duduk tak jauh dari kedua mempelai."SAH!"Sebuah suara yang mengucapkan satu kata terdengar diikuti untaian doa pengantin cukup panjang dan diaminkan oleh semua yang hadir. Setelah doa selesai, wajah sang pengantin pria menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya dan menunduk. Mendapati gadis yang telah dia nikahi tak menatapnya, pria itu menarik nafas berat dan berpaling pada dua orang tua yang tengah menatapnya ta
"Den, Mamang pergi dulu, ya. Selamat atas pernikahannya dan selamat berwikwik ria. Semoga gawangnya bisa ditembus dalam sekali tendangan pinalti, ya, hehehe …," ucap Salim gamblang diiringi kekehen genit. Satria menatap tajam dan hanya mampu menghela nafas berat. Ingin sekali dia menendang bokong Salim, tapi diurungkan karena dia lebih tua dan harus menghormatinya."Doakan saja semoga tak meleset, Mang!" sahut Satria memutar bola matanya malas. Terdengar kekehan Salim kembali mendengar jawaban yang Satria berikan. Bukannya segera melajukan mobil, justru dia kembali berucap."Biar gak meleset, pakai senter, Den, supaya gawangnya kelihatan," kata Salim berkata dengan suara dipelankan dan membuat Satria melotot."Mending cepat pergi, deh, Mang, sebelum aku tendang beneran bokong montok Mamang itu!" sahut Satria yang sudah tak tahan akan ocehan Salim yang sudah melenceng ke mana-mana.Dengan senyum masih terukir, Salim melajukan mobil perlahan meningga
Carin tengah memotong sayuran di dapur sambil bernyanyi pelan. Emira yang sedang menumis nampak tersenyum melihat Carin yang amat riang seolah tak ada beban. Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore dan sebentar lagi Gaston akan pulang dari kantornya."Eh, kayaknya itu mobil Bapak, deh!" ucap Carin yang menghentikan nyanyian tak jelasnya."Siapa lagi yang datang kalau bukan juragan di rumah ini yang cepat pulang karena tak sabar ingin makan masakan kamu, Nak!" sahut Emira mengulas senyum dengan tangan yang sedang mengaduk tumisan yang hampir matang."Ah, Ibu. Bisa saja goda Carin!" cicitnya malu karena tahu jika Gaston sangat suka masakannya.Emira hanya tertawa melihat rona merah di pipi Carin yang tak suka memakai make up. Dengan cepat Carin mempercepat pekerjaannya dan tak melanjutkan nyanyiannya. Sedangkan Emira menuju pintu depan untuk menyambut Gaston."Mana Carin, Ma?" tanya Gaston yang belum mendapati keberadaan Carin."Ada sedang masak," jawabnya cep
'Bugh bugh bugh'Suara pukulan bertubi terdengar dari ruangan Satria. Dua pria yang baru saja sampai di depan pintu dengan cepat masuk dan terkejut saat melihat Satria sedang memukul seorang pria yang tak lain adalah Faro dengan bantal sofa, lalu menarik kerah bajunya sambil melotot."Carin masih hidup. Jangan bicara sembarangan, anjing!" kata Satria dengan suara menggeram tak terima dengan ucapan Faro."Woy woy woy … ada apa ini buset?" cicit Gofar sambil berjalan cepat menghampiri mereka."Lepasin, Sat. Faro mati gak lucu!" kata Garren merayu Satria dan meraih tangannya agar melepas cekalan pada kerah baju Faro.'Uhuk uhuk uhuk'Terdengar suara batuk dari Faro yang langsung duduk di sofa sambil meregangkan dasi yang mencekik lehernya. Gofar datang membawa dua botol air mineral dan memberikan sebotol untuk Faro yang langsung diraihnya. Sedangkan Garren membawa Satria duduk ke sofa dan berseberangan dengan Faro yang
Seorang wanita muda tengah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras belakang rumah dengan design minimalis. Tangannya sedang memegang sebuah koran yang menampilkan artikel tentang lowongan pekerjaan."Kenapa syaratnya sarjana semua, sih! Belum coba sudah patah duluan. Lama-lama aku ganti nama juga, nih, jadi Sarjana, biar bisa diterima kerja kalau begini," ocehnya sambil membolak-balik koran di tangan.Tak berapa lama, seorang pria menghampiri dan tersenyum mendengar ucapannya barusan. Tak sadar akan kedatangannya, pria itu langsung duduk di depannya dan membuat dia terhenyak."Pak!""Lagi baca apa, sih? Kok ngomel-ngomel sendiri?" tanya Gaston menatap lembut padanya."Carin kesel lihat lowongan kerja di koran. Semua syarat harus sarjana, tak ada yang lulusan SMA," sahutnya dengan bibir mengerucut. Gaston tersenyum melihat Carin yang sedang marah pada koran."Kamu ingin kerja, Nak?" tanya Gaston memastikan."Iya, Pak. Aku ingin ca
Satria sudah mendatangi kantor polisi setempat ditemani oleh Faro. Selama satu jam, Satria memberi keterangan secara rinci mengenai kaburnya Carin dari villa serta menyerahkan sebuah foto di mana dia dan Carin masih mengenakan gaun pengantin. Saat ini, Satria dan Faro sedang menuju tempat di mana dia mendengar kabar jika Carin sering datang ke taman setiap minggu untuk berjualan kue yang dia buat. Namun, tak ada sosok Carin di sana. Di panti juga tak ada tanda-tanda dia datang ke sana karena semua penghuni panti ada di villa dan menyisakan Pak Komar yang berjaga."Pergi ke mana gadis itu?" gerutu Satria memijat pelipisnya.Faro menatap Satria yang kebingungan. Dia tentu mengerti apa yang tengah dirasakan Satria saat ini, meskipun dia tak kenal dengan Carin yang telah sah menjadi istrinya."Gue yakin, dia belum pergi jauh. Pasti dia sedang sembunyi dan sedang menertawakan lo karena pusing mencarinya," ucap Faro berujung candaan."Setan lo! Bisa-bisanya ber
'Plakk'Pukulan kuat mendarat sempurna di kepala Gofar yang dilayangkan oleh Garren akibat kesal padanya. Dengan wajah tak berdosa, Gofar mengelus kepalanya yang sakit dan berkerut kening tak merasa ada salah dengan ucapannya."Kenapa jadi mukul, sih? Gue tanya betulan juga!" cicit Gofar menggerutu."Lagian otak lo gak jauh-jauh dari onderdil wanita terus. Heran banget dengan isi kepala lo!" geram Garren menatap kesal pada Gofar yang cekikikan."Ya iyalah, Reng. Secara si Bangsat lagi malam pertama, dia pasti lagi party di kamar berdua sama Carin. Pastilah semvak atau kutangnya kabur ke mana-mana akibat dijambret si Bangsat. Iyakan?" ucap Gofar masih pada keyakinannya."Harusnya begitu, tapi yang kabur di sini Carin. Carin kabur meninggalkan Satria yang seharusnya lagi wikwik dia sampai pagi, begok!" ujar Garren menjelaskan dengan suara lambat agar dicerna dengan baik oleh otak satu ons milik Gofar.Terlihat kening Gofar se
Malam hujan telah berganti pagi. Seorang pria tengah terlentang di sofa panjang dengan kaki menggantung karena panjang sofa tak mencukupi panjang tubuhnya. Matanya terbuka dan mengedip lambat menatap langit-langit ruangan tersebut. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dan terkejut dengan apa yang dia lihat."Loh, kamu sudah bangun?" tanya Cynthia yang masih mengenakan piyama panjang."Satria belum tidur dan tak bisa tidur. Matanya melotot terus macam ada tusuk gigi menancap," jawabnya pelan."Mama pikir kamu kembali ke villa dan malah tidur di sini!" oceh Cynthia yang duduk di sofa."Malas sendirian di sana, Ma," sahutnya pelan. Cynthia menghela nafas dan bangun dari duduknya memandang Satria yang kembali menatap langit-langit."Mending masuk kamar sana dan istirahat, atau mau Mama buatkan kopi?" tawar Cynthia padanya."Kopi saja, Ma."Cynthia beranjak menuju dapur membuat tiga cangkir kopi. Tak butuh waktu lama, aroma kopi me
"APA? CARIN KABUR?"Satria memejamkan mata akibat teriakan Cynthia yang tengah berdiri dari duduknya setelah dia mengatakan apa yang terjadi. Matanya yang memiliki kelopak besar semakin membulat dan tajam menatap Satria yang duduk lesu di sofa. Cynthia berkacah pinggang menatap tak percaya apa yang baru didengarnya."Apa yang kamu lakukan sampai Carin kabur, huh?" tanya Cynthia dengan suara kencangnya."Satria tak lakukan apa pun, Ma. Tepatnya belum mau ngapa-ngapain!" sahut Satria jujur menatap Cynthia yang masih berdiri berkacah pinggang."Mana mungkin belum kamu apa-apain. Dia sudah jadi istrimu. Oh, jangan-jangan kamu main kasar, ya? Ayo ngaku!" oceh Cynthia menyudutkan Satria yang melotot."Astaga, Ma. Satria belum keluarin jurus apa pun. Gimana mau main kasar, colek sedikit saja belum. Yang ada dia sudah main kasar dengan Satria!" kata Satria membela diri."Maksudnya?" tanya Cynthia cepat dan penasaran. Satria menatap bergantian orang
"Den, Mamang pergi dulu, ya. Selamat atas pernikahannya dan selamat berwikwik ria. Semoga gawangnya bisa ditembus dalam sekali tendangan pinalti, ya, hehehe …," ucap Salim gamblang diiringi kekehen genit. Satria menatap tajam dan hanya mampu menghela nafas berat. Ingin sekali dia menendang bokong Salim, tapi diurungkan karena dia lebih tua dan harus menghormatinya."Doakan saja semoga tak meleset, Mang!" sahut Satria memutar bola matanya malas. Terdengar kekehan Salim kembali mendengar jawaban yang Satria berikan. Bukannya segera melajukan mobil, justru dia kembali berucap."Biar gak meleset, pakai senter, Den, supaya gawangnya kelihatan," kata Salim berkata dengan suara dipelankan dan membuat Satria melotot."Mending cepat pergi, deh, Mang, sebelum aku tendang beneran bokong montok Mamang itu!" sahut Satria yang sudah tak tahan akan ocehan Salim yang sudah melenceng ke mana-mana.Dengan senyum masih terukir, Salim melajukan mobil perlahan meningga
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA, CARINA EBRAHIM BINTI FULAN DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI."Sebuah untaian kata sakral yang berisi janji seorang pria di depan penghulu, wali nikah, dan saksi serta diridhoi Tuhan menggema begitu jelas di sebuah ruangan besar yang dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan serta didominasi warna putih. Tak lama berselang setelah kalimat itu terucap, diikuti suara tegas yang membuat semua orang merasa kelegaan sejak beberapa saat lalu nampak tegang, terutama wajah seorang wanita dan pria baya yang duduk tak jauh dari kedua mempelai."SAH!"Sebuah suara yang mengucapkan satu kata terdengar diikuti untaian doa pengantin cukup panjang dan diaminkan oleh semua yang hadir. Setelah doa selesai, wajah sang pengantin pria menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya dan menunduk. Mendapati gadis yang telah dia nikahi tak menatapnya, pria itu menarik nafas berat dan berpaling pada dua orang tua yang tengah menatapnya ta