Sebut saja nama dia Satria, nama lengkapnya Satria Fernandez. Usianya sudah menginjak 30 tahun, tepatnya dua bulan lagi dari sekarang. Tinggi badan 185 cm dengan berat ideal tentunya. Memiliki paras bule dan tubuh ideal tak selalu membanggakan. Bahkan, Satria tak pernah diteriaki oleh para wanita karena wajahnya justru terlihat menyeramkan akibat ditumbuhi bulu lebat yang menyatu dari ujung ke ujung. Hal itu membuat dia aman dari gangguan makhluk Tuhan yang bernama wanita.
Saat ini, dia disibukkan dengan perusahaan keluarga yang diwariskan turun temurun dari kakeknya yang berdarah Italia. Satria dikenal sebagai pengusaha jenius dan ramah, tapi di balik keramahannya tersimpan karakter lain yang menjunjung tinggi slogan "Disenggol Bacok" dan sudah dipahami oleh keluarga serta orang-orang yang berhubungan dengannya. Selain itu, dia masih saja enggan menikah dan tak ada pula wanita yang minat dengan dia karena parasnya tersebut.
Suatu hari, ibunda tercinta tiba-tiba jatuh sakit dan memilih pengobatan di Singapura karena alasan bahwa rumah sakit di sana lebih lengkap dan bagus. Selama sebulan, Satria datang ke Singapura setiap akhir pekan untuk menjenguk ibunya, Cynthia Fernandez.
"Nak, bagaimana keadaan perusahaan?" tanya Cynthia pada Satria yang sedang duduk di sebuah kursi tak jauh dari ranjang.
Satria yang sedang memainkan handphone di tangan untuk mengecek email masuk langsung menatap ibunda dan menghentikan kegiatannya, lalu mendekat. Satria mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang dan menatap lembut Cynthia yang nampak pucat.
"Perusahaan baik-baik saja, Ma. Ada Faro juga yang bantu. Mama tak usah cemas dan jangan berpikir tentang banyak hal. Semua urusan kantor sudah ditangani oleh orang yang ahli di bidangnya dan kompeten. Mama cukup banyak istirahat agar cepat sembuh dan pulang," tutur Satria lembut memberi penjelasan pada Cynthia yang menyimak.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Cynthia singkat.
"Nak, apa boleh Mama minta sesuatu darimu?" lanjut Cynthia dengan suara terdengar lemah. Satria yang mendengar ucapannya sejenak tertegun dengan kening berkerut. Bukan apa-apa, pasalnya Cynthia bukanlah sosok ibu yang banyak pinta dan menuntut. Namun, ucapan Cynthia membuat hati Satria sedikit cemas dan terlintas pikiran jika usia ibunya mungkin tak lama lagi.
"Anak sialan emang gue. Kok bisa-bisanya mikir kalau Mama mau mati sebentar lagi!" oceh Satria dalam hati.
"Ada apa, Ma. Mama mau minta apa?" jawab Satria sambil meraih tangan kanan Cynthia dan mengelusnya lembut. Ya, Satria sangat mencintai Cynthia. Dia adalah segalanya bagi Satria setelah ayahnya yang saat ini ada di Jepang untuk sebuah urusan dan akan kembali besok siang.
"Apa kamu akan memenuhi permintaan Mama?" ucap Cynthia lemah. Terlihat Satria menarik nafas dalam dan mengulas senyum tulus padanya, lalu berujar kembali.
"Selagi mampu, Satria akan penuhi, Ma," jawabnya yakin dan tenang. Mendengar jawabannya, Cynthia menarik nafas dalam dan membuat Satria cemas serta berpikir yang tidak-tidak, terlebih bibir Cynthia terlihat pucat.
"Ma," panggil Satria lembut.
"Mama ingin kamu menikah. Apa bisa kamu penuhi itu? Mama takut tak ada usia, Nak!" ucap Cynthia parau dengan gerak mata yang teramat lambat.
'Mak deg'
Jantung Satria mendadak marathon dan menelan saliva berkali-kali karena tenggorokannya terasa sangat kering. Cynthia yang tahu perubahan ekspresi Satria menatap sendu. Dia tahu kalau Satria tak ingin menikah. Bukan karena memiliki kelainan burung jalak, tapi dia malas berurusan dengan makhluk Tuhan bernama wanita karena baginya mereka sangat merepotkan.
"Ma, bukan Satria tak ingin berbakti, tapi … hmmm …," ucap Satria menolak pinta Cynthia, tapi lidah teramat keluh untuk meneruskan kalimatnya.
"Kenapa? Kamu mau bilang kalau tak minat dengan wanita, hmm?" tebak Cynthia tepat sasaran.
"Anjir. Mama tahu dari mana gue mau bilang begitu. Kenapa Mama macam dukun, sih! Sejak sakit kayak tahu banget isi otak anaknya. Apa mungkin ini tanda-tanda Mama berumur pendek?" oceh Satria dalam hati dengan dugaan yang mulai melebar tak jelas.
"Kamu bicara apa barusan? Kok Mama dengar kamu bilang Mama berumur pendek? Kamu sumpahi Mama cepat mati?" ucap Cynthia yang mendadak berbicara keras dan melotot.
Melihat reaksi Cynthia yang berbicara layaknya saat sehat dengan mata melotot seperti saat memarahinya, kening Satria mengkerut dan menatap saksama Cynthia. Namun, Cynthia yang sadar baru saja keceplosan langsung merubah raut wajah ke mode semula. Berpura-pura.
"Kaubenar, mungkin usia Mama tak lama lagi. Maka dari itu, Mama teramat sangat ingin melihatmu menikah, Nak. Apakah permintaan tersebut terlalu berlebihan bagimu?" ucap Cynthia dengan suara lirih dan lesunya.
Satria tertegun, dia bingung harus menjawab apa kini. Menikah adalah hal yang dia hindari selama ini karena begitu malas dengan para wanita yang begitu merepotkan baginya berdasarkan info dari sahabat yang sudah menikah lebih dulu.
"Ehem," dehem Satria merasakan tenggorokannya yang tercekat.
Tangannya meraih tangan kanan Cynthia. Didaratkannya sebuah kecupan di sana dan menatap dalam mata ibunya yang nampak sendu. Hatinya tengah dilanda kebingungan untuk mengatakan kalimat apa agar tak melukai orang yang paling dia cintai dan hormati sejak lahir.
"Satria tak punya pacar, Ma. Bahkan, Satria tak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Emang cinta-cintaan enak, Ma?" ucap Satria pelan dan sejenak membuat Cynthia terpaku, tapi berujung kalimat aneh yang membuatnya ingin memukul kepala anaknya. Cynthia tersenyum dan memaklumi karena selama ini memang Satria tak pernah memiliki wanita. Jadilah dia yang begitu bodoh jika membahas tentang cinta.
"Ngidam apa aku sampai melahirkan anak bodoh sepertimu, Nak!" oceh Cynthia dalam hati diikuti helaan nafas panjangnya.
"Cinta itu macam gado-gado. Isinya bermacam-macam sayuran. Kalau lidah dan perut cocok, semua baik-baik saja. Sedangkan kalau tak cocok, bisa diare!" terang Cynthia yang membuat alis Satria nampak bertautan.
"Jadi?" ucap Satria.
"Rasakan sendiri dan kamu akan jadi bucin seperti Papamu yang cinta mati dengan Mama," ujar Cynthia pamer dengan senyum lebarnya.
"Hadeuuu … Satria amit-amit jadi bucin kayak Papa. Ogah, Ma!" sahutnya menggeleng keras.
"Jangan begitu! Kamu harus tahu kalau kamu terlahir dari benih seorang bucin. Tak menutup kemungkinan kalau suatu hari kamu juga jadi bucin. Mama yakin kamu tak beda dengan Papa!" tutur Cynthia yakin dan membuat mata Satria melotot.
"Tak mungkin Satria jadi bucin, Ma. Pacar pun tak ada, tuh!" kata Satria yang masih mengelak prediksi ibunya.
"Serah kamu. Pokoknya Mama mau kamu menikah sebelum ajal menjemput. Apa kamu mau lihat Mama jadi arwah penasaran kalau tak ada umur, huh?" oceh Cynthia dengan raut kecewa serta ancaman yang terasa menakutkan bagi Satria.
"Please, Ma. Jangan bicara begitu. Satria tak mau Mama mati cepat. Satria selalu doain Mama dan Papa panjang umur. Maafin Satria sudah bikin Mama marah. Kita baikan, ya?" cerocos Satria yang merajuk karena wajah Cynthia yang menatapnya sedih. Dikecupnya berkali-kali tangan ibunya dan membuat Cynthia tertawa dalam hati karena tahu jika Satria sangat mencintainya.
"Senyum, Ma. Jangan marah. Ampuni Satria. Iya, Satria mau nikah. Terserah Mama mau nikahi Satria sama siapa. Mama yang pilih dan Satria nurut saja asal Mama tak boleh mati dulu!" oceh Satria pasrah dan disambut sorak-sorai oleh Cynthia.
"Siapa juga yang mau mati sekarang anak bodoh!" gumam Cynthia dalam hati
"Mama ada calon. Mama akan atur pernikahan kalian!"
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA, CARINA EBRAHIM BINTI FULAN DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI."Sebuah untaian kata sakral yang berisi janji seorang pria di depan penghulu, wali nikah, dan saksi serta diridhoi Tuhan menggema begitu jelas di sebuah ruangan besar yang dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan serta didominasi warna putih. Tak lama berselang setelah kalimat itu terucap, diikuti suara tegas yang membuat semua orang merasa kelegaan sejak beberapa saat lalu nampak tegang, terutama wajah seorang wanita dan pria baya yang duduk tak jauh dari kedua mempelai."SAH!"Sebuah suara yang mengucapkan satu kata terdengar diikuti untaian doa pengantin cukup panjang dan diaminkan oleh semua yang hadir. Setelah doa selesai, wajah sang pengantin pria menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya dan menunduk. Mendapati gadis yang telah dia nikahi tak menatapnya, pria itu menarik nafas berat dan berpaling pada dua orang tua yang tengah menatapnya ta
"Den, Mamang pergi dulu, ya. Selamat atas pernikahannya dan selamat berwikwik ria. Semoga gawangnya bisa ditembus dalam sekali tendangan pinalti, ya, hehehe …," ucap Salim gamblang diiringi kekehen genit. Satria menatap tajam dan hanya mampu menghela nafas berat. Ingin sekali dia menendang bokong Salim, tapi diurungkan karena dia lebih tua dan harus menghormatinya."Doakan saja semoga tak meleset, Mang!" sahut Satria memutar bola matanya malas. Terdengar kekehan Salim kembali mendengar jawaban yang Satria berikan. Bukannya segera melajukan mobil, justru dia kembali berucap."Biar gak meleset, pakai senter, Den, supaya gawangnya kelihatan," kata Salim berkata dengan suara dipelankan dan membuat Satria melotot."Mending cepat pergi, deh, Mang, sebelum aku tendang beneran bokong montok Mamang itu!" sahut Satria yang sudah tak tahan akan ocehan Salim yang sudah melenceng ke mana-mana.Dengan senyum masih terukir, Salim melajukan mobil perlahan meningga
"APA? CARIN KABUR?"Satria memejamkan mata akibat teriakan Cynthia yang tengah berdiri dari duduknya setelah dia mengatakan apa yang terjadi. Matanya yang memiliki kelopak besar semakin membulat dan tajam menatap Satria yang duduk lesu di sofa. Cynthia berkacah pinggang menatap tak percaya apa yang baru didengarnya."Apa yang kamu lakukan sampai Carin kabur, huh?" tanya Cynthia dengan suara kencangnya."Satria tak lakukan apa pun, Ma. Tepatnya belum mau ngapa-ngapain!" sahut Satria jujur menatap Cynthia yang masih berdiri berkacah pinggang."Mana mungkin belum kamu apa-apain. Dia sudah jadi istrimu. Oh, jangan-jangan kamu main kasar, ya? Ayo ngaku!" oceh Cynthia menyudutkan Satria yang melotot."Astaga, Ma. Satria belum keluarin jurus apa pun. Gimana mau main kasar, colek sedikit saja belum. Yang ada dia sudah main kasar dengan Satria!" kata Satria membela diri."Maksudnya?" tanya Cynthia cepat dan penasaran. Satria menatap bergantian orang
Malam hujan telah berganti pagi. Seorang pria tengah terlentang di sofa panjang dengan kaki menggantung karena panjang sofa tak mencukupi panjang tubuhnya. Matanya terbuka dan mengedip lambat menatap langit-langit ruangan tersebut. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dan terkejut dengan apa yang dia lihat."Loh, kamu sudah bangun?" tanya Cynthia yang masih mengenakan piyama panjang."Satria belum tidur dan tak bisa tidur. Matanya melotot terus macam ada tusuk gigi menancap," jawabnya pelan."Mama pikir kamu kembali ke villa dan malah tidur di sini!" oceh Cynthia yang duduk di sofa."Malas sendirian di sana, Ma," sahutnya pelan. Cynthia menghela nafas dan bangun dari duduknya memandang Satria yang kembali menatap langit-langit."Mending masuk kamar sana dan istirahat, atau mau Mama buatkan kopi?" tawar Cynthia padanya."Kopi saja, Ma."Cynthia beranjak menuju dapur membuat tiga cangkir kopi. Tak butuh waktu lama, aroma kopi me
'Plakk'Pukulan kuat mendarat sempurna di kepala Gofar yang dilayangkan oleh Garren akibat kesal padanya. Dengan wajah tak berdosa, Gofar mengelus kepalanya yang sakit dan berkerut kening tak merasa ada salah dengan ucapannya."Kenapa jadi mukul, sih? Gue tanya betulan juga!" cicit Gofar menggerutu."Lagian otak lo gak jauh-jauh dari onderdil wanita terus. Heran banget dengan isi kepala lo!" geram Garren menatap kesal pada Gofar yang cekikikan."Ya iyalah, Reng. Secara si Bangsat lagi malam pertama, dia pasti lagi party di kamar berdua sama Carin. Pastilah semvak atau kutangnya kabur ke mana-mana akibat dijambret si Bangsat. Iyakan?" ucap Gofar masih pada keyakinannya."Harusnya begitu, tapi yang kabur di sini Carin. Carin kabur meninggalkan Satria yang seharusnya lagi wikwik dia sampai pagi, begok!" ujar Garren menjelaskan dengan suara lambat agar dicerna dengan baik oleh otak satu ons milik Gofar.Terlihat kening Gofar se
Satria sudah mendatangi kantor polisi setempat ditemani oleh Faro. Selama satu jam, Satria memberi keterangan secara rinci mengenai kaburnya Carin dari villa serta menyerahkan sebuah foto di mana dia dan Carin masih mengenakan gaun pengantin. Saat ini, Satria dan Faro sedang menuju tempat di mana dia mendengar kabar jika Carin sering datang ke taman setiap minggu untuk berjualan kue yang dia buat. Namun, tak ada sosok Carin di sana. Di panti juga tak ada tanda-tanda dia datang ke sana karena semua penghuni panti ada di villa dan menyisakan Pak Komar yang berjaga."Pergi ke mana gadis itu?" gerutu Satria memijat pelipisnya.Faro menatap Satria yang kebingungan. Dia tentu mengerti apa yang tengah dirasakan Satria saat ini, meskipun dia tak kenal dengan Carin yang telah sah menjadi istrinya."Gue yakin, dia belum pergi jauh. Pasti dia sedang sembunyi dan sedang menertawakan lo karena pusing mencarinya," ucap Faro berujung candaan."Setan lo! Bisa-bisanya ber
Seorang wanita muda tengah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras belakang rumah dengan design minimalis. Tangannya sedang memegang sebuah koran yang menampilkan artikel tentang lowongan pekerjaan."Kenapa syaratnya sarjana semua, sih! Belum coba sudah patah duluan. Lama-lama aku ganti nama juga, nih, jadi Sarjana, biar bisa diterima kerja kalau begini," ocehnya sambil membolak-balik koran di tangan.Tak berapa lama, seorang pria menghampiri dan tersenyum mendengar ucapannya barusan. Tak sadar akan kedatangannya, pria itu langsung duduk di depannya dan membuat dia terhenyak."Pak!""Lagi baca apa, sih? Kok ngomel-ngomel sendiri?" tanya Gaston menatap lembut padanya."Carin kesel lihat lowongan kerja di koran. Semua syarat harus sarjana, tak ada yang lulusan SMA," sahutnya dengan bibir mengerucut. Gaston tersenyum melihat Carin yang sedang marah pada koran."Kamu ingin kerja, Nak?" tanya Gaston memastikan."Iya, Pak. Aku ingin ca
'Bugh bugh bugh'Suara pukulan bertubi terdengar dari ruangan Satria. Dua pria yang baru saja sampai di depan pintu dengan cepat masuk dan terkejut saat melihat Satria sedang memukul seorang pria yang tak lain adalah Faro dengan bantal sofa, lalu menarik kerah bajunya sambil melotot."Carin masih hidup. Jangan bicara sembarangan, anjing!" kata Satria dengan suara menggeram tak terima dengan ucapan Faro."Woy woy woy … ada apa ini buset?" cicit Gofar sambil berjalan cepat menghampiri mereka."Lepasin, Sat. Faro mati gak lucu!" kata Garren merayu Satria dan meraih tangannya agar melepas cekalan pada kerah baju Faro.'Uhuk uhuk uhuk'Terdengar suara batuk dari Faro yang langsung duduk di sofa sambil meregangkan dasi yang mencekik lehernya. Gofar datang membawa dua botol air mineral dan memberikan sebotol untuk Faro yang langsung diraihnya. Sedangkan Garren membawa Satria duduk ke sofa dan berseberangan dengan Faro yang
Carin tengah memotong sayuran di dapur sambil bernyanyi pelan. Emira yang sedang menumis nampak tersenyum melihat Carin yang amat riang seolah tak ada beban. Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore dan sebentar lagi Gaston akan pulang dari kantornya."Eh, kayaknya itu mobil Bapak, deh!" ucap Carin yang menghentikan nyanyian tak jelasnya."Siapa lagi yang datang kalau bukan juragan di rumah ini yang cepat pulang karena tak sabar ingin makan masakan kamu, Nak!" sahut Emira mengulas senyum dengan tangan yang sedang mengaduk tumisan yang hampir matang."Ah, Ibu. Bisa saja goda Carin!" cicitnya malu karena tahu jika Gaston sangat suka masakannya.Emira hanya tertawa melihat rona merah di pipi Carin yang tak suka memakai make up. Dengan cepat Carin mempercepat pekerjaannya dan tak melanjutkan nyanyiannya. Sedangkan Emira menuju pintu depan untuk menyambut Gaston."Mana Carin, Ma?" tanya Gaston yang belum mendapati keberadaan Carin."Ada sedang masak," jawabnya cep
'Bugh bugh bugh'Suara pukulan bertubi terdengar dari ruangan Satria. Dua pria yang baru saja sampai di depan pintu dengan cepat masuk dan terkejut saat melihat Satria sedang memukul seorang pria yang tak lain adalah Faro dengan bantal sofa, lalu menarik kerah bajunya sambil melotot."Carin masih hidup. Jangan bicara sembarangan, anjing!" kata Satria dengan suara menggeram tak terima dengan ucapan Faro."Woy woy woy … ada apa ini buset?" cicit Gofar sambil berjalan cepat menghampiri mereka."Lepasin, Sat. Faro mati gak lucu!" kata Garren merayu Satria dan meraih tangannya agar melepas cekalan pada kerah baju Faro.'Uhuk uhuk uhuk'Terdengar suara batuk dari Faro yang langsung duduk di sofa sambil meregangkan dasi yang mencekik lehernya. Gofar datang membawa dua botol air mineral dan memberikan sebotol untuk Faro yang langsung diraihnya. Sedangkan Garren membawa Satria duduk ke sofa dan berseberangan dengan Faro yang
Seorang wanita muda tengah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras belakang rumah dengan design minimalis. Tangannya sedang memegang sebuah koran yang menampilkan artikel tentang lowongan pekerjaan."Kenapa syaratnya sarjana semua, sih! Belum coba sudah patah duluan. Lama-lama aku ganti nama juga, nih, jadi Sarjana, biar bisa diterima kerja kalau begini," ocehnya sambil membolak-balik koran di tangan.Tak berapa lama, seorang pria menghampiri dan tersenyum mendengar ucapannya barusan. Tak sadar akan kedatangannya, pria itu langsung duduk di depannya dan membuat dia terhenyak."Pak!""Lagi baca apa, sih? Kok ngomel-ngomel sendiri?" tanya Gaston menatap lembut padanya."Carin kesel lihat lowongan kerja di koran. Semua syarat harus sarjana, tak ada yang lulusan SMA," sahutnya dengan bibir mengerucut. Gaston tersenyum melihat Carin yang sedang marah pada koran."Kamu ingin kerja, Nak?" tanya Gaston memastikan."Iya, Pak. Aku ingin ca
Satria sudah mendatangi kantor polisi setempat ditemani oleh Faro. Selama satu jam, Satria memberi keterangan secara rinci mengenai kaburnya Carin dari villa serta menyerahkan sebuah foto di mana dia dan Carin masih mengenakan gaun pengantin. Saat ini, Satria dan Faro sedang menuju tempat di mana dia mendengar kabar jika Carin sering datang ke taman setiap minggu untuk berjualan kue yang dia buat. Namun, tak ada sosok Carin di sana. Di panti juga tak ada tanda-tanda dia datang ke sana karena semua penghuni panti ada di villa dan menyisakan Pak Komar yang berjaga."Pergi ke mana gadis itu?" gerutu Satria memijat pelipisnya.Faro menatap Satria yang kebingungan. Dia tentu mengerti apa yang tengah dirasakan Satria saat ini, meskipun dia tak kenal dengan Carin yang telah sah menjadi istrinya."Gue yakin, dia belum pergi jauh. Pasti dia sedang sembunyi dan sedang menertawakan lo karena pusing mencarinya," ucap Faro berujung candaan."Setan lo! Bisa-bisanya ber
'Plakk'Pukulan kuat mendarat sempurna di kepala Gofar yang dilayangkan oleh Garren akibat kesal padanya. Dengan wajah tak berdosa, Gofar mengelus kepalanya yang sakit dan berkerut kening tak merasa ada salah dengan ucapannya."Kenapa jadi mukul, sih? Gue tanya betulan juga!" cicit Gofar menggerutu."Lagian otak lo gak jauh-jauh dari onderdil wanita terus. Heran banget dengan isi kepala lo!" geram Garren menatap kesal pada Gofar yang cekikikan."Ya iyalah, Reng. Secara si Bangsat lagi malam pertama, dia pasti lagi party di kamar berdua sama Carin. Pastilah semvak atau kutangnya kabur ke mana-mana akibat dijambret si Bangsat. Iyakan?" ucap Gofar masih pada keyakinannya."Harusnya begitu, tapi yang kabur di sini Carin. Carin kabur meninggalkan Satria yang seharusnya lagi wikwik dia sampai pagi, begok!" ujar Garren menjelaskan dengan suara lambat agar dicerna dengan baik oleh otak satu ons milik Gofar.Terlihat kening Gofar se
Malam hujan telah berganti pagi. Seorang pria tengah terlentang di sofa panjang dengan kaki menggantung karena panjang sofa tak mencukupi panjang tubuhnya. Matanya terbuka dan mengedip lambat menatap langit-langit ruangan tersebut. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dan terkejut dengan apa yang dia lihat."Loh, kamu sudah bangun?" tanya Cynthia yang masih mengenakan piyama panjang."Satria belum tidur dan tak bisa tidur. Matanya melotot terus macam ada tusuk gigi menancap," jawabnya pelan."Mama pikir kamu kembali ke villa dan malah tidur di sini!" oceh Cynthia yang duduk di sofa."Malas sendirian di sana, Ma," sahutnya pelan. Cynthia menghela nafas dan bangun dari duduknya memandang Satria yang kembali menatap langit-langit."Mending masuk kamar sana dan istirahat, atau mau Mama buatkan kopi?" tawar Cynthia padanya."Kopi saja, Ma."Cynthia beranjak menuju dapur membuat tiga cangkir kopi. Tak butuh waktu lama, aroma kopi me
"APA? CARIN KABUR?"Satria memejamkan mata akibat teriakan Cynthia yang tengah berdiri dari duduknya setelah dia mengatakan apa yang terjadi. Matanya yang memiliki kelopak besar semakin membulat dan tajam menatap Satria yang duduk lesu di sofa. Cynthia berkacah pinggang menatap tak percaya apa yang baru didengarnya."Apa yang kamu lakukan sampai Carin kabur, huh?" tanya Cynthia dengan suara kencangnya."Satria tak lakukan apa pun, Ma. Tepatnya belum mau ngapa-ngapain!" sahut Satria jujur menatap Cynthia yang masih berdiri berkacah pinggang."Mana mungkin belum kamu apa-apain. Dia sudah jadi istrimu. Oh, jangan-jangan kamu main kasar, ya? Ayo ngaku!" oceh Cynthia menyudutkan Satria yang melotot."Astaga, Ma. Satria belum keluarin jurus apa pun. Gimana mau main kasar, colek sedikit saja belum. Yang ada dia sudah main kasar dengan Satria!" kata Satria membela diri."Maksudnya?" tanya Cynthia cepat dan penasaran. Satria menatap bergantian orang
"Den, Mamang pergi dulu, ya. Selamat atas pernikahannya dan selamat berwikwik ria. Semoga gawangnya bisa ditembus dalam sekali tendangan pinalti, ya, hehehe …," ucap Salim gamblang diiringi kekehen genit. Satria menatap tajam dan hanya mampu menghela nafas berat. Ingin sekali dia menendang bokong Salim, tapi diurungkan karena dia lebih tua dan harus menghormatinya."Doakan saja semoga tak meleset, Mang!" sahut Satria memutar bola matanya malas. Terdengar kekehan Salim kembali mendengar jawaban yang Satria berikan. Bukannya segera melajukan mobil, justru dia kembali berucap."Biar gak meleset, pakai senter, Den, supaya gawangnya kelihatan," kata Salim berkata dengan suara dipelankan dan membuat Satria melotot."Mending cepat pergi, deh, Mang, sebelum aku tendang beneran bokong montok Mamang itu!" sahut Satria yang sudah tak tahan akan ocehan Salim yang sudah melenceng ke mana-mana.Dengan senyum masih terukir, Salim melajukan mobil perlahan meningga
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA, CARINA EBRAHIM BINTI FULAN DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI."Sebuah untaian kata sakral yang berisi janji seorang pria di depan penghulu, wali nikah, dan saksi serta diridhoi Tuhan menggema begitu jelas di sebuah ruangan besar yang dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan serta didominasi warna putih. Tak lama berselang setelah kalimat itu terucap, diikuti suara tegas yang membuat semua orang merasa kelegaan sejak beberapa saat lalu nampak tegang, terutama wajah seorang wanita dan pria baya yang duduk tak jauh dari kedua mempelai."SAH!"Sebuah suara yang mengucapkan satu kata terdengar diikuti untaian doa pengantin cukup panjang dan diaminkan oleh semua yang hadir. Setelah doa selesai, wajah sang pengantin pria menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya dan menunduk. Mendapati gadis yang telah dia nikahi tak menatapnya, pria itu menarik nafas berat dan berpaling pada dua orang tua yang tengah menatapnya ta