"Katakan saja Gendis Ayu Maharani ingin bertemu!"
Gadis itu terkesiap, antara yakin dan tidak dengan nama yang baru saja dia sebutkan. Pasalnya yang dia tahu selama ini, seorang yang bernama Gendis Ayu Maharani dan fotonya terpajang di meja bosnya itu sangat elegan dan modis. "Maaf, Mbak Gendisnya mana, ya?" tanyanya terlihat rikuh. "Saya Gendis. Kenapa?" "Jangan sembarangan, Mbak. Bisa kena pasal kalau nipu orang!" sungutnya sembari bersedekap Tanpa menunggu jawaban Gendis, gadis itu segera berjalan menuju ke ruangan Hrd. Dia keluar dengan orang yang Gendis maksud. "Mbak Gendis? Apa kabar?" tanyanya sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Baik, Pak. Boleh saya menggangu waktunya sebentar?" tanya Gendis ramah. "Saya kan di sini yang gaji, Mbak. Masa harus izin dulu," candanya mencairkan suasana. Gendis mengikuti langkah Hrd--Harnadi--di belakangnya. Menuju ruang yang yang hampir dua tahun ini tidak pernah dia datangi. "Ada apa, Mbak?" tanya Harnadi merasa keheranan. "Aku ingin mengambil alih semua urusan kantor. Bang Hanan sedang pergi keluar negri bersama Papa, jadi ini menjadi kewajibanku untuk kembali mengelola kantor ini." "Alhamdulillah, kalau begitu, Mbak, apa ada lagi yang ingin Mbak tanyakan?" "Bagaimana masalah keuangan? Lalu siapa perempuan tadi?" tanya Gendis. "Keuangan membaik, tetapi ada sedikit kendala di kantor cabang. Untuk wanita tadi, dia sekertaris pak Hanan," jawabnya. "Kantor cabang? Kantor yang mana?" Gendis heran selama ini tidak tahu mengenai kantor cabang tersebut. "Bukankah Mbak sendiri yang menandatangani surat itu? Ada beberapa kali pertemuan di sana hanya mbak Gendis saja yang tidak datang," paparnya. Waktu seolah berhenti, lalu pikiran Gendis berputar ke beberapa bulan yang lalu. Saat badan berisinya mulai kelelahan untuk sekedar menggerakkan kaki. Gendis mengalami demam hebat, sementara sang suami memaksanya untuk menandatangi sebuah surat yang entah apa isinya. "Mbak!" Suara Harnadi membuyarkan lamunannya, ternyata terlalu jauh Hanan bertindak tanpa berdiskusi dengannya terlebih dahulu. "Tidak apa-apa, Pak. Aku hanya lupa saja, untuk kantor cabang besok aku akan turut serta bertandang kesana," jawabnya. "Kalau begitu saya akan mengurus semuanya, Mbak. Mbak tinggal nunggu beres saja," imbuhnya. Gendis berpamitan dengan lelaki paruh baya yang kini akan dia beri kepercayaan penuh atas keadaan kantor tanpa sepengetahuan suaminya. *** Semburat cahaya jingga menghiasi langit kota sore ini, tetapi kemilaunya tidak mampu menepis rasa lelah yang sedari pagi Gendis tahan. Tekat untuk membuat dirinya kembali memiliki bobot 55kilogram sudah bulat. Tidak peduli rasa lelah, dia harus menahannya. Ayunan langkah sedikit tersendat, sudah beberapa putaran ia lakukan untuk memulai misinya ini. Lapangan dekat dengan perumahan miliknya tidak dia lirik, enggan jika harus bertemu dengan tetangga sekeliling yang penuh tatapan aneh saat melihatnya yang semakin mengembang. Taman kota menjadi pilihannya, kesibukan itu membuatnya lupa dengan akun kloningan yang dia buat khusus untuk mengintai pergerakan suaminya sedikit terlupakan. Bunyi pesan dalam aplikasi berlogo ganggang telepon berwarna hijau tersebut membuatnya mengitari sekeliling untuk mencari bangku kosong. Air mineral yang sedari tadi dalam genggaman dia buka dengan segera. Kesegaran segera dia dapat setelah air yang konon harus banyak dia konsumsi untuk melancarkan program dietnya itu mengalir melalui tenggorokannya yang kering. Gegas dia membuka pesan yang mengusiknya. Tangan Gendis sedikit gemetar, sudah berapa tahun dia tidak melakukan aktifitas olahraga, sehingga dia merasa begitu kelelahan. [Bagimana, Dis. Apa ada hal yang mencurigakan??] Pesan itu membuat Gendis tersadar akan suatu hal, dia tidak segera membalas pesan itu, tetapi dengan cepat dia segera keluar dari aplikasi itu dan bergegas membuka akun kloningan. Sudah ada beberapa pesan yang terlewatkan, termasuk pesan dari sekertaris kantor dan juga nomor-nomor lainnya. Satu persatu dia buka pesan itu. Sekertaris suaminya memberi kabar kalau dirinya datang ke kantor dan bertemu dengan Hrd. Ternyata memang benar Hanan memintanya untuk mengawasi pergerakannya di kantor nanti. [Kenapa harus lama di situ? Nggak kangen sama aku?] [Kangen banget, tapi ini semua demi kelancaran misi kita. Aku tidak mau semuanya terhendus oleh wanita buntal itu. Nanti rencana kita untuk membesarkan kantor itu dan menguasainya akan hancur.] Gendis menghela napas pelan, ternyata benar kecurigaannya selama ini. Hanan mempunyai wanita idaman lain. Dia tidak sabar ingin mengetahui semuanya, meski pelan dia akan mengumpulkan bukti-bukti perselingkuhan suaminya dan mengembalikan orang tidak tahu diri itu ketempat semula. Gendis menatap sekeliling, dadanya sedikit sesak mengetahui hal yang sebenarnya. Suami yang dia bangakan di depan papanya ternyata mendua. Pantas saja selama ini dia selalu menghindar dan mengabaikannya. Ternyata semua itu adalah alasannya, sehingga makian dan hinaan sering kali dia dapat dan bukan lagi perlakuan hangat. Mungkin Hanan mengira jika Gendis hanya wanita polos yang mudah dia manfaatkan. "Kamu bukan lagi kecintaanku, Bang. Mulai saat ini akan aku hapus semua rasa cinta yang kumiliki. Tidak ada lagi ruang bagi orang sepertimu!" geram Gendis yang sudah bersimbah air mata. Kesakitan, penghianatan, kebohongan, serta hal-hal lain yang Hanan perbuat memporak porandakan perasaannya. Wanita itu tergugu, tangisnya mengundang banyak pasang mata menatapnya. Dia menyadari keadaan itu, segera dia menghapus paksa air mata yang masih saja berjejalan ingin mewakili perasaannya. Sedikit berlari dia menuju ke parkiran menuju kendaraan roda empat yang dia parkir disana. Tanpa menunggu aba-aba dia menangis sejadi-jadinya di dalam mobil berwarna merah hati kesayangannya. Setelah puas dia menghapus jejak-jejak kesedihannya dengan tisu, dia tidak ingin orang lain tahu tentang kesediaannya. Gendis berniat menghubungi rumah, mengabarkan jika dia sedikit terlambat untuk sampai rumah. Tidak ingin lelaki kecilnya mencari-cari keberadaanya. Baru saja dia menyentuh dua kali layar ponselnya, sudah di kejutkan dengan foto seseorang yang sangat dia kenal. Ternyata dia belum keluar dari aplikasi wa milik suaminya. Ternyata dia adalah....Air mata yang berusaha dia tahan kembali lagi menganak sungai, Gendis mengepalkan tangan memukul-mukul stir mobil. Dia berusaha meredam gejolak di dalam dada. Teman yang selama ini dia banggakan ternyata masa lalu suaminya, dan ternyata sampai kini mereka masih berhubungan bahkan mereka merencanakan untuk merebut kekayaan dirinya. Ternyata waktu empat tahun itu tidak mampu membuat Hanan mencintainya, pengorbanan serta perjuangan Gendis memikat hati Hanan tidak berarti apa-apa. Gendis tidak mengira jika selama ini dia hanya di manfaatkan oleh suaminya agar bisa kembali ke masa lalunya. "Ternyata aku salah menilaimu, Bang. Cinta yang kau ucapkan tak ubahnya racun yang kau semaikan! Aku berjanji akan mengembalikan kamu ketempat semula!" teriaknya histeris. Tidak akan ada orang yang mendengar suaranya, kini dia hanya mampu menyesali sikapnya yang terburu-buru menerima cinta Hanan yang ternyata hanya sesaat. Puas mengeluarkan isi hati dan mulai tenang, dia turun dari mobilnya menuju
"Jadi mama tahu kalau Bang Hanan ada hubungan dengan Lita?" Sakit sampai ke ulu hati itu yang kini Gendis rasakan, ternyata semua itu sudah di rencanakan oleh suami dan juga mertuanya. "Baik, akan aku hempaskan kalian!" geram Gendis. Gendis menghubungi Hrd, hari ini dia akan berkunjung ke kantor cabang yang di dirikan oleh suami tanpa persetujuannya. Dia ingin melihat Lita, seperti apa dia sekarang. Setelah selesai dengan urusan paginya, bergegas dia menghampiri putra semata wayangnya. Dengan berat hati dia meninggalkan rumah beserta lelaki kecil yang membuatnya sulit untuk mengambil keputusan. Awal pagi yang membuat mood hancur, puing-puing kebohongan Hanan terkuak. Bahkan, semua itu telah tersusun rapi selama ini. Gendis yang sudah berjuang keras untuk berbakti, nyatanya semua itu tidak membuat Hanan berhenti mencari wanita lain. Gendis mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, meski kacau dia tidak ingin membahayakan orang lain juga dirinya atas kejadian yang menimpanya. Di
Siang yang terik begitu pula semangat Gendis untuk merebut kembali apa yang menjadi haknya. Meski tanpa dukungan orang tua, sebab dia tidak ingin orang tuanya banyak pikiran dengan masalah yang kini dia hadapi. "Bu, sudah sampai," ucap Sindi-sekertarisnya. Ibu muda itu terlihat gelagapan, sebab dia terlalu larut dalam lamunan, tetapi dia kembali bisa menguasai keadaan. "Ayo, turun," ajaknya. Dia beserta Hrd turun dan berjalan memasuki area kantor. Selama dia berada di kantor tidak terlihat sekertaris itu mengadukan sesuatu kepada Hanan, meski dia tau sangat ingin. Akan tetapi, Gendis membiarkan semua mengalir dan tidak terlihat seperti rekayasa.Gendis terdiam memandang bangunan bertingkat dua yang terlihat elegan. Bukankah itu adalah impiannya? Memiliki gedung yang indah dan elegan? Ternyata Tuhan memberi rencana lain, dibalik semua kebohongan Hanan ada impian yang terwujud melaluinya. Perjalanan yang lumayan jauh dia tempuh membuatnya tercengang dengan keadaan yang ternyata le
Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, saya kembali menggunkan POV 1, sebab saya mentok ide. POV : Gendis Ayu Maharani Kejam!Aku tidak habis pikir dengan kelakuan Bang Hanan, meski kutahu sejak awal kami kenal tidak ada sedikit pun rasa kepadaku. Akan tetapi, waktu empat tahun ternyata tidak mampu menumbuhkan cinta di hatinya, aku tahu ini memang salah.Membiarkan semua berjalan begitu saja tanpa mengetahui isi hatinya dan perlakuan buruknya. Sejauh ini semua terasa sangat menyakitkan melihat dia dengan tanpa segan ingin menguasai harta yang kukumpulan sebelum menikah dengannya , tetapi aku sudah sadar dan akan merebut kembali apa yang menjadi hakku. Lelah menghadapi kelakuan egoisnya, bahkan diam-diam dia kembali merajut tali kasih yang sempat kandas dengan kekasihnya. Dengan tanpa sepengetahuanku mereka berencana untuk menguasai seluruh hartaku, sedikit terlambat memang, tetapi itu lebih baik dari pada nanti sudah terlanjur. Walaupun diam-diam mereka mendirikan sebuah perusahan
"Heh, Ndut. Geser sedikit, nggak muat ni pintunya," ucap Hanan kepada istrinya-Gendis- di suatu sore. "Pintunya masih lebar, Bang," jawabnya sedikit bergeser. Semenjak melahirkan dan mengunakan alat kontresepsi hormonal, badan langsing Gendis berubah total. Wajahnya tidak lagi glowing, badannya berlemak di sana sini, wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. "Kalau udah tau badan lebar, jangan berdiri di sembarang tempat! Badan kamu yang segede itu memakan tempat!" Ketus Hanan membuat Gendis berkali-kali terluka dengan ucapannya. "Aku begini karena memperjuangkan anak kamu, Bang. Biar kamu dapat gelar seorang ayah. Kenapa kamu selalu saja mempermasalahkannya? Dulu kamu nggak gini-gini amat?" Gendis mencoba membela diri. Sudah dua bulan suaminya berlaku demikian, sering kali membentak dan menghina tubuh gendis yang beratnya lebih dari 70kilogram. Benar, hormon KB menyebabkan banyak perubahan kepada setiap penggunanya, salah satunya adalah Gendis ini. Semenjak anaknya berusia dua
"Selamat pagi, Mbak Gendis," sapa salah satu karyawan di kantor miliknya. "Pagi juga, apa kabar kalian?" tanyanya sembari berjalan menuju ruangan suaminya. Sudah sejak lama Gendis tidak berkunjung ke tempat usaha miliknya itu, bukan tanpa alasan. Suaminya meminta agar dia fokus membesarkan anaknya tanpa campur tangan siapapun. Kini dia kembali untuk melihat secara langsung kinerja para karyawannya dan juga ingin kembali bekerja seperti dulu lagi.Sikap sang suami membuatnya malas jika hanya diam saja di rumah seperti permintaannya. Betul, rida suami lebih utama, tetapi jika sudah menginjak-injak harga diri bukankah lebih baik jika kita membela diri? "Em, Mbak. Sebentar, saya mau tanya?" suara salah satu dari mereka sukes membuat Gendis menghentikan langkahnya. "Iya, ada apa?" "Em... Kenapa baru sekarang datang? Kami semua rindu kehadiran, Mbak." Perkataan itu membuat Gendis sedikit keheranan.Melihat mereka merasa canggung membuat Gendis sedikit menaruh curiga, tetapi dia tidak
Hanan tetap seperti semula membiarkan Gendis dan juga anaknya terabaikan, sepertinya dia mengabaikan ancaman Gendis. Ting. Ponsel Gendis berbunyi, satu pesan masuk dari nomer yang tidak di kenal, setelah membuka aplikasi berlogo ganggang telepon berwarna hijau tersebut, Gendis baru tahu siapa pengirim pesan. [Kenapa kamu diam saja saat suamimu berlaku kasar? Kamu benar-benar buta oleh cinta, Dis. Kamu susah-susah mengurus anak dan memilih mengurus rumah sendiri, suamimu enak-enakan makan dengan wanita lain! Kamu ingat wanita tempo hari. Sepertinya dia biangnya. Bastian]Bastian mengirim sebuah foto yang lumayan dekat, Hanan sedamg tertawa bersama wanita yang kemarin mengusir Gendis dari kantornya. [Usut, Bas!][Siap. Berubahlah sekarang. Jangan mau di bodohi oleh orang nggak tau diri kayak Hanan!.]Gendis hanya membaca pesan terakhir dari sahabatnya itu, tidak ingin membalas apa pun. Yang ada di pikirannya sekarang, hanya bagaimana dia bisa kembali seperti dulu. "Lebih baik aku
"Kamu ngapain, Dis?" Seketika jantung Gendis seolah berhenti. Segera dia menghampiri sang suami, sebelum mendekat dia menyimpan ponselnya ke dalam saku daster lebarnya. "Abang nggak tidur?" tanyanya. Khawatir aksinya tadi kepergok suaminya. "Haus, ambilin minum," perintahnya. Segera dia beranjak mengerjakan perintah sang suami, dengan hati terus berdebar Gendis merapalkan doa-doa agar semua aman sesuai dengan harapannya. "Kenapa kamu belum tidur?" tanya Hanan setelah sang istri mengangsurkan gelas berisi air putih. "Kebelet aja tadi. Abang belum tidur apa gimana?" tanya Gendis was-was. "Udah tidur enak banget malah tengorokan kering. Makanya aku minta kamu ambilin air. Udah aku mau lanjut tidur lagi," jawab Hanan sembari membetulkan selimut. Gendis bernapas lega, ternyata sang suami tidak mengetahui aksinya tadi. "Dis, jangan lupa barang-barangku jangan sampai ada yang ketinggalan," ucap Hanan, lalu kembali membenamkan diri dalam selimut. "Iya," jawabnya. Gendis segera bera