"Selamat pagi, Mbak Gendis," sapa salah satu karyawan di kantor miliknya.
"Pagi juga, apa kabar kalian?" tanyanya sembari berjalan menuju ruangan suaminya. Sudah sejak lama Gendis tidak berkunjung ke tempat usaha miliknya itu, bukan tanpa alasan. Suaminya meminta agar dia fokus membesarkan anaknya tanpa campur tangan siapapun. Kini dia kembali untuk melihat secara langsung kinerja para karyawannya dan juga ingin kembali bekerja seperti dulu lagi. Sikap sang suami membuatnya malas jika hanya diam saja di rumah seperti permintaannya. Betul, rida suami lebih utama, tetapi jika sudah menginjak-injak harga diri bukankah lebih baik jika kita membela diri? "Em, Mbak. Sebentar, saya mau tanya?" suara salah satu dari mereka sukes membuat Gendis menghentikan langkahnya. "Iya, ada apa?" "Em... Kenapa baru sekarang datang? Kami semua rindu kehadiran, Mbak." Perkataan itu membuat Gendis sedikit keheranan. Melihat mereka merasa canggung membuat Gendis sedikit menaruh curiga, tetapi dia tidak mau gegabah. "Memangnya kenapa?" "Nggak apa-apa Mbak. Kami kangen saja Mbak Gendis ngantor lagi," ucap gadis yang sudah bekerja cukup lama di kantornya. "Sebenarnya kalian ini kenapa?" Derap langkah sepatu beradu dengan lantai membuat mereka seketika menghentikan obrolan. "Jangan lupa siapkan berkas-berkas yang kemarin kuminta," ucap seorang gadis berpakaian seksi, berambut pirang sebahu dan bibir merah merona membuat Gendis seketika mengenyeritkan dahi. "Baik, Mbak," jawab mereka serentak. Tidak ada yang membantah perintah itu, mereka seolah di cucuk hidungnya. Gendis tidak tahu siapa perempuan itu, sebab suaminya tidak pernah bercerita tentang masalah kantor dan jika ada staff maupun pekerja baru, tetapi sikap wanita ini berlagak seolah kantor itu miliknya. Akan tetapi, Gendis membiarkan wanita itu pergi tanpa bertanya apa pun. Dia tidak ingin jika sampai ada orang tahu tentang kecurigaannya kepada sang suami. "Akhirnya kamu datang, Dis!" "Bastian? Ngapain ke sini?" tanya Gendis heran. Pasalnya sahabat lamanya itu sudah sejak lama tidak pernah menunjukan batang hidungnya. Akhirnya Gendis mengurungkan niat menuju ruangan suaminya, dia memilih mengajak sahabat lamanya itu duduk di sofa yang di sediakan di ujung kantor miliknya itu. Bastian berjalan mengekor di belakang sahabatnya itu, lalu sama-sama menghempaskan bobot tubuh mereka bersamaan. "Kenapa nomer kamu nggak aktif?" tanya laki-laki dewasa yang sudah mengenal Gendis sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. "Hape aku rusak, ganti hape malah lupa nomor-nomor pada ilang semua," jawab Gendis sembari mengeluarkan ponsel miliknya. "Yaa ampun! Seorang Gendis pakai hape kayak gitu? Kemana Gendis yang dulu?" ejek Bastian. Gendis menimbang dan membolak-balikan posel yang beberapa bulan lalu suaminya belikan. "Yang penting fungsinya," jawabnya menirukan gaya bicara suaminya dulu sewaktu dia protes di belikan hape murahan. Bastian justru tertawa mendegar jawaban Gendis, kekonyolan menjadi ciri khasnya. Jadi Gendis tidak merasa sang sahabat menghina dirinya. "Apaan, si!" bentak Gendis sembari melempar buku majalah yang ada di hadapannya itu tepat di wajah sahabatnya. "Iya! Iya, maap," guraunya lagi. "Ngapain nyariin? Nggak laku, Lu?Aku kira sudah beranak pinak" ejek Gendis kembali. "Enak saja! Biar ganteng-ganteng begini banyak yang ngantri," jawab Bastian sembari menyimpan nomor ponsel sahabatnya itu. Mereka bercanda melepaskan rindu, kekocakan dan kekompakan mereka mengundang penasaran. "Maaf di sini bukan tempat untuk bercanda, silahkan keluar dari tempat ini," perintah gadis yang sedari tadi membuat Gendis bertanya-tanya. Gendis dan Bastian hanya saling pandang, heran dengan perlakuan orang ini. Tapi apa dia tidak tahu kalau Gendis adalah pemilik perusahaan ini? "Gendis? Ngapain kamu disini?" tanya Hanan yang tiba-tiba sudah berada di belakang wanita itu. "Mas kenal?" tanyanya heran. "Sudah, kamu pergi ke ruangan kamu," perintah Hanan yang di setujui wanita itu, hingga dia berlalu sesuai perintah Hanan. "Hai, Nan. Apa kabar?" tanya Bastian. "Baik. Kamu Gendis ngapain kesini? Gimana anak kita? Siapa yang ngurus? Dasar sudah di bilang jangan pergi-pergi malah nekat kesini!" bentak Hanan dengan nada penuh penekanan. "Baik, aku pulang," jawab Gendis sembari menyeret Bastian keluar dari kantornya miliknya. Setelah keluar dari kantor tersebut, Bastian meminta Gendis agar selalu memberi kabar tentang dirinya. Sepertinya Bastian khawatir melihat perlakuan Hanan tadi di kantor. Sebagai seorang teman, Bastian pasti sangat mengenal karakter seorang Gendis. Dia bukan tipe pembangkang, tetapi jika ada yang berbuat semena-mena dia akan mengatur strategi untuk melawan. *** "Ngapain tadi kamu ke kantor?" tanya Hanan setelah menenggak air mineral untuk meredakan kehausannya. "Itu kantor miliku jadi aku berhak datang kapan saja!" Suara Gendis sedikit naik beberapa oktaf. Mungkin dia sudah lelah di perlakukan semena-mena oleh suami yang dulu sangat menyayanginya. "Aku tahu, kenapa nggak bilang dulu?" "Buat apa? Sedang Abang sendiri tidak pernah bilang apa pun tentang kantorku, siapa wanita tadi? Kenapa Abang tidak pernah bilang apa pun tentang keadaan kantor? Tentang keuangan apa lagi?" keluh Gendis. Bukan malah sadari diri, Hanan justru tersulut emosi mendengar perkataan istrinya barusan. "Jadi kamu tidak percaya sama abang? Mati-matian aku berjuang membesarkan kantor kecilmu itu, kamu malah mengira yang tidak-tidak!" "Abang pikir setelah kantor kecilku itu di kelolah oleh Abang jadi besar? Trus apa Abang pernah berpikir dari mana Abang dan keluarga Abang yang toxic itu makan dan bergaya jika bukan dari kantor yang di bilang Abang kecil itu!" Gendis mengeluarkan semua isi kepala yang selama ini dia pendam seorang diri. "Keterlaluan kamu, Dis. Mengungkit-ungkit semua itu!" bentak Hanan. Tangan kekar Hanan tidak mampu menyentuh pipi Gendis, karena dengan sigap Gendis menepisnya. "Jika sampai tangan itu menyentuh kulitku, kupastikan keluarga dan kamu sendiri, Bang. Akan kelaparan dan kembali seperti semula!" ancam Gendis.Hanan tetap seperti semula membiarkan Gendis dan juga anaknya terabaikan, sepertinya dia mengabaikan ancaman Gendis. Ting. Ponsel Gendis berbunyi, satu pesan masuk dari nomer yang tidak di kenal, setelah membuka aplikasi berlogo ganggang telepon berwarna hijau tersebut, Gendis baru tahu siapa pengirim pesan. [Kenapa kamu diam saja saat suamimu berlaku kasar? Kamu benar-benar buta oleh cinta, Dis. Kamu susah-susah mengurus anak dan memilih mengurus rumah sendiri, suamimu enak-enakan makan dengan wanita lain! Kamu ingat wanita tempo hari. Sepertinya dia biangnya. Bastian]Bastian mengirim sebuah foto yang lumayan dekat, Hanan sedamg tertawa bersama wanita yang kemarin mengusir Gendis dari kantornya. [Usut, Bas!][Siap. Berubahlah sekarang. Jangan mau di bodohi oleh orang nggak tau diri kayak Hanan!.]Gendis hanya membaca pesan terakhir dari sahabatnya itu, tidak ingin membalas apa pun. Yang ada di pikirannya sekarang, hanya bagaimana dia bisa kembali seperti dulu. "Lebih baik aku
"Kamu ngapain, Dis?" Seketika jantung Gendis seolah berhenti. Segera dia menghampiri sang suami, sebelum mendekat dia menyimpan ponselnya ke dalam saku daster lebarnya. "Abang nggak tidur?" tanyanya. Khawatir aksinya tadi kepergok suaminya. "Haus, ambilin minum," perintahnya. Segera dia beranjak mengerjakan perintah sang suami, dengan hati terus berdebar Gendis merapalkan doa-doa agar semua aman sesuai dengan harapannya. "Kenapa kamu belum tidur?" tanya Hanan setelah sang istri mengangsurkan gelas berisi air putih. "Kebelet aja tadi. Abang belum tidur apa gimana?" tanya Gendis was-was. "Udah tidur enak banget malah tengorokan kering. Makanya aku minta kamu ambilin air. Udah aku mau lanjut tidur lagi," jawab Hanan sembari membetulkan selimut. Gendis bernapas lega, ternyata sang suami tidak mengetahui aksinya tadi. "Dis, jangan lupa barang-barangku jangan sampai ada yang ketinggalan," ucap Hanan, lalu kembali membenamkan diri dalam selimut. "Iya," jawabnya. Gendis segera bera
"Katakan saja Gendis Ayu Maharani ingin bertemu!" Gadis itu terkesiap, antara yakin dan tidak dengan nama yang baru saja dia sebutkan. Pasalnya yang dia tahu selama ini, seorang yang bernama Gendis Ayu Maharani dan fotonya terpajang di meja bosnya itu sangat elegan dan modis. "Maaf, Mbak Gendisnya mana, ya?" tanyanya terlihat rikuh. "Saya Gendis. Kenapa?" "Jangan sembarangan, Mbak. Bisa kena pasal kalau nipu orang!" sungutnya sembari bersedekapTanpa menunggu jawaban Gendis, gadis itu segera berjalan menuju ke ruangan Hrd. Dia keluar dengan orang yang Gendis maksud. "Mbak Gendis? Apa kabar?" tanyanya sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman."Baik, Pak. Boleh saya menggangu waktunya sebentar?" tanya Gendis ramah. "Saya kan di sini yang gaji, Mbak. Masa harus izin dulu," candanya mencairkan suasana.Gendis mengikuti langkah Hrd--Harnadi--di belakangnya. Menuju ruang yang yang hampir dua tahun ini tidak pernah dia datangi. "Ada apa, Mbak?" tanya Harnadi merasa keheranan. "Aku
Air mata yang berusaha dia tahan kembali lagi menganak sungai, Gendis mengepalkan tangan memukul-mukul stir mobil. Dia berusaha meredam gejolak di dalam dada. Teman yang selama ini dia banggakan ternyata masa lalu suaminya, dan ternyata sampai kini mereka masih berhubungan bahkan mereka merencanakan untuk merebut kekayaan dirinya. Ternyata waktu empat tahun itu tidak mampu membuat Hanan mencintainya, pengorbanan serta perjuangan Gendis memikat hati Hanan tidak berarti apa-apa. Gendis tidak mengira jika selama ini dia hanya di manfaatkan oleh suaminya agar bisa kembali ke masa lalunya. "Ternyata aku salah menilaimu, Bang. Cinta yang kau ucapkan tak ubahnya racun yang kau semaikan! Aku berjanji akan mengembalikan kamu ketempat semula!" teriaknya histeris. Tidak akan ada orang yang mendengar suaranya, kini dia hanya mampu menyesali sikapnya yang terburu-buru menerima cinta Hanan yang ternyata hanya sesaat. Puas mengeluarkan isi hati dan mulai tenang, dia turun dari mobilnya menuju
"Jadi mama tahu kalau Bang Hanan ada hubungan dengan Lita?" Sakit sampai ke ulu hati itu yang kini Gendis rasakan, ternyata semua itu sudah di rencanakan oleh suami dan juga mertuanya. "Baik, akan aku hempaskan kalian!" geram Gendis. Gendis menghubungi Hrd, hari ini dia akan berkunjung ke kantor cabang yang di dirikan oleh suami tanpa persetujuannya. Dia ingin melihat Lita, seperti apa dia sekarang. Setelah selesai dengan urusan paginya, bergegas dia menghampiri putra semata wayangnya. Dengan berat hati dia meninggalkan rumah beserta lelaki kecil yang membuatnya sulit untuk mengambil keputusan. Awal pagi yang membuat mood hancur, puing-puing kebohongan Hanan terkuak. Bahkan, semua itu telah tersusun rapi selama ini. Gendis yang sudah berjuang keras untuk berbakti, nyatanya semua itu tidak membuat Hanan berhenti mencari wanita lain. Gendis mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, meski kacau dia tidak ingin membahayakan orang lain juga dirinya atas kejadian yang menimpanya. Di
Siang yang terik begitu pula semangat Gendis untuk merebut kembali apa yang menjadi haknya. Meski tanpa dukungan orang tua, sebab dia tidak ingin orang tuanya banyak pikiran dengan masalah yang kini dia hadapi. "Bu, sudah sampai," ucap Sindi-sekertarisnya. Ibu muda itu terlihat gelagapan, sebab dia terlalu larut dalam lamunan, tetapi dia kembali bisa menguasai keadaan. "Ayo, turun," ajaknya. Dia beserta Hrd turun dan berjalan memasuki area kantor. Selama dia berada di kantor tidak terlihat sekertaris itu mengadukan sesuatu kepada Hanan, meski dia tau sangat ingin. Akan tetapi, Gendis membiarkan semua mengalir dan tidak terlihat seperti rekayasa.Gendis terdiam memandang bangunan bertingkat dua yang terlihat elegan. Bukankah itu adalah impiannya? Memiliki gedung yang indah dan elegan? Ternyata Tuhan memberi rencana lain, dibalik semua kebohongan Hanan ada impian yang terwujud melaluinya. Perjalanan yang lumayan jauh dia tempuh membuatnya tercengang dengan keadaan yang ternyata le
Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, saya kembali menggunkan POV 1, sebab saya mentok ide. POV : Gendis Ayu Maharani Kejam!Aku tidak habis pikir dengan kelakuan Bang Hanan, meski kutahu sejak awal kami kenal tidak ada sedikit pun rasa kepadaku. Akan tetapi, waktu empat tahun ternyata tidak mampu menumbuhkan cinta di hatinya, aku tahu ini memang salah.Membiarkan semua berjalan begitu saja tanpa mengetahui isi hatinya dan perlakuan buruknya. Sejauh ini semua terasa sangat menyakitkan melihat dia dengan tanpa segan ingin menguasai harta yang kukumpulan sebelum menikah dengannya , tetapi aku sudah sadar dan akan merebut kembali apa yang menjadi hakku. Lelah menghadapi kelakuan egoisnya, bahkan diam-diam dia kembali merajut tali kasih yang sempat kandas dengan kekasihnya. Dengan tanpa sepengetahuanku mereka berencana untuk menguasai seluruh hartaku, sedikit terlambat memang, tetapi itu lebih baik dari pada nanti sudah terlanjur. Walaupun diam-diam mereka mendirikan sebuah perusahan
"Heh, Ndut. Geser sedikit, nggak muat ni pintunya," ucap Hanan kepada istrinya-Gendis- di suatu sore. "Pintunya masih lebar, Bang," jawabnya sedikit bergeser. Semenjak melahirkan dan mengunakan alat kontresepsi hormonal, badan langsing Gendis berubah total. Wajahnya tidak lagi glowing, badannya berlemak di sana sini, wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. "Kalau udah tau badan lebar, jangan berdiri di sembarang tempat! Badan kamu yang segede itu memakan tempat!" Ketus Hanan membuat Gendis berkali-kali terluka dengan ucapannya. "Aku begini karena memperjuangkan anak kamu, Bang. Biar kamu dapat gelar seorang ayah. Kenapa kamu selalu saja mempermasalahkannya? Dulu kamu nggak gini-gini amat?" Gendis mencoba membela diri. Sudah dua bulan suaminya berlaku demikian, sering kali membentak dan menghina tubuh gendis yang beratnya lebih dari 70kilogram. Benar, hormon KB menyebabkan banyak perubahan kepada setiap penggunanya, salah satunya adalah Gendis ini. Semenjak anaknya berusia dua