Share

Mulai bertindak

"Jadi mama tahu kalau Bang Hanan ada hubungan dengan Lita?" 

Sakit sampai ke ulu hati itu yang kini Gendis rasakan, ternyata semua itu sudah di rencanakan oleh suami dan juga mertuanya. 

"Baik, akan aku hempaskan kalian!" geram Gendis. 

Gendis menghubungi Hrd, hari ini dia akan berkunjung ke kantor cabang yang di dirikan oleh suami tanpa persetujuannya. Dia ingin melihat Lita, seperti apa dia sekarang. 

Setelah selesai dengan urusan paginya, bergegas dia menghampiri putra semata wayangnya. Dengan berat hati dia meninggalkan rumah beserta lelaki kecil yang membuatnya sulit untuk mengambil keputusan. 

Awal pagi yang membuat mood hancur, puing-puing kebohongan Hanan terkuak. Bahkan, semua itu telah tersusun rapi selama ini. Gendis yang sudah berjuang keras untuk berbakti, nyatanya semua itu tidak membuat Hanan berhenti mencari wanita lain. 

Gendis mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, meski kacau dia tidak ingin membahayakan orang lain juga dirinya atas kejadian yang menimpanya. 

Dia merogoh tas yang ia letakan di jok samping, mengambil ponsel dan mulai mencari nomor orang yang saat ini pasti sangat bisa membantunya. 

Bastian. 

"Assalamualaikum, Dis. Ada apa?" 

Setelah sambungan telepon terhubung ia lantas meletakan ponsel, lalu kembali fokus menyetir. Sebelumnya dia sudah menyalahkan mode loudspeker. 

"Waalaikumussalam. Bas, ternyata bukan wanita di balik foto itu yang membuat bang Hanan berubah." 

"Lalu siapa?" 

"Lita. Mantan bang Hanan, sebelum menikah denganku mereka berpacaran lumayan lama, setauku Lita menolak Hanan saat akan melamarnya karena waktu itu dia belum kerja." 

"Jadi mereka masih berhubungan?" 

"Tentunya. Yang paling membuatku sedih, ternyata mama pun tau semuanya. Apa jangan-jangan mereka memang merencanakan semua ini, ya, Bas?" 

"Bisa jadi. Toh, selama ini mertuamu tidak pernah menyukaimu 'kan? Jadi kamu harus ekstra hati-hati. Mungkin mereka merencanakan hal lain," jelas Bastian. 

"Bantu aku, ya?" 

"Tentu, yang terpenting kamu jaga kesehatan, biar bisa balas kelakuan mereka!" 

"Siap." 

Tanpa salam Gendis menutup sambungan telepon sepihak, dalam benaknya kini hanya ingin membalas kecurangan suaminya. 

***

Langkah ibu muda itu terlihat tegas, meski hatinya tidak menentu dia tidak ingin orang lain memgetahui kegalauannya. 

"Selamat pagi, Mbak. Jadi ke kantor cabang hari ini?" tanya Harnadi setelah berhadapan dengan Gendis. 

"Tentu, Pak." 

"Mau berangkat sekarang atau nanti?" 

"Nanti jam sepuluh saja, Pak. Aku ingin berada di sini dulu," jawabnya ramah. 

Harnadi hanya mengangguk mengiyakan perintah atasannya. Sementara Gendis berlalu menuju ruangan yang selama ini dia tinggalkan selama beberapa tahun. Suasana di ruangan itu sudah banyak berubah, tetapi untuk meja besar yang dulu menjadi singgah sananya masih tetap sama. 

Foto-foto dirinya sudah berkurang, bahkan nyaris tinggal beberapa saya yang masih berbingkai lengkap. Hanan sudah merombak semua sudut tempat itu. 

Gendis berjalan menuju kursi besar kesayangannya dulu, duduk dan memikirkan banyak hal tentunya. 

Dia melirik meja sekertaris yang harusnya sudah stand bay di sana, tetapi jam sudah menunjukan angka sembilan dia belum juga menampakan batang hidungnya. 

Gendis tidak ingin ambil pusing, dia lantas mengambil poselnya. Lalu, membuka aplikasi kloningan milik suaminya. 

Tanpa berpikir panjang, dia mengambil gambar setiap chat yang menurutnya akan menjadi bukti tambahan untuk mengungkap perselingkuhan suaminya. 

"Terima kasih Yaa Allah, telah Engkau bukakan kebohongan ini. Jadikan hamba semakin kuat," gumamnya sembari mendekap posel. 

Bunyi pintu di buka kasar membuat Gendis terjingkat. Sekertaris yang seharusnya datang lebih awal darinya justru datang kesiangan, atau jangan-jangan dia terbiasa datang siang seperti ini. 

Gendis berdeham, membuat gadis berambut pirang itu menghentikan langkah. 

"Eh..., maaf, Bu. Saya terlambat," katanya sembari menunduk dan berjalan menuju kursinya. 

"Terbiasa masuk siang? Apa pak Hanan tidak menegurmu? Bukankah seharunya kamu datang lebih awal dari pada atasanmu?" cerca Gendis. 

Gendis menautkan kedua tangan di atas meja dan tetap fokus menatap gadis di depannya. 

"Maaf, Bu. Baru kali ini saya terlambat, tadi tiba-tiba mobilku macet," kilahnya. 

"Yakin?" Gendis masih tidak percaya dengan alasan sekretarisnya itu. 

"Yakin, Bu. Saya minta maaf." 

"Lain kali jangan di ulangi," imbuhnya. 

"Baik, Bu. Nanti siang ada pertemuan di kantor cabang. Seharunya Pak Hanan yang datang, tetapi karena beliau sedang pergi maka ibu perlu datang kesana," jelasnya. 

"Oke, catat saja apa yang perlu aku lakukan. Jangan sampai ada yang terlewat!" 

Gadis itu mendekat menyerahkan beberapa berkas yang perlu Gendis tanda tangani. Sebelum membubuhkan tanda tangan Gendis membaca ulang setiap berkas.  

Setelah membaca dan menandatangi berkas-berkas itu, Gendis kembali menyerahkan semua berkas itu kepada sekretaris yang duduk di hadapannya. 

"Semua sudah siap, tidak ada yang terlewat," kata Gendis. 

"Baik, Bu." 

Gendis berjalan keluar ruangan, dia merasa sesak saat teringat semuanya. Kejadian-kejadian itu berputar terus di otaknya. 

Ponsel yang ia genggam bergetar, dia mengira hanya notif seperti biasa. Dan tidak berniat untuk membukanya. 

Akan tetapi, justru ponsel itu berdering sangat nyaring, menandakan bahwa ada panggilan masuk. 

Hanan. 

Nama yang tertera jelas di posel Gendis, dulu sebelum kebohongan suaminya terbongkar dia masih menyimpan nomor suaminya dengan nama 'Suamiku', tetapi setelah semua terbongkar dia mengubahnya dengan nama saja. 

Awalnya dia membiarkan panggilan itu hingga panggilan kedua dia baru mengangkat panggilan itu. 

"Assalamualaikum, Bang." 

"Waalaikumussalam, kenapa semua rekening dan aplikasi Mbankingku tidak bisa di gunakan?" 

Gendis sudah tahu, pasti suaminya hanya akan menanyakan prihal dia tidak bisa lagi menggunkan semua fasilitas yang Gendis percayakan. 

"Mbanking milikmu? Yang mana aku nggak tau?" tanya Gendis pura-pura tidak paham. 

"Iya, punya kamu. Kenapa nggak bisa di gunakan?" Hanan terdengar kesal. 

"Di situ ada papa yang membiayai semua kebutuhan abang selama di situ, jadi buat apa?" 

"Aku nggak bisa beli apa-apa kalau gini caranya. Kembalikan seperti semula! Atau...!" 

"Atau apa?" Gendis menyela ucapan suaminya, "abang akan memakiku? Menamparku? Lakukan saja kalau bisa! Atau abang mau kembali miskin seperti dulu!" ancam Gendis. 

Tentu saja Hanan tidak mau seperti dulu lagi, tidak mempunyai apa-apa selain nyawa di badan. 

"Terserahlah!" bentak Hanan, lalu mematikan sambungan telepon sepihak.  

"Ini hanya awal, nanti akan kupastikan kau akan kembali seperti dulu!" gumam Gendis geram. 

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status