“Jangan mengada-ngada Oma, wajah tertutup seperti itu, bagaimana jika teman-teman sosialita Mamah tanya, cantik apa nggak mantunya? Mamah harus bilang apa, mau bilang cantik, tapi wajahnya tertutup seperti itu,” gerutu Risma kesal.
“Cantik kok, Zahira sangat cantik, bukan hanya cantik wajah, tapi hatinya juga cantik.” Oma Sinta menjawab keraguan Risma.
“Sudah, kita makan dulu,” ajak Ridwan Wira Atmaja suami Risma.
Semuanya yang duduk di kursi makan, mulai menyuap menu di depan piring, seperti biasa, Zahira memakan dengan cadar masih terpakai, ia memasukan sendok ke dalam cadarnya . Risma dan Ridwan hanya memperhatikan cara makan Zahira.
“Alan, menginaplah di sini beberapa hari, Oma mau belajar ngaji pada Zahira,” titah sang Oma.
“Tidak, Oma, aku tidak mau menginap di sini,” sahut Alan, tampak khawatir, jika menginap di rumah orang tuanya, itu berarti dia satu kamar dengan Zahira, pasti akan mempersulit aktivitasnya, jika satu kamar dengan Zahira.
“Kenapa keberatan, Oma disini hanya satu minggu, setelah itu akan kembali ke Yogyakarta, jadi turuti permintaan Oma,” tegas Sinta.
Alan, berdecak kesal, seraya memutar bola matanya, mau tidak mau ia harus menuruti kemauan sang Oma.
Dalam hati, Risma tersenyum licik, bagi dirinya ini adalah kesempatan untuk membuat Zahira tidak betah menjadi menantunya dan segera meminta cerai Alan.
Malam semakin larut, Alan dan Zahira memasuki kamar. Kamar pribadi Alan, kamar besar dengan fasilitas lengkap, ranjang ukuran king zise, berada di tengah, di sampingnya ada meja kerja, ada pula lemari pendingin, juga ada alat gim di depan balkon.
Zahira hanya berdiri di ambang pintu, ia terlihat bingung sembari menatap dan mengagumi kamar yang ukurannya hampir sama dengan rumah kecilnya di kampung.
“Kenapa berdiri, cepat masuk dan tutup pintu,” suruh Alan.
Tanpa menjawab, Zahira menutup pintu lalu melangkah pelan.
”Mas Alan, aku tidur di mana?”
“Pakai nanya, itu ‘kan ada sofa, tidur saja di situ.” Alan menunjuk sofa dengan dagunya, dan menatap kesal Zahira.
“Baik, tapi satu lagi Mas, aku ke sini tidak bawa ganti baju, bagaimana?”
Alan menghela napas. ”Ini pilih baju yang kamu suka, nanti akan diantar kurir, itu butik langganan keluarga, aku rasa baju model yang sering kamu pakai ada, cepat pilih !”
Zahira meraih ponsel milik Alan, lalu memilih beberapa baju khimar dan membelinya.
“Sudah Mas, satu lagi, Hira mau sholat, dan ketika sholat tidak memakai cadar.”
“Ya..ya.. aku tahu maksudmu, aku juga tidak ingin atau penasaran dengan wajahmu.” Alan berucap sembari duduk di kursi menghadap dinding dan mulai sibuk dengan tablet di tangannya.
Usai salat, Zahira membaca ayat suci sesuai kebiasaannya, sekitar lima belas menit, semula Alan merasa agak terganggu, tapi lama-lama mulai menikmati, ia sejenak menyingkirkan tablet dan mulai menikmati suara merdu Zahira, walau Alan tidak tahu artinya, suara merdu Zahira, membuatnya terhipnotis.
Lima belas menit berlalu, Zahira membuka mukena dan memakai cadar kembali, lalu merapikan sajadah dan mukenanya dan ditaruh di atas meja kecil di sudut kamar, setelahnya ia membaringkan tubuhnya di sofa dan memejamkan matanya.
Hening.... membuat Alan berlahan menoleh dan berjalan mendekati sofa. Alan mendapati Zahira sudah tertidur lelap.
“Cepat sekali tidurnya, seperti tidak ada beban hidup saja ini cewek, padahal tadi pas makan malam dibuly oleh Mama,” gumam pelan Alan.
Alan menatap wajah yang tertutup cadar, ia teringat akan perkataan sang Oma, bahwa Zahira cantik.
”Masa sih, gadis kecil dari kampung ini cantik,” gumamnya lagi.
Ahhh sial, kenapa aku harus peduli, tidak mungkin Zahira cantik, malah sebaliknya, aku yakin ia memakai cadar untuk menutupi kekurangannya, batin Alan.
Pagi masih berkabut, sinar mentari belum tampak di ufuk timur. Zahira terbangun dan di sebelahnya ada beberapa paper bag yang berisi pakaian, Zahira pun meraih salah satu paper bag dan membawanya ke kamar mandi. Setelahnya ia sudah terlihat rapi, dengan gamis santai dan cadarnya, lalu berjalan keluar kamar, pagi ini ia sudah janji akan menemani Oma Sinta, jalan santai di sekitar komplek.
Terlihat oma Sinta dan Zahira berjalan ke arah masjid komplek, dan melaksanakan shalat subuh berjamaah.
Setelah itu, keduanya kembali berjalan menuju rumah sembari berbincang. ”Oma sudah setua ini, tapi sholatnya masih saja bolong-bolong, kamu baru saja menginjak usia 20 tahun, sudah menjalankan sholat wajib lima waktu, dan pinter ngaji, pasti wanita yang melahirkanmu adalah wanita yanag hebat Zahira, bisa mendidik seorang anak dengan akhlak yang baik,” ujar Sinta.
“Ibuku wanita biasa saja, Oma. Ibu hanya pedangang sayur, beliau menjalankan perintah Allah, bagaimana mendidik anak-anak, mengutamakan ilmu agama sejak dini adalah yang terpenting,” jawab wanita muda dengan pelan dan santun.
“Oma benar-benar kagum, dengan cara mendidik ibumu. Tapi bagaimana wanita sebaik ibumu, bisa menjadi wanita kedua, dalam rumah tangga Pak Wijaya?” Oma Sinta begitu penasaran, karena gosip yang beredar, Zahira adalah putri simpanan Pak Wijaya.
“Semua itu tidak benar, Oma, tapi, maaf, saya tidak bisa menceritakannya,” balas Zahira tampak sedih, terdengar dari nada bicaranya.
“Baiklah, Zahira, kamu tidak perlu menjelaskannya, setiap pernikahan memiliki ujiannya sendiri, aku harap pernikahanmu dengan Alan, baik-baik saja, dan segera memberikan kami cucu.”
Zahira hanya tersipu malu, bagaimana mungkin akan lahir cucu, jika Alan saja sudah berencana menceraikannya.
Wanita sepuh itu berjalan pelan, di sampingnya Zahira yang sesekali memegang lengan oma Sinta, yang sudah kesulitan berjalan.
Keduanya memasuki pintu depan rumah, terlihat Risma yang baru keluar kamar merasa heran, sepagi ini oma Sinta sudah bangun.
“Dari mana kalian?”
“Aku dan Zahira dari masjid komplek.”
“Ngapain.”
“Ya sholat lah Ris, masa belanja.“ Oma Sinta menatap Risma.
”Oh ya Ris, rumah sebesar ini, mbok ya di kasih ruang untuk sholat, semacam mushola, jadi kita bisa sholat berjamah,” pinta oma Sinta.
Risma menggeleng. ”Wah-wah, baru satu hari tinggal di sini, kamu sudah menyihir Oma, Zahira?”
“Maaf Mama Risma, Hira tidak mempengaruhi Oma.”
“Jangan salahkan Zahira, ini kemauanku sendiri, sudah aku nanti akan bicara dengan Ridwan saja, tidak ada gunanya berbicara denganmu,” timpal Oma Sinta.
Oma Sinta berjalan menuju kamarnya, sementara itu Zahira, menjadi tidak enak pada Risma.
“Zahira, sana bantu Bibik memasak untuk sarapan, karena kau di sini, kamu harus bantu pekerjaan rumah, paham ‘kan?”
“Iya Mamah Risma.” tanpa membantah ucapan Risma, Zahira bergegas menuju dapur, di sana sudah ada asisten rumah tangga.
“Saya akan bantu memasak Bi,” ucap Zahira.
“Oh Nyonya muda, tidak usah,” sahut wanita baya merasa sungkan, atas kehadiran Zahira di dapur.
“Biarkan, Zahira membantu Bi Darni,” suruh Risma.
Akhirnya wanita yang bernama Darni itu, membiarkan Zahira memasak, bagi Zahira, tidak ada masalah, memasak sudah menjadi kebiasannya, bahkan ia tahu beberapa menu restoran, dan ia juga sebenarnya hoby memasak dan mencoba berbagai menu.
Beberapa menu sarapan sudah tersaji, lengkap dengan meminum jus buah segar. Zahira menyajikan dan menata di meja makan oval yang besar dengan delapan kursi .
Setelah itu bergegas menuju kamar, sebelumnya ia mengetuk pintu.
Tok! tok!.. “Masuk” jawab Alan malas.
“Bisa nggak sih langsung masuk saja,” ucap Alan lagi bernada kesal.
“Hira, takut Mas, pas buka pintu, Mas Alan baru ganti baju, nanti marah,” sahut Zahira.
Alan melotot ke arah Zahira, seakan tidak senang dengan jawaban Zahira.
“Dari mana kamu sepagi ini?”
“Tadi sama Oma, jalan–jalan, setelah itu masak,” balas Zahira.
“Baru sehari di sini, kamu sudah pandai mengambil hati Oma.” Alan menatap sinis.
”Awas, jika kamu mempengaruhi Oma, dia sudah tua gampang terpengaruh!” bentak Alan.
“Iya, Mas,” jawab Zahira singkat. Ia tidak mau banyak berdebat dengan Alan, karena Zahira tahu, pria di depannya itu tidak mau di kalahkan
Semua udah berkumpul di meja makan, Zahira duduk di sebelah Alan, berusaha bersikap tenang, walau nyatanya ia tidak menyukai suasana formal saat makan, kebiasaan di kampung, ia makan dengan duduk santai di lantai.
“Wah.. pagi ini ada yang berbeda, menu sarapannya terlihat seperti masakan restoran, apa tadi ini Oma, delivery order di restoran langganan kita?” tanya Ridwan sembari menggeser kursi dan duduk.
“Ini semua, menantu kita yang masak, iya ‘kan, Risma,” jawab Oma Sinta.
Risma hanya mengangguk kesal, karena Zahira mendapat pujian dari Ridwan.
“Baiklah, aku akan mencoba masakan Zahira,” sahut Ridwan.
Ridwan meraih nasi sedikit, lalu mengambil omelet dan juga ayam rica-rica dan tumis jamur, ke dalam piringnya, lalu berlahan menyuap. ”Hemmm benar-benar lezat,” puji Ridwan.
“Ya.. iyalah Pa, kebanyakan gadis kampung itu hanya pintar masak, dan pintar menyuci, tapi otaknya kadang kosong, apalagi dilihat dari penampilan Zahira, pasti gadis itu hanya berkutat di dapur, sumur dan kasur iya ‘kan, Zahira?” nada Risma masih terkesan merendahkan Zahira.
“Benar, Mah,“ jawab Zahira membenarkan perkataan Risma, gadis itu enggan bedebat dengan mamah mertuanya, sedangkan Alan, terlihat acuh, dan melahap menu di piringnya, tapi tidak dengan Oma Sinta.
“Jangan berkata seperti itu, menantu kita itu sangat spesial,” tukas Oma Sinta menatap tajam Risma, kemudian berganti menatap Zahira.” Zahira jangan di masukan hati, perkataan mamah mertuamu,” pinta oma Sinta lagi.
“Nanti malam, Papah mengundang keluarga Pak Wijaya, sebagai permintaan maaf, karena Alan tidak jadi menikahi Amanda,” sela Ridwan
“Buat apa meminta maaf, toh aku menikahi putri Pak Wijaya juga ‘kan,” timpal Alan.
“Bukan masalah itu saja, Alan. Kamu tahu ‘kan, pertemanan Papah sudah terjalin puluhan tahun, Pak Wijaya lebih dari sekedar rekan bisnis. Jadi aku mau kita secara resmi meminta maaf pada keluarga Wijaya,” balas Ridwan.
Sementara Zahira yang mendengar rencana Ridwan, hanya bisa terdiam, dalam hati ia sangat was-was, pasalnya itu akan menjadi pertemuanya dengan Amanda, sejak Zahira menikah dengan Alan. Zahira mengingat beberapa hari ini umpatan dan rutukan Amanda di tujukan padanya melalui ponselnya. Dan ia tidak bisa membayangkan jika bertemu Amanda.
Setelah makan pagi selesai, Alan dan Ridwan berangkat ke kantor. Kesempatan ini, dipakai Risma untuk mengerjai menantunya.“Zahira, kamu bereskan semua perabot kotor ini, soalnya Bi Darni, aku suruh ke pasar!” perintah Risma.“Baik, Mah.”“Apa asisten rumah tengga paruh waktu tidak datang, kenapa harus Zahira yang melakukannya,” tukas Oma Sinta, keberatan jika Zahira yang membersihkan semua piring kotor.“Halah Oma, ‘kan nggak selamanya kok, lagi pula Zahira sudah biasa mengerjakannya, iya ‘kan Zahira, kamu tidak keberatan ‘kan?”Zahira tersenyum, iris matanya terlihat ia tulus. ”Tidak apa–apa Oma, saya akan membersihkannya,” jawab Zahira, lalu tanpa berkata lagi ia menaruh piring–piring, lalu dibawanya ke wastefel dapur dan mulai mencuci piring dan perabot lainnya.Sesekali Zahira menatap jam di dinding dapur, hari ini ada jadwal kuliah, setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Risma, gadis yang bercadar itu bergegas menuju kamar, meraih tas dan pergi.“Mamah, Oma, Hira berangk
Wijaya, Anita dan Amanda sudah meninggalkan rumah mewah Ridwan. Sementara Alan, langsung naik ke lantai atas masuk ke dalam kamar, sikap acuh terlihat kembali. Oma yang badannya ringkihpun langsung memasuki kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara Risma masih ingin membuat Zahira tidak betah menjadi menantunya.“Zahira, kamu tahu ‘kan tugasmu,” suruh Risma.“Baik Mah.”Zahira langsung menuju meja makan yang penuh dengan piring kotor, ia meraih piring kotor dan mencucinya di wastafel, jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika Zahira selesai mengerjakan tugas dari ibu mertuanya.Semantara itu, Alan sudah berbaring di tempat tidur, matanya tertutup tapi pikirannya masih terjaga, ia teringat akan bola mata Zahira, yang hitam, bagai anggur liar, begitu pekat, tapi berkilau, dan hidung yang menempel di pipinya, ia merasakan jika hidung Zahira mancung.Ahh sial, kenapa aku jadi membayangkan wajah bocah itu, batin Alan, menutup kepalanya dengan selimut.Ceklek!... Pintu kamar ter
Amanda melangkahkan kakinya menuju lorong sebuah kantor, tepat di pintu yang bertuliskan Kepala Manger, Wira Company, ia berhenti, sejenak terdiam, lalu membuka dua kancing kemejanya, sedikit memperlihat indah dadanya yang membusung, terkesan menggoda. Wajah cantik, dengan kulit putih yang bersih, kecantikannya setera dengan artis ibukota, mungkin itu sebabnya Alan jatuh cinta pada Amanda, kecantikannya begitu terkesima, selain itu wanita yang telah menyelesaikan pendidikannya di universitas bergengsi di Kota Jakarta dengan nilai cumulade, juga tidak diragukan kecerdasannya, tawaran untuk menduduki jabatan penting di beberapa perusahaan nasional, tetapi Amanda lebih memilih untuk menjalin kerja sama dengan Wira Company.Tok! tok! Pintu pun diketuk, hingga sebuah suara menyuruhnya masuk.Pintu dibuka pelan, dan Amanda melangkah masuk, setelah menutup pintu, ia tak ingin pembicaraannya dan juga moment berdua bersama Alan terlihat oleh karyawan lain.Alan masih sibuk membubuhkan tanda ta
Mobil sedan hitam melaju kencang di jalan tol, dengan kecepatan tinggi menuju kota Bandung, setelah itu menuju sebuah perbukitan, di sepanjang jalan disuguhi pemandangan yang memanjakan mata, sangat indah dan sejuk, perkebunan teh yang hijau dengan lembah dan gunung yang memukau, ditambah lagi kebun strawbery yang tampak indah. Setelah melewati semua keindahan perkebunan, sampailah mobil Alan, menuju kepemukiman penduduk, jarak rumah yang satu dengan yang lainnya, berjauhan, hingga Zahira menyuruh Alan untuk berhenti, di sebuah rumah mungil bercat dinding dan putih, rumah kecil dengan halaman rumah yang luas, dengan pohon besar mengelilinginya, dan juga taman bunga mawar yang tengah bermekaran. Walau pun tampak kecil, tapi tampak asri dan teduh.“Ini rumah ibumu?” tanya Alan dengan membuka kaca jandela mobil dan menatap rumah, yang menurutnya sangat kontras dengan kediaman Pak Wijaya yang mewah.“Iya, Mas. mau turun, bertemu ibu?” tanya Zahira dengan sangat hati-hati.“Nggak, aku suda
“Mas..awas!” teriak Zahira.Alan hampir saja menabrak mobil yang melintas di depannya, mobil Alan mengerem mendadak laju mobilnya, dengan napas memburu Alan menjatuhkan kepalanya di atas stir. Zahira juga terkejut, hingga kepalanya terbentur dash board.Zahira mengusap kepalanya yang sakit seraya menatap ke arah Alan, yang masih shock.“Mas, kamu baik-baik saja ‘kan?’Alan perlahan mengangkat kepalanya. ”Aku rasa, kita istirahat dulu Hira, kau tidak bisa melanjutkan perjalanan ini. Kita menginap di hotel terdekat,” ajak Alan mencoba menenangkan diri.Alan melajukan mobil pelan, 100 meter dari posisinya ada sebuah hotel, Alan memutuskan untuk menginap di hotel, karena tiba-tiba kepalanya pusing.Kini, Alan sudah berada di loby hotel. ”Dua kamar VIP,” ujar Alan pada resepsionis hotel.“Baik, Pak,” jawab resepsionis menyerahkan dua kunci kamar hotel.Tanpa berkata, Alan memberikan salah satu kunci kamar pada Zahira. Wanita bercadar itu pun mengerti, lalu meraih kunci tanpa banyak bertany
Ketiganya memasuki lift menuju lantai 10, sampai di sana semua karyawan memberi hormat, ketika melihat petinggi Wira Company datang, tapi di sisi lain, mereka tampak penasaran dengan gadis yang terlihat aneh, yaitu Zahira yang memakai hijab dan cadarnya, maklumlah, semua keryawan tidak tahu, jika Alan telah menikahi Zahira, setahu mereka calon istri Alan adalah Amanda.Zahira dengan sopan membalas penghormatan dengan anggukan dan terlihat tersenyum pada para karyawan wanita, ini bisa dilihat dari iris matanya.“Kita, ke ruanganku,” ajak Alan pada Zahira.Oma Sinta masuk ke ruangan pribadinya, sedangkan Alan masuk ke ruang kepala manager.Pintu, terbuka, Alan masuk diikuti Zahira, kantor yang cukup besar, dengan sofa yang berhadapan dengan meja kerja.Zahira duduk, matanya masih mengedarkan pandangan, hingga ia tertarik dengan lukisan yang tergantung di dinding, perlahan bangkit lalu berjalan.Zahira berdiri menatap sebuah lukisan. ”Lukisan ini salinan karya edouard vuillard,” ucapny
Alan beranjak dari kamar Zahira, dan ia menyimpan buku harian Zahira. Setelah itu Alan bergegas meninggalkan rumahnya. Alan tidak kembali menuju kantor, melainkan melajukan mobilnya menuju sebuah kantor pengacara, jantungnya sedikit berdebar, ada sesuatu yang akan ia bicarakan dengan pengacara keluarganya.Kini, pria rupawan itu, sudah duduk di depan pria yang seusia Papahnya, pria itu heran mendapati Alan datang tanpa janji terlebih dahulu.“Alan, tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, kamu sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang sukses, ada perlu apa, hingga kamu datang sendiri ke kantor.”“Aku ingin bertanya padamu tentang kasus kecelakaan, sebelas tahun yang lalu, siapa korban kecelakan itu?” tanya Alan dengan tegas.Sang pengacara terdiam, ia menatap dalam Alan, sudah bertahun lamanya kejadian itu, tapi baru sekarang Alan menanyakannya.“Apa, Pak Ridwan tahu, jika kamu menanyakan kejadian itu kembali?”“Tidak, Papah dan Mamah tidak tahu, aku bukan anak kecil lagi ‘kan, aku berh
Pagi hari, pukul delapan pagi, aroma masakan sudah tercium wangi, terdengar juga Zahira sedang berbincang dengan sang Oma, sambil tangannya aktif memasak di dapur.“Hira, kamu ‘kan, bersaudara dengan Amanda, tapi kenapa kalian berbeda, seperti langit dan bumi?” tanya Sinta.“Itu karena kami di asuh oleh ibu yang berbeda, Oma. Baik buruknya seorang terkadang ada campur tangan seorang ibu, mudah-mudahan Hira suatu saat bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anak Zahira kelak, kerena seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya,” jawab Zahira.“Oh... berbicara anak, aku berharap kalian segera memberikan kabar baik,” balas Sinta“Kabar baik apa, Oma?” tanya Alan, sembari menarik kursi dan duduk di sebelah sang Oma, lalu meraih gelas, dan menuang air mineral, ke dalam gelas.“Kabar baik, yaitu kabar mengenai kehamilan Zahira,” jawab Oma Sinta.Huk huk! Alan hampir saja memuntahkan air yang di telannya, lalu menatap tajam Zahira, yang saat itu juga menatapnya.“Kenapa, Alan, wajarkan, jik
Hari terus belalu, Zahira semakin menikmati kehidupannya. Fatima, mengajaknya untuk mengaji di pesantren, dan sedikit-demi sedikit Zahira mulai menjalan ibadah.“Zahira, jika ingatanmu pulih, ibu berharap, kamu tidak usah rujuk dengan Alan,”titah Bu Fatima“Kenapa?”“Karena selama kamu menjadi istrinya, kamu menderita, kamu tidak bahagia,”jawab Fatima“Tapi, Mas Alan adalah ayah kandung Rena. ““Rasid bisa menjadi ayah yang baik untuk Rena,”tegas FatimaZahira hanya terdiam.”Aku akan memutuskan, jika ingatanku sudah kembali,”jawab ZahiraZahira duduk di pendopo bersama santri wanita, ia dengan hikmat mendengarkan tausiah yang dibawakan Nyi Hanum, sekitar dua jam, selesai.“Zahira, bisa kita bicara?”ucap Nyi Hanum“Bisa Nyi Hanum.”Lalu keduanya berjalan kearah gazebo. Bagaimana kabarmu?”tanya Nyi Hanum“Baik, saya menjalani hipnoterapi oleh dokter Reha.”“Alhamdulilah, begitu banyak kejadian, yang menimpa kehidupanmu, aku senang kamu dapat melewatinya, satu minggu lagi, Rasid akan kem
Rita dan sang sopir yang mendengar suara tembakan saling pandang dan terkejut, lalu, tanpa berpikir panjang, kedua orang itu memberesi pakaiannya, dan pergi menyelinap, keluar dari vila, mereka tidak mau terlibat masalah hukum.“Cepat kita harus pergi, sebelum polisi datang,”ajak RitaTapi keduanya terlambat, polisi sudah sampai di pintu pagar dan menangkap kedua pasangan itu.Dua orang polisi bergegas masuk ke dalam vila, dan mereka menemukan tubuh pria yang tergeletak di lantai kamar tidur dengan darah mengucur deras.Zahira histeris”Nico!..teriaknya sambil menangis dan juga Rena ikut menangis dalam dekapan Zahira, sementara Alan masih terduduk menatap tubuh Abram, yang telah tewas.Polisi membawa Alan dan Zahira keluar kamar dan mengamankan TKP.Polisi wanita membawa Zahira yang masih ketakutan dan shock, kemudian Roy dan Santi terlihat berjalan ke arah halaman, keduanya bernapas lega mendapati Alan selamat walau telihat shock.“Syukurlah, Pak Alan berhasil menyelamatkan Bu Zahir
Tidak ada pemeriksaan yang ketat waktu memasuki halaman, keduanya turun dari mobil, disana terlihat Baron, sudah menunggu diambang pintu.“Kamu sudah siapkan uangnya ‘kan, untukku, aku ingin uang cash,”bisik Baron pada Santi.“Tentu saja, aku sudah siapkan, begitu kami selesai, Pak Baron bisa mengambil uang itu,”jawab Santi dengan tenang.Baron tersenyum, lalu mengajak Roy dan Santi memasuki villa mewah dan menuju ke sebuah studio, mata Santi mengedar ke semua ruangan.“Villa ini sangat klaisik dan indah,”ucap RoySeorang wanita turun menuruni tangga sambil mengendong anak kecil saat itu jaga Roy diam –diam mengarahkan ponselnya dan merekamnya.“Siapa wanita itu?”tanya Santi“Dia istri Tuan Nicolas, “jawab Baron, lalu membuka pintu studio dan ketiganya masuk, disana ada Abram, yang sudah menunggu.“Oh jadi ini Tuan Nicolas, suatu kehormatan bagi saya, bisa bertemu dengan pelukisnya langsung,”kata Roy“Aku bersedia untuk diwawancarai, tapi tidak berkenan, jika wajah di ekspos, cukup
Alan semakin geram, dentuman musik semakin keras, hingga Alan sudah tidak bisa mendengar percakapan Amanda dan Baron, tapi setidaknya ia tahu, jika Abram dan Zahira masih hidup, dan tinggal di vila puncak bukit, dengan segera, Alan melangkahkan kaki dan pergi keluar night klup.Alan sangat marah, jika benar Abram, selama ini menyembunyikan Zahira bahkan membuat Zahira hilang ingatan dengan obat –obat terlarang.Alan menaiki taksi yang masih menunggunya, dia sudah tak sabar untuk memastikan jika Zahira dan Abram, masih hidup. Setelah sampai di hotel, Alan memanggil Roy dan Santi ke dalam kamarnya.“Duduklah kalian,”suruh Alan dengan wajah serius, membuat kedua stafnya itu saling tatap dan takut.“Ada apa Pak Alan, apa kami membuat kesalahan?”tanya Roy“Tidak, ini bukan masalah pekerjaan, aku membutuhkan bantuan kalian,”balas Alan“Bantuan, apa, Pak?”tanya Santi penasaranAlan menghela napas sejenak, dan kembali serius.“Aku tidak sengaja, melihat Amanda, dan aku bertemu denganya. D
Semantar itu di viila, terlihat Amanda sedang berbicara serius dengan Abram“Apa kamu yakin itu Alan?”“Sangat yakin, tapi aku rasa dia ke Bali, karena urusan pekerjaan, karena Alan bersama dua stafnya,”ungkap Amanda“Tenanglah, mereka tidak akan sampai di pengunungan ini,”jawab Abram“Lebih baik kamu waspada, dan percepat pernikahanmu dengan Zahira, karena Zahira juga mulai meningat dirinya waktu kamu akan menodainya, ia bermminpi tentang itu,”jelas Amanda“Apa Zahira bercerita tentang itu padamu?”“Iya dia mengatakan jika bermimpi ada seorang pria yang mencoba menodainya dan menyayat dada pria itu dengan pisau.”Abram terdiam, ia berpikir tentang pagi ini kenapa Zahira menanyakan tentang luka di dadanya itu.“Kamu benar, aku segera akan mempercepat pernikahan, dan setelah itu pergi keluar negeri, setelah menikah,”jawab Abram serius“Baiklah , aku pergi dulu,”pamit Amanda.Malam semakin larut, Abram menuju kamar Zahira, setelah mengetuk pintu, Zahira membukakan pintu.“Nico,”“Ak
Zahiar telah siap, wanita itu semakin cantik, membuat Amanda semakin iri dengan saudari tirinya itu, ia sangat beruntung, dicintai dan digilai oleh dua orang pria.“Kamu cantik Zanet. Nicolas sangat beruntung memilikimu,”celoteh AmandaZahira hanya tersenyum, lalu keduanya berjalan menuju mobil Amanda, diikuti Abram.“Aku akan mengantar Zanet kembali ke sini,”ucap Amanda pada AbramAbram, hanya tersenyum, dan mengangguk, lalu Zahira dan Amanda memasuki mobil dan berlahan mobil pun keluar melewati pagar tinggi.“Amanda,seperti apa Nicolas waktu kuliah?”“Heumm...dia introvet,lebih senang menyendiri dan tak banyak memiliki teman, sebenarnya aku juga tidak dekat denganya,setelah lulus dari universiras, aku tidak tahu lagi kabarnya, dan bertemu, secara tak sengaja, di Bali, kerena aku ingin membeli karya lukisan,”Amanda berusaha mengarang cerita.Zahira tampak sedih. “kita akan pergi ke mana?”tanya Zahira“Aku dengar dari Nico, kalian akan melakukan pernikahan ulang ‘kan, jadi aku akan m
Alan menatap begitu lama villa mewah di atas bukit, area di dalam vila sudah tertutup korden, hingga tak terlihat apapun dari luar , ada dua penjaga yang terlihat di pintu gerbang masuk. Alan lalu menghela napas berat dan menurunkan teropongnya, kembali duduk di kursi, pikiran tertuju pada Zahira, diingantanya setiap moment yamg indah, bersama istri bercadarnya itu, berharap ada sebuah keajaiban yang terjadi.Malam semakin larut, Zahira sudah tertidur lelap di kamarnya, tiba-tiba ia berteriak.“Lepaskan!” lalu tersentak bangun dari tidurnya, keringat dingin mulai mengucur di dahinya padahal ruangan berACZahira mengusap wajahnya pelan. Ini ketiga kali aku mimpi yang sama, ada seorang lelaki yang ingin menodaiku, hingga aku melukainya dengan pisau di dadanya, apa ini sekedar mimpi, atau bagian dari masa laluku, batin Zahira.Semalaman Zahira tidak bisa tidur, ia duduk bersandar di pungung sandaran ranjang, memikirkan tentang mimpi yang sama, selama tiga hari ini. Semenjak ia tidak m
Sementara itu di vila lain, zahira sedang menatap wajahnya menyisir rambutnya dan menatap manik hitam yang mengkilat. Lalu terlihat Rita mengetuk pintu dan kemudian masuk“Nyonya Zanet, waktunya untuk mewarni rambut, lihat rambut Nyonya sudah terlihat menghitam.”“Aku tidak mau mewarni rambutku, aku ingin rambut alamiku yang hitam,” jawab Zahira sambil terus menyisir.“Tapi Nyonya , nanti Tuan Nico, marah.”Zahira menatap asistennya, aku yang akan bicara nanti, sekarang bersiap-siaplah, kita akan keluar jalan-jalan, aku sudah minta izin Nico,”suruh Zahira“Baiklah, “jawab RitaBeberapa saat kemudian Zahira telah rapi, kali ini ia mengenakan celana kain, dengan blouse warna pink lembut, lalu menuju keluar kamar“Kamu akan jalan-jalan?”tanya Abram“Iya, Nico, hanya tiga jam, saja,”ucap Zahira.“Hati-hati,”balas AbramLalu Zahira dan Rita yang mengendong Rena, keluar menuju mobilnya. Telihat sang sopir sudah menunggu, dan langsung menancap gas, begitu Rita dan Zahira masuk ke dalam mo
Kembali ke kota Jakarta, Alan sedang memimpin rapat di Wira Campany, semua antusias menyambut Alan, yang langsung menjabat CEO Wira Campany.“Sejak Bapak koma, akhirnya Pak Bagas memutuskan mengabungan projek PT Wirasatya di Wira Campany dan pembangunan pabrik farmasi suduh berjalan lancar,”salah satu team menjemen berucap.“Aku akan fokus pada Wira Campany, PT Wirasatya saya nyatakan bergabung dalam Wira Campany,”jawab Alan.“Ada beberapa projek yang suduh masuk, apa Pak Alan sudah siap membahasnya?”“Jelaskan saja, projek apa saja yang sudah masuk!”perintah Alan“Porjek pembangunan bendungan di Bandung, projek pembangunan sekolah di Semarang, dan projek pembangun hotel dan resort di Bali,”jelas stafAlan tampak berpikir sambil menatap berkas, ditanganya.“Kita bentuk tiga team, dan aku sendiri akan masuk dalam team, pembagunan hotel dan resort di Bali,”jawab Alan“Baik Pak, kami akan bentuk 3 team,untuk menyelesaikan ketiga projek kita,”jawab staf.Rapat pun berakhir, Alan kembali