Share

BAB 5 Masa Lalu Zahira

Sementara itu di kediaman orang tua Alan, terjadi ketegangan seorang pria dengan rambut halus memenuhi wajahnya, tampak bersitegang dengan seorang pria paruh baya.

“Untuk apa kamu datang ke rumah ini?” Ridwan berucap sambil menatap sinis pria yang masih berdiri

“Apa aku sudah tak punya hak untuk datang ke rumah ini Pah,” sahut ketus pria berusia 30 tahun sambil duduk menyilangkan kaki di sofa.

“Kenapa kamu belum berubah, Abram, menjadi liar dan  tidak bisa mengurus dirimu sendiri,” tukas Risma.

“Ahhh.. sudahlah Mah, jangan bicara itu lagi, toh aku tidak menyusahkan kalian.” Pria yang bernama Abram itu, meraih sebungkus rokok di saku kemejanya, lalu menyulutnya dengan pemantik.

”Aku datang ke rumah ini, karena aku dengar Alan sudah menikah, kenapa kalian tidak mengundangku?”

“Kami sendiri tidak tahu, jika Alan menikah, anak itu juga lama–kelamaan sama denganmu, gara-gara seorang wanita bisa menghancurkan masa depannya sendiri,” celoteh Risma kesal.

“Kenapa, bukankah Amanda calon menantu yang mamah idam-idamkan?” tanya Abram, seraya membuat bulatan–bulatan asap ke udara.

“Alan, tidak menikahi Amanda, tapi wanita lain, sebenarnya kami ingin bertemu dengan wanita itu di rumah ini, tapi nyatanya, dia tidak datang, sungguh keterlaluan, undangan dari mertuanya di abaikan begitu saja,” timpal Risma.

“Ahhh.. sudahlah aku tidak tertarik Alan menikah dengan siapa, aku ke kamar dulu, mau mengambil sesuatu,” jawab Abram lalu melangkah meninggalkan ruang keluarga dan menuju ke lantai atas di mana kamarnya berada.

Pria bertubuh tegap dan berbadan kekar itu masuk ke kamar, semua barang ditutupi kain putih, karena sudah tiga tahun ini tidak di tempati, pelahan Abram membuka laci almari dengan pelan ia meraih sebuah tempat perhiasan dibukanya kotak itu, sebuah cincin emas dengan  batu permata di tengahnya

“Seharusnya cincin ini untukmu sayang, setelah tiga tahun berlalu bagaimana kabarmu, semakin cantikkah dirimu Zahira..” gumam Abram, sambil tersenyum getir.

Di tatapnya cermin yang menempel almari, lalu  Abram membuka beberapa kancing kemejanya, terlihat di dada sebelah kiri ada bekas luka yang cukup lebar.

“Aku tak pernah melupakan luka yang kamu torehkan di tubuh dan di hatiku, Zahira...” gumam Abram lagi, seraya telapak tangannya mengepal.

Sementara Risma dan Ridwan terlihat kecewa dengan keadaan Abram, putra pertamanya.

“Abram masih belum bisa move dari wanita itu, siapa sih wanita yang berani menolak putraku, putra pemilik Wira Campany, gadis desa yang sombong,“ gerutu Risma.

“Kenapa harus menyalahkan wanita itu Ris, cinta tidak bisa dipaksakan, seharusnya Abram lah yang paham, jangan terlalu terobsebsi pada wanita, ada begitu banyak wanita di dunia ini, kenapa harus mencintai wanita yang telah menolak cintanya,” timpal Ridwan.

“Pokoknya aku tidak senang dengan wanita yang telah membuat putraku hancur, jangan sampai aku bertemu dengannya.  Jika aku bertemu dengannya, aku akan buat ia hidup seperti di neraka,” tukas Risma kesal dan marah.

“Untunglah Alan, masih bisa kita andalkan, aku akan melimpahkan jabatan CEO pada Alan, aku rasa ia sudah siap mengemban tugas itu,” sahut Ridwan.

Kedua orangtua itu mulai memikirkan  masa depan Wira Campany perusahaan turun temurun, yang harus dipertahankan.

Satu hari berlalu, Zahira berada di sebuah klinik psikiater. Kini ia duduk dengan rileks di depannya terlihat dokter wanita setengah baya.

“Bagaimana dengan pernikahanmu, apa kamu bisa melakukan hubungan suami istri di tengah trauma, Zahira?”

“Belum, suamiku belum menginginkanku, ini lebih baik, aku belum siap menerima sentuhan pria, walaupun dia  suamiku sendiri,” jawab Zahira sedih.

“Ini sudah tiga tahun, beberapa bulan ini, aku kira kamu sudah membaik,” balas Dokter.

“Aku juga mengira seperti itu, Dokter , tapi kemarin malam, aku melihat pria itu, aku berhalusinasi wajah pria itu di kediaman mertuaku,” sahut Zahira terdengar parau.

“Kamu yakin, kamu berhalusinasi?”

“Entahlah, karena malam itu gelap, dan  aku ketakutan, dan memilih pergi,” balas Zahira.

Zahira menangis, ia tak kuasa, jika harus mengingat wajah pria yang merusak mentalnya hingga trauma berkepanjangan seperti ini.

“Zahira, kamu harus berusaha sembuh, kamu masih suci, pria brengsek itu tak berhasil menodaimu, jangan berpikiran menjadi wanita terhina, hanya karena sebagian tubuhmu telah di telanjangi pria itu.”

“Aku tidak bisa Dokter, aku masih mengingat kejadian itu, aku masih sensitif, jika ada seseorang pria yang mendekatiku,” Zahira berkata sambil mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya.

Dokter itu memeluk Zahira, dan mengusap punggungnya, ”Aku yakin, jika kamu bersama pria yang tepat, pasti truma ini akan menghilang.”

***

Malam beranjak naik, Kini Zahira duduk di jok mobil di samping Alan yang sedang menyetir, hari ini Alan dan Zahira pergi ke rumah orang tua Alan.

Zahira terlihat gelisah, tangannya meremas gamis yang ia gunakan, ini adalah pertemuan pertamanya dengan keluarga Alan, setelah kemarin sempat tertunda.

Mobil yang dikendarai Alan memasuki pintu gerbang yang telah dibuka security. Setelah memasuki halaman rumah dan mobil berhenti, Alan dan Zahira turun dari mobil.

Zahira menatap rumah yang sangat mewah di depannya, rumah ayahnya juga mewah, tapi ia baru kali ini mendatangi rumah yang tiga kali lebih mewah dari milik Wijaya ayahnya.

Zahira sudah berdiri di ambang pintu, menatap ke dalam rumah yang  sangat  menakjubkan, semua perabotan, terlihat mewah dan elegan.

”Assalamu’alaikum,” salam Zahira.

Semua yang duduk di sofa menoleh, sebagian dari mereka terkejut melihat penampilan Zahira.

“Wa alaikumsalam, jawab seorang wanita sepuh,  dengan tatapan yang entah tak bisa digambarkan.

“Ini Zahira, wanita yang aku nikahi,” sela Alan, sambil berjalan menuju ruang tamu.

“Ya Tuhan, kamu benar-benar bukan hanya bikin shock Mamah, tapi ingin bikin Mamahmu ini cepat mati hah!” tukas Risma, sambil menggelengkan kepala, seakan tidak menyukai Zahira.

“Hai, Risma, yang sopan kalau bicara di depan menantu kita. Masuklah Zahira,” ajak wanita sepuh dengan rambut yang sudah memutih semua.

“Kenalkan, aku Oma Sinta, ini Mamah Risma, ibu mertuamu,” ucap wanita bernama Sinta.

“Saya Zahira,“ balas Zahira seraya menundukan kepala dan tersenyum, iris matanya terlihat ia sedang tersenyum, lalu meletakan paper bag di atas meja.

”Ini buat Mamah dan Oma, mudah-mudah suka,” lanjut Zahira lagi.

“Tentu saja kami suka,” lalu Sinta memanggil seorang pelayan dan menyuruh membawa paper bag .

“Aku,  permisi dulu, aku akan menyiapkan makan malam,” dalih  Risma dengan ketus, sebenarnya ia tidak mau berbincang dengan Zahira.

Alan, terlihat sibuk dengan ponselnya dan ia pun meminta izin untuk mengangkatkan ponselnya yang berdering. Kini di ruang tamu itu hanya ada Oma Sinta dan Zahira, keduanya tampak berbicara ringan, sesekali tertawa kecil, entah apa yang membuat wanita tua itu tampak  berbahagia,  ketika berbicara dengan Zahira, hingga waktu makan malam pun tiba, Zahira duduk berhadapan dengan Alan, sedangkan Oma Sinta berhadapan dengan Risma.

“Kita tunggu dulu Papahmu, sebentar lagi sampai,” ucap Risma. Tidak berselang lama yang dinantikan pun tiba, seorang laki-laki berusia 50 tahunan, sedang berjalan menuju meja makan.

“Jadi ini, istri Alan.“ Pria berwajah tegas itu bertanya sambil duduk di kursi miliknya.

“Iya Pah, jangan heran seperti itu, nasi sudah menjadi bubur, ini semua gara-gara putramu yang memutuskan sekehendak hatinya,” seloroh Risma kesal, tanpa peduli perasaan Zahira.

“Ini keputusan terbaik yang di ambil Alan. Kamu memang pintar, memilih istri, Alan, Oma bangga padamu,” timpal  Sinta, membuat Alan dan Risma melongo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status