Setelah makan pagi selesai, Alan dan Ridwan berangkat ke kantor. Kesempatan ini, dipakai Risma untuk mengerjai menantunya.
“Zahira, kamu bereskan semua perabot kotor ini, soalnya Bi Darni, aku suruh ke pasar!” perintah Risma.
“Baik, Mah.”
“Apa asisten rumah tengga paruh waktu tidak datang, kenapa harus Zahira yang melakukannya,” tukas Oma Sinta, keberatan jika Zahira yang membersihkan semua piring kotor.
“Halah Oma, ‘kan nggak selamanya kok, lagi pula Zahira sudah biasa mengerjakannya, iya ‘kan Zahira, kamu tidak keberatan ‘kan?”
Zahira tersenyum, iris matanya terlihat ia tulus. ”Tidak apa–apa Oma, saya akan membersihkannya,” jawab Zahira, lalu tanpa berkata lagi ia menaruh piring–piring, lalu dibawanya ke wastefel dapur dan mulai mencuci piring dan perabot lainnya.
Sesekali Zahira menatap jam di dinding dapur, hari ini ada jadwal kuliah, setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Risma, gadis yang bercadar itu bergegas menuju kamar, meraih tas dan pergi.
“Mamah, Oma, Hira berangkat dulu ke kampus,” pamit Zahira.
“Oh ya Hira, biar sopir saja yang mengantarmu,” tawar Oma Sinta.
“Tidak bisa Oma, aku juga akan pergi sebentar lagi, Hira kamu naik taksi online saja,” timpal Risma memperlihatkan wajah juteknya.
“Iya Mah. Assalamualaikum,” salam Zahira sekaligus berpamitan pada mertuanya.
“Wa alaikumsalam,” jawab Oma Sinta.
“Adem, sekali kalau lihat Zahira, aku senang sekali, Alan mendapatkan jodoh wanita solehah seperti Zahira,” ujar Oma Sinta.
“Halah Oma, apa yang bisa dibanggakan dari Zahira, sebaliknya ini kesialan Alan mempersuntingnya,” sahut Risma.
“Apa kamu pikir Amanda lebih baik?”
“Tentulah, Oma, Amanda cantik, pintar, berpendidikan, anak dari pernikahan yang sah, tidak seperti Zahira, walaupun ia anak Pak Wijaya juga, tapi tetap saja berbeda.” Risma terus saja berbicara tentang tidak sukanya pada Zahira. Sementara Sinta hanya terdiam mendengar ocehan Risma.
Hari menjelang sore, Zahira sudah tiba di kediaman mertuanya, ia tahu tugas rumah sudah menantikannya, apalagi tadi Risma sudah memerintahkan untuk memasak menu makan malam, untuk menyambut kedatangan keluarganya, yang tidak lain adalah Amanda, Anita dan Wijaya.
Setelah melaksakan salat ashar, Zahira bergegas menuju dapur, semua bahan sudah tersedia di dapur, dibantu Mbok Darni, Zahira dengan cekatan mengolah bahan menjadi menu masakan yang lezat, hampir dua jam Zahira berkutat di dapur, tepat suara azan magrib mengema, Zahira menghentikan aktivitasnya.
“Bi, Hira akan mandi dan salat dulu, nanti Hira bantu lagi,” ucap Zahira.
“Nggak usah, Non Zahira juga harus siap-siap menyambut tamu, biar Bi Darni yang menyelesaikannya,” sahut wanita di samping Zahira.
“Jangan Bi, biar Zahira saja, yang menyelesaikannya!” perintah Risma sudah berdiri di ambang pintu dapur dengan kedua tangan bersedekap di dada.
“Iya Mah, nanti Zahira selesaikan semuanya,” Zahira melangkah bergegas menuju kamar.
Risma tersenyum sinis. ”Biarkan, dia merasakan betapa beratnya menjadi menantu keluarga Wira,” gumam Risma.
Tepat pukul delapan malam, Amanda dan kedua orang tuanya datang. Walaupun terlihat Amanda masih kesal, tapi gadis yang saat ini mengenakan dres sebatas lutut yang lapisi blezer terlihat anggun dan mempesona dengan tubuh semampainya.
“Amanda, cantik sekali, kamu memang kebanggaan keluargamu,” puji Risma seraya memeluk Amanda.
“Terima kasih tante,” sahut Amanda, seraya tersenyum hangat, menyambut pelukan Risma.
“Silakan duduk Pak Wijaya, kami sangat senang atas kedatangan Anda, walaupun Alan akhirnya memilih putri kedua Pak Wijaya, kita tetap berbesan ‘kan?” ucap Ridwan sambil tersenyum ke arah besannya.
“Aku mengerti Pak Ridwan, kadang kita tidak bisa mencampuri keputusan anak-anak kita, oh ya, di mana Zahira?” tanya Wijaya.
“Masih ada di kamar, kalau Alan, tampaknya masih dalam perjalanan,” jawab Ridwan.
“Om, Tante, aku ke kamar, menemui Zahira, boleh ‘kan?” izin Amanda.
“Tentu, sayang, silakan,” sahut Risma.
Kaki jenjang Amanda melangkah menaiki tangga rumah mewah dan megah, di pandanginya segala kemewahan di dalam rumah bergaya klasik itu, rasa sesak memenuhi hatinya, kenapa ia bisa begitu ceroboh, hingga perselingkuhannya diketahui Alan, dengan langkah pelan, Amanda menuju sebuah kamar.
Dan tanpa mengetuk, dibukanya kamar itu.
Ceklek! Membuat Zahira langsung menutup wajahnya dengan niqob.
“Kenapa Zahira, tidak perlu memutupi wajahmu itu, aku ingin bicara denganmu, lagian ini ada di dalam kamar,” ujar Amanda, seraya duduk di sofa.
“Aku senang kamu datang,“ balas Zahira datar, seraya memakai cadarnya.
“Pasti kamu senang ‘kan? menjadi istri dari Alan Wirasatya, derajatmu naik, kastamu naik,” ucap Amanda ketus, lalu tatapannya menajam ke arah Zahira.
”Aku ingin bertanya tentang hari di mana Aku dan Rafa, bersama di kamar, kenapa kamu tidak memberitahukan kedatangan Alan padaku, kamu sengaja ya, biar Alan mengetahui perselingkuhanku!” gertak Amanda pelan, tapi terdengar tegas.
“Aku sudah mencegah Mas Alan untuk masuk, tapi ia memaksa masuk, maaf, Amanda aku tidak bisa mencegahnya,” balas Zahira.
Zahira masih berdiri di dekat pintu masuk, sementara Amanda terlihat bangkit dari tempat duduknya, dan perlahan mendekati Zahira, tatapannya menajam.
“Dasar anak pelakor, pasti darah pelakor mengalir juga pada dirimu, kamu memang sengaja membuat Alan memutuskan pertunanganku.” Tangan Amanda mencengkram leher Zahira dengan sangat kuat, lalu dengan keras menghempaskannya, di saat bersamaan, Alan masuk ke dalam kamar dan langsung menangkap tubuh Zahira yang hampir terjatuh.
Tangan kekar Alan mendarat di bahu Zahira, wajahnya hampir menyetuh wajah Zahira, bahkan hidung Zahira sudah menempel di pipi Alan, pria itu merasakannya wajah yang masih tertutup cadar. Dan di saat bersamaan, tatapannya tertuju pada manik hitam dan bulu mata lentik milik Zahira.
Untuk sekian detik, kedua pasangan halal itu terbuai dalam pelukan tidak sengaja, sampai Alan tersadar dari kekagumannya pada dua manik hitam dan bulu lentik milik Zahira yang baru di sadarinya..
Lalu mengangkat bahu, Zahira supaya berdiri tegak.
“Ada apa ini? Amanda, kenapa bikin keributan di kamarku?”
“Alan, maafkan aku, tapi Zahira sangat keterlaluan, dia meledekku karena aku tidak jadi menikah denganmu.” Amanda mulai mengarang cerita.
Zahira hanya terdiam, tapi dalam hatinya berusaha menahan emosi.
“Aku tidak perduli dengan ucapan pengkhianat sepertimu, sekarang keluarlah dari kamarku!” perintah Alan ketus.
Amanda hanya mendengus kesal, ucapannya sekarang tidak di anggap oleh Alan, kebencian sudah merasuki jiwa Alan, hingga ia memperlakukan Amanda seperti sampah yang tidak ada gunanya.
Alan menutup pintu, ketika Amanda telah keluar, lalu menatap Zahira yang masih berdiri.
“Apa kamu tidak mempunyai keberanian, untuk membela diri, aku tahu tuduhan Amanda itu tidak benar, tapi kenapa kamu tidak membela diri!” bentak Alan.
“Untuk apa membela diri, Mas Alan cukup pandai ‘kan, untuk menilai, tidak perlu aku membela diri, sementara Mas Alan sudah tahu kebenarannya,” balas Zahira berjalan ke arah almari dan menyiapkan baju untuk suaminya.
Alan hanya menatap kesal Zahira, kenapa wanita itu hanya diam ketika di perlakukan seperti itu.
“Aku akan ke bawah, mempersiapkan makan malam,” pamit Zahira setelah merapikan khimar dan cadarnya.
Sesampainya di bawah, Zahira menyapa Wijaya dan juga Anita ibu tirinya.
“Assalamualaikum, ayah, ibu Anita,” sapa Zahira seraya mencium takzim punggung tangan kedua orang tua yang sangat di hormati itu.
“Wa alaikumsalam, Zahira,” jawab Wijaya.
Sementara Anita terlihat cemberut, ketika menatap Zahira. Semua kini duduk di sofa ruang tamu.
Mereka berbicara ringan, sesekali membicarakan tentang bisnis, sesuatu yang tidak di pahami Zahira. Dan ia memilih hanya mendengarkan saja. Amanda memang cerdas dalam menangkap pembicaraan bisnis, terlihat Risma dan Ridwan begitu senang, jika berbicara dengan Amanda.
“Wah-wah...ini mantu idaman, sayang sekali, Amanda, kenapa kamu putus dengan Alan,” ujar Risma.
“Iya Bu Risma, saya juga menyayangkan mereka menjalin hubungan satu tahun, tapi tak kusangka, Zahira dalam waktu singkat bisa mengikat hati Alan, apa dia punya ilmu pelet,” timpal Anita, ekor matanya melirik ke arah Zahira.
“Huss, bicara apa kalian, di jaman modern ini, mana ada ilmu pelet,” sela Oma Sinta, membela Zahira, yang sejak tadi memilih diam.
Langkah kaki Alan, terdengar menuruni tangga, lalu menyapa semuanya.
“Selamat malam, jika sudah selesai basa-basinya, lebih baik kita makan malam sekarang,” ajak Alan ketus.
“Alan benar, kita mulai saja makan malamnya,” sahut Ridwan.
Lalu semuanya menuju ruang makan mewah dengan meja oval yang besar, di atas meja sudah berjajar menu makanan.
“Ini semua yang masak Zahira,” ucap Risma.
Anita tersenyum miring, lalu berbisik ke telinga Amanda.
”Di mana pun dia berada, akan dijadikan babu.”
Amanda tersenyum dan melirik ke arah Zahira.
“Setelah ini, biarkan Zahira saja yang cuci piringnya Bu Risma, anak itu sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah, jadi manfaatkan saja,” sela Anita sambil tersenyum tipis.
Alan yang mendengar perkataan Amanda dan Anita menjadi geram, dan ia berpikir ini saatnya memperlihatkan pada Amanda.
Alan tiba-tiba meraih telapak tangan Zahira, sesaat, ia merasakan lembut telak tangan istrinya, selembut sutra.
“Istriku akan menjadi ratu, jadi seorang ratu tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah, aku bisa membayar puluhan asisten rumah tangga, kenapa aku harus merusak telapak tangan istriku,“ timpal Alan, lalu mengecup punggung tangan Zahira.
Zahira hanya terdiam, tapi jantungnya terasa bergetar, ketika bibir Alan mendarat di punggung tangannya.
Melihat Zahira diperlakukan semesra itu Amanda menahan marah, tatapannya tajamnya tak lepas dari saudara tirinya itu.
Wijaya, Anita dan Amanda sudah meninggalkan rumah mewah Ridwan. Sementara Alan, langsung naik ke lantai atas masuk ke dalam kamar, sikap acuh terlihat kembali. Oma yang badannya ringkihpun langsung memasuki kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara Risma masih ingin membuat Zahira tidak betah menjadi menantunya.“Zahira, kamu tahu ‘kan tugasmu,” suruh Risma.“Baik Mah.”Zahira langsung menuju meja makan yang penuh dengan piring kotor, ia meraih piring kotor dan mencucinya di wastafel, jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika Zahira selesai mengerjakan tugas dari ibu mertuanya.Semantara itu, Alan sudah berbaring di tempat tidur, matanya tertutup tapi pikirannya masih terjaga, ia teringat akan bola mata Zahira, yang hitam, bagai anggur liar, begitu pekat, tapi berkilau, dan hidung yang menempel di pipinya, ia merasakan jika hidung Zahira mancung.Ahh sial, kenapa aku jadi membayangkan wajah bocah itu, batin Alan, menutup kepalanya dengan selimut.Ceklek!... Pintu kamar ter
Amanda melangkahkan kakinya menuju lorong sebuah kantor, tepat di pintu yang bertuliskan Kepala Manger, Wira Company, ia berhenti, sejenak terdiam, lalu membuka dua kancing kemejanya, sedikit memperlihat indah dadanya yang membusung, terkesan menggoda. Wajah cantik, dengan kulit putih yang bersih, kecantikannya setera dengan artis ibukota, mungkin itu sebabnya Alan jatuh cinta pada Amanda, kecantikannya begitu terkesima, selain itu wanita yang telah menyelesaikan pendidikannya di universitas bergengsi di Kota Jakarta dengan nilai cumulade, juga tidak diragukan kecerdasannya, tawaran untuk menduduki jabatan penting di beberapa perusahaan nasional, tetapi Amanda lebih memilih untuk menjalin kerja sama dengan Wira Company.Tok! tok! Pintu pun diketuk, hingga sebuah suara menyuruhnya masuk.Pintu dibuka pelan, dan Amanda melangkah masuk, setelah menutup pintu, ia tak ingin pembicaraannya dan juga moment berdua bersama Alan terlihat oleh karyawan lain.Alan masih sibuk membubuhkan tanda ta
Mobil sedan hitam melaju kencang di jalan tol, dengan kecepatan tinggi menuju kota Bandung, setelah itu menuju sebuah perbukitan, di sepanjang jalan disuguhi pemandangan yang memanjakan mata, sangat indah dan sejuk, perkebunan teh yang hijau dengan lembah dan gunung yang memukau, ditambah lagi kebun strawbery yang tampak indah. Setelah melewati semua keindahan perkebunan, sampailah mobil Alan, menuju kepemukiman penduduk, jarak rumah yang satu dengan yang lainnya, berjauhan, hingga Zahira menyuruh Alan untuk berhenti, di sebuah rumah mungil bercat dinding dan putih, rumah kecil dengan halaman rumah yang luas, dengan pohon besar mengelilinginya, dan juga taman bunga mawar yang tengah bermekaran. Walau pun tampak kecil, tapi tampak asri dan teduh.“Ini rumah ibumu?” tanya Alan dengan membuka kaca jandela mobil dan menatap rumah, yang menurutnya sangat kontras dengan kediaman Pak Wijaya yang mewah.“Iya, Mas. mau turun, bertemu ibu?” tanya Zahira dengan sangat hati-hati.“Nggak, aku suda
“Mas..awas!” teriak Zahira.Alan hampir saja menabrak mobil yang melintas di depannya, mobil Alan mengerem mendadak laju mobilnya, dengan napas memburu Alan menjatuhkan kepalanya di atas stir. Zahira juga terkejut, hingga kepalanya terbentur dash board.Zahira mengusap kepalanya yang sakit seraya menatap ke arah Alan, yang masih shock.“Mas, kamu baik-baik saja ‘kan?’Alan perlahan mengangkat kepalanya. ”Aku rasa, kita istirahat dulu Hira, kau tidak bisa melanjutkan perjalanan ini. Kita menginap di hotel terdekat,” ajak Alan mencoba menenangkan diri.Alan melajukan mobil pelan, 100 meter dari posisinya ada sebuah hotel, Alan memutuskan untuk menginap di hotel, karena tiba-tiba kepalanya pusing.Kini, Alan sudah berada di loby hotel. ”Dua kamar VIP,” ujar Alan pada resepsionis hotel.“Baik, Pak,” jawab resepsionis menyerahkan dua kunci kamar hotel.Tanpa berkata, Alan memberikan salah satu kunci kamar pada Zahira. Wanita bercadar itu pun mengerti, lalu meraih kunci tanpa banyak bertany
Ketiganya memasuki lift menuju lantai 10, sampai di sana semua karyawan memberi hormat, ketika melihat petinggi Wira Company datang, tapi di sisi lain, mereka tampak penasaran dengan gadis yang terlihat aneh, yaitu Zahira yang memakai hijab dan cadarnya, maklumlah, semua keryawan tidak tahu, jika Alan telah menikahi Zahira, setahu mereka calon istri Alan adalah Amanda.Zahira dengan sopan membalas penghormatan dengan anggukan dan terlihat tersenyum pada para karyawan wanita, ini bisa dilihat dari iris matanya.“Kita, ke ruanganku,” ajak Alan pada Zahira.Oma Sinta masuk ke ruangan pribadinya, sedangkan Alan masuk ke ruang kepala manager.Pintu, terbuka, Alan masuk diikuti Zahira, kantor yang cukup besar, dengan sofa yang berhadapan dengan meja kerja.Zahira duduk, matanya masih mengedarkan pandangan, hingga ia tertarik dengan lukisan yang tergantung di dinding, perlahan bangkit lalu berjalan.Zahira berdiri menatap sebuah lukisan. ”Lukisan ini salinan karya edouard vuillard,” ucapny
Alan beranjak dari kamar Zahira, dan ia menyimpan buku harian Zahira. Setelah itu Alan bergegas meninggalkan rumahnya. Alan tidak kembali menuju kantor, melainkan melajukan mobilnya menuju sebuah kantor pengacara, jantungnya sedikit berdebar, ada sesuatu yang akan ia bicarakan dengan pengacara keluarganya.Kini, pria rupawan itu, sudah duduk di depan pria yang seusia Papahnya, pria itu heran mendapati Alan datang tanpa janji terlebih dahulu.“Alan, tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, kamu sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang sukses, ada perlu apa, hingga kamu datang sendiri ke kantor.”“Aku ingin bertanya padamu tentang kasus kecelakaan, sebelas tahun yang lalu, siapa korban kecelakan itu?” tanya Alan dengan tegas.Sang pengacara terdiam, ia menatap dalam Alan, sudah bertahun lamanya kejadian itu, tapi baru sekarang Alan menanyakannya.“Apa, Pak Ridwan tahu, jika kamu menanyakan kejadian itu kembali?”“Tidak, Papah dan Mamah tidak tahu, aku bukan anak kecil lagi ‘kan, aku berh
Pagi hari, pukul delapan pagi, aroma masakan sudah tercium wangi, terdengar juga Zahira sedang berbincang dengan sang Oma, sambil tangannya aktif memasak di dapur.“Hira, kamu ‘kan, bersaudara dengan Amanda, tapi kenapa kalian berbeda, seperti langit dan bumi?” tanya Sinta.“Itu karena kami di asuh oleh ibu yang berbeda, Oma. Baik buruknya seorang terkadang ada campur tangan seorang ibu, mudah-mudahan Hira suatu saat bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anak Zahira kelak, kerena seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya,” jawab Zahira.“Oh... berbicara anak, aku berharap kalian segera memberikan kabar baik,” balas Sinta“Kabar baik apa, Oma?” tanya Alan, sembari menarik kursi dan duduk di sebelah sang Oma, lalu meraih gelas, dan menuang air mineral, ke dalam gelas.“Kabar baik, yaitu kabar mengenai kehamilan Zahira,” jawab Oma Sinta.Huk huk! Alan hampir saja memuntahkan air yang di telannya, lalu menatap tajam Zahira, yang saat itu juga menatapnya.“Kenapa, Alan, wajarkan, jik
Malam beranjak naik, Oma Sinta terlihat sedang menyeduh dua cangkir jamu, ia tersenyum, lalu meraih dua cangkir itu di meja makan, setelah itu mengetuk pintu.“Alan, Zahira, keluarlah sebentar,” suruh Oma Sinta.Tak lama kemudian pintu di buka, terlihat Alan dan Zahira berdiri di depan pintu.“Ada apa Oma, Alan lagi sibuk,” timpal Alan.“Iya, Oma tahu, kamu sibuk dengan Zahira, tapi biar kesibukan kalian itu membuahkan hasil, ayo minum jamu dulu.” Oma Sinta menarik tangan Alan, dan dibawanya pria itu duduk di kursi, sementara Zahira mengikutinya dari belakang, lalu ia pun duduk.“Ayo, kalian minum dulu, sebelum beraktivitas malam, mudah-mudahan akan segera ada kabar baik,” suruh wanita yang berusia 70 tahun dengan mengulum senyum.Alan, memutar bola mata, malas menanggapi ocehan sang Oma, tapi jika menolak, akan banyak ocehan yang ia terima, oleh karena itu Alan pun memutuskan menuruti kemauan sang Oma, Ia meraih cangkir di depannya, dan mulai meneguknya, walau rasanya terasa aneh, da