Share

BAB 4 Ada Kepahitan Di Masa Lalu

Kembali suara ponsel berdering nyaring, ibu Alan yaitu Risma sedang menelepon.

Hello, Ma, ada apa?”

“Besok  malam, bawa istrimu ke rumah, Papah dan Oma, mau melihat istrimu, dan bersiaplah menceraikan dia, aku yakin, ia tidak sesuai dengan kriteria Omamu!” perintah Risma dengan sangat tegas.

“Soal cerai Mamah tidak usah khawatir, pasti aku akan ceraikan Zahira, gadis kampung itu pasti tidak akan berontak,” jawab Alan pelan, takut jika Zahira mendengar.

Bukannya takut sih, karena selama ini Alan tidak pernah takut pada siapapun, kecuali sang Oma, ia bergitu hormat dan patuh pada sang Oma. Alan cuma tidak mau menyingung perasaan Zahira, walau perasaan gadis itu sebenarnya tidak penting, tapi Alan juga punya etika dan strategi, bersikap manis pada lawannya adalah suatu strategi dalam bisnis, menurut Alan. Eh lawan? Apa benar yang mau di lawan  Zahira, bukankah lawan sebenarnya adalah Amanda, dan gadis polos bercadar itu hanyalah tumbal, dari kekesalannya, setidaknya itu yang ada dalam pikiran Alan.

Kembali Alan menyuap menu makanan di piringnya hingga tandas, malah ia tambah satu piring lagi, baginya masakan Zahira terlalu nikmat, mubazir jika tersisa dan akhirnya masuk tempat sampah.

Setelah perutnya terisi dan kekenyangan, Alan berjalan ke halaman samping, bermaksud untuk mencari angin segar, terlihat lampu kamar Zahira masih menyala, dari bayangan  Zahira seperti membuka hijabnya, tapi masih memakai gamis panjang yang menutupi tubuhnya tapi rambut terlihat jelas, rambut Zahira terlihat lurus panjang sebatas pinggang, tak berselang lama, lampu dimatikan dan terlihat gelap menandakan jika Zahira telah tidur.

“Rambut Zahira panjang,” gumam Alan.

”Ih.. sialan, kenapa kepikiran rambut Zahira sih, banyak wanita berambut panjang sepingang, tidak hanya gadis kampung itu,” gerutunya lagi .

Pagi hari Zahira sudah menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya sendiri, dua mata sapi sudah mendarat di piringnya. Untuk Alan, Zahira memesannya delivery order seperti biasanya. Alan terlihat keluar kamar dengan pakaian khas kantor, kemeja  lengkap, jas warna senada, dan celana kain warna hitam, Zahira sempat terpukau, lalu kembali menundukan matanya.

“Nanti malam bersiaplah, Mamah, Papah dan Oma ingin bertemu denganmu!” titah pria rupawan dengan berjalan menuju kursi makan.

“Iya, Mas, tapi nanti sore aku kajian agama di kampus , bagaimana jika aku langsung dari kampus ke rumah Mamah.”

“Terserah, aku tidak peduli, yang penting kamu datang tepat waktu!” perintah Alan terdengar ketus dan dingin.

“Baik, akan aku usahkan datang tepat waktu,” jawab Zahira.

“Berapa nomor ponselmu, jangan salah sangka aku minta nomormu, aku takut kamu lupa dan akhirnya tidak jadi menemui Mamah,” suara Alan terdengar lagi.

Zahira menyodorkan ponselnya, ini Mas. “Insyaallah aku tidak lupa, kok Mas, nanti aku langsung dari kampus akan ke rumah Mamah, Mas Alan serlok saja lokasinya,” sahut Zahira.

“Sok tahu kamu,” sahut Alan, meraih ponsel, Zahira dan menyalin nomor ponsel Zahira.

“Aku akan kirimkan nomorku padamu.”

“Terima kasih ya Mas.”

“Untuk apa?”

“Ya, untuk nomor ponsel, Mas Alan, jadi aku tidak bingung kalau membutuhkan Mas Alan.”

“Awas, jangan bikin repot aku, kamu tahu ‘kan, aku seorang kepala manager, sibuknya luar biasa, jangan ganggu aku dengan masalah-masalah kecilmu, paham ‘kan!”

“Paham Mas.”

Alan sudah selesai dengan makan paginya, pria itu langsung  beranjak pergi tanpa berpamitan dengan Zahira.

Baru lima menit, Alan keluar, bunyi chat di ponsel Zahira berbunyi.

{Uang di atas nakas kamarku untukmu, berhematlah, jangan gelap mata jika lihat tumpukan uang}

Chat dari Alan dibaca Zahira, setelah itu Zahira menuju kamar Alan, dan melihat di atas nakas ada dua puluh lembar uang warna merah, Zahira mengambilnya dan menyimpannya.

***

Sang mentari sudah terbenam di ufuk barat, Zahira menerima share lokasi rumah orang tua Alan, ia pun memesan taksi online, tapi sebelumnya Zahira berhenti di sebuah toko cake dan bakery dan membeli dua kotak cake, untuk buah tangan, ini adalah kali pertama ia berkunjung ke rumah mertuanya, dan sekaligus pertemuan pertama dengan keluarga Alan, ia harus memberi kesan yang baik untuk keluarga suaminya. Taksi yang ditumpangi melaju dengan kecepatan sedang, di jalanan yang  macet.

Akhirnya taksi  memasuki kawasan perumahan elit, bergaya klasik, jantung Zahira berdetak kencang, deretan rumah mewah dan megah berjajar, akhirnya taksi berhenti di salah satu rumah bercat dinding putih, terlihat seperti istana, jantung  semakin berdetak kencang, untuk sesaat menatap paper bag di tangannya. Tiba-tiba ingin rasanya ia menyembunyian paper bag di tangannya, rasanya cake yang ia bawa tidak akan diterima oleh keluarga Alan, rumah mewah, itu menunjukkan jika buah tangan berupa cake yang harganya tidak mahal, pastilah hanya diberikan pada pembantu rumah atau  mungkin langsung dibuang di tempat sampah.

Dengan langkah kecil, Zahira melangkah menuju pintu pagar yang menjulang tinggi, langkah kaki ragu untuk melangkah, apalagi ketika  sebuah mobil sedan warna merah memasuki pintu gerbang, dan berhenti. Seketika Zahira tertegun, sekilas melihat wajah seorang pria ketika jendela mobil yang ditumpanginya dibuka.

Zahira memundurkan langkah kakinya, menjauh bahkan setengah berlari menjauh dari rumah megah nan mewah, bahkan napasnya tersengal-sengal , dan sektika air matanya luruh, paper bag di tangannya di lepas begitu saja, hingga jatuh di jalan

Ponsel yang berbunyi nayaring didalam tasnya dihiraukanya, wanita muda itu terus berjalan tanpa arah, ada gurat ketakutan yang terpancar di wajah balik cadarnya.

“Lelaki itu, apa yang aku lihat itu benar, dia yang hampir  merusak kehormatanku,” gumam Zahira.

Dua jam kemudian, Zahira sudah berada di dalam kamarnya menutupi seluruh tubuh dengan selimut tebal, seakan ingin menyembunyikan tubuhnya dari siapa pun.

Tok! Tok!

Bunyi suara pintu yang diketuk keras membuat Zahira tersentak, dan menatap pintu.

“Zahira! keluar!” perintah Alan bernada keras.

Zahira mengerti, pasti Alan marah padanya, karena ia tidak jadi menemui orang tuanya

Ceklek!

Pintu terbuka, Zahira menatap nanar ke arah Alan dengan muka yang merah padam, dan kedua tangan di pinggang.

“Kenapa kamu tidak datang, kami semua menunggumu, dan kamu malah tidur di rumah!” bentak  Alan sambil berkacak pinggang

“Maaf Mas, tiba-tiba kepalaku pusing, jadi aku memilih pulang ke rumah,” dalih Zahira.

“Kamu juga tidak mengangkat teleponku!” Alan mencerca lagi, dengan nada kesal.

“Aku lupa, waktu di kampus membuat mode sunyi dan belum kuaktifkan lagi,” dalih Zahira.

“Banyak alasan kamu, ternyata kamu sama saja dengan Amanda, tidak bisa menepati janji,” gerutu Alan, seraya berjalan  meninggalkan Zahira dan masuk ke kamarnya, lalu meutup pintu dengan sangat keras.

Blam! Zahira bernapas lega, ia pun kembali  ke kamar, matanya sulit terpejam, jika mulai  gelisah, Zahira melaksakan salat,  dan setelahnya membaca ayat-ayat suci. Beberapa saat kemudian, Zahira menelepon seseorang.

“Aku melihat lelaki itu, apa hanya halusinasiku, ternyata setelah tiga tahun, aku belum bisa melupakan kejadian itu, bahkan jika suamiku menyentuh, rasanya aku seperti berhadapan dengan pria itu,” ucapnya dengan seseorag di seberang ponsel.

“Datanglah besok ke klnik, kita akan akan lakukan terapi lagi.”

“Baiklah,” sahut Zahira kemudian menutup ponsel.

Zahira menutup ponselnya, lalu menatap wajahnya di cermin, sudah tiga tahun ini memutuskan memakai cadar, ia berharap tidak akan ada lelaki mana pun yang mengagumi kecantikannya. Wajah oval, dengan manik mata hitam nan indah dan hidung mancung, kecantikan yang nyaris sempurnya yang dimiliki Zahira. Dan di balik cadarnya itu juga tersimpan kepahitan dari masa lalunya.  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
bercadar ternyata tujuannya lain
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status