Kembali suara ponsel berdering nyaring, ibu Alan yaitu Risma sedang menelepon.
“Hello, Ma, ada apa?”
“Besok malam, bawa istrimu ke rumah, Papah dan Oma, mau melihat istrimu, dan bersiaplah menceraikan dia, aku yakin, ia tidak sesuai dengan kriteria Omamu!” perintah Risma dengan sangat tegas.
“Soal cerai Mamah tidak usah khawatir, pasti aku akan ceraikan Zahira, gadis kampung itu pasti tidak akan berontak,” jawab Alan pelan, takut jika Zahira mendengar.
Bukannya takut sih, karena selama ini Alan tidak pernah takut pada siapapun, kecuali sang Oma, ia bergitu hormat dan patuh pada sang Oma. Alan cuma tidak mau menyingung perasaan Zahira, walau perasaan gadis itu sebenarnya tidak penting, tapi Alan juga punya etika dan strategi, bersikap manis pada lawannya adalah suatu strategi dalam bisnis, menurut Alan. Eh lawan? Apa benar yang mau di lawan Zahira, bukankah lawan sebenarnya adalah Amanda, dan gadis polos bercadar itu hanyalah tumbal, dari kekesalannya, setidaknya itu yang ada dalam pikiran Alan.
Kembali Alan menyuap menu makanan di piringnya hingga tandas, malah ia tambah satu piring lagi, baginya masakan Zahira terlalu nikmat, mubazir jika tersisa dan akhirnya masuk tempat sampah.
Setelah perutnya terisi dan kekenyangan, Alan berjalan ke halaman samping, bermaksud untuk mencari angin segar, terlihat lampu kamar Zahira masih menyala, dari bayangan Zahira seperti membuka hijabnya, tapi masih memakai gamis panjang yang menutupi tubuhnya tapi rambut terlihat jelas, rambut Zahira terlihat lurus panjang sebatas pinggang, tak berselang lama, lampu dimatikan dan terlihat gelap menandakan jika Zahira telah tidur.
“Rambut Zahira panjang,” gumam Alan.
”Ih.. sialan, kenapa kepikiran rambut Zahira sih, banyak wanita berambut panjang sepingang, tidak hanya gadis kampung itu,” gerutunya lagi .
Pagi hari Zahira sudah menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya sendiri, dua mata sapi sudah mendarat di piringnya. Untuk Alan, Zahira memesannya delivery order seperti biasanya. Alan terlihat keluar kamar dengan pakaian khas kantor, kemeja lengkap, jas warna senada, dan celana kain warna hitam, Zahira sempat terpukau, lalu kembali menundukan matanya.
“Nanti malam bersiaplah, Mamah, Papah dan Oma ingin bertemu denganmu!” titah pria rupawan dengan berjalan menuju kursi makan.
“Iya, Mas, tapi nanti sore aku kajian agama di kampus , bagaimana jika aku langsung dari kampus ke rumah Mamah.”
“Terserah, aku tidak peduli, yang penting kamu datang tepat waktu!” perintah Alan terdengar ketus dan dingin.
“Baik, akan aku usahkan datang tepat waktu,” jawab Zahira.
“Berapa nomor ponselmu, jangan salah sangka aku minta nomormu, aku takut kamu lupa dan akhirnya tidak jadi menemui Mamah,” suara Alan terdengar lagi.
Zahira menyodorkan ponselnya, ini Mas. “Insyaallah aku tidak lupa, kok Mas, nanti aku langsung dari kampus akan ke rumah Mamah, Mas Alan serlok saja lokasinya,” sahut Zahira.
“Sok tahu kamu,” sahut Alan, meraih ponsel, Zahira dan menyalin nomor ponsel Zahira.
“Aku akan kirimkan nomorku padamu.”
“Terima kasih ya Mas.”
“Untuk apa?”
“Ya, untuk nomor ponsel, Mas Alan, jadi aku tidak bingung kalau membutuhkan Mas Alan.”
“Awas, jangan bikin repot aku, kamu tahu ‘kan, aku seorang kepala manager, sibuknya luar biasa, jangan ganggu aku dengan masalah-masalah kecilmu, paham ‘kan!”
“Paham Mas.”
Alan sudah selesai dengan makan paginya, pria itu langsung beranjak pergi tanpa berpamitan dengan Zahira.
Baru lima menit, Alan keluar, bunyi chat di ponsel Zahira berbunyi.
{Uang di atas nakas kamarku untukmu, berhematlah, jangan gelap mata jika lihat tumpukan uang}
Chat dari Alan dibaca Zahira, setelah itu Zahira menuju kamar Alan, dan melihat di atas nakas ada dua puluh lembar uang warna merah, Zahira mengambilnya dan menyimpannya.
***
Sang mentari sudah terbenam di ufuk barat, Zahira menerima share lokasi rumah orang tua Alan, ia pun memesan taksi online, tapi sebelumnya Zahira berhenti di sebuah toko cake dan bakery dan membeli dua kotak cake, untuk buah tangan, ini adalah kali pertama ia berkunjung ke rumah mertuanya, dan sekaligus pertemuan pertama dengan keluarga Alan, ia harus memberi kesan yang baik untuk keluarga suaminya. Taksi yang ditumpangi melaju dengan kecepatan sedang, di jalanan yang macet.
Akhirnya taksi memasuki kawasan perumahan elit, bergaya klasik, jantung Zahira berdetak kencang, deretan rumah mewah dan megah berjajar, akhirnya taksi berhenti di salah satu rumah bercat dinding putih, terlihat seperti istana, jantung semakin berdetak kencang, untuk sesaat menatap paper bag di tangannya. Tiba-tiba ingin rasanya ia menyembunyian paper bag di tangannya, rasanya cake yang ia bawa tidak akan diterima oleh keluarga Alan, rumah mewah, itu menunjukkan jika buah tangan berupa cake yang harganya tidak mahal, pastilah hanya diberikan pada pembantu rumah atau mungkin langsung dibuang di tempat sampah.
Dengan langkah kecil, Zahira melangkah menuju pintu pagar yang menjulang tinggi, langkah kaki ragu untuk melangkah, apalagi ketika sebuah mobil sedan warna merah memasuki pintu gerbang, dan berhenti. Seketika Zahira tertegun, sekilas melihat wajah seorang pria ketika jendela mobil yang ditumpanginya dibuka.
Zahira memundurkan langkah kakinya, menjauh bahkan setengah berlari menjauh dari rumah megah nan mewah, bahkan napasnya tersengal-sengal , dan sektika air matanya luruh, paper bag di tangannya di lepas begitu saja, hingga jatuh di jalan
Ponsel yang berbunyi nayaring didalam tasnya dihiraukanya, wanita muda itu terus berjalan tanpa arah, ada gurat ketakutan yang terpancar di wajah balik cadarnya.
“Lelaki itu, apa yang aku lihat itu benar, dia yang hampir merusak kehormatanku,” gumam Zahira.
Dua jam kemudian, Zahira sudah berada di dalam kamarnya menutupi seluruh tubuh dengan selimut tebal, seakan ingin menyembunyikan tubuhnya dari siapa pun.
Tok! Tok!
Bunyi suara pintu yang diketuk keras membuat Zahira tersentak, dan menatap pintu.
“Zahira! keluar!” perintah Alan bernada keras.
Zahira mengerti, pasti Alan marah padanya, karena ia tidak jadi menemui orang tuanya
Ceklek!
Pintu terbuka, Zahira menatap nanar ke arah Alan dengan muka yang merah padam, dan kedua tangan di pinggang.
“Kenapa kamu tidak datang, kami semua menunggumu, dan kamu malah tidur di rumah!” bentak Alan sambil berkacak pinggang
“Maaf Mas, tiba-tiba kepalaku pusing, jadi aku memilih pulang ke rumah,” dalih Zahira.
“Kamu juga tidak mengangkat teleponku!” Alan mencerca lagi, dengan nada kesal.
“Aku lupa, waktu di kampus membuat mode sunyi dan belum kuaktifkan lagi,” dalih Zahira.
“Banyak alasan kamu, ternyata kamu sama saja dengan Amanda, tidak bisa menepati janji,” gerutu Alan, seraya berjalan meninggalkan Zahira dan masuk ke kamarnya, lalu meutup pintu dengan sangat keras.
Blam! Zahira bernapas lega, ia pun kembali ke kamar, matanya sulit terpejam, jika mulai gelisah, Zahira melaksakan salat, dan setelahnya membaca ayat-ayat suci. Beberapa saat kemudian, Zahira menelepon seseorang.
“Aku melihat lelaki itu, apa hanya halusinasiku, ternyata setelah tiga tahun, aku belum bisa melupakan kejadian itu, bahkan jika suamiku menyentuh, rasanya aku seperti berhadapan dengan pria itu,” ucapnya dengan seseorag di seberang ponsel.
“Datanglah besok ke klnik, kita akan akan lakukan terapi lagi.”
“Baiklah,” sahut Zahira kemudian menutup ponsel.
Zahira menutup ponselnya, lalu menatap wajahnya di cermin, sudah tiga tahun ini memutuskan memakai cadar, ia berharap tidak akan ada lelaki mana pun yang mengagumi kecantikannya. Wajah oval, dengan manik mata hitam nan indah dan hidung mancung, kecantikan yang nyaris sempurnya yang dimiliki Zahira. Dan di balik cadarnya itu juga tersimpan kepahitan dari masa lalunya.
Sementara itu di kediaman orang tua Alan, terjadi ketegangan seorang pria dengan rambut halus memenuhi wajahnya, tampak bersitegang dengan seorang pria paruh baya.“Untuk apa kamu datang ke rumah ini?” Ridwan berucap sambil menatap sinis pria yang masih berdiri“Apa aku sudah tak punya hak untuk datang ke rumah ini Pah,” sahut ketus pria berusia 30 tahun sambil duduk menyilangkan kaki di sofa.“Kenapa kamu belum berubah, Abram, menjadi liar dan tidak bisa mengurus dirimu sendiri,” tukas Risma.“Ahhh.. sudahlah Mah, jangan bicara itu lagi, toh aku tidak menyusahkan kalian.” Pria yang bernama Abram itu, meraih sebungkus rokok di saku kemejanya, lalu menyulutnya dengan pemantik.”Aku datang ke rumah ini, karena aku dengar Alan sudah menikah, kenapa kalian tidak mengundangku?”“Kami sendiri tidak tahu, jika Alan menikah, anak itu juga lama–kelamaan sama denganmu, gara-gara seorang wanita bisa menghancurkan masa depannya sendiri,” celoteh Risma kesal.“Kenapa, bukankah Amanda calon menant
“Jangan mengada-ngada Oma, wajah tertutup seperti itu, bagaimana jika teman-teman sosialita Mamah tanya, cantik apa nggak mantunya? Mamah harus bilang apa, mau bilang cantik, tapi wajahnya tertutup seperti itu,” gerutu Risma kesal.“Cantik kok, Zahira sangat cantik, bukan hanya cantik wajah, tapi hatinya juga cantik.” Oma Sinta menjawab keraguan Risma.“Sudah, kita makan dulu,” ajak Ridwan Wira Atmaja suami Risma.Semuanya yang duduk di kursi makan, mulai menyuap menu di depan piring, seperti biasa, Zahira memakan dengan cadar masih terpakai, ia memasukan sendok ke dalam cadarnya . Risma dan Ridwan hanya memperhatikan cara makan Zahira.“Alan, menginaplah di sini beberapa hari, Oma mau belajar ngaji pada Zahira,” titah sang Oma.“Tidak, Oma, aku tidak mau menginap di sini,” sahut Alan, tampak khawatir, jika menginap di rumah orang tuanya, itu berarti dia satu kamar dengan Zahira, pasti akan mempersulit aktivitasnya, jika satu kamar dengan Zahira.“Kenapa keberatan, Oma disini hanya
Setelah makan pagi selesai, Alan dan Ridwan berangkat ke kantor. Kesempatan ini, dipakai Risma untuk mengerjai menantunya.“Zahira, kamu bereskan semua perabot kotor ini, soalnya Bi Darni, aku suruh ke pasar!” perintah Risma.“Baik, Mah.”“Apa asisten rumah tengga paruh waktu tidak datang, kenapa harus Zahira yang melakukannya,” tukas Oma Sinta, keberatan jika Zahira yang membersihkan semua piring kotor.“Halah Oma, ‘kan nggak selamanya kok, lagi pula Zahira sudah biasa mengerjakannya, iya ‘kan Zahira, kamu tidak keberatan ‘kan?”Zahira tersenyum, iris matanya terlihat ia tulus. ”Tidak apa–apa Oma, saya akan membersihkannya,” jawab Zahira, lalu tanpa berkata lagi ia menaruh piring–piring, lalu dibawanya ke wastefel dapur dan mulai mencuci piring dan perabot lainnya.Sesekali Zahira menatap jam di dinding dapur, hari ini ada jadwal kuliah, setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Risma, gadis yang bercadar itu bergegas menuju kamar, meraih tas dan pergi.“Mamah, Oma, Hira berangk
Wijaya, Anita dan Amanda sudah meninggalkan rumah mewah Ridwan. Sementara Alan, langsung naik ke lantai atas masuk ke dalam kamar, sikap acuh terlihat kembali. Oma yang badannya ringkihpun langsung memasuki kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara Risma masih ingin membuat Zahira tidak betah menjadi menantunya.“Zahira, kamu tahu ‘kan tugasmu,” suruh Risma.“Baik Mah.”Zahira langsung menuju meja makan yang penuh dengan piring kotor, ia meraih piring kotor dan mencucinya di wastafel, jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika Zahira selesai mengerjakan tugas dari ibu mertuanya.Semantara itu, Alan sudah berbaring di tempat tidur, matanya tertutup tapi pikirannya masih terjaga, ia teringat akan bola mata Zahira, yang hitam, bagai anggur liar, begitu pekat, tapi berkilau, dan hidung yang menempel di pipinya, ia merasakan jika hidung Zahira mancung.Ahh sial, kenapa aku jadi membayangkan wajah bocah itu, batin Alan, menutup kepalanya dengan selimut.Ceklek!... Pintu kamar ter
Amanda melangkahkan kakinya menuju lorong sebuah kantor, tepat di pintu yang bertuliskan Kepala Manger, Wira Company, ia berhenti, sejenak terdiam, lalu membuka dua kancing kemejanya, sedikit memperlihat indah dadanya yang membusung, terkesan menggoda. Wajah cantik, dengan kulit putih yang bersih, kecantikannya setera dengan artis ibukota, mungkin itu sebabnya Alan jatuh cinta pada Amanda, kecantikannya begitu terkesima, selain itu wanita yang telah menyelesaikan pendidikannya di universitas bergengsi di Kota Jakarta dengan nilai cumulade, juga tidak diragukan kecerdasannya, tawaran untuk menduduki jabatan penting di beberapa perusahaan nasional, tetapi Amanda lebih memilih untuk menjalin kerja sama dengan Wira Company.Tok! tok! Pintu pun diketuk, hingga sebuah suara menyuruhnya masuk.Pintu dibuka pelan, dan Amanda melangkah masuk, setelah menutup pintu, ia tak ingin pembicaraannya dan juga moment berdua bersama Alan terlihat oleh karyawan lain.Alan masih sibuk membubuhkan tanda ta
Mobil sedan hitam melaju kencang di jalan tol, dengan kecepatan tinggi menuju kota Bandung, setelah itu menuju sebuah perbukitan, di sepanjang jalan disuguhi pemandangan yang memanjakan mata, sangat indah dan sejuk, perkebunan teh yang hijau dengan lembah dan gunung yang memukau, ditambah lagi kebun strawbery yang tampak indah. Setelah melewati semua keindahan perkebunan, sampailah mobil Alan, menuju kepemukiman penduduk, jarak rumah yang satu dengan yang lainnya, berjauhan, hingga Zahira menyuruh Alan untuk berhenti, di sebuah rumah mungil bercat dinding dan putih, rumah kecil dengan halaman rumah yang luas, dengan pohon besar mengelilinginya, dan juga taman bunga mawar yang tengah bermekaran. Walau pun tampak kecil, tapi tampak asri dan teduh.“Ini rumah ibumu?” tanya Alan dengan membuka kaca jandela mobil dan menatap rumah, yang menurutnya sangat kontras dengan kediaman Pak Wijaya yang mewah.“Iya, Mas. mau turun, bertemu ibu?” tanya Zahira dengan sangat hati-hati.“Nggak, aku suda
“Mas..awas!” teriak Zahira.Alan hampir saja menabrak mobil yang melintas di depannya, mobil Alan mengerem mendadak laju mobilnya, dengan napas memburu Alan menjatuhkan kepalanya di atas stir. Zahira juga terkejut, hingga kepalanya terbentur dash board.Zahira mengusap kepalanya yang sakit seraya menatap ke arah Alan, yang masih shock.“Mas, kamu baik-baik saja ‘kan?’Alan perlahan mengangkat kepalanya. ”Aku rasa, kita istirahat dulu Hira, kau tidak bisa melanjutkan perjalanan ini. Kita menginap di hotel terdekat,” ajak Alan mencoba menenangkan diri.Alan melajukan mobil pelan, 100 meter dari posisinya ada sebuah hotel, Alan memutuskan untuk menginap di hotel, karena tiba-tiba kepalanya pusing.Kini, Alan sudah berada di loby hotel. ”Dua kamar VIP,” ujar Alan pada resepsionis hotel.“Baik, Pak,” jawab resepsionis menyerahkan dua kunci kamar hotel.Tanpa berkata, Alan memberikan salah satu kunci kamar pada Zahira. Wanita bercadar itu pun mengerti, lalu meraih kunci tanpa banyak bertany
Ketiganya memasuki lift menuju lantai 10, sampai di sana semua karyawan memberi hormat, ketika melihat petinggi Wira Company datang, tapi di sisi lain, mereka tampak penasaran dengan gadis yang terlihat aneh, yaitu Zahira yang memakai hijab dan cadarnya, maklumlah, semua keryawan tidak tahu, jika Alan telah menikahi Zahira, setahu mereka calon istri Alan adalah Amanda.Zahira dengan sopan membalas penghormatan dengan anggukan dan terlihat tersenyum pada para karyawan wanita, ini bisa dilihat dari iris matanya.“Kita, ke ruanganku,” ajak Alan pada Zahira.Oma Sinta masuk ke ruangan pribadinya, sedangkan Alan masuk ke ruang kepala manager.Pintu, terbuka, Alan masuk diikuti Zahira, kantor yang cukup besar, dengan sofa yang berhadapan dengan meja kerja.Zahira duduk, matanya masih mengedarkan pandangan, hingga ia tertarik dengan lukisan yang tergantung di dinding, perlahan bangkit lalu berjalan.Zahira berdiri menatap sebuah lukisan. ”Lukisan ini salinan karya edouard vuillard,” ucapny