Part 30Mulai bulan depan, aku dan Mas Firman resmi menanggung hutang Bank yang di buat oleh Mas Andra dan Mbak Niken sebelumnya. Untuk pertama kalinya kami berurusan dengan Bank. Bismillah ... semoga bisa sampai lunas. Demi menjaga nama baik.Semoga kami bisa menuntaskan. Terkadang takut, tapi yakin bisa. Demi memiliki tabungan untuk masa depan Dika. Setidaknya, rumah dan pekarangan milik Mas Andra sebelumnya, bisa aku wariskan ke Dika kelak.Ya, kalau sudah lunas, rumah beserta tanah akan menjadi milik kami. Bisa kami berikan untuk Dika kelak. Aamiin.Pagi ini, rutinitas biasa aku jalani. Membersihkan pelataran rumah. Terkadang pelataran rumah Mas Andra juga aku bersihkan walau tak setiap hari. Kalau setiap hari takut mencurigakan dan ujung-ujungnya ketahuan.Mas Firman sudah berangkat kerja. Dika sedang asyik dengan mobil-mobilannya. "Ka, kira-kira si Niken kemana, ya?" tanya Mak Giyem tiba-tiba udah ada di belakangku."Astagfirullah ... Mak ... bikin kaget aja! huuuhhhh ...." bal
PART 31POV NIKEN"Mbak, saya perhatikan badannya makin hari, kok, makin kurus?" tanya Bu Wiwit, tetangga sebelah kontrakan. Baru kenal dia beberapa hari yang lalu.Aku memasang wajah nyengir. Kemudian memegang leherku sendiri. Mengusap-usap sejenak. Memang terasa kurus ini badan. Telapak tangan juga merasakan memegang tulang. Meneguk ludah sejenak.Kalau dulu badan ini sangat semox. Nggak tahu kenapa, makin hari, makin menyusut. Sedot lemak? Sama sekali tidak. Hanya untuk ingin diakui hidup berkecukupan dan mewah saja."Saya memang diet, Bu!" jawabku asal. Aku lihat kening Bu Wiwit mengerut. Seolah merasa tabu."Diet?" Bu Wiwit mengulang kata itu. Aku mengangguk penuh percaya diri, agar dia percaya. Dia malah menghela napas sejenak. Seolah tatapan mata itu, menunjukan kebingungan."Jangan diet, Mbak Niken! Badannya udah kurus gitu, dilihat nggak enak. Nggak sedap. Kalau masih gadis memang bagus kurus. Tapi kalau udah nikah, menurut saya bagusan gemuk semok gitu. Soalnya kalau udah ni
PART 32POV ANDRATerpuruk. Ya, itu kata yang tepat untuk kodisiku saat ini. Tak punya tempat tinggal, tak punya kendaraan, bahkan tak punya pekerjaan. Masih di tambah lagi, terlilit hutang yang sangat luar biasa banyak jumlahnya. Miris sekali dan tak pernah aku bayangkan sebelumnya.Istriku Niken, seolah tak mau tahu. Dia selalu menekanku untuk memenuhi semua kebutuhannya. Tanpa memikirkan dari mana aku mendapatkan uang. Tanpa memikirkan juga, uang yang dia pakai, adalah uang hasil hutang. Yang mana sekarang, kami harus bertanggung jawab atas semua kesalahan itu. Tapi, aku tak mampu bertanggung jawab. Aku memutuskan untuk kabur. Walau kabur sebenarnya bukan suatu solusi.Hari ini aku pulang hanya memberikan satu lembar uang kertas berwarna merah. Mendapatkan uang itu dengan jerih payah yang tak mudah. Tapi, bagi Niken itu hal yang memalukan. Tapi bagiku sekarang, lebih memalukan lagi, jika terjadi kelaparan karena tak mampu membeli makan. Biarlah sebagai tukang muat pasir. Setidakny
Part 33POV IBU"Aku kok kepikiran Andra, ya, Pak? Gimana nasib cucu kita? Jadi kengen sama Zaki. Juga gimana nasib mantu kita," ucapku kepada suamiku. "Sudahlah, Bu. Andra sudah besar. Tak perlu terlalu di pikirkan. Lagian ini memang sudah jalan yang dia pilih. Bermain-main dengan Bank, ternyata dia tak sanggup. Ya, seperti ini kejadiannya," balas lelaki yang sudah puluhan tahun mendampingiku.Tak puas hati ini dengan jawaban Bapak. Ingin berkata kasar rasanya. Tapi, masih aku menahan amarah. Karena lelah jika berakhir dengan pertengkaran."Pak! Kok, kamu nampaknya tak peduli dengan anak sulung kita?! Andra lagi terpuruk, dia lagi kesusahan," sungutku. Kulihat lelaki yang sudah paruh baya itu, mematikan rokoknya di dalam asbak. Kemudian menatapku tajam."Yang tak peduli siapa? Selama dia berada di jalan yang lurus, Bapak selalu peduli dengan anak-anak. Tapi, kali ini Andra telah melenceng, berurusan dengan Bank sampai semua kesita. Sakit ... hati Bapak, Bu!" balas lelaki yang sudah
PART 34"Dek,""Ya?""Ke rumah Ibu, Yok!" ajak Mas Firman. Aku melipat kening. Ke rumah Ibu? "Ngapain?" tanyaku. "Main saja. Lama kita nggak main ke sana. Ibu dan Bapak yang sering main ke sini. Lagian ingin tahu jiga keadaan mereka," jawab Mas Firman. Aku kemudian mengangguk."Yaudah, ayok. Aku siap-siap dulu," balasku kurang bersemangat. Mas Firman terlihat mengulas senyum."Dika! Ikut ke rumah Nenek nggak?" tanya Mas Firman dengan nada suara berteriak. "Ikut!" jawab Dika dengan nada semangat. Jauh berbeda denganku. Entahlah, malas saja sebenarnya diajak main ke sana. Tapi nggak enak saja dengan suami.Ya, Dika memang suka jika diajak main ke rumah kakek dan neneknya. Selalu semangat jika diajak main ke sana. "Kalau ikut, cuci muka dulu sana! Dan ganti baju," perintah Mas Firman."Siap, Yah!" balas Dika. Terdengar langkah kaki berlari kecil menuju ke kamar mandi. Sesemangat itu dia, di ajak main ke rumah neneknya.Sebenarnya agak malas main ke rumah mertua. Bukan malas karena a
PART 35"Hu hu hu jangan laporkan anak saya ke Polisi!" lirih Ibu seraya menangis. Aku dan Mas Firman yang baru saja sampai, bingung melihat kejadian ini.Walau bingung, tapi faham apa maksunya. Apalagi kalau bukan hutang piutang Mas Andra. Hidup penuh dengan hutang. Miris sekali melihatnya.Aku lihat telpon sudah di matikan. Nggak tahu siapa yang mematikan. Bisa jadi Mas Andra. Karena dia tak bisa mengelak atau meluruskan.Aku dan Mas Firman sudah berada di ruang tamu milik Mertua. Ibu masih terus menangis dengan tangan menekan dada. Seolah sedang berada dalam zona menyedihkan.Bapak terlihat diam. Nampaknya tak ada niat untuk menenangkan istrinya yang lagi menangis. Pun Mas Firman, hanya melongo di tempat duduknya.Sedangkan Bu Tely, aku lihat raut wajahnya masih terlihat murka. Berkali-kali membenahi gelungan rambutnya."Kalau nggak mau aku laporkan ke Polisi, segera bayar hutang anakmu! Jangan hanya bisa menangis. Karena air matamu, tak bisa melunasi hutang Andra!" sungut Bu Tely.
Part 36POV AndraTit.Komunikasi lewat telpon, langsung aku matikan. Niat hati menelpon Ibu, karena ingin mendapatkan saran, ternyata aku nelpon di waktu yang tak tepat.Tak tepat? Ya, karena saat aku menelpon ada Bu Tely. Perempuan paruh baya yang terkenal dengan toko Emas berjalan.Aku memang meminjam uang sebesar sepuluh juta rupiah kepada Bu Tely. Itu pun atas saran dari Niken. Dan sekarang Niken malah tak mau tahu, dan terus menyalahkanku.Uang meminjam sepuluh juta itu, sudah habis entah kemana. Yang jelas untuk foya-foya nggak jelas. Bodoh! Ya, aku memang bodoh. Bodoh karena cinta.Niken terus menyalahkanku, karena aku tak becus mencari uang dan melunasi semua hutang-hutang itu. Padahal dia juga tahu, seberapa gajiku? Bagaimana aku bisa melunasi semua hutang-hutang itu, karena setiap uang yang aku dapat, selalu diminta penuh oleh Niken. Bahkan untuk beli bensin saja, aku seolah mengemis. Merayunya habis-habisan.Apalagi untuk beli rokok, uang makan dari kantor itulah, yang ta
PART 37"Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Bapak dengan sorot mata memandang Mas Firman. Aku lihat Mas Firman menghela napas sejenak. Kemudian mengusap wajahnya pelan."Kita temui Mas Andra, jika memang bisa di temui, dari nomor barunya tadi," jawab Mas Firman. Bapak terlihat mengerutkan kening. Kemudian mengangkat satu alisnya. Mengangguk pelan.Kalau aku pribadi, Mas Andra jangan di temui dulu, karena suasana masih memanas."Kenapa? Kenapa kamu ingin menemui Andra?" tanya balik Bapak. Pertanyaan yang sama denganku. Lagi, aku masih terus memilih diam. Menjadi pendengar setia. Dan menilai sendiri setiap ucapan mereka."Kasihan Mas Andra, Pak. Bagaimanapun, dia kakakku, dan Firman ingin tahu, bagaimana keadaannya, terutama keadaan Zaki," jawab Mas Firman.Aku hanya bisa meneguk ludah mendengarnya. Pun Bapak aku lihat."Bapak sebenarnya juga ingin sekali bertemu dengan Andra. Tapi, biarkan saja dulu. Kalau dia butuh kita, dia akan menemui kita, tanpa harus kita cari tahu di mana di
Part 66POV ANDRAApa yang aku bilang, kedatangan Mertua semakin membuat hati ini sesak. Gimana nggak sesak? Dia itu sudah minjam dua juta, aku di suruh ganti katanya, tapi travel nggak mau bayar.Itu artinya, dia menyayangkan uang dua juta itu. Semua dia bebankan ke aku. Ya Allah ... mungkin Ibu terlalu di 'lulu' sama Niken dulu itu. Berapapun jumlah nominal yang ibunya mau, selalu Niken turuti, bagaimanapun caranya.Ingin pecah rasanya kepala ini. Emosi luar biasa. Ingin aku terkam perempuan paruh baya bergelar mertuaku itu.Dulu, saat aku masih berduit, tak seperti inilah, rasa kesalku padanya. Karena Niken sendiri juga selalu menutupi sifat yang kurang pas ibunya itu. Sehingga aku gampang juga di perdaya."Ibu bayar saja! Andra nggak ada uang!" ucapku. Ibu terlihat nyengir tak suka."Kok gitu, sih, Ndra? Ibu ini udah jauh-jauh datang ke sini! Cuma ongkos travel saja kamu masalahin? Kalau Ibu punya uang, Ibu nggak minta kamu bayari. Ibu ini memang punya uang, tapi kan uang pinjama
Part 65POV ANDRA"Bu, Bapak," sapaku, saat aku sampai rumah sakit. Mata ini telah melihat kedatangan Bapak dan Ibu. Eka dan Dika juga.Mereka sering mendapatkan perlakuan tak enak dari Niken. Tapi, mereka tetap saja perhatian. Sedangkan keluarga Niken? Seolah menganggap penyakit Niken hanya penyakit sepele. Dan segera sembuh dengan sekali berobat."Ndra," balas Bapak. Aku lihat Ibu diam. Seolah terpaksa datang ke sini. Mungkin Bapak atau Eka yang memaksa. Aku mengulas senyum. Kemudian mencium punggung tangan Bapak dan Ibu. Aku merasakan ada yang berbeda dengan Ibu. Ibu seolah bersikap dingin denganku. Kutarik napas ini. Menghembuskannya perlahan. Menata hati yang terasa bergemuruh hebat.Ibu biasanya orang yang paling care denganku. Tapi semenjak kejadian Niken secara halus mengusir itu, kurasakan Ibu berbeda.Bapak pun juga berbeda. Tapi seolah masih ia tutupi. Eka pun sama. Tapi, seolah mereka masih menutupi. Mungkin tak enak hati denganku. "Ibu ke sini hanya untuk Zaki! Bukan u
PART 64POV ANDRAAku lihat kening Adista melipat, saat aku mengutarakan isi hati untuk meminjam uang. Apakah aku tidak malu? Sungguh aku malu luar biasa. Tapi di tempat yang baru seperti ini, aku mau minjam ke siapa? Hanya Adista dalam pikiranku. Dan menahan rasa malu.Wito? Ah, aku juga tahu kondisi dia. Mau minjam ke toke pasir pun aku tak berani. Karena belum lama kenal juga.Mau minjam Firman, aku juga tak berani. Karena uang dia dulu pernah aku pinjam, dan sampai sekarang belum aku kembalikan.Dulu aku memang punya uang, tapi setiap aku berpikir untuk mengembalikan, selalu didahului Niken untuk belanja baju dan lain sebagainya.Sungguh, entah kenapa aku dulu terlalu nurut dengan Niken. Selalu menuruti keinginannya walau diluar batas mampuku. Kini aku menyesal. Penyesalan memang selalu datang diakhir cerita. Kalau tahu akan seperti ini, tak akan aku mau menuruti, semua keinginan Niken kala itu.Aku lihat Adista masih terdiam. Kemudian merebahkan badannya di sandaran sofa. Entah
PART 63POV EKAKami segera berangkat ke tempat Mas Andra. Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Mbak Niken memang menyebalkan. Tapi, kami masih punya hati nurani. Walau hati kesal luar biasa karena tingkah lakunya kala itu, tapi hati ini tak menaruh rasa dendam.Ibu akhirnya juga ikut menuju ke rumah Mas Andra. Karena aku yakin, mulut bisa berkata kasar dan tega, tapi isi hati berbeda. Tak ada orang tua yang tega kepada anaknya. Termasuk Ibu mertuaku."Ibu ke sana demi Andra dan Zaki dan Firman pun sudah terlanjur di sana. Juga karena paksaan kalian. Bukan karena Niken." ucap Ibu akhirnya. Walau nada suara itu terdengar berat dan terpaksa. Tapi, aku yakin Ibu memang ingin menemui anak dan menantunya.Pesan singkat yang dikirimkan Mas Firman, mengirimkan foto yang mana keadaan Mbak Niken semakin sekarat. Bahkan terlihat Mbak Niken dibawa ke rumah sakit sudah ditusuk infus. Mungkin Mas Firman yang memaksa membawa Mbak Niken ke rumah sakit. Ya Allah ... Engkau Maha Kaya. Aku yakin
PART 62POV EKAKeadaan Mbak Niken dan Mas Andra benar adanya. Yang dikatakan Mak Giyem tak bohong. Aku telah telponan dengan Mas Firman. Dan sudah mendengar dari Mas Firman bagaimana keadaan mereka sekarang.Dan sekarang, kata Mas Firman kondisi Mbak Niken semakin kritis. Dia pingsan lagi.Jujur saja, ini membuat hatiku tak tenang. Bagaimana mau tenang, mendengar ceritanya saja, hati ini terasa tersayat. Walau aku tahu, dulu Mbak Niken memang sangat menyebalkan.Walau Mbak Niken dulu menyebalkan, tapi tak ada dendam didalam sini. Karena sejatinya Mbak Niken sudah di balas oleh Allah. Mbak Niken sudah mendapatkan karmanya. Ya, tak perlu dibalas, tapi karma memang nyata adanya. Cepat atau lambat.Aku mondar mandir layaknya setrikaan. Karena aku bingung sendiri. Sumpah aku bingung. Mau ke rumah Mertua, aku malas jalan kaki. Karena motor dibawa Mas Firman.Astaga ... kenapa aku tak menelpon Ibu saja? Dalam keadaan bingung, rasanya memang tak bisa berpikir tenang. Tak bisa berpikir jerni
Part 61POV ANDRANiken sudah aku letakan didalam kamar. Kondisinya masih pingsan. Zaki menangis seolah ketakutan. Dalam kondisi seperti ini aku sangat amat kebingungan.Kuraih gawai. Kuutak atik dan sebenarnya tak tahu mau menelpon siapa. Karena pikiran terasa sangat amat kacau.Gawai terus aku scroll, sambil mikir pada siapa aku harus meminta tolong. Akhirnya mata ini tertuju pada nomor kontak Firman.Ya, reflek saja langsung menekan nomor Firman. Dan terhubung.Ya, dalam kondisi seperti ini, tetap lari ke saudara. Malu tak malu. Lebih tepatnya menahan malu.***********Akhirnya Firman bersedia untuk datang. Dan pagi ini, katanya dia sudah berangkat. Firman memang adik yang baik. Aku jadi menyesal dulu aku sering memperlakukan dia hal yang tak pantas antara kakak ke adik.Ya Allah ... karmaMu nyata adanya. Bahkan tak sampai ke anak cucu. Seolah langsung di balas tunai kepada diriku sendiri. Sungguh aku malu dengan perlakuanku dulu. Firman maafkan aku!Niken sudah sadar. Dia pingsan
Part 60POV ANDRA"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Aku malu sama Ibu dan Eka!" ucapku kesal dengan Niken.Mumpung Zaki nggak di rumah, ingin aku luapkan semua emosiku. Karena kali ini Niken benar-benar keterlaluan.Zaki keluar sama Adista. Entahlah, semenjak kenal Adista, Zaki lengket dengannya. Mungkin karena Adista sabar dan keibuan. Dan aku tahu, Adista memang suka dan sayang dengan anak kecil. Yang menurutnya, anak kecil itu sangat polos dan jujur."Kamu itu berubah sekarang, Mas. Udah keuangan berubah, sifat juga berubah!" balasnya. Cukup membuatku sangat terkejut.Emosiku semakin naik ke ubun-ubun. Karena ucapan Niken cukup memancing emosiku."Aku berubah? Aku memang selalu salah di matamu! Saat aku masih berjaya pun, aku tak pernah benar di matamu! Tapi, kamu sadar nggak? Kamu intropeksi dirimu nggak? Apakah kamu tak pernah melakukan kesalahan? Harusnya kamu mikir, kalau aku memang berubah, aku berubah karena apa? Kenapa suamimu yang dulu sangat nurut denganmu, sekarang bisa berubah
Part 59POV EKAAku masih sabar menunggu Mak Giyem, yang masih mengatur napasnya, yang terlihat ngos-ngosan. Terlihat seolah sesak napas."Mau aku ambilin minum lagi, Mak?" tanyaku karena kasihan melihatnya. Mak Giyem terlihat menggeleng."Nggak usah. Udah plempoken," jawabnya. Aku mengangguk pelan. Aku biarkan dia yang sedang menata napasnya. Takut malah kebablasan tak bisa napas nanti. Eh,"Firman kerja?" tanya Mak Giyem. "Nggak, dia ijin libur kerja. Sekarang dia menemui Mas Andra," jawabku. Mak Giyem terlihat membulatkan mata."Serius, Firman nemui Andra?" tanya Mak Giyem, seolah memastikan ucapanku."Seriuslah, Mak. Emang kapan aku pernah bohong sama Emak?" tanyaku balik. Mak Giyem terlihat menggigit bibir bawahnya sejenak."Kenapa kamu nggak ikut?" tanya Mak Giyem. Gantian aku yang melipat kening. Kayaknya dia lagi kumat, jiwa keponya. Tapi it's ok. Karena aku juga sudah mulai tumbuh jiwa penasaranku."Aku baru pulang pagi tadi, Mak. Bareng sama mertua. Dan sekarang gantian Mas
PART 58POV EKA"Nggak sudi jenguk Niken lagi! Terserah!" ucap Ibu dengan nada suara tak suka. Ya, selepas subuh kami datang ke rumah Ibu. Mas Firman yang meminta. Kami menyampaikan telpon dari Mas Andra."Kasihan Mas Andra, Bu!" rayu Mas Firman. Ibu terlihat menyeringai kecut. Kemudian membuang muka."Suruh aja mereka menelpon saudara yang dari Niken! Atau suruh orang tua Niken datang! Kenapa minta tolong sini. Jelas-jelas kami udah sampai saja di usir!" sungut Ibu. Masih kekeuh tak mau menemui mereka lagi. Nampakanya ucapa Mbak Niken kemarin, cukup menggores luka dalam di hati Ibu.Kutarik napasku kuat-kuat dan melepaskannya pelan. Badan ini belum ilang capeknya. Bahkan aku belum istirahat. Hanya tidur di dalam mobil saja. Namanya tidur di dalam mobil, saat perjalanan pulang, sama saja bohong. Karena nggak mungkin bisa tidur nyenyak. Hanya tidur-tidur ayam. Sering kebangun, dan hanya meninggalkan rasa pusing saja.Aku lihat Bapak masih sering menguap. Memang masih terlalu pagi dat