BAB 1"Eka, nggak ke pasar?" tanya Mbak Niken, kakak iparku."Nggak, Mbak, bumbu dapur masih punya semua," jawabku."Halah, bilang aja nggak ada duit, ha ha ha," ucap Mbak Niken seraya tertawa puas.Astagfitullah. Sabar ini masih berlapis ribuan seperti tango."Iya, itu, Firman kan lagi nganggur, jelas nggak punya duit, makanya nggak ke pasar," ledek suaminya Mbak Niken. Mas Andra namanya.Ya, mereka sama saja, pasangan suami istri yang sangat kompak. Tinggi sekali ucapannya. Kalau bahasa jawanya 'gumede'."Ha ha ha ha, kamu benar sekali, Mas," balas Mbak Niken. Puas sekali tawa mereka. Mas Firman tidak nganggur, tapi memang terlihat nganggur. Karena beberapa hari ini, dia terlihat di rumah.Aku memilih diam. Malas menanggapi, karena mereka akan terus nyerocos sepuas mereka.Dengan tertawa puas menjatuhkan, Mbak Niken dan suaminya berlalu. Berboncengan dengan motor matic, menuju ke pasar. Tak lupa anak semata wayang mereka juga dibawa.Aku memilih masuk ke dalam rumah. Kebetulan tadi
Bab 2Pagi ini, aku masih berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk anak dan suami. Dika, anak semata wayangku, masih senang dengan sofa baru itu. Dia duduk santai di sana dengan ayahnya. Sambil menikmati wedang hangat."Sopa baru, ya?" tetiba telinga ini mendengar suara Zaki. Anaknya Mbak Niken. Umur Zaki lebih tua setahun dari Dika."Iya, dong!" balas Dika. Nada suara Dika terdengar bangga. Aku menoleh ke arah ruang tamu. Aku lihat Zaki duduk di antara Mas Firman dan Dika."Empuk, ya!" ucap Zaki. "Jangan di enjot-enjot kayak gitu, nanti rusak!" teriak Dika nggak terima. Aku menoleh lagi. Dan ternyata benar, Zaki lagi melonjak-lonjak di atas sofa."Zaki, duduk yang bagus, ya!" ucap Mas Firman. Tapi, aku lihat Zaki tetap nggak peduli. Dan terus asyik dengan kemauannya."Jangan di enjot-enjot! Nanti rusak!" teriak Dika lagi, suaranya semakin lantang dan terdengar nyaring.Karena suara Dika terdengar sangat lantang, membuat Zaki mungkin terkejut. Kemudian, telinga ini mendengar, dia
BAB 3Aku lihat Mas Andra menstarter motornya. Belalu entah kemana. Rumah bersebelahan, jadi teriak sedikit saja terdengar. Makanya aku berusaha ngomong pelan, jika berbicara dengan anak atau pun suami. Karena biar tak terdengar.Aku tetap pura-pura nggak dengar saja. Asik mengutak atik gawai.Mbak Niken kemudian duduk di teras dia sendiri. Tangannya aku lihat, juga sedang memainkan gawai. Bibirnya aku lihat manyun saja. Mungkin dia masih kesal hati. "Zaki! Jangan buat kotor!" teriak Mbak Niken. Allahu Akbar! Kumat dia, kalau lagi kesal sama suaminya, anak pelampiasannya. Walau tangan dia nggak main pukul, tapi mulutnya lantang sekali. Terkadang Zaki sampai nangis, karena bentakan Mbak Niken.Aku tak mendengar suara Zaki menjawab. Kasihan dia, takutnya saja suatu saat nanti mentalnya kena.Ingin main, menenangkan pikiran, tapi motor di bawa kerja Mas Firman. Jadi mau tak mau berdiam di rumah. Mau main ke tetangga, membuat telinga semakin panas. Karena ujung-ujungnya ngomongin aib o
Bab 4Setelah Mas Andra pulang dengan membawa amarahnya, karena nggak dipinjemin duit, akhirnya aku keluar dari kamar. Mendekati Mas Firman. Aku lihat Mas Firman sedang mengusap wajahnya pelan. Menghela napas sejenak."Mas.""Iya?" balasnya seraya menoleh ke arahku. Aku memilih duduk di sebelahnya. Memberikan senyum termanis. Karena aku lihat wajahnya tertekuk. Mungkin emosi dengan ucapan kakaknya tadi."Makasih, udah mau jawab ucapan Mas Andra," ucapku.Makasih? Ya, aku sangat berterimakasih, Mas Firman mau menjawab dengan tegas, semua ucapan kakak kandungnya itu. Karena biasanya Mas Firman ini diam. Kalau nggak diam, ya mau minjami uang. Bahkan rela nggak punya uang, demi bisa minjemi kakaknya itu."Sekali-kali lah, mentang-mentang adik, masa mau di akal-akali terus," balas Mas Firman. Aku manggut-manggut.Ya, memang dulu Mas Andra pernah minjem duit juga. Waktu itu untuk biaya Zaki di rumah sakit. Karena demam. Nggak banyak sih, sekitar lima ratus ribu. Karena memang Zaki sakit,
Bab 5Kalau Mbak Niken nanti akan ngadu ke Mas Andra, terserahlah. Aku nggak peduli. Sebenarnya males ngeladeni Mbak Niken. Tapi, sungguh hati ini kesal dan tak terima, dengan ucapan Mbak Niken tadi.Padahal cuma gara-gara beli sofa, dia seolah kebakaran jenggot. Panas hati itu lebih mengerikan. Di banding panas badan.Tapi, aku memang ingat betul, dulu awal aku beli TV, dia tak berselang lama juga ikut beli. Bahkan dia beli yang ukuran jauh lebih besar dari yang aku punya. "Nanggung beli TV yang kecil, sama-sama ngeluarin duit, sekalian lah yang besar!" ucap Mbak Niken kalau itu. Aku hanya bisa mengulas senyum dan manggut-manggut saja. Tak begitu menanggapi. Karena bagiku, penting punya TV. Kasihan Dika, sering main ke rumah tetangga, karena hanya demi nonton film kartun kesayangannya. Waktu aku beli kulkas ukuran kecil, juga sama. Dia ngambil kulkas juga yang ukuran jumbo. Dua pintu. Dengan bangga dia bercerita."Halah ... Ka ... nanggung beli kulkas yang kecil. Sekalian yang ged
BAB 6"Masuk, Mas!" Mas Firman mempersilahkan kakaknya masuk. Ya, aku melihat wajah Mas Andra memerah."Hemm," balas Mas Andra. Suaranya terdengar tak bersahabat. Seolah lagi kesal.Aku mengajak Dika masuk ke kamar barunya. Biar tak mendengarkan obrolan Ayah dan pakdenya. Nggak bagus untuk pertumbuhannya, kalau pakdenya kesini ngajak adu mulut. Tapi, semoga saja nggak ngajak adu mulut."Dika bobo, ya! Mama mau buatin kopi Pakde dulu!" ucapku pada Dika."Iya, Ma!" balas Dika."Nggak takutkan?" tanyaku memastikan. "Nggak dong, Ma!" balas Dika, dengan gaya jagoannya."Anak Mama memang pinter," ucapku, seraya mengelus kepala anak lanang.Senyumnya terlihat, kemudian aku kecup kening anak semata wayangku itu.Setelah itu, baru aku berlalu, segera menuju ke dapur. Membuatkan Mas Andra kopi dulu. Ntar di sangka pelit lagi. Bertamu tak ada air yang keluar. Mereka terdengar sedang ngobrol. Tapi, nggak jelas mereka ngobrol apa. Aku fokus membuatkan kopi dulu, untuk kakak ipar.Kalaupun mau ng
Bab 7"Mbak Niken, akhir-akhir ini, aku lihat kurusan, ya!" ucap Mak Sugiyem. Tetangga."Iya, Mbak Niken nampak kurusan," sahut Mak Gati. Penjual sayur keliling.Ya, kami sedang membeli sayuran siang ini. Beli sayuran siang, untuk di masak besok pagi. Seperti itulah, kami amankan dulu sayur mayurnya di kulkas. Jadi pagi tak mikiri lagi, mau masak apa. Tinggal eksekusi.Aku memilih diam. Males banget menanggapi ucapan tentang Mbak Niken. Lagian hati ini masih kesal tentang hal kemarin. Tapi, ikuti saja alurnya. Pura-pura akur. Hi hi hi hi."Aku ini sedot lemak. Diet! Biar nggak gemuk-gemuk banget!" ucap Mbak Niken dengan gaya kemayunya. Aku tetap memilih sayuran yang akan aku beli. Tapi, telinga tetal mendengarkan.What? Sedot lemak? Sejak kapan? Seriusan? Entahlah, tapi hati ini tetap nggak percaya dia sedot lemak."Owh, sedot lemak?! Sakit nggak?" tanya Mak Giyem. Dia memang suka banget nanggapi ucapan Mbak Niken. Suka juga nanggapi ucapanku. Entahlah apa maksudnya."Sakit, Mak! Tapi
Bab 8"Mbak Niken sedot lemak?" tanya Mas Firman, memastikan ucapanku. Karena aku baru saja selesai cerita, tentang pengakuan Mbak Niken tadi."Iya katanya, Mas," ucapku. Mas Firman terlihat mencebikan mulutnya. Raut wajahnya, seolah tak percaya. Sama, sih, aku sendiri juga tak percaya. Ha ha ha."Kalau bisa sedot lemak, berarti banyak duit," ucap Mas Firman. "Itulah, tapi nyatanya Mas Andra utang duit ke sini untuk beli motor," balasku.Mas Firman menyeruput kopinya. Aku sendiri, juga ikut menikmati teh manis. Dika aku lihat fokus dengan acara TV yang dia lihat."Biarlah, Dek! Kayak nggak ngerti lagunya Mbak Niken saja!" ucap Mas Firman, setelah meletakan gelas kopinya di atas meja."Iya, sih, Mas. Tapi kok segitunya banget, ingin diakui kaya!" ucapku. Mas Firman mengulas senyum."Biar saja! Yang penting kamu nggak," balas Mas Firman."Insyaallah, nggak Mas. Aku saja malu sendiri dengarnya!" ucapku. Mas Firman manggut-manggut. "Iya, Sayang! Buat pelajaran saja. Pelajaran hidup, buk
Part 66POV ANDRAApa yang aku bilang, kedatangan Mertua semakin membuat hati ini sesak. Gimana nggak sesak? Dia itu sudah minjam dua juta, aku di suruh ganti katanya, tapi travel nggak mau bayar.Itu artinya, dia menyayangkan uang dua juta itu. Semua dia bebankan ke aku. Ya Allah ... mungkin Ibu terlalu di 'lulu' sama Niken dulu itu. Berapapun jumlah nominal yang ibunya mau, selalu Niken turuti, bagaimanapun caranya.Ingin pecah rasanya kepala ini. Emosi luar biasa. Ingin aku terkam perempuan paruh baya bergelar mertuaku itu.Dulu, saat aku masih berduit, tak seperti inilah, rasa kesalku padanya. Karena Niken sendiri juga selalu menutupi sifat yang kurang pas ibunya itu. Sehingga aku gampang juga di perdaya."Ibu bayar saja! Andra nggak ada uang!" ucapku. Ibu terlihat nyengir tak suka."Kok gitu, sih, Ndra? Ibu ini udah jauh-jauh datang ke sini! Cuma ongkos travel saja kamu masalahin? Kalau Ibu punya uang, Ibu nggak minta kamu bayari. Ibu ini memang punya uang, tapi kan uang pinjama
Part 65POV ANDRA"Bu, Bapak," sapaku, saat aku sampai rumah sakit. Mata ini telah melihat kedatangan Bapak dan Ibu. Eka dan Dika juga.Mereka sering mendapatkan perlakuan tak enak dari Niken. Tapi, mereka tetap saja perhatian. Sedangkan keluarga Niken? Seolah menganggap penyakit Niken hanya penyakit sepele. Dan segera sembuh dengan sekali berobat."Ndra," balas Bapak. Aku lihat Ibu diam. Seolah terpaksa datang ke sini. Mungkin Bapak atau Eka yang memaksa. Aku mengulas senyum. Kemudian mencium punggung tangan Bapak dan Ibu. Aku merasakan ada yang berbeda dengan Ibu. Ibu seolah bersikap dingin denganku. Kutarik napas ini. Menghembuskannya perlahan. Menata hati yang terasa bergemuruh hebat.Ibu biasanya orang yang paling care denganku. Tapi semenjak kejadian Niken secara halus mengusir itu, kurasakan Ibu berbeda.Bapak pun juga berbeda. Tapi seolah masih ia tutupi. Eka pun sama. Tapi, seolah mereka masih menutupi. Mungkin tak enak hati denganku. "Ibu ke sini hanya untuk Zaki! Bukan u
PART 64POV ANDRAAku lihat kening Adista melipat, saat aku mengutarakan isi hati untuk meminjam uang. Apakah aku tidak malu? Sungguh aku malu luar biasa. Tapi di tempat yang baru seperti ini, aku mau minjam ke siapa? Hanya Adista dalam pikiranku. Dan menahan rasa malu.Wito? Ah, aku juga tahu kondisi dia. Mau minjam ke toke pasir pun aku tak berani. Karena belum lama kenal juga.Mau minjam Firman, aku juga tak berani. Karena uang dia dulu pernah aku pinjam, dan sampai sekarang belum aku kembalikan.Dulu aku memang punya uang, tapi setiap aku berpikir untuk mengembalikan, selalu didahului Niken untuk belanja baju dan lain sebagainya.Sungguh, entah kenapa aku dulu terlalu nurut dengan Niken. Selalu menuruti keinginannya walau diluar batas mampuku. Kini aku menyesal. Penyesalan memang selalu datang diakhir cerita. Kalau tahu akan seperti ini, tak akan aku mau menuruti, semua keinginan Niken kala itu.Aku lihat Adista masih terdiam. Kemudian merebahkan badannya di sandaran sofa. Entah
PART 63POV EKAKami segera berangkat ke tempat Mas Andra. Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Mbak Niken memang menyebalkan. Tapi, kami masih punya hati nurani. Walau hati kesal luar biasa karena tingkah lakunya kala itu, tapi hati ini tak menaruh rasa dendam.Ibu akhirnya juga ikut menuju ke rumah Mas Andra. Karena aku yakin, mulut bisa berkata kasar dan tega, tapi isi hati berbeda. Tak ada orang tua yang tega kepada anaknya. Termasuk Ibu mertuaku."Ibu ke sana demi Andra dan Zaki dan Firman pun sudah terlanjur di sana. Juga karena paksaan kalian. Bukan karena Niken." ucap Ibu akhirnya. Walau nada suara itu terdengar berat dan terpaksa. Tapi, aku yakin Ibu memang ingin menemui anak dan menantunya.Pesan singkat yang dikirimkan Mas Firman, mengirimkan foto yang mana keadaan Mbak Niken semakin sekarat. Bahkan terlihat Mbak Niken dibawa ke rumah sakit sudah ditusuk infus. Mungkin Mas Firman yang memaksa membawa Mbak Niken ke rumah sakit. Ya Allah ... Engkau Maha Kaya. Aku yakin
PART 62POV EKAKeadaan Mbak Niken dan Mas Andra benar adanya. Yang dikatakan Mak Giyem tak bohong. Aku telah telponan dengan Mas Firman. Dan sudah mendengar dari Mas Firman bagaimana keadaan mereka sekarang.Dan sekarang, kata Mas Firman kondisi Mbak Niken semakin kritis. Dia pingsan lagi.Jujur saja, ini membuat hatiku tak tenang. Bagaimana mau tenang, mendengar ceritanya saja, hati ini terasa tersayat. Walau aku tahu, dulu Mbak Niken memang sangat menyebalkan.Walau Mbak Niken dulu menyebalkan, tapi tak ada dendam didalam sini. Karena sejatinya Mbak Niken sudah di balas oleh Allah. Mbak Niken sudah mendapatkan karmanya. Ya, tak perlu dibalas, tapi karma memang nyata adanya. Cepat atau lambat.Aku mondar mandir layaknya setrikaan. Karena aku bingung sendiri. Sumpah aku bingung. Mau ke rumah Mertua, aku malas jalan kaki. Karena motor dibawa Mas Firman.Astaga ... kenapa aku tak menelpon Ibu saja? Dalam keadaan bingung, rasanya memang tak bisa berpikir tenang. Tak bisa berpikir jerni
Part 61POV ANDRANiken sudah aku letakan didalam kamar. Kondisinya masih pingsan. Zaki menangis seolah ketakutan. Dalam kondisi seperti ini aku sangat amat kebingungan.Kuraih gawai. Kuutak atik dan sebenarnya tak tahu mau menelpon siapa. Karena pikiran terasa sangat amat kacau.Gawai terus aku scroll, sambil mikir pada siapa aku harus meminta tolong. Akhirnya mata ini tertuju pada nomor kontak Firman.Ya, reflek saja langsung menekan nomor Firman. Dan terhubung.Ya, dalam kondisi seperti ini, tetap lari ke saudara. Malu tak malu. Lebih tepatnya menahan malu.***********Akhirnya Firman bersedia untuk datang. Dan pagi ini, katanya dia sudah berangkat. Firman memang adik yang baik. Aku jadi menyesal dulu aku sering memperlakukan dia hal yang tak pantas antara kakak ke adik.Ya Allah ... karmaMu nyata adanya. Bahkan tak sampai ke anak cucu. Seolah langsung di balas tunai kepada diriku sendiri. Sungguh aku malu dengan perlakuanku dulu. Firman maafkan aku!Niken sudah sadar. Dia pingsan
Part 60POV ANDRA"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Aku malu sama Ibu dan Eka!" ucapku kesal dengan Niken.Mumpung Zaki nggak di rumah, ingin aku luapkan semua emosiku. Karena kali ini Niken benar-benar keterlaluan.Zaki keluar sama Adista. Entahlah, semenjak kenal Adista, Zaki lengket dengannya. Mungkin karena Adista sabar dan keibuan. Dan aku tahu, Adista memang suka dan sayang dengan anak kecil. Yang menurutnya, anak kecil itu sangat polos dan jujur."Kamu itu berubah sekarang, Mas. Udah keuangan berubah, sifat juga berubah!" balasnya. Cukup membuatku sangat terkejut.Emosiku semakin naik ke ubun-ubun. Karena ucapan Niken cukup memancing emosiku."Aku berubah? Aku memang selalu salah di matamu! Saat aku masih berjaya pun, aku tak pernah benar di matamu! Tapi, kamu sadar nggak? Kamu intropeksi dirimu nggak? Apakah kamu tak pernah melakukan kesalahan? Harusnya kamu mikir, kalau aku memang berubah, aku berubah karena apa? Kenapa suamimu yang dulu sangat nurut denganmu, sekarang bisa berubah
Part 59POV EKAAku masih sabar menunggu Mak Giyem, yang masih mengatur napasnya, yang terlihat ngos-ngosan. Terlihat seolah sesak napas."Mau aku ambilin minum lagi, Mak?" tanyaku karena kasihan melihatnya. Mak Giyem terlihat menggeleng."Nggak usah. Udah plempoken," jawabnya. Aku mengangguk pelan. Aku biarkan dia yang sedang menata napasnya. Takut malah kebablasan tak bisa napas nanti. Eh,"Firman kerja?" tanya Mak Giyem. "Nggak, dia ijin libur kerja. Sekarang dia menemui Mas Andra," jawabku. Mak Giyem terlihat membulatkan mata."Serius, Firman nemui Andra?" tanya Mak Giyem, seolah memastikan ucapanku."Seriuslah, Mak. Emang kapan aku pernah bohong sama Emak?" tanyaku balik. Mak Giyem terlihat menggigit bibir bawahnya sejenak."Kenapa kamu nggak ikut?" tanya Mak Giyem. Gantian aku yang melipat kening. Kayaknya dia lagi kumat, jiwa keponya. Tapi it's ok. Karena aku juga sudah mulai tumbuh jiwa penasaranku."Aku baru pulang pagi tadi, Mak. Bareng sama mertua. Dan sekarang gantian Mas
PART 58POV EKA"Nggak sudi jenguk Niken lagi! Terserah!" ucap Ibu dengan nada suara tak suka. Ya, selepas subuh kami datang ke rumah Ibu. Mas Firman yang meminta. Kami menyampaikan telpon dari Mas Andra."Kasihan Mas Andra, Bu!" rayu Mas Firman. Ibu terlihat menyeringai kecut. Kemudian membuang muka."Suruh aja mereka menelpon saudara yang dari Niken! Atau suruh orang tua Niken datang! Kenapa minta tolong sini. Jelas-jelas kami udah sampai saja di usir!" sungut Ibu. Masih kekeuh tak mau menemui mereka lagi. Nampakanya ucapa Mbak Niken kemarin, cukup menggores luka dalam di hati Ibu.Kutarik napasku kuat-kuat dan melepaskannya pelan. Badan ini belum ilang capeknya. Bahkan aku belum istirahat. Hanya tidur di dalam mobil saja. Namanya tidur di dalam mobil, saat perjalanan pulang, sama saja bohong. Karena nggak mungkin bisa tidur nyenyak. Hanya tidur-tidur ayam. Sering kebangun, dan hanya meninggalkan rasa pusing saja.Aku lihat Bapak masih sering menguap. Memang masih terlalu pagi dat